Indonesia Akan Tes 1,5 Juta Orang Rentan Infeksi HIV

JAKARTA, (PRLM).- Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, pihaknya akan melakukan tes terhadap 1,5 juta orang yang memiliki rentan terinfeksi HIV sebagai upaya untuk menekan jumlah infeksi baru di Indonesia.

Menurut Nafsiah, tes yang dilakukan tahun ini akan diadakan di lokasi-lokasi yang terdapat perilaku berisiko, di antaranya terhadap pekerja seks maupun pelanggannya. Tes dilakukan baru terhadap 1,5 juta orang karena terbatasnya dana yang ada, ujar Nafsiah.

Selain melakukan tes, pemerintah juga melakukan pendekatan edukatif dan persuasif sehingga masyarakat semakin mengetahui tentang HIV dan AIDS.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sejak 1 Januari 2012 hingga 30 September 2012, jumlah orang dengan HIV di Indonesia mencapai 15.372 orang, sedangkan orang dengan AIDS berjumlah 3.541 orang.

Pola penularan tertinggi yaitu melalui transmisi seksual sebesar 81,8 persen dan penularan akibat penggunaan alat suntik tidak steril 12,4 persen. "Jadi dalam prevalensi 0,3 persen, populasi kunci 80 persen coba kita jangkau. Semua yang membutuhkan [obat antiretroviral] ARV kita berikan ARV dan sekarang kita berusaha untuk tes untuk mereka yang sangat rawan. Insya Allah infeksi baru akan menurun," ujar Nafsiah.

Ketua Unit Pelayanan Terpadu HIV Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Zubairi Djoerban mengatakan, jumlah ideal yang seharusnya bisa dijangkau oleh tes HIV yang dilakukan pemerintah adalah 30 juta orang.

Menurut dia, semakin banyak orang yang dapat dideteksi maka akan sangat baik. "Ternyata dari banyak penelitian, kalau hanya populasi kunci saja tidak banyak berhasil karena selain risiko tinggi, semua ibu hamil dan masyarakat umum ini dari banyak penelitian memang perlu tes begitu banyak. Kalau kita mengobati maka orang minum ARV dalam waktu tiga sampai enam bulan tidak lagi menular. Artinya kalau kita mengobati kita bisa menekan penularan sampai 0, itu yang utamanya," ujar Zubairi.(voa/A-147)

(sumber: www.pikiran-rakyat.com)

Indonesia Perlu Tingkatkan Riset Tanaman Obat

Jakarta, PKMK-Indonesia masih perlu lebih mengintensifkan riset terhadap tanaman obat. Sebab, saat ini kuantitas riset tersebut masih sedikit. "Dalam setahun, sebuah lembaga di Jawa Tengah hanya menghasilkan dua penelitian. Itu karena keterbatasan anggaran," ucap Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, di Jakarta (8/2/2013).

Menteri Nafsiah mengatakan, mengatasi hal itu, ada baiknya dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan besar, diarahkan untuk membiayai riset tersebut. "Kita punya banyak kekayaan tanaman obat. Tentu saja harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kini ada ribuan jenis tanaman obat yang belum diteliti," kata dia.

Walau begitu, ia menambahkan, saat ini teknik produksi jamu yang bahan bakunya dari tanaman tersebut, sudah semakin baik. Maka, konsumen jamu semakin luas, tidak hanya masyarakat di Pulau Jawa. Jamu mengingatkan masyarakat Indonesia terhadap kekayaan tanaman obat di Indonesia. Maka, kata dia, jamu harus terus dilestarikan. Nafsiah menambahkan, dengan menyertifikasi dan mengawasi produk jamu, Pemerintah Indonesia sekaligus meningkatkan upaya preventif terhadap kemunculan penyakit.

"Sertifikasi jamu adalah penelitian yang berbasis pelayanan terhadap masyarakat. Penelitian tersebut untuk mendapatkan bukti ilmiah tentang khasiat jamu," ucap Menteri Nafsiah. Satu hal yang masih memprihatinkan, kini jamu banyak dipatenkan oleh pihak di luar negeri. Untuk mencegah hal seperti itu terjadi lagi, tentu menjadi tugas semua masyarakat Indonesia.

Dapatkan Anggaran Rp1,4 T, Kemenkes Minta Tambahan 500 M

Dana tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan pembangunan proyek flu burung.

Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) benar-benar ngebet ingin melanjutkan proyek pembangunan pabrik vaksin flu burung yang diduga dikorupsi ratusan miliar rupiah.

Dalam rapat dengan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (7/2), Wamenkes Ali Ghufron Mukti menyampaikan pihaknya sudah membentuk tim untuk melakukan studi due diligence terhadap proyek itu.

Tim itu diisi sejumlah ahli dari luar kementerian yang ditugaskan membuat penilaian.

Dari hasil kerja mereka didapatkan rekomendasi agar proyek itu dilanjutkan dengan meminta tambahan pembiayaan sampai dengan Rp500 miliar. Padahal uang negara yang sudah dihabiskan untuk proyek itu sebesar Rp1,2 triliun sampai Rp1,4 triliun.

Angka uang yang sudah dihabiskan itu memang berbeda dari angka uang negara keluar untuk proyek itu yang pernah disampaikan Menkes Nafsiah Mboy, yakni sekitar Rp900 miliar. Namun, terlepas hal itu, Ghufron menegaskan pihaknya melihat proyek harus tetap dilanjutkan.

"Karena kalau tak dilanjutkan, nanti akan jadi kerugian semuanya itu. Sayang uang yang sudah dikeluarkan negara hilang begitu saja," kata Ghufron.

Sayangnya, dia enggan berpendapat ketika ditanya berapa sebenarnya uang negara yang keluar murni untuk proyek, dan berapa yang dikorupsi.

BPK, lewat audit investigasinya, menemukan kerugian keuangan negara akibat proyek itu berpotensi hingga angka sekitar Rp600 miliar.

Ghufron melanjutkan pihaknya menganggap proyek pabrik vaksin itu penting sebagai antisipasi pandemi dan endemi flu burung.

"Kalau saya ditanya dulu mungkin ini tak perlu. Tapi karena sudah terlanjur uang negara keluar, ya mending dilanjutkan," ujar Ghufron.

Pihaknya juga yakin kepolisian akan segera menyelesaikan penyelidikan kasus hukum terkait dugaan korupsi proyek itu, sehingga proses pembangunan bisa langsung dilanjutkan.

"Kita dorong agar kepolisian bisa segera menyelesaikan proyeknya," kata dia.

Sesuai temuan audit BPK, proyek itu dikerjakan oleh PT.Anugerah Nusantara yang dimiliki oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Ditemukan juga bahwa Kementerian Kesehatan tak pernah memasukkan pembangunan pabrik itu dalam rancangan program Kementerian. Proyek terlaksana setelah diarahkan oleh PT Anugrah Nusantara, dibantu oknum di sejumlah kementerian.

(sumber: www.beritasatu.com)

Panja BPJS Diperkirakan Terbentuk Bulan Depan

Jakarta-PKMK. Panitia Kerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Panja BPJS) yang saat ini tengah dirumuskan oleh Komisi IX DPR RI, diperkirakan terbentuk Maret 2013. Dengan Panja BPJS itu, diharapkan nantinya berbagai peraturan teknis yang merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, lebih cepat diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Poempida Hidayatulloh, Anggota Komisi IX DPR RI (Rabu, 6/2/2013).

Poempida menambahkan, penerbitan peraturan-peraturan tersebut memang tidak seperti yang diperkirakan. "Pengeluaran peraturan-peraturan tersebut memang sangat lambat. Peraturan Pemerintah (PP) tentang nilai premi BPJS, itu seharusnya keluar November tahun 2012. Tapi sampai sekarang belum keluar, 'kan?" kata Poempida.

Dalam draft PP tentang premi BPJS yang diperoleh Poempida, memang nilai premi itu belum ada. Yang ideal, nilai premi dihitung berdasarkan lingkup coverage. Biaya coverage dihitung, lantas dijadikan konteks premi yang berbasis konteks risiko. Jadi, seperti cara perhitungan di asuransi kesehatan konvensional. Dalam hal ini, nilai premi harus sama karena tidak ada pengelompokan berdasarkan kelas. Hanya saja, nilai premi yang harus dibayar warga mampu dengan yang miskin, berbeda.

Warga yang miskin mendapatkan bantuan premi dari Pemerintah Indonesia. Sementara, warga yang mampu dan ingin memperoleh fasilitas pelayanan yang lebih premium, bisa masuk ke rumah sakit swasta yang tidak ikut ke program ke BPJS. 'Jadi, dalam hal ini, bisnis rumah sakit swasta itu berjalan seperti biasa. Sama halnya seperti sekarang, kan rumah sakit swasta ada yang tidak ikut program Jamkesmas," kata Poempida. Kemudian, bagaimana bila BPJS belum berjalan di 1 Januari 2014 seperti yang direncanakan? "Yang jelas, itu ya keteledoran Pemerintah," jawab dia.

Sambut Jamkesnas, Depkes Tambah 16.500 Tempat Tidur

Jakarta - Untuk menyambut akan diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) mulai 1 Januari 2014, Departemen Kesehatan berencana menambah 16.500 tempat tidur di rumah sakit dan puskesmas pada 2013. Upaya pemenuhan dilakukan dengan menimbang tingkat utilitas rumah sakit di suatu daerah atau bed occupancy ratio (BOR).

"Jika BOR di satu kabupaten atau kota masih rendah, maka ia belum menjadi prioritas walaupun menurut perhitungan masih ada kekurangan," kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam rapat evaluasi persiapan pelaksanaan Jamkesnas yang dipimpin Wakil Presiden Boediono di Kantor Wapres, Rabu (6/2).

Menurut Nafsiah, setelah ada tambahan 16.500 tempat tidur itupun, pada 2013 pemerintah menghitung masih ada kekurangan 70.421 tempat tidur. Kekurangan ini rencananya akan dipenuhi pada 2014.

Menanggapi hal ini, Wapres meminta Kemenkes menyusun sebuah sistem informasi terpadu yang secara online terus memperbarui basis data terperinci tentang pusat-pusat layanan kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas. "Saya harapkan sistem ini selesai pada 2013, agar bisa kita pakai untuk mengambil keputusan," ujarnya.

Sistem informasi kesehatan itu berisi data yang terperinci mengenai jumlah dokter, tenaga medis, persediaan obat, kapasitas, maupun lokasi yang dilengkapi dengan koordinat geospasial dan foto terakhir.

Selain itu, Boediono juga mengingatkan agar Kemenkes bersama-sama Kemendagri merumuskan pembagian peran dengan pemerintah daerah secara lebih jelas. "Harus benar-benar ada garis batas yang jelas. Ini penting karena nanti akan ada integrasi antara Jaminan kesehatan secara nasional dan jaminan kesehatan yang diselenggarakan daerah," sambungnya.

Sebelumnya Wapres menekankan pada pentingnya persiapan sisi pasokan (supply) yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pasokan ini termasuk dokter, tenaga medis, infrastruktur, obat-obatan, aturan dan ketentuan, termasuk juga persiapan pembiayaannya.

"Ini aspek-aspek penting yang harus kita selesaikan. Saya minta semua kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab di bidang kesehatan mengambil langkah-langkah dan rencana aksi yang konkrit," tutur Wapres.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyampaikan, ada beberapa hal yang memang memerlukan perhatian. Untuk mengatasinya, Kemenkes membutuhkan dukungan kerja sama dengan kementerian maupun lembaga lain. Misalnya, untuk memenuhi jumlah dokter dan tenaga kesehatan atau meningkatkan kapasitas rumah sakit.

(sumber: www.suaramerdeka.com)

Kantong Darah PMI Kelak Dibayar BPJS

Jakarta-PKMK. Dengan beroperasinya Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) pada tahun 2014, kantong darah donor yang dipasok PMI akan dibayar oleh BPJS. 'Karena biaya pengobatan pasien diganti oleh BPJS, demikian pula tentunya dengan biaya kantong darah tersebut,' ucap Jusuf Kalla, Ketua Umum PMI, Rabu (6/2/2013).

Kalla menambahkan, dengan pembayaran oleh BPJS itu, PMI masih memberikan subsidi. Harga yang ditetapkan PMI sebesar Rp 250.000 per kantong sementara yang selama ini dibayarkan Pemerintah Indonesia masih dibawah itu. Dalam paparannya, Kalla menambahkan bahwa untuk kantong darah itu, istilah "harga" sebenarnya tidak terlalu tepat. "Lebih baik, istilah yang digunakan adalah 'biaya pengganti,'" ucap mantan wakil presiden RI itu.

Jika ada yang menginginkan bahwa pasien miskin memperoleh kantong darah secara gratis, itu sebenarnya sudah terjadi. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia membayar kantong darah itu melalui pelayanan Jamkesmas ataupun nantinya melalui BPJS," ucapnya.

Kantong darah sebaiknya tidak gratis, namun ada nilai tertentu yang harus dibayar. "Kalau kantong darah digratiskan, nanti permintaan bisa terlalu banyak. Sebentar-sebentar ada permintaan," imbuhnya. Selain itu, sebaiknya aktivitas lembaga pemasok kantong darah seperti PMI, tetap tidak di bawah Pemerintah Indonesia. Itu untuk menghindari dampak negatif yang bisa timbul. "Misalnya, warga miskin banyak antre mendonorkan darah untuk mendapatkan uang. Belum lagi, muncul pula proyek-proyek terkait pengadaan darah," ucap Kalla. Maka, sebaiknya PMI tetap sebagai sebuah lembaga masyarakat seperti halnya di negara lain Pemerintah Indonesia membantu apa yang diperlukan.

Ribka: Kesiapan Pemerintah Jalankan Jaminan Sosial Meragukan

Jakarta - Ketua Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning di Jakarta, Selasa, (5/2), masih meragukan kesiapan Kementerian Kesehatan (Kemkes) menjalankan program Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS). Keraguan Ribka itu disampaikan, pasalnya, beberapa fasilitas penunjang program ini masih belum memadai. Pasca bencana banjir misalnya, Kemkes tidak punya kebijakan antsipasi pelayanan tempat tidur di rumah sakit (RS) pemerintah.

"Hampir semua RS penuh, disebabkan banyaknya rakyat yang terjangkit virus, bakteri, dan kuman lainnya. Dalam keadaan apa pun, seharusnya UGD RS tidak boleh menolak pasien, apapun alasannya, karena hal itu sudah tercantum dalam UU Rumah Sakit," ungkap Ribka.

Menurutnya, baru menangani pasien akibat bencana banjir saja pemerintah gagal menyiapkan kebijakan darurat untuk mengadakan tempat tidur di RS, terutama bagi masyarakat peserta Jamkesmas, apalagi nanti jika program BPJS sudah berjalan pada 2014 yang menjamin kesehatan seluruh warga negara.

Seperti kita ketahui, kata Ribka, program pemerintah menerbitkan Jamkesmas atau Jamkesda dan diganti dengan BPJS pada 2014 mendatang, bertujuan untuk mebiayai pengobatan masyarakat agar mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa kecuali. Pasalnya, mendapatkan kesehatan yang layak merupakan hak seluruh warga negara yang dijamin konstitusi.

Namun dalam kenyataannya, ungkap Ribka, mengapa rakyat yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dikarenakan infrastruktur yang tidak memadai. "Pertanyaannya, untuk apakah dana yang sudah disiapkan tersebut kalau tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan medis secara gratis," cetusnya.

Menurutnya, kejadian seperti ini membuat kita ragu akan keseriusan pemerintah pusat dalam melaksanakan program BPJS 2014. "Pemerintah tidak serius mempersiapkan membangun infrastruktur yang memadai guna memberikan pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia," pungkasnya.(IS)

(sumber: www.gatra.com)

1.000 Tanda Tangan Lawan Malpraktik

JAKARTA - Kasus dugaan malapraktik dan buruknya pelayanan rumah sakit yang cenderung mengedepankan materi tanpa mengedepankan profesionalitas dan rasa kemanusiaan semakin marak terjadi.

Menyikapi hal itu, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perhimpunan Pemuda Penegak Hukum (P3H) menggelar aksi galang 1.000 tanda tangan sebagai bagian dari bentuk keprihatinan dan kepedulian mereka.

"Gerakan 1.000 Tanda Tangan mengenai pelayanan di rumah sakit yang cenderung hanya mementingkan material tanpa mengedepankan profesionalitas dan rasa kemanusiaan yang tinggi, dan kita akan mendampingi bagi korban yang tersandung dalam masalah itu" kata lagi" kata Ketua Bidang Organisasi P3H Achmed kepada Okezone, di depan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (3/2/2013).

Kata dia, berdasarkan pantauan dari bergulirnya kasus-kasus tersebut minimal ada tiga kasus yang mencuat belakangan ini. Meskipun, dia yakin bahwa masih ada beberapa kasus yang tidak mencuat kepermukaan dikarenakan keluarga pasien sangat pesimis jika harus meminta pertanggung jawaban kepada pihak rumah sakit serta tim dokter yang menangani pasien untuk meminta keadilan dalam proses penegakan hukum.

"Meminta keadilan dalam proses penegakan hukum kearah yang lebih baik namun akhirnya tenggelam ditengah jalan dalam proses pencapaian keadilan bagi keluarga yang dirugikan," katanya.

Dia juga telah meminta mediasi kepada Komisi IX DPR terkait dugaan kasus malapraktik yang sedang mencuat tersebut.

"Kita sudah ke Komisi IX DPR, untuk menjatuhkan saksi moril atau hukum kepada kepala tim medis terhadap kasus dugaan malpraktek, salah satunya kasus Raihan bocah 10 tahun yang diduga menjadi korban malpraktek Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta," tuturnya.

"Tim RS Medika Permata Hijau yang menangani raihan yang awalnya divonis usus buntu yang akut, namun pasien yang bernama Raihan mengalami koma selama 32 hari di RS Permata Hijau dan henti jantung 15 menit," pungkasnya.

(sumber: jakarta.okezone.com)