Hari ketiga: The 8th Global Symposium on Health Systems Research
Selasa, 20 November 2024
Inclusion in Times of Peace and Conflict
Sesi pleno hari ini menyoroti permasalahan pemerataan kesehatan dalam konteks krisis dan konflik. Sesi ini menghadirkan empat orang pembicara, yakni Dr Seita Akihiro (director of health, UNRWA), Profesor Papaarangi Reid (The University of Auckland), Dr Walter Flores (direktur eksekutif CEGSS Guatemala), dan Rosemary Mburu (direktur eksekutif WACI Health).
Akihiro sebagai pembicara pertama menceritakan pengalamannya ketika melakukan kunjungan ke Gaza, Palestina sebanyak tiga kali. Akihiro menyaksikan bagaimana situasi dapat berubah dengan sangat cepat dan menyebabkan terganggunya sistem kesehatan. Namun, di tengah kekacuan tersebut, ia menyaksikan sebuah momen harapan.
Pada hari kampanye polio, Akihiro menyaksikan antrean panjang warge di pusat Gaza yang menunggu giliran untuk memvaksin anak-anak mereka. Kampanye ini menjadi kampanye polio pertama sejak konflik dimulai dan kegiatan imunisasi tersebut merupakan momen di mana keluarga-keluarga dapat keluar rumah dengan merasa aman untuk pertama kalinya. Menurut Akihiro, hal tersebut menunjukkan bahwa harapan dan solidaritas tetap hidup di tengah konflik.
Sebagai pembicara kedua, Reid memaparkan tentang kekerasan sistemik terkait kolonisasi. Kolonisasi menyebabkan terjadinya perbudakan, dehumanisasi, dan pengklaiman sumber daya masyarakat asli, sebagaimana yang dialami oleh bangsa Maori di Selandia Baru dan orang-orang asli di Australia.
Kolonisasi mengabaikan keberadaan masyarakat asli yang telah lebih dulu hidup, tinggal, dan menjaga alam di wilayah tersebut dalam waktu yang lama. Reid menegaskan bahwa desain sistem kesehatan harus dirancang menjadi lebih adil dan setara, serta mencerminkan nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya.
Reid melemparkan sebuah pertanyaan untuk direnungkan, yakni, “Apakah kira membutuhkan perubahan radikal untuk mendesain ulang sistem kesehatan? Atau, lebih jauh lagi, apakah kita perlu mengubah nilai-nilai sosial yang mendasarinya?” Menutup pemaparannya, Reid menekankan bahwa sistem kesehatan dapat benar-benar menjadi inklusif hanya jika sistem tersebut memprioritaskan keadilan dan kesetaraan.
Selanjutnya, Flores dari Guatemala mengajak seluruh peserta untuk merenungkan kembali sebuah pertanyaan mendasar, yakni, “Siapa yang menentukan bahwa sesuatu disebut konflik atau perdamaian? Untuk siapa perdamaian ditujukan?” Flores mengatakan bahwa kekerasan dapat muncul dari kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar, seperti keamanan dan air bersih.
Selain itu, komunitas yang termarjinalkan mengalami berbagai bentuk kekerasan setiap harinya, namun mereka jarang dilibatkan dalam diskusi-diskusi terkait perdamaian. Flores juga mengatakan bahwa tidak ada kategori absolut tentang perdamaian dan konflik.
Kedua konsep ini sepenuhnya bergantung pada dinamika kekuasaan. Pihak yang berada di posisi dominan sering kali mendefinisikan konflik dan perdamaian sesuai dengan kepentingan mereka, tanpa mempertimbangkan pengalaman dan suara kelompok rentan. Menutup pemaparannya, Flores menegaskan bahwa memahami perdamaian sejatinya adalah merangkul keberagaman perspektif dan memastikan semua proses berjalan dengan inklusif.
Pembicara keempat, Mburu, membuka paparannya dengan sebuah pertanyaan perenungan,”hard-to-reach groups or hard-to-reach services?” Kelompok-kelompok yang dianggap sebagai hard-to-reach sering dikecualikan dari riset. Selain itu, sistem kesehatan juga dapat berkontribusi pada peningkatan ketimpangan sosial.
Sementara itu, kurangnya akses ke pelayanan kesehatan juga dapat mendorong individu dan komunitas semakin dalam ke jurang kemiskinan dan menghambat inklusi finansial dan sosial. Mburu juga mengkritik bahwa sistem kesehatan kerap gagal memberikan penghormatan, melindungi, dan memenuhi hak atas kesehatan. Hal ini berakibat pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan reformasi yang mendalam untuk mencapai sistem kesehatan yang betul-betul inklusif.
Sesi pleno dilanjutkan dengan pandangan panelis terhadap inklusivitas sistem kesehatan, terutama di waktu krisis, dalam sebuah gambar. Masing-masing panelis menampilkan satu gambar dan menceritakan bagaimana gambar tersebut mewakili pandangan mereka akan sistem kesehatan yang inklusif. Flores, misalnya, menampilkan salah satu kegiatan organisasinya di Guatemala dan menjelaskan bahwa participatory action research adalah salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas dan otonomi komunitas dalam hal check and balance serta memahami resiliensi dan perubahan iklim. Sementara itu, Reid membagikan foto haka, sebuah tarian seremonial di Selandia Baru yang menyiratkan bahwa kita semua harus terus menerus berjuang untuk menciptakan sistem kesehatan yang inklusif.
Sesi pleno ditutup dengan beberapa pesan kunci tentang peran health policy and systems research dalam hal konflik dan perdamaian. Salah satu pesan kunci tersebut adalah pentingnya meningkatkan kapasitas peneliti untuk memahami secara mendalam konteks komunitas sebelum menarik kesimpulan atau merancang intervensi. Pendekatan ini dipercaya dapat membuat sistem kesehatan menjadi lebih adil dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.
Reporter:
Mentari Widiastuti (Divisi PH PKMK FK-KMK UGM)
Link Terkait