Model Pengawasan Pelaksanaan Kebijakan BPJS 2014
"Siapa Melakukan Apa?"
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, akan dilaksanakan per Januari 2014. Namun hingga beberapa bulan menjelang pelaksanaannya, peraturan BPJS masih ada yang belum jelas sehingga perlu pembahasan lebih lanjut. Untuk mendiskusikan hal ini, empat pembicara tampil membawakan materi dengan tema Model Pengawasan Pelaksanaan Kebijakan BPJS 2014 "Siapa Melakukan Apa?". Diskusi yang berjalan selama 1,5 jam ini berjalan hangat dengan antusiasme peserta diskusi yang memberikan masukan-masukan berharga untuk perbaikan program BPJS. Namun demikian, ada juga peserta diskusi yang menyampaikan komentar bernada pesimis terkait pelaksanaan BPJS ini.
Menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., Ph.D, selaku pembicara pertama, stakeholder utama BPJS mempunyai peran yang sangat rumit. Mereka akan menghadapi tiga isu utama yang berpotensi muncul dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu status kesehatan masyarakat yang tidak meningkat. Hal ini terjadi karena mutu pelayanan kesehatan buruh bahkan bisa jadi tambah buruk, perbedaan geografis semakin meningkat karena dana akan terpakai oleh pasien katastropik di daerah-daerah maju serta adanya fraud dan korupsi. Kemungkinan terjadinya fraud atau korupsi dapat dimungkinkan karena saat ini belum ada independensi badan pengawas pelaksanan BPJS. Namun hal ini dapat "diakali" dengan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Walaupun OJK belum memiliki kemampuan klinis, namun OJK juga punya deputi perlindungan konsumen untuk melindungi masyarakat dari mutu pelayanan yang buruk.
Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, MPH selaku pembicara kedua lebih menyoroti tentang pentingnya jaminan kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Prof. Alimin menegaskan bahwa pelaksanaan BPJS harus didukung, walaupun masih ada kontroversi terkait besaran premi yang harus dibayarkan oleh peserta BPJS. Mekanisme pengumpulan premi dari pekerja sektor informal juga masih belum jelas. Dekan Fakultas Kedokteran Unhas ini juga menyinggung tentang pentingnya pengawasan dalam peresepan obat oleh dokter, yang berpotensi menjadi sumber pembengkakan biaya perawatan. Prof. Alimin juga menyarankan bahwa badan pengawas pelaksanaan BPJS ini harus berasal dari pihak yang mengerti kondisi klinis, seperti dokter senior.
Pembicara ketiga, yaitu Prof. dr. Bhisma Murti, MPH, mengangkat tema tentang kejelasan metode pembayaran dalam BPJS termasuk sistem evaluasi BPJS. Sedangkan pembicara keempat, Agung Dwi Laksono dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) memaparkan tentang penggunaan data yang dikelola Litbangkes untuk pengembangan BPJS. Paparan ditutup dengan diskusi yang membawa masukan-masukan baru bagi persiapan pelaksanaan jaminan kesehatan semesta, diantaranya adalah pendekatan community outreach untuk menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Pendekatan community outreach sebagai jawaban atas kemungkinan terjadinya "ketidakadilan" yang diterima akibat perbedaan geografis dalam pelaksanaan BPJS bagi masyarakat Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Selain itu, untuk meningkatkan mutu BPJS, diusulkan evaluasi pelaksanaan BPJS ini tidak hanya bersifat sumatif (menanti 1 tahun), tetapi juga bisa bersifat evaluasi formatif (setiap saat).
Ditulis oleh: drg. Puti Aulia Rahma