Global Burden of Diseases & Target Cakupan Kesehatan Semesta (UHC)
Reportase: Policy Dialogue
Acara ini dibuka oleh Dr. Agustinus Prasetyantoko selaku Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Agustinus menekankan pentingnya kegiatan semacam ini diadakan oleh akademisi, mengingat peran akademisi sebagai pendukung para pengambil kebijakan khususnya dalam menyediakan bukti ilmiah.
Selanjutnya pembicara utama dalam acara ini, dr. Nafsiah Mboi, MPH, Sp.A, memaparkan tentang konsep Global Burden of Diseases (GBD) dan potensi pemanfaatannya. Burden of Diseases (BoD) pertama kali diperkenalkan oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada 1990. Institusi ini berkedudukan di Seattle, Amerika Serikat. Pembicara merupakan salah satu anggota dewan IHME. Pada 1997, konsep Disability-Adjusted Life Year (DALY) diperkenalkan sebagai suatu tolok ukur yang bisa digunakan untuk menggambarkan status kesehatan. Prinsipnya, semakin besar DALY maka semakin buruk status kesehatannya.
Awalnya hanya 107 penyakit yang termasuk di dalam studi GBD, kemudian seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan maka pada2016 terdapat 333 penyakit yang termasuk ke dalam studi ini di lebih dari 135 negara di seluruh dunia. Indonesia termasuk salah satu dari 2500 kolaborator yang ada di seluruh dunia. BOD sangat bermanfaat untuk perencanaan kesehatan, diantaranya untuk: identifikasi kebutuhan; menentukan skala prioritas; menentukan besaran investasi yang diperlukan; evaluasi dampak kebijakan kesehatan; dan untuk menilai akses kesehatan perorangan dan indeks kualitas.
GBD telah memberikan banyak manfaat bagi Indonesia, khususnya terkait perencanaan program kesehatan. Terjadi perubahan yang besar terkait BoD di Indonesia selama 10 tahun pada periode 2005 hingga 2016. Penyebab utama kematian di Indonesia akibat diabetes meningkat hingga 21%. Kontributor utama untuk DALY dari diabetes meningkat tajam dari ranking 9 ke 6 dengan proporsi peningkatan sebesar 62,6%. Jika kita hubungkan dengan program JKN khususnya asuransi kesehatan sosial (BPJS Kesehatan), maka BoD ini sejalan dengan beban pembiayaan BPJS Kesehatan yang sangat besar akibat 4 penyakit katastropik (Jantung, Kanker, Gagal ginjal dan Stroke). Diabetes merupakan pintu masuk dari 4 penyakit katastropik ini.
Pembicara kedua adalah Assoc. Prof. Dinna Wisnu, PhD dari Atma Jaya Insitute of Public Policy. Dinnamenyampaikan terdapat tiga pilar sistem jaminan sosial nasional, yaitu: asuransi; bantuan sosial; uang dari pemberi kerja atau pribadi. Saat ini terdapat tantangan yang besar bagi BPJS Kesehatan selaku single payer dalam sistem asuransi sosial kesehatan di Indonesia. Beberapa diantaranya: potensi kehilangan waktu produktif akibat menggunakan layanan BPJS Kesehatan; proporsi out of pocket masih tinggi; keterbatasan alokasi dana untuk upaya kesehatan masyarakat; dan tidak ada insentif bagi peserta yang tidak menggunakan fasilitas rawat inap BPJS Kesehatan.
Hal yang menarik dalam sesi diskusi kali ini adalah masih terjebaknya para panelis dan peserta diskusi dalam pengertian bahwa target cakupan UHC adalah sama dengan target kepesertaan BPJS Kesehatan. Sehingga BoD yang tinggi dari penyakit-penyakit katastropik di Indonesia masih menjadi tanggung jawab BPJS Kesehatan semata. Ada pernyataan dari salah satu peserta yang bisa dibawa sebagai pesan bagi kita semua, yaitu, mengingat BoD di Indonesia sudah bergeser ke arah penyakit-penyakit tidak menular maka untuk mencapai target cakupan kesehatan semesta (UHC) di Indonesia kita harus mendorong pemerintah agar tidak hanya mengalokasikan perhatian dan anggaran bagi BPJS Kesehatan, tetapi juga memberikan perhatian dan alokasi anggaran yang besar bagi upaya kesehatan masyarakat sebagai ujung tombak program promosi kesehatan dan pencegahan primer penyakit di Indonesia.
Oleh: John Prawira