Reportase Sesi 4. Mengurangi Fragmentasi Sistem Kesehatan untuk meningkatkan Kualitas dan Kesinambungan Program JKN
Jakarta, 31 Januari 2019
PKMK – Jakarta. Indonesia adalah negara dengan sistem desentralisasi yang terdiri dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/ kota, dimana daerah - daerah tersebut memiliki kapasitas sistem kesehatan dan kualitas tata kelola pemerintahan yang bervariasi. Diseminasi yang berlangsung telah memaparkan hasil analisis evaluasi JKN di 7 provinsi yang mana hampir 8 sasaran peta jalan JKN yang ditetapkan DJSN belum mampu tercapai.
Dialog ini menjadi penutup agenda diseminasi, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. menyimpulkan bahwa kebijakan JKN telah berhasil melindungi sebagian masyarakat dari masalah ekonomi akibat sakit. Namun, sasaran JKN yang tertera di peta jalan belum tercapai. Setelah lima tahun program JKN, masalah pemerataan dan penjaminan mutu di tujuh provinsi masih terjadi. Kebijakan JKN gagal menyeimbangkan fasilitas pelayanan kesehatan antar daerah. Terjadi fragmentasi sistem kesehatan akibat adanya BPJS yang sentralistik dengan sistem kesehatan yang desentralistik. Sistem mutu belum terbangun dengan baik. Ada perbedaan yang sangat tajam antara provinsi yang maju dengan yang kurang maju dalam hal penjaminan mutu. Berbagai prinsip dalam JKN seperti kegotongroyongan, keterbukaan dan akuntabilitas belum dilaksanakan secara maksimal, akibatnya masalah pengambilan keputusan terjadi di semua tingkatan pemerintah terkait urusan kesehatan.
Pada sesi ini, perwakilan dari Bappenas menyampaikan bahwa adanya kebijakan JKN menjadikan status kesehatan menjadi baik. Defisit tidak dijadikan isu utama karena kondisi tersebut sudah menjadi risiko pemerintah yang menerapkan asuransi sosial. Fragmentasi pelayanan kesehatan yang mengakibatkan kesenjangan pemerataan pelayanan kesehatan karena supply side yang timpang. Saat ini Bappenas sedang menyusun RPJMN teknokratis dan kebijakan baru yang afirmatif dengan paket pelayanan khusus daerah DTPK. Akses data di BPJS Kesehatan dirasakan Bappenas sulit akses. Ada indikasi kekhawatiran pada lembaga atas data mikro. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan integrasi sistem data JKN dengan data kebijakan kesehatan. Selain itu, aktor kelembagaan atau pengawas pelaksanaan JKN (BPJS Kesehatan) yang patut didorong independensinya yaitu DJSN.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, menanggapi bahwa usulan supply side membutuhkan waktu lama sekitar 3 - 5 tahun. Saat ini, premi PBI surplus. Lalu data penelitian menunjukkan adanya gotong royong terbalik. Undang - undang jelas menyatakan bahwa wajib membantu orang miskin dan tidak mampu, terkait hal ini sejak UU SJSN terbentuk sudah terdapat kebijakan kompensasi yang diperuntukan bagi daerah yang terbatas. Namun, hal itu belum dapat dilaksanakan karena tidak ada dananya. Kompartemen pada kantung kas JKN perlu dikaji lebih mendalam. Peserta PBI sakit namun sulit aksesnya. Kompartemen perlu ditelaah untuk menjamin hak pelayanan kesehatan yang mewujudkan keadilan sosial. Asuransi sosial memiliki mekanisme yang sama, yaitu selalu menguntungkan orang kaya atau mampu. Hal tersebut sedini mungkin harus diidentifikasi.
Terakhir, perwakilan DJSN menyampaikan bahwa memang perlu solusi untuk kepesertaan PBPU yang bermasalah atau mengalami kebocoran hingga500%. Perlu penghitungan cost INA-CBGs. Keterbukaan data di BPJS Kesehatan akan menyulitkan lembaga itu sendiri. Faktanya. negara demokrasi menutut besar partisipasi publik, hal ini semata - mata agar kebijakan yang dibentuk telah menggunakan data yang komprehensif dan akurat.
Pembahas menyampaikan terima kasih atas diselenggarakannya diseminasi hasil penelitian evaluasi 8 sasaran peta jalan JKN oleh PKMK FK - KMK UGM. Penelitian evaluasi JKN ini menjadi menarik dan penting pada momen yang tepat seperti ini. Selanjutnya, akan dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai hasil penelitian tersebut yang akan dituangkan dalam dimensi analysis of policy dan analysis for policy serta policy brief pada Februari .
Reportase : Tri Aktariyani (PKMK)
{jcomments on}