Pra Konferensi
Minggu, 20 Oktober 2019
Hari pertama rangkaian kegiatan ISQua ke - 36 diawali dengan beberapa seri pra konferensi. Pra konferensi ini merupakan agenda tambahan yang dipersiapkan panitia untuk mewadahi perwakilan dari berbagai negara agar dapat berbagi pengalaman dan mendalami isu - isu sektor mutu layanan kesehatan.
Terdapat tujuh seri pra konferensi, yang pertama terkait pentingnya evaluasi eksternal dalam meningkatkan kepuasan dan keselamatan pasien serta untuk mencapai tujuan - tujuan klinis. Sesi ini diisi oleh, antara lain, Ryan Swiers, David Greenfiels, Jeffrey Braithwaite, dan Carsten Engel. Para pembicara menilai pentingnya akreditasi dan akreditasi seperti apa yang mampu membantu meningkatkan kinerja sebuah rumah sakit. Evaluasi eksternal dinilai akan lebih bermakna dan mampu membawa perbaikan apabila turut melibatkan pasien, pengguna layanan, dan keluarga mereka.
Sesi kedua membahas masyarakat praktisi Afrika dimana para pembicara dari berbagai negara di regional Afrika berbagi beragam pengalaman inovasi kesehatan yang telah mereka lakukan di negara masing - masing, serta bagaimana inovasi tersebut mampu membantu menyelesaikan kesulitan dan tantangan yang mereka alami.
Di sesi ketiga, para pembicara memperkenalkan berbagai elemen kunci, peluang, dan tantangan dalam perencanaan mutu untuk membuat perbaikan dalam kualitas pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien. Sesi ini diselenggarakan bersamaan dengan sesi keempat yang menekankan penggunaan patient reported outcome (PRO) untuk membawa suara pasien ke dalam penyelenggaraan layanan kesehatan yang terbukti dapat meningkatkan kemitraan klinisi - pasien, tujuan - tujuan kesehatan, dan nilai layanan kesehatan. Peserta dibekali dengan pengetahuan mengenai aplikasi PRO di berbagai negara, teknik implementasi PRO dengan pendekatan praktis bertahap (stepwise practical approach), dan berdiskusi dengan sesama peserta mengenai bagaimana mengimplementasikan PRO dalam setting pekerjaan masing - masing peserta.
Paralel dengan semua sesi sebelumnya, sesi kelima merupakan sesi prakonferensi paling meriah karena di sesi ini perwakilan - perwakilan dari regional Afrika, Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, Amerika, dan Pasifik Barat mempresentasikan produk - produk inovasi mutu di negara mereka masing - masing dalam sesi bertajuk “ISQua First Quality Competition.” Sesi ini berlangsung dari pagi hingga sore dan mendapat sambutan antusias dari peserta konferensi.
Sesi pra konferensi yang keenam berbentuk lokakarya dengan tema “Developing Quality Improvement Skill Workshop,” yang mengajak peserta untuk belajar bagaimana menyatukan ide - ide peningkatan mutu ke dalam praktik sehari - hari berdasarkan Deming’s Profound Knowledge.
Sesi prakonferensi terakhir diselenggarakan oleh WHO untuk membahas isu mengenai pengurangan kejadian bahaya yang terkait dengan proses pengobatan. WHO dalam kesempatan ini menginisiasi WHO Global Patient Safety Challenge dengan medication without harm sebagai topik utamanya.
Hari pertama diakhiri dengan acara ramah tamah yang diinisiasi oleh pengurus ISQua untuk menjamu tamu - tamu yang telah datang untuk hadir dalam helatan konferensi internasional ISQua yang ke - 36 ini. Konferensi akan secara resmi dimulai esok harinya dan para peserta sudah penasaran akan ada ide - ide apa yang didatangkan dalam konferensi ini.
Hari Pertama
Senin, 21 Oktober 2019
Konferensi dibuka pada pukul 8.30 SAST, diawali dengan pementasan tarian tradisional, paduan suara anak - anak, dan pidato pembukaan dari Menteri Kesehatan Afrika Selatan, Dr. Zweli Mkhize; Ronnie van der Merwe (dari Mediclinic); dan penerima anugerah John Ware and Alvin Tarlov Career Achievement Award, Albert Wu. Sambutan presiden ISQua, Wendy Nicklin, menjadi penanda dibukanya konferensi internasional ISQua yang ke - 36.
Dengan adanya ratusan presentasi dan poster yang diterima oleh panitia konferensi, hari pertama berlangsung cukup padat dengan banyak sesi paralel yang berlangsung. Panitia juga mengadakan beberapa sesi pleno dengan beberapa isu yang menarik banyak peserta untuk berpartisipasi. Sesi-sesi pleno di hari pertama ini sebagian besar bertemakan penggunaan data untuk meningkatkan mutu, meningkatkan keamanan (safety), menjaga biaya, dan mengestimasi outcome serta untuk memicu inovasi, perbaikan, dan implementasi.
Salah satu sesi pagi yang kami ikuti bertemakan “Managing Quality and Containing Costs in Private Healthcare Funded Programs.” Barry Childs, pembicara pertama di sesi ini memamerkan penggunaan data - data di rumah sakit untuk membuat sebuah visualisasi benchmark untuk memantau bagaimana mutu pelayanan dan biaya yang dikeluarkan rumah sakit. Barry menekankan pentingnya visualisasi ini untuk memonitor status mutu yang dijalankan oleh sebuah rumah sakit dan merupakan insight berharga bagi pengembangan strategis dalam peningkatan mutu RS ke depannya. Meski demikian, tantangan terberat, ujarnya, datang dari buruknya kualitas data sehingga perlu digunakan beberapa proxy untuk menggambarkan suatu indikator yang ingin diketahui.
Masih di sesi yang sama, Morgan Chetty mengemukakan pentingnya peer review atau yang ia sebut dalam kasus pelayanan kesehatan sebagai peer mentoring. Peer review atau peninjauan praktik profesi oleh sesama profesional menurutnya merupakan bagian penting dalam pemeliharaan dan penguatan kapasitas klinis dan profesional tenaga medis. Para tenaga medis yang terlibat dalam skema peer review ini diajari mengenai kemampuan negosiasi, isu - isu etis dalam pelayanan kesehatan, pemantauan yang efisien dan efektif biaya, serta ide - ide mengenai manajemen aktuarial data, pengaturan risiko, dan berbagai topik klinis dari panduan terbaru.
Sesi lain yang berlangsung hari ini adalah i yang disponsori oleh PharmAccess, sebuah perusahaan yang bergerak di pengembangan teknologi digital untuk pelayanan kesehatan, terutama penyediaan akses layanan kesehatan yang lebih baik untuk orang - orang di negara - negara Afrika. Salah satu produk PharmAccess adalah M-TIBA yang diluncurkan di Kenya. M-TIBA yang terkoneksi dengan skema asuransi kesehatan pemerintah CarePay merupakan platform dompet elektroinik yang memfasilitasi jalannya cakupan kesehatan semesta di Kenya. Peserta CarePay menggunakan M-TIBA untuk mendapatkan asuransi, menyimpan uang, membayar pelayanan kesehatan keluarga, bahkan membantu pemerintah mensubsidi pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu dengan cara yang langsung dan transparan.
Sesi lainnya berbicara mengenai keamanan pasien (patient safety) yang dibawakan oleh para pembicara dari Amsterdam University Medical Center yang memperkenalkan metode FRAM Functional Resonance Analysis Method (FRAM). Hadirnya FRAM diinisiasi oleh ide yang dicetuskan Erik Hollnagel, bahwa fokus pada mencegah terjadinya adverse outcomes atau kesalahan yang timbul dari suatu praktik pelayanan kesehatan, atau yang ia sebut sebagai Safety - I, tidak cukup untuk mengatasi kompleksitas sistem kesehatan dimana banyak masalah yang tidak terdefinisikan dapat muncul begitu saja. Karenanya selain melakukan mitigasi risiko yang berfokus pada kejadian tidak diinginkan, pelayanan kesehatan seharusnya juga memastikan bahwa segala hal yang berlangsung sehari - hari dalam lingkup layanan kesehatan berjalan dengan baik dan sehat. Pendekatan ini ia sebut Safety - II. FRAM membantu menyediakan kerangka kerja untuk menganalisis proses sehari - hari dalam menjaga kualitas pelayanan dengan mempertimbangkan komplikasi suatu proses terhadap proses lainnya. FRAM juga memastikan pelayanan kesehatan dapat mengumpulkan data yang tepat dan apa yang perlu dilihat dalam menjaga mutu pelayanan kesehatan.
Terdapat banyak sesi yang menarik sekaligus membuka mata kita mengenai bagaimana mengelola mutu kesehatan oleh banyak pembicara dari berbagai sudut pandang. Sesi pleno terakhir dibawakan oleh Margaret Kruk dan Laetitia Rispel. Mereka berbicara mengenai pengembangan sistem kesehatan bermutu tinggi dan apa yang perlu dilakukan untuk mencapainya. Mereka mengusulkan empat kemungkinan intervensi: mengatur dengan kualitas sebagai tujuan, desain ulang pemberian layanan yang berfokus pada mutu, mentransformasi tenaga kerja dengan pendidikan klinis berbasis kompetensi, dan memicu permintaan akan kualtias dengan mengedukasi masyarakat mengenai hak - hak kesehatan mereka. Pleno ini memberikan temuan dan rekomendasi mengapa intervensi - intervensi tersebut perlu untuk dilakukan (artikel mengenai sistem kesehatan bermutu tinggi dapat diperoleh di sini). Pleno ini sekaligus menutup kegiatan konferensi di hari pertama.
Hari Kedua
Selasa, 22 Oktober 2019
Sorotan pada hari kedua dapat ditemui di sesi pleno pertama. Sesi ini diisi oleh Paul Batalden dan Rocco Perla. Paul Batalden membuka presentasinya dengan pertanyaan yang menghentak mengenai berapa banyak sebenarnya keuntungan yang kita peroleh dari memandang pelayanan kesehatan sebagai sebuah enterprise atau usaha komersial di mana kata - kata seperti sistem, proses, hubungan pelanggan - penyuplai, unwanted variation, atau resiliensi merupakan fokus dalam perkembangan sebuah pelayanan kesehatan? Cara berpikir tersebut, ia sebut sebagai Quality 2.0, telah membawa perubahan yang besar dalam pelayanan kesehatan dalam beberapa dekade terakhir, tetapi apakah cara berpikir tersebut akan tetap efektif dalam beberapa dekade ke depan? Paul mengajak peserta untuk berpikir lebih dalam mengenai apa yang dimaksud “service” dan “value” dan bagaimana “service” berbeda dengan “product”. “Service”, menurutnya, selalu di koproduksi oleh beberapa pihak dengan satu atau lain cara. Jika kita melihat layanan sebagai sebuah “service”, ia seharusnya merupakan koproduksi oleh berbagai pihak yang terlibat dimana pasien dan dokter merupakan pusat dari interaksi tersebut. Koproduksi ini melahirkan sebuah “value” atau nilai bagi sebuah produk atau layanan. Koproduksi mengajak kita untuk melihat ulang peran dari kedua pihak tersebut dan bagaimana mereka dapat saling bekerjasama untuk melahirkan sebuah layanan yang bernilai dan maksimal baik untuk pasien maupun dokter.
Rocco Perla menimpali apa yang disampaikan Paul Batalden dengan cerita pribadinya. Rocco menceritakan pengalamannya saat masih bekerja di Medicare. Di salah satu perjalanannya, ia berbicara dengan sopir taksi dan di tengah obrolan ia mengatakan bahwa ia bekerja di Medicare. Si sopir taksi, mendengar hal tersebut mengatakan pada Rocca, “Medicare has failed me (Medicare mengecewakan saya).” Sang sopir merupakan korban dimana upaya untuk mengefisiensikan biaya yang dirancang oleh pemerintah membuatnya tidak dapat terlindungi pengeluaran katastrofik dari operasi pinggang yang membuatnya harus menanggung hutang yang sangat besar. AS dan banyak negara lainnya menganut paham Triple Aim yaitu memperbaiki layanan medis, meningkatkan kesehatan, dan mengurangi biaya. Meski telah begitu banyak energi, inovasi, dan uang diinvestasikan dalam meningkatkan kualitas layanan medis dan mengurangi biaya, tujuan untuk meningkatkan kesehatan terbengkalai. Rocco menyebutkan bahwa metode - metode yang kita gunakan, pertanyaan - pertanyaan yang diajukan, data yang kita peroleh untuk menjawabnya, pilihan yang kita ambil karenanya memprioritaskan biaya dan pelayanan dengan mengorbankan kesehatan. Rocco mengambil contoh bagaimana status kesehatan di Amerika Serikat semakin memburuk tiap tahunnya. Ia secara tidak sengaja menemukan grafik yang menunjukkan meningkatnya warga Amerika yang kelaparan tiap tahunnya sejak resesi ekonomi 2008. Hal ini tidak pernah ia lihat saat ia bekerja di Medicare, dan hal tersebut tidak akan begitu diperhatikan oleh Medicare bahkan departemen kesehatan karena mereka menganggap bahwa lingkup kebijakan mereka hanya pada penyediaan layanan kesehatan. Rocco mengajak peserta untuk bertanya dan berpikir kembali, seperti inikah seharusnya sebuah upaya kesehatan? Rocco mengamini bahwa koproduksi seharusnya menjadi sebuah upaya untuk memastikan pasien mendapatkan “kesehatan” dan bukan hanya layanan kesehatan. Hal ini tentunya membawa konsekuensi pada sebuah tuntutan bagi perubahan sistem kesehatan yang lebih integratif dan tidak hanya melibatkan lembaga yang secara tradisional mengurusi kesehatan.
Kedua presentasi tersebut membawa semangat yang merupakan tema padfa hari kedua ini: koproduksi. Membuat sebuah value memerlukan kerjasama dari banyak pihak. Hal tersebut turut ditekankan dalam presentasi yang dibawa oleh Insan Rekso Adiwibowo, peneliti PKMK FK-KMK UGM yang menceritakan mengenai aktivitas Pelayanan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Pandu - PTM). Pandu - PTM ialah program Kementerian Kesehatan yang merupakan adaptasi dari WHO Package of Essential Non-communicable Diseases Intervention (WHO - PEN) di dalamnya mencakup kerangka menyeluruh dari deteksi kasus, penentuan faktor risiko, perawatan, monitoring, hingga penghitungan biaya di level puskesmas. Indonesia mengadaptasi kerangka ini dalam konteks Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) dimana masyarakat diajak untuk turut berkoproduksi dalam deteksi kasus dan identifikasi faktor risiko melalui kegiatan Posbindu - PTM. Insan memberikan evaluasi dari penyelenggaraan Pandu - PTM dengan contoh kasus puskesmas - puskesmas Pandu - PTM di Kulon Progo melalui riset yang dilakukan bersama Shita Listyadewi dan Yodi Mahendradhata, disponsori oleh Kemenkes RI serta WHO. Dari riset tersebut, Insan mengemukakan bahwa dalam mengukur dan mengevaluasi kualitas tidak cukup dilakukan hanya dengan melakukan observasi pelayanan yang diberikan oleh dokter atau dengan melakukan tes terhadap pengetahuan dokter, tetapi juga menyelidiki pengalaman pasien dalam menerima layanan. Triangulasi ini penting agar ketidaksesuaian layanan dapat dilihat dan bagaimana sistem terlibat di dalamnya.
Berbagai sesi diselenggarakan dengan membahas bagaimana peran koproduksi dalam layanan kesehatan semesta, mengeksplorasi penghalang dalam mencapai akses universal terhadap layanan kesehatan primer yang terkoproduksi, serta berbagai tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai koproduksi dalam layanan kesehatan. Hari kedua ditutup dengan sesi pleno yang menekankan pentingnya kepemimpinan dalam membawa implementation change dalam kualitas dan keamanan.
Hari Ketiga
Rabu, 23 Oktober 2019
Hari ketiga ditandai dengan presentasi oleh Erik Hollnagel dan Tommaso Bellandi yang mengajak peserta melihat lebih dalam mengenai kemananan pasien (patient safety) dari faktor manusia dan bagaimana pemahaman ini dapat membangun resiliensi dalam sistem. Dengan memberikan contoh berbagai penelitian dan inovasi mengenai Human Factors and Ergonomics (HFE) dalam level makro, meso, maupun mikro serta bagaimana inovasi tersebut mampu membuat sistem yang lebih baik.
Konferensi ISQua ke - 36 di hari ketiga ini bertemakan keamanan pasien. Panitia mengadakan sesi - sesi bertajuk Leraning Journeys di mana peserta dapat mempelajari mengenai isu keamanan pasien dalam tiga level, pemula (begginner), menengah (intermediate), dan lanjut (advanced). Di sesi pemula, peserta diajak untuk menyimak mendefinisikan keamanan pasien dan berbagai pendekatan dalam keamanan pasien dan sains yang mendasarinya. Sesi yang dipandu oleh Sara Albolino ini juga mengajak peserta untuk mengeksplorasi keamanan dari perspektif pasien dan memperkenalkan tools kunci yang digunakan dalam kemanan pasien.
Sesi learning journeys mengenai keamanan pasien level menengah mencoba menggali prioritas - prioritas kunci apa yang menandai keamanan pasien di dunia dan merefleksikan pengaruh konteks serta budaya dalam kemanan pasien. Peserta diajak untuk membentuk jejaring keamanan pasien yang dapat dibentuk di negara - negara yang memiliki prioritas dan pengalaman yang serupa dan saling belajar mengenai best practice dari satu sama lain. Sesi ini memberikan kesempatan pembicara dari Amerika Latin untuk menceritakan kesuksesan penyebaran strategi peningkatan mutu pelayanan sebagai saran untuk pembelajaran peserta mengenai aspek yang dapat ditingkatkan untuk mempercepat peningkatan mutu pelayanan di negara masing - masing.
Learning journeys level lanjut berpusat pada debat mengenai bagaimana cara untuk memperoleh strategi keamanan pasien yang baik, apakah dengan implementation science ataukah improvment science. Sementara improvement science merujuk pada upaya level sistem untuk meningkatkan mutu, keamanan, dan nilai pelayanan kesehatan, implementation science berfokus pada upaya sistematis untuk mengangkat intervensi berbasis bukti ke dalam praktik dan kebijakan. Para pembicara berpendapat bahwa kedua terminologi tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang sama dan bagaimana keduanya dapat digunakan untuk membuat layanan kesehatan lebih aman. Peserta diajak mengevaluasi argumen yang mendukung dan menolak baik improvement science maupun implementation science dan bagaimana mensintesiskan kedua pendekatan tersebut untuk mendapatkan metode terbaik dalam menghasilkan pelayanan kesehatan yang lebih aman.
Pada sesi penutup, panitia mengundang Claire Coetzee dari angkatan bersenjata Afrika Selatan untuk berbagi pengalaman mengenai mutu dan keamanan yang dilakukan seorang pilot helikopter militer. Sebagai seorang pilot militer, Claire seringkali menghadapi situasi - situasi sulit yang dapat mengancam nyawa dan sangat berbahaya. Claire dituntut untuk dapat melakukan pendaratan yang sulit, melakukan beberapa tugas yang membutuhkan kemampuan mengemudikan helikopter yang tinggi. Claire pun diharuskan dapat berkomunikasi dengan orang - orang dari berbagai negara dalam berbagai misi PBB yang ia jalankan dimana hal tersebut vital untuk koordinasi strategi dan menjamin keamanan misi. Claire menyebut tiga hal utama yang ia pelajari dari pengalamannya sebagai pilot militer, yaitu: pengetahuan adalah kekuatan, komunikasi merupakan kunci, dan berlatih, berlatih, berlatih. Menurutnya keamanan hanya dapat diperoleh ketika seseorang memiliki pengalaman yang memadai. Setiap orang yang menempati kursi pilot harus dipersenjatai dengan informasi, pengetahuan, pelatihan, keterampilan, dan penilaian untuk dapat menguasai pesawat terbang dengan utuh beserta seluruh komponen dan sistemnya dan berbagai situasi yang dapat secara bersamaan dan berkelanjutan terjadi selama penerbangan. Hal ini juga berlaku dalam hal penyediaan layanan kesehatan, ujarnya.
Setelah presentasi tersebut, presiden ISQua Wendy Nicklin menutup acara dengan memberikan beberapa ide - ide kunci yang muncul selama konferensi ISQua ke - 36 ini, dari peningkatan kualitas SDM kesehatan melalui pendidikan dan lingkungan kerja yang nyaman, koproduksi, peran teknologi dalam kesehatan, bagaimana seringkali metode membutakan kita dari melihat perbedaan antara kesehatan dan pelayanan kesehatan, bagaimana membentuk budaya mutu, hingga pentingnya untuk merayakan kesuksesan dan mendengarkan pasien. Kesemuanya, ujarnya, merupakan bagian dalam satu perjalanan menuju kualitas kesehatan yang lebih baik. Pernyataan tersebut menandai berakhirnya konferensi ISQua ke-36 ini.