Reportase Seventh Global Symposium on Health Systems Research
Bogota, 31 Oct – 4 Nov 2022
Simposium Global dalam Health Systems Research adalah forum global yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali sejak 2010, dan didukung sepenuhnya oleh WHO serta Alliance for Health Policy and Systems Research. Tahun ini, symposium dilaksanakan di Bogota, Kolombia, dengan tema “Health Systems Performance in the Politican Agenda: Sharing lessons for current future global challenges.”
Lebih dari 1000 orang berpartisipasi dari seluruh penjuru dunia untuk mengikuti sesi-sesi dengan berbagai sub-tema yaitu:
- Kolaborasi intersektoral dan tata kelola yang integratif
- Politik dan kebijakan untuk sistem kesehatan
- Dinamika layanan kesehatan untuk mendorong equity
- Layanan primer yang komprehensif untuk mendorong keberlanjutan
Reportase ini disusun untuk mengangkat beberapa isu yang relevan untuk Indonesia dari semua sub-tema besar tersebut.
Topik pertama yang menarik dalam simposium ini terkait kerangka pendekatan baru yang diperkenalkan oleh WHO untuk membantu pemerintah dalam melakukan tata Kelola yang inklusif (mencakup seluruh sistem kesehatan, baik sektor publik maupun swasta).
Sesi ini berjudul “Who, what, why and how: a behavioral approach to governing the private sector in health”. Dalam sesi ini dibahas tentang temuan-temuan bahwa walaupun upaya pelibatan sektor swasta telah didorong sejak 30 tahun lalu, WHO menemukan bahwa mayoritas pemerintah belum memiliki tata kelola yang secara seimbang memberikan perhatian kepada seckor swasta dan public. Kebanyakan pemerintah mengakui adanya sektor swasta (dan dalam banyak kasus, sektor swasta merupakan separuh dari sistem kesehatan yang melayani masyarakat, mulai dari layanan primer, rujukan, laboratorium, farmasi, dan seterusnya), tetapi tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai sektor swasta. Oleh karena itu WHO merasa perlu untuk memperkenalkan pendekatan baru sebagai bagian dari report terbaru mereka berjudul “Engaging the private health service delivery sector through governance in mixed health systems”
WHO Engaging private health delivery sector
Sebagai steward dalam sistem kesehatan, pemerintah diharapkan dapat menerapkan enam pendekatan behavioral untuk dapat lebih mendorong keterlibatan antara sektor publik dan swasta secara lebih efektif. Prinsip-prinsip pendekatan behavioral ini mencakup: (1) Menyusun strategi yang berfokus pada pengaturan institutional untuk mencapai kinerja sistem kesehatan yang diharapkan; (2) Menyelaraskan struktur dari sistem kesehatan sebagai campuran antara sektor public dan swasta secara lebih integratif; (3) Membangun pemahaman satu sama lain dengan cara memfasilitasi pertukaran informasi; (4) memberdayakan para pemangku kepentingan dengan cara menciptakan insentif bagi semua pihak untuk berkontribusi terhadap pencapaian tujuan nasional; (5) Mendorong terciptanya hubungan diantara sektor publik dan swasta dengan cara menciptakan mekanisme yang memungkinkan semua pihak berkontribusi dalam pengambilan kebijakan dan perencanaan, serta (6) menumbuhkan rasa saling percaya melalui system yang transparan, akuntabel dan inklusif.
Ini merupakan pendekatan yang menarik dan tepat waktu bagi Indonesia untuk dalami lebih lanjut mengingat Kementerian Kesehatan baru saja mengeluarkan PMK Nomor 27 Tahun 2022 tentang Kerjasama Pemerintah Swasta bidang Non Infrastruktur Kesehatan. Hal ini tentunya akan menuntut pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk segera meningkatkan kemampuan mereka untuk menjamin tata kelola yang baik untuk sektor swasta maupun public di wilayahnya masing-masing agar dapat mencapai tujuan dan prioritas kesehatan nasional.
Sesi lain yang juga menarik adalah pengenalan dan pembelajaran dari program Momentum yang diprakarsai oleh USAID (yang telah dimulai 2020 dan akan berakhir pada 2025) untuk meningkatkan kapasitas penyedia layanan swasta untuk melaksanakan layanan yang bermutu dan berbasis evidence, khususnya untuk KIA/KB/Kespro. Strategi yang dilakukan adalah dengan cara:
- Menggunakan total market approach, yaitu memastikan bahwa seluruh penyedia layanan yang ada di wilayah intervensi bersama-sama meningkatkan layanan yang bermutu namun efektif dan berbasis evidence;
- Melibatkan sektor swasta dengan cara melakukan konsultasi dengan mereka dan membangun strategi bersama-sama;
- Pendekatan lokal, yaitu berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lokal untuk memastikan keberlanjutan dari upaya yang tengah dibangun, dan
- Berfokus pada person-centered care, sehingga layanan diintegrasikan secara lebih efektif dan para tenaga kesehatan dikembangkan kapasitasnya untuk melakukan pelayanan yang berkualitas dan menghormati pasien dan keluarganya. Perlu diketahui bahwa kegiatan Momentum juga sedang dilaksanakan di Indonesia oleh mitra-mitra pelaksana.
Salah satu sesi lain yang menarik adalah sesi yang berisi latihan kelompok diantara peserta untuk mengidentifikasi “Policy Engagement in Health Policy and Systems Research: Do’s and Don’ts”. Beberapa hal kunci dalam Latihan kelompok adalah memastikan bahwa pemangku kepentingan yang berbeda mungkin perlu diidentifikasi dan dilibatkan dalam tiap tahap dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan, mulai dari mendefinisikan pertanyaan penelitian, memastikan kesesuaian dengan konteks, mengideinfitikasi kebutuhan untuk kapasitas yang diperlukan, hingga tahap interpretasi terhadap data yang dihasilkan dan Kembali meletakkannya pada konteks yang sesuai, serta akhirnya menerjemahkannya dalam bentuk knowledge translation yang dipahami oleh para pemangku kepentingan. Selain itu, disoroti pula pentingnya untuk memandang para penerima manfaat sebagai bagian dari pemangku kepentingan, sehingga keterlibatan mereka sangat krusial dalam beberapa tahapan tersebut. Keterlibatan pemangku kepentingan yang berbeda pada tiap tahap ini akan membantu meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan dukungan dari para pemangku kepentingan (termasuk para pembuat kebijakan). Sesi ini mengingatkan kita sebagai peneliti untuk berpikir jauh lebih terbuka mengenai siapa saja stakeholder dalam penelitian kita dan melibatkan mereka sejak awal.
Topik yang patut disorot adalah upaya untuk meningkatkan layanan untuk BBLR berjudul “The Way Forward for Sick and Small Newborn Care: Innovation and Models of Care from the Perspective of Diverse Stakkeholders”, sebuah sesi yang dilaksanakan oleh UNICEF. Disadari bahwa BBLR yang tidak ditangani dengan tepat meningkat risiko kematian bayi, sehingga investasi lebih besar perlu dibuat oleh pemerintah untuk membuat perencanaan menangani tersedianya layanan untuk BBLR di fasilitas kesehatan, pada setiap tingkat dari tingkat layanan tertinggi hingga tingkat yang paling dekat dengan masyarakat. Perlu pula memastikan essential newborn care and KMC di semua faskes. Tantangan utamanya tentu saja adalah memastikan tersedianya tenaga kesehatan yang tersedia pada setiap level layanan tersebut.
UNICEF mengingatkan bahwa Investasi yang diperlukan bukan hanya pembangunan infrastruktur dan peralatan tetapi juga pemeliharaannya. Perlu pula dipastikan bahwa peralatan yang dipersiapkan harus bisa digunakan di fasilitas kesehatan tersebut (daya listrik yg tersedia, tenaga yang bisa mengoperasikan dengan benar/dapat dilakukan melalui panduan video atau juga peer-to-peer training, ketersediaan kemampuan untuk melakukan perbaikan dan perawatan yang diperlukan di tingkat lokal sehingga mengurangi waktu downtime). Perlu pula standarisasi, baik dalam standarisasi infrastruktur yang diperlukan pada setiap level, standarisasi untuk SDM yg dibutuhkan pada setiap level, standarisasi untuk pembiayaan yang dibutuhkan pada setiap level, (hingga ke line budgetnya) sehingga dapat dengan mudah diaplikasikan di daerah lain yang membutuhkan. Hal terakhir yang dibutuhkan adalah: standarisasi untuk pencatatan dan pelaporan pada setiap level, dan hal ini sebaiknya dalam proses digitalisasi untuk memudahkan analisis dan evaluasi terhadap apa yang terjadi di setiap faskes tersebut. Kebijakan juga perlu dibuat untuk memastikan bahwa ibu dan keluarga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan BBLR tersebut, artinya, perencanaan mengenai kebutuhan makan, sanitasi dan juga akomodasi bagi para ibu dan keluarga juga harus dilakukan. Hal terakhir yang merupakan bagian dari layanan BBLR adalah memastikan bahwa post-discharge para ibu dan bayi harus dipantau secara teratur oleh tenaga kesehatan atau oleh kader kesehatan (home visit).
Intervensi yang dilakukan di tingkat komunitas dipresentasikan oleh project LIFE ( Low Birthweight Infant Feeding Exploration Study) yang dilakukan di India, Tanzania dan Malawi. Penelitian cohort ini menelusuri pola makan yang diberikan kepada BBLR dan terlihat bahwa mayoritas ibu menerima setidaknya satu kali konseling mengenai pola menyusui dan pemberian makanan untuk meningkatkan pertumbuhan bayi, namun mayoritas bayi ternyata tetap tidak mendapatkan ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama. Oleh karena itu, rekomendasi dari project ini adalah:
- Meningkatkan kemungkinan atas hasil pertumbuhan bayi yang lebih baik. Hal ini dilkakukan dengan secara proaktif mengidentifikasi dan memprioritaskan sumber daya untuk memastikan layanan BBLR yang paling beresiko. Melakukan evaluasi setelah 2 minggu untuk melihat dampak dari pola menyusui dan pemberian makanan terhadap pertumbuhan bayi
- Memperbaiki strategi dengan cara selalu melakukan assessment terhadap faktor risiko dan intervensi yang sesuai,
- Meningkatkan dukungan untuk ASI dan pemberian makanan yang bergizi, termasuk dukungan bimbingan dan bahkan finansial untuk meningkatkan akses bayi terhadap sumber makanan yang bergizi. Hal ini tidak hanya perlu dilakukan di tingkat komunitas tetapi harus diterjemahkan dalam bentuk dukungan dan perencanaan dari pemerintah.
Hal ini juga relevan untuk konteks Indonesia yang juga masih mengalami angka BBLR yang tinggi secara nasional dan adanya kebutuhan untuk melakukan inovasi pada daerah-daerah prioritas tertentu dimana BBLR juga diikuti oleh AKB yang tinggi. Sistem Kesehatan kita perlu lebih memahami kebutuhan ibu dalam mendisain layanan dan dukungan yang mereka perlukan dalam merawat BBLR tidak hanya di fasilitas, namun juga dukungan yang mereka perlukan ketika mereka telah berada di rumah.
Sesi lain berjudul Accelerating the development of Health Policy and Systems Research capacity for Health System strengthening. Sesi ini membahas tentang bagaimana cara membangun critical mass, sekelompok besar orang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang up-to-date tentang health policy and systems agar siap untuk menghadapi perubahan yang akan dihadapi. Untuk ini TWG telah menghasilkan sebuah framework yang menggambarkan berbagai dimensi dalam capacity strengthening: pada level individual, pada level institusional dan level network. Beberapa prinsip dalam capacity strengthening adalah pemahaman mengenai konteks, dilandasi oleh semangat untuk sharing dan kolaborasi. Selain itu capacity strengthening juga harus diarahkan kepada value tertentu yang ingin dicapai misalnya equity dan inclusivity.
Pengalaman dari Malaysia menunjukkan beberapa poin pembelajaran bagaimana mengakselerasi dan menginstitusionalisasi proses capacity strengthening dalam tiap tatanan. Untuk memastikan hal ini, maka pertama perlu dilakukan capacity assessment (memahami capacity apa yang kita sudah miliki dan masih yang dibutuhkan) kemudian menerapkan capacity strengthening models (working within a system), tetapi setelah itu perlu dilakukan policy engagament yaitu membangun konsensus dan komitmen untuk kemudian menginstitusionalisasinya dalam bentuk arah/kebijakan.
Pada sesi plenary, topik utama yang diangkat mengenai Politics and Policies of Health System. Plenary ini diisi oleh pembicara utama, Michael Reich (Prof. Emeritus Harvard, dan salah satu penulis buku Getting Health Reform Right). Michael menyampaikan beberapa refleksi dari pengalamannya selama 50 tahun dalam topik politics dan policies. Pertama, bahwa akan selalu ada pihak yang powerless dalam suatu sistem (dan ‘powerless’ selalu bersifat relative terhadap power yang dimiliki oleh pihak lain, baik bersumber pada uang, organisasi, posisi, atau hal-hal lain, baik material mau pun immaterial). Sehingga social protest biasanya menjadi salah satu cara yang dipakai oleh kelompok yang powerless ini untuk mengubah dinamika power diantara para aktor, dan memiliki potensi untuk mengubah kebijakan. Artinya, apabila kelompok yang powerless ini memiliki visi yang sama, mereka dapat secara bersama-sama membuat perubahan kebijakan (contoh: kelompok pembela hak perempuan dalam Kesehatan reproduksi, atau kelompok anti tembakau). Kedua, pimpinan politik juga bisa berada pada posisi powerless dalam situasi-situasi tertentu, misalnya Ketika mereka tidak bisa bertahan terhadap tekanan dari lobby kelompok kepentingan tertentu. Namun pimpinan politik dapat mengubah posisi mereka menjadi powerfull ketika mereka mengambil sikap tegas dalam membuat kebijakan. Terkadang dalam hal ini hanya diperlukan satu atau beberapa orang yang menjadi policy champion di dalam pemerintahan. Namun, situasi politik sangat cepat berubah sehingga biasanya kekuasaan tersebut tidak bertahan lama. Artinya, pimpinan politik dan konteks politik tertentu dapat menciptakan momentum untuk perubahan. Ketiga, peran dari analisis politik dapat menjadi salah satu tool yang digunakan untuk memberikan power kepada mereka yang powerless. Artinya, para pelaku sektor kesehatan perlu menerapkan analisis politik untuk bisa mengidentifikasi beberapa faktor dan sekutu untuk suatu perubahan kebijakan. Contohnya, adalah analisis politik yang dilakukan terhadap keberhasilan reformasi tentang cukai untuk minuman berpemanis di Meksiko, yang berhasil mendorong isu ini menjadi agenda kebijakan, yang berhasil membalik kelompok konsumen (yang tadi powerless, menjadi powerful) terhadap industri minuman berpemanis (yang sebelumnya sangat powerfull).
Refleksi tersebut menggarisbawahi bahwa perubahan kebijakan dapat bersumber dari dalam pemerintah, atau dapat didorong dari luar pemerintah. Namun untuk bisa menghasilkan perubahan yang diharapkan, diperlukan pemanfaatan semua factor-faktor penggerak perubahan. Dicontohkan di Thailand bahwa bukan hanya soal adanya pergantian politik dan pimpinan politik, melainkan juga reformasi kesehatan telah menunjukkan trajectory positif menuju ke arah yang lebih equitable. Hal ini dimungkinkan karena Thailand menggunakan prinsip the triangle that moves the mountain, yaitu knowledge production, policy engagement dan social engagement. Salah satu komponen terpenting yang membantu reformasi Kesehatan di Thailand adalah keterlibatan para dokter khususnya rural dokter sebagai bagian dari proses penyusunan reformasi tersebut, karena posisi unik mereka di dalam sistem kesehatan (yang dikenal sebagai konsep ‘street level bureaucracy’ dalam politik). Dibutuhkan kemampuan untuk mendengarkan dan berempati dengan kebutuhan practical yang dirasakan oleh pihak-pihak yang akan melaksanakan (end-user) reformasi yang diusulkan, dan apa yang dirasakan oleh para beneficiaries dari reformasi tersebut.
Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan bagaimana social/community tidak semakin berjarak baik terhadap pemerintah maupun dalam hal knowledge production. Hal ini dicontohkan dalam kasus bagaimana Ukraina berhasil membuat konsep reformasi kesehatan yang didisain oleh steering group yang terdiri berbagai kelompok profesi, dan juga kelompok pasien, kelompok masyarakat, dan sekelompok teknokrat dan juga expert/akademisi. Konsep yang didesain ini kemudian dikonsultasikan kepada masyarakat dan pemerintah daerah selama dua bulan untuk mendapatkan masukan, kemudian baru difinalisasi. Setelah konsep difinalisasi steering group ini juga melakukan sosialisasi secara berkeliling Ukraina untuk Kembali melakukan konsultasi kepada masyarakat dan pemerintah daerah untuk mendapatkan dukungan dari para implementers dan beneficiaries, memastikan bahwa steering group memperhatikan potensi-potensi kesulitan dalam implementasi dengan cara memperhatikan keluhan dan keprihatinan dari para pelakunya. Setelah itu, steering group ini disampaikan kepada Menteri Kesehatan, dan Menteri Kesehatan melakukan lobbying kepada parlemen selama 6 bulan untuk mendapat persetujuan agar UU reformasi Kesehatan ini dapat disahkan. Jadi proses ini menggarisbawahi perlunya inklusivitas dalam penyusunan reformasi kesehatan.
Selain itu, unsur economic inequity juga sangat mempengaruhi situasi di sistem kesehatan, misalnya dalam hal ketidakseimbangan investasi untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan layanan primer, pemotongan anggaran kesehatan khususnya selama masa pertumbuhan ekonomi mengalami tekanan. Oleh karena itu, analisis terhadap kebijakan sebaiknya juga mencakup bukan hanya aspek politik tetapi juga ekonomi. Diharapkan bahwa dengan dimanfaatkannya dua pendekatan ini bisa diperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai reformasi yang diupayakan dan dapat secara efektif mencapai tujuannya.
Sesi lain yang cukup penting terkait evaluasi, khususnya ketrampilan untuk melakukan evaluasi untuk inovasi dalam layanan tingkat primer, sesi ini berjudul Making Change Visible: tools for people-centered evaluation of primary health care innovation and reform. Sesi ini membahas tentang pendekatan social participation in health. Evaluasi ini dilakukan dengan mengikuti proses evaluasi pada umumnya yaitu menyusun theory of change dari inovasi/reformasi yang akan dilakukan, memperoleh data dan informasi baseline, melakukan pemantauan selama implementasi dari inovasi atau reform yang dilakukan, kemudian mengkaji outcome dan impact-nya. Namun pendekatan social participation memungkinkan bagaimana hal ini dilakukan dengan melibatkan partisipasi dari para pelaksananya (tidak hanya dilakukan oleh evaluator eskternal/peneliti). Selain itu, pendekatan ini juga membuka kesempatan untuk mendapatkan data dan evidence baik pada tahap baseline, implementasi ataupun outcome yang mungkin bukan bersifat kuantitatif melainkan juga informasi pada tingkat komunitas atau penerima manfaat yang lebih bersifat kualitatif. Selain itu, pendekatan ini juga memungkinkan penghitungan cost-benefit yang tidak hanya bersifat moneter tetapi juga qualitatative benefit (misalnya growth in trust dari komunitas) sehingga memungkinkan diidentifikasinya social return on investment. Ini juga merupakan sesi yang relevan untuk Indonesia yang tengah melakukan upaya transformasi kesehatan, dimana salah satu pilar utamanya adalah transformasi layanan primer. Pendekatan ini dapat digunakan oleh para peneliti untuk melakukan evaluasi bagaimana transformasi layanan primer dilakukan dan apa dampaknya.
Pada kesempatan ini Alliance juga melakukan launching dari publikasi berjudul Systems for Health yang menggarisbawahi bahwa ada berbagai sistem yang sebenarnya perlu dibangun untuk kesehatan, dan bahwa dalam sistem terdapat ruang bagi setiap pihak untuk berperan.
Systems for Health
Secara umum, simposium ini kembali mengingatkan kita bahwa sistem kesehatan tidak pernah sempurna, dan tantangan khususnya ketersediaan dan kelangkaan SDM Kesehatan yang dibutuhkan akan selalu ada. Namun perlu diingat bahwa membangun sistem kesehatan merupakan suatu perjalanan, dan seperti perjalanan lain kita harus tahu tujuan yang ingin kita capai dan menetapkan milestones apa yang ingin kita capai untuk memantau sudah seberapa dekat kita (atau masih seberapa jauh kita) dari tujuan yang ingin kita capai.
Bogota, November 2022
Shita Dewi
Kepala Divisi Public Health, PKMK UGM