Hari Pencegahan Bunuh Diri, Pentingnya Kesehatan Jiwa Sejak Dini
Badan Kesehatan Dunia WHO memperkirakan ada lebih dari 800 ribu orang di dunia meninggal karena bunuh diri, atau 1 kematian setiap 40 detik. Karena itu, keluarga, guru maupun masyarakat untuk ikut menanamkan nilai-nilai kesehatan jiwa sejak awal kehidupan anak.
"Di negara maju, faktor penyebab bunuh diri banyak disebabkan gangguan depresi dan ketergantungan alkohol. Tetapi di Asia, kebanyakan berhubungan dengan impulsif," kata Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Eka Viora di Jakarta, Kamis (11/9) terkait peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri yang jatuh pada 10 September.
Dijelaskan, kesadaran dunia akan aksi bunuh diri ini menjadi penting jika melihat angka bunuh diri di dunia yang terus bertambah, terutama di negara-negara berpenghasilan tinggi. Prevalensinya sebesar 12,7 jiwa per 100 ribu penduduk. Di negara berpenghasilan rendah dan menengah prevalensinya sebesar 11,2 jiwa per 100 ribu penduduk.
"Asia Tenggara, termasuk Korea Utara, India, Indonesia dan Nepal menyumbang angka bunuh diri lebih dari sepertiga kasus bunuh diri tahunan di seluruh dunia," kata Eka Viora yang pada kesempatan itu didampingi Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSPKJI), Darnadi.
Pada 2012, lanjut Eka Viora, bunuh diri menjadi penyebab utama kematian secara global nomor 5, setelah jantung, stroke, kanker dan AIDS. Mereka berada di usia 30-49 tahun.
"Makin kesini, usia mereka yang bunuh makin muda. Anak-anak usia sekolah dasar bunuh diri karena tak mampu berprestasi di sekolah atau karena putus cinta," ujarnya.
Tentang Indonesia, Eka Viora tidak menyebutkan angka penduduk yang bunuh diri secara pasti. Namun, badan kesehatan dunia WHO memperkirakan angka bunuh diri di Indonesia sebesar 1,6 per 100 ribu penduduk atau 5.000 orang per tahun.
"Penduduk Indonesia lebih tertutup soal depresi yang dihadapi. Waktu saya masih praktik, setiap minggu ada 2 orang yang dibawa ke rumah sakit akibat konsumsi obat pembasmi serangga atau obat lain yang bisa menghilangkan jiwa," ujarnya.
Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, lanjut Eka Viora, sebenarnya telah memiliki hotline atau saluran telepon khusus untuk curahan hati (curhat) bagi penderita depresi. Lewat ngobrol dengan konselor diharapkan pelaku tak lagi berpikir soal bunuh diri.
"Tapi sayangnya nomor hotline yang ditempel di fasilitas kesehatan hanya dimanfaatkan untuk bertanya seputar fasilitas kesehatan. Padahal mereka yang berjaga adalah konselor," tuturnya.
Ditambahkan, bunuh diri adalah masalah yang kompleks yang dipengaruhi berbagai faktor psikologis, sosial, biologis, budaya dan laingkungan. Karena tak ada faktor tunggal, maka pada kasus bunuh diri tidak bisa disalahkan pada satu orang seperti pelakunya, orang tua, teman atau pacar.
Upaya yang bisa dilakukan, menurut Eka Viora, dengan mengenali latar belakang kejadian yang menimbulkan depresi. Dan yang terpenting adalah dengarkan dengan penuh perhatian dan biarkan ia bicara tentang perasaannya. Hargai pemikirannya dan jangan saling menyalahkan.
"Jangan biarkan orang yang mudah depresi sendirian. Bantu atasi krisis dengan berbagai cara. Yang penting selalu terhubung," ucap Eka Viora.
Hal itu sama dengan tema peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri tahun 2014 yaitu "One World Conneted" atau Satu Dunia Terhububung. Tema tersebut mencerminkan fakta bahwa koneksi penting di setiap tingkatan, jika kita ingin memerangi bunuh diri. (TW)
{jcomments on}