Satellite Session R.1.42
Transforming Health Workforce Education for Health Equity: Practical Tools and Approaches
Kebutuhan tenaga kesehatan yang terlatih ternyata tidak hanya dialami oleh Indonesia. Hal ini juga dialami beberapa negara di dunia. Kekurangan tenaga kesehatan juga menyebabkan ketidakadilan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Sebagai contoh di Sub Sahara Africa, ketidakadilan pelayanan kesehatan disebabkan; 1) lebih dari 50% kasus kelahiran tidak ditangani tenaga kesehatan terlatih, 2) lebih dari 10 penduduk hidup dengan HIV yang tidak dapat mengakses ART, 3) dan perkiraaan kurang dari 25% yang mengakses KB. Sehingga hal ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan, dimana; 1) secara global masih kekurangan 7,2 juta dokter, perawat, dan bidan, 2) ketidak merataan distribusi tenaga kesehatan baik daerah pedesaan maupun perkotaan, 3) keahlian campuran antara jenis dan spesialisasi yang tidak dimiliki tenaga kesehatan yang dibutuhkan.
Hal-hal tersebut didukung oleh beberapa laporan yang menandai bukti-bukti dalam hal tantangan untuk tenaga kesehatan seperti; 1) laporan WHO dan rekomendasi (2006), rekomendasi peningkatan akses pendidikan bagi tenaga kesehatan didaerah pedesaan dan daerah terpencil (2010), transforming dan meningkatkan pendidikan profesional kesehatan dan pelatihan (2013), 2) Laporan di Jurnal Lancet (2010) mengenai komisi global untuk pendidikan profesional kesehatan, dimana merekomendasikan agar mereformasi instruksional dan institusional untuk menghasilkan tim tenaga kesehatan yang mampu menemukan kebutuhan kesehatan masyarakat dan merata dan efisien, 3) Konferensi Mahidol Awards di Thailand 2014, yang menjelaskan transformasi pembelajaran untuk pemerataan kesehatan, dan bagaimana reformasi bagi pendidikan pemimpin tenaga kesehatan.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan pendidikan tenaga kesehatan memiliki tantangan tersendiri. Kebutuhan di lapangan dan proses pendidikan di tingkatan lembaga pendidikan tidak sama. Bahkan lulusan yang sudah dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang banyak ditemui tidak dapat menyesuaikan kebutuhan daerah.
Untuk mengatasi hambatan pendidik tenaga kesehatan, muncul beberapa inovasi untuk membangun kapasitas institusi dalam sistem yang terhubung antara sistem kesehatan dan sistem pendidikan. Inovasi ini dijalankan dengan beberapa tools atau pendekatan yang telah dijalankan beberapa negara seperti di Kenya yaitu BBB (Bottleneck and Best Buys). BBB tools ini merupakan suatu alat untuk mengkaji atau menilai sekolah kedokteran pda sembilan bagian seperti yang telah diidentifikasi oelh WHO dan WFME. Pada bagian ini proses sistemtik menggunakan cross sectional survey untuk pengambilan datanya dan informasi yang didapatkan akan digunakan untuk menemukan bottleneck dan mengembangkan keputusan investasi berbasis bukti. BBB ini telah direview dari berbagai tingkatan dan cocok digunakan di Kenya dan inovasinya juga diadopsi atau dipergunakan.
Beberapa inovasi berhasil menemukan bottleneck gap yang berhubungan antara misi institusi dan perencanaan dan pengawasan untuk keuangannya. Kemudian menemukan gap pada penyusunan kebijakan yang dibutuhkan dan implementasinya seperti isu gender, isu tentang petunjuk teknis klinis. Ditemukan juga gap pada pengembangan fakultas, gap pada instruktur klinis, investasi pada infrastruktur dan peralatan, gap pada pendukung akademik, kemahasiswaan, dan keuangan.
Akhirnya aksi prioritas yang harus dijalankan untuk inovasi dalam mengatasi bottleneck adalah;
- Melakukan pengembangan kebijakan, mendiseminasikan kebijakan tersebut, dan melakukan advokasi,
- Pembangunan kapasitas manajemen dengan perencanaan stratejik, bisnis, dan investasi, serta juga memobilisasi sumber daya,
- Penguatan pada kurikulum pemerintah di tingkat nasional, sub nasional, dan institusi,
- Membangun kompetisi fakultas dan mengembangkannya, termasuk didalamnya yaitu instruksi klinis dan pengawasan khusus,
- Penguatan pendekatan OdeL,
- Pendekatan pada penguatan inovasi dan mobilisasi berbagai macam sumber daya dan manajemen yang ditransformasi ke sektor bisnis dan kerjasama
- Hubungan strategis dengan tingkat nasional dan sub-nasional.
Sebagai implementasi aksi untuk transformasi pendidikan kesehatan menuju keadilan kesehatan perlu dilakukan;
- mengaplikasikan pendekatan BBB,
- Meningkatkan program pendidikan bagi bidan,
- Mengadopsi pendidikan berbasis masyarakat,
- Melakukan penelusuran terhadap kelulusan mahasiswa atau alumni,
- Melakukan estimasi besarnya biaya untuk pendidikan kesehatan atau unit cost,
- Penguatan sekola melalui pembuatan keputusan berdasarkan data informasi.
Reporter: M. Faozi Kurniawan
Satellite Session R.1.63
Primary Health Care Performace Inisiative: Measurement,Learning and Improvement
PKMK – Primary Health Care (PHC) yang dikenal sebagai Puskesmas di Indonesia menjadi topik yang menarik pada sesi ini sebagai bentuk kerjasama Bill & Melinda Gates Foundation dan World Bank Group serta bekerja sama dengan Ariadne Labs dan Development Institute. Inisiatif Penilaian Kinerja PHC menghasilkan informasi untuk membantu pengambil keputusan di negara yang berpebghasilan rendah dan menengah sebagai bagian untuk meningkatkan PHC dan mancapai tujuan masyarakat yang sehat.
Inisiatif kinerja ini berfungsi mengumpulkan informasi yang sistematik tentang batasan atas kinerja bagi sistem PHC, mengeksplorasi sistem dari perspektif indovidu dengan melihat apa yang terjadi dengan fasilitas kesehatan dan progam kesehatan masyarakatnya, bagaimana pengalama di berbagai negara dan apa yang bisa diberikan kepada pembuat keputusan dan manajer sistem kesehatan dapat mencapai cakupan secara efektif dan meningkatkan hasil pelayanan kesehatan.
Komponen Inisiatif Kinerja PHC yaitu:
Pengukuran (Measurement)
Inisiatif menjadi bagian penting dari berbgai negara dengan melihat adanya data yang diperoleh sebagai bagian dari penilaian atas kinerja PHC. Insiatif ini mengukur dan mengembangkan proses secara metrik melalui literatur dan mencontoh keberhasilan yang sudah ada untuk menghasilkan pemahaman tentang sistem kinerja yang tinggi, dimana bertujuan memperbaiki sistem kinerja bagi PHC. Dicontohkan pengukuran metrik dengan alat ukur Metrik versi 1.0 dan versi yang terakhir Metrik 2.0. Alat ini menjelaskan variasi yang ada untuk kinerja dan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang investasi, kebijakan, dan praktik di lapangan untuk menghasilkan sistem kinerja yang baik.
Pembelajaran (Learning)
Komponent pembelajaran merupakan usaha yang memfokuskan pada hasil/bukti yang ada di sistem kinerja PHC dan melakukan analisis variasi pada kinerja Metrik PHC untuk memahami faktor penentu kinerja. Inisiatif ini juga menelusur pengalaman beberapa negara pada implementasi kebijakan PHC, praktik, dan pelaksanaan progam dengan tujuan mengembangkan intervensi-intervensi yang dapat diukur dan di evaluasi.
Perbaikan (Improvement)
Hal yang terakhir, inisiatif perbaikan ini bertujuan untuk mendukung PHC meningkatkan usaha atau upayanya untuk mendiagnosa proses yang telah dilakukan. Gambarannya adalah tentang pengetahuan yang dimiliki, mengevalasi dan menilai praktek dan intervensi baru dengan menggunakan tes, evaluasi, dan adaptasi baru. Inisiatif ini juga bertujuan meningkatkan kerjasama di beberapa negara dan mengembangkan hubungkan kerjasama ini.
New Measurement Domains
Kompetensi Provider
Melihat kualitas klinis, kompetensi, produktivitas dan fasilitas, serta masyarakat berbasis provider.
Motivasi Provider
Berbasis karakteristik yang instrinsik dan berbasis lingkungan yang melihat dampak lingkungan dan kinerja fasilitas dan masyarakat berbasis provider
Keberlanjutan dan Koordinasi
Menggunakan sumber daya yang ada dan mengubungkan program-program dan kegiatan pelayanan kesehatan diantara berbagai provider.
Responsif
Persepsi masyarakat pada kualitas personal dan berbagai dimensi pelayanan yang mempengaruhi penggunaan layanan.
Penguatan di Masyarakat
Pengetahuan masyarakat tentang preventif dan promotif dan dukungan terhadap PHC dari tokoh masyarakat.
Sebagai bagian terakhir, pada kesempatan ini Indonesia yang di wakili oleh Pak Pungkas dari Bappenas menceritakan gambaran PHC (Puskesmas) di Indonesia. Sistem kesehatan untuk Puskesmas telah di bangun di Indonesia meskipun memang banyak tantangan di mana jumlah Puskesmas yang semakin bertambah dan adanya sistem kesehatan baru dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dukungan pemerintah dan pemerintah daerah serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk membangun Puskesmas menjadi provider yang dibutuhkan masyarakat tidak hanya dari sisi klinis tetapi juga penguatan pda sisi promotif dan preventif.
Reporter: M. Faozi Kurniawan
Satellite Session R.1.44
Improving Recommendation for Policies and Practices to Strengthen People-Centered Health System: Is The State of Evidence Sufficient?
Sesi ini bertujuan untuk me-review standar bukti dalam program keluarga berencana dan bagaimana bukti serta pengetahuan disintesa untuk menginformasikan rekomendasi bagi perubahan kebijakan dan implementasi yang terpusat pada kebutuhan pengguna. Sesi yang dimoderatori oleh Laura Reichenbach dari Population Council ini didesain untuk menjadi sesi yang interaktif, dengan menyediakan waktu yang cukup untuk terjadinya diskusi antara peserta dengan para narasumber maupun antar-peserta. Diharapkan peserta dapat
- memilih dan mengkampanyekan adopsi kebijakan dan prakteknya yang berbasis pada bukti,
- mempertemukan antara peneliti dengan pelaksana kebijakan untuk mengidentifikasi hambatan pelaksanaan kebijakan secara lebih baik,
- menentukan seberapa banyak bukti yang diperlukan untuk menyusun kebijakan yang berdampak luas dan
- memproduksi bukti yang dibentuk untuk mengkampanyekan perubahan kebijakan dan implementasinya.
Para pembicara berasal dari Population Council, USAID, WHO dan Ghana Health Service. Sementara, para peserta berasal dari berbagai institusi penelitian maupun pembuat kebijakan, dari Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Ian Askew dari Population Council sebagai pembicara pertama memaparkan tentang berbagai metode review yang dapat digunakan untuk mensintesa hasil-hasil penelitian, yaitu systematic review, realist review dan rigorous review. Ada beberapa referensi yang digunakan oleh pembicara untuk mendefinisikan systematic review, antara lain dari Cochrane, Institute of Medicine US National Academic of Sciences dan UK National Institute for Health and Clinical Excellence. Jika systematic review harus dimulai dengan pertanyaan yang jelas, menelusuri literatur hingga memperkirakan adanya risiko, maka rigorous review dimulai dari diskusi umum dan tidak selalu disertai dengan literatur. Realist review merupakan upaya untuk mengidentifikasi kausal utama yang kompleks dan menjelaskan bagaimana review ini bekerja dalam konteks spesifik untuk menghasilkan outcome tertentu.
Salah satu contoh yang diangkat oleh Shawn Malarcher (USAID) sebagai pembicara selanjutnya adalah program HIP. Bedanya program HIP dengan program-program lain diantaranya adalah bukti-bukti direview, disintesa dan dikemas khusus untuk program manager, bukti-bukti yang digunakan rigorous namun realistis, serta dampak terhadap penggunaan kontrasepsi lebih luas, dapat direplikasi, jangka panjang hingga biayanya dapat ditekan.
Salah satu hal yang mendapat penekanan pada sesi ini adalah peran peneliti dan bagaimana menyatukan para peneliti dan pengambil kebijakan dalam satu proses pembelajaran. Menurut Nhan Tran (WHO) lesson learnt yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana mendukung proses peningkatan kapasitas pengguna hasil penelitian dan penelitiitu sendiri terhadap suatu program, bukan sekedar bagaimana mengaplikasikan hasil riset ke tahap implementasi. Isu-isu kedepan menurut Tran antara lain:
- Bagaimana meningkatkan kapasitas dari sebuah program,,
- Bagaimana meningkatkan kualiats data yang sudah ada untuk mendukung implementasi,
- Bagaimana memberikan insentif untuk program-program yang lebih berorientasi pada praktek,
- dan menyelaraskan berbagai pendanaan program penelitian untuk proses pembelajaran yang lebih melekat dan lebih intensif,
Contoh yang sudah pernah dilakukan oleh WHO dalam Alliance adalah bagaimana menggunakan data untuk pembuatan kebijakan, meningkatkan kualitas data, meningkatkan kemampuan analisis data, konsultasikan hambatan penggunaan data dan sebagainya. Kegiatan lain contohnya adalah bagaimana memfasiliitasi pengguna implementation research untuk mendukung pengambilan keputusan. Ada penelitian-penelitian dalam topik ini yang kemudian didanai oleh WHO. Monitoring dan evaluasi harus bisa menghasilkan bukti yang berkelanjutan. Hanya peneliti yang peduli dengan istilah "Monev" atau M&E, para pengambil kebijakan tidak peduli dengan istilah-istilah seperti itu. Hal yang dipentingkan adalah konten dan konteksnya. Jadi jangan memaksakan istilah-istilah dalam penelitian kepada para pengambil kebijakan.
Jenis-jenis bukti yang bisa digunakan tidak selalu harus dalam bentuk publikasi atau literatur, melainkan bisa juga dalam bentuk pengetahuan, informasi, ide dan ketertarikan, politik bahkan ekonomi. Hal tersebut dipaparkan oleh Karen Hardee (Population Council). Ia mengangkat contoh pemberian penyuluhan dan terapi bagi para penderita HIV di India. Dokter bekerja dalam suatu sistem yang berbeda dengan para peneliti dan pelaksana progam HIV. Ini ynag menyebabkan banyak hal kurang selaras dalam menjalankan program HIV tersebut. Oleh karenanya, program manager HIV harus paham dengan lingkungan dimana program tersebut akan diimplementasikan agar lebih optimal.
Patrick Kuma Aboagye (Ghana Health Service) sebagai pengambil kebijakan di level district dan pelaksana kebijakan yang dibuat di level nasional. Ia memberi contoh kasus hasil penelitiannya mengenai pelaksanaan program KB khususnya pemasangan implan yang dilakukan oleh para kader kesehatan. Selain itu juga dapat meningkatkan efektivitas dan keselamatan pasien, karena beban bidan menjadi lebih ringan dengan adanya bantuan dari para kader. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya kebutuhan akan pengendalian kelahiran. Dengan meningkatkan kemampuan dan peran kader, cakupan KB lebih tinggi, kesadaran masyarakat meningkat untuk mengendalikan kelahiran, tidak ada komplikasi dan angka drop out (removal) menurun. Namun para pengambil kebijakan tidak setuju dengan hal tersebut, karena dianggap bukti yang mendukung masih kurang.
Sesi ini dilanjutkan dengan diskusi yang menarik dan hangat, dimana interaksi antara pembicara dengan peserta dan antar-peserta cukup intensif. Banyak poin penting dan pembelajaran yang dapat disimpulkan dari sesi ini, antara lain bahwa peneliti tidak bertugas untuk mengubah pembuat kebijakan menjadi peneliti juga, melainkan bagaimana menghasilkan feedback dari hasil penelitian pada para pembuat kebijakan tersebut.
Komponen penting dari pengambilan keputusan adalah:
- value dari keputusan
- karakter partisipatori dari pengambilan keputusan, yaitu ada fairness dan engagement di dalamnya.
Peneliti perlu terlibat dalam pengambilan keputusan dan sebaliknya pembuat kebijakan harus memiliki akses terhadap data yang baik.
Berbagai pertanyaan kunci perlu dilihat lagi, antara lain: pendekatan mana yang akan digunakan, konteks mana yang tepat dari sebuah bukti, bagaimana melibatkan para pelaksana kebijakan dalam agenda penelitian, bagaimana meng-handle ideologi, siapa mendengar siapa dan kebijakan apa untuk siapa. (pea)
Reporter: Putu Eka Andayani
Satellite Session 2.41 - 2.43
Implementation Research and Delivery Science Challenges for HIV/AIDS
Sesi ini diselenggarakan oleh UCSF dengan WHO. Sesi satelit ini dipimpin oleh Nancy Padian dari University of California San Fransisco, USA. Sesi ini dimulai dengan overview tentang apa yang telah dilakukan Alliance Health Services (AHS)- WHO dan bagaimana integrasi "implementation research" dalam HIV/AIDS program. Tantangan utama kesehatan masyarakat secara global adalah bagaimana mengambil "research evidences" untuk intervensi dan mengimplementasikannya dalam situasi nyata (bukan penelitian). Dalam presentasinya yang mengawali satellite meeting pada 29 September, Nhan Tran menyebutkan bahwa biasanya setelah mendapatkan research evidence dan kemudian akan diterapkan dalam suatu implementasi yang berskala luas, maka implementasi tersebut kacau. Skenario yang sempurna untuk implementasi program sudah dirancang tetapi hal tersebut hampir tidak pernah terjadi, karena desain dan proses yang terjadi berbeda dengan yang diharapkan.
Implementation research mensyaratkan bahwa penelitian sebaiknya menjadi bagian dari implementasi program, serta menggunakan desain dan pendekatan yang fleksibel dan "embedded" dalam program yang ada. Dengan demikian, dibutuhkan "enggangement" yang luas dengan seluruh stakeholders dan melibatkan semua disiplin untuk menjawab tantangan implementasi yang kompleks. Oleh karena implementation research merupakan usaha kolektif dan kolaboratif. Maka, sangat penting bahwa orang-orang yang bekerja di garis depan; baik yang sedang menjalankan suatu program yang spesifik maupun yang berada dalam sistem kesehatan harus memahami pentingnya kolaborasi dalam upaya "implementation research" (lihat http://www.who.int/alliance-hpsr/alliancehpsr_irpguide.pdf ).
Sesi-sesi selanjutnya dalam "satellite meeting" ini kemudian mempresentasikan pengalaman implementation research yang telah dilakukan oleh beberapa institusi dalam HIV/AIDS di Afrika. Meg Doherty dari WHO menekankan pada implementation research yang "clinically relevant" tetapi pada saat yang bersamaan juga harus "operationally relevant". Kemudian Charles Holmes dari CIDRZ menekankan pada "learning while we go" yang mengembangkan inovasi untuk "scaling up" program yang dikerjakan di Zambia. Dengan jumlah 500 ribu pasien yang terdaftar dan ditangani dalam kliniknya, pengumpulan data yang bagus (namun seringkali bermasalah) dapat dilakukan untuk melihat outcome pasien. Di sini para dokter yang memeriksa pasien merupakan stakeholder yang sangat penting untuk menghasilkan data dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kaidah-kaidah dalam penelitian. Francois Venter, presenter berikutnya dari WITS mempresentasikan kondisi dalam memberikan pelayanan tetapi sekaligus melakukan penelitian, serta mengemukakan isu tentang bagaimana mengevaluasinya. Menurutnya, penelitian harus sangat fleksibel sehingga ketika ada hal-hal yang tidak dapat dilakukan harus segera dapat disesuaikan. Francois mencontohkan adanya keluhan beberapa pasien/responden yang harus mengambil sendiri setiap kali ARV diperlukan; kemudian mengusulkan setiap enam orang penerima obat, hanya salah satu dari mereka yang akan mengambil obat. Dengan cara seperti ini, pasien lebih banyak bisa dijangkau dan program dapat berjalan dengan baik.
Reporter: Retna Siwi Padmawati