Reportase Pertemuan Pertama Seminar Series Hit
11 April 2014
Pertemuan pertama Series Hit telah dilaksanakan pada Jum'at (11/4/2014), yang menghadirkan pembicara dari PKMK yaitu Prof. Laksono Trisnantoro dan Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo. Pembahas yang memberikan tanggapan atas paparan pembicara ialah Dr. dr. Soewarta Kosen, M. Kes, PH (Balitbang Kemenkes) dan Hartiah Haroen S. Kp, M. Kes, M. Eng (Ahli dari WHO Indonesia). Pertemuan kali ini berfokus pada Reformasi dalam Kebijakan Desentralisasi.
Paparan awal disampaikan Prof. Laksono Trisnantoro dengan judul "Desentralisasi Kesehatan, Nilai Positif dan Negatif dari Perkembangan hingga Tahun 2014 serta Titik Perubahan yang Dibutuhkan". Pasca desentralisasi dilakukan pada tahun 2000, hal yang perlu dicermati ialah kemampuan teknis SDM kesehatan di lapangan. Apakah jumlah, kemampuan dan persebarannya sudah tepat? Kemudian terkait anggaran, saat ini, anggaran kesehatan yang ada di Kemenkes masih 2,2 atau 2,1% sementara harapannya yaitu 5% dari APBN. Seharusnya kesehatan tetap menjadi desentralisasi atau ada fungsi pusat dan provinsi yang kuat, tutup Prof. Laksono.
Dr. Soewarta Kosen dari Litbangkes Kemkes menyampaikan seharusnya program desentralisasi dilakukan sesuai kebutuhan dan aspirasi, agar terjadi pemerataan (saat desentralisasi masih bermasalah). Desentralisasi menuntut adanya peningkatan komitmen Pemda, maka diharapkan juga kinerja sektor kesehatan meningkat. Setelah memasuki era BPJS, maka banyak dilakukan program kuratif. Anggaran kesehatan malah naik dibanding saat sentralisasi. Kelemahan yang ditemukan ialah tidak adanya laporan dari propinsi ke pusat. Pemerintah kabupaten/kota tidak merasa ada di bawah kepemimpinan pusat. Hal ini terjadi karena Dinkes melapor ke Bupati. Sehingga dapat dikatakan. Dinkes tidak memiliki track komunikasi yang baik untuk advokasi.
Ahli dari WHO yaitu Hartiah Haroen S. Kp, M. Kes, M. Eng menyampaikan tanggapannya, ketika era otonomi atau desentralisasi kesehatan (deskes) hal yang harus mendapat perhatian ialah pemerataan tenaga kesehatan (nakes) di daerah. Untuk meningkatkan kualitas SDM, maka hal yang ditingkatkan ialah kurikulum yang mendukung dengan pengembangaan nakes. Namun masih ada kelemahannya yaitu pemerataan nakes tidak diikuti persiapan yang matang atau kurang perencanaandi bidang nakes. Terkait human resources, masih tersentralisasi. Deskes tidak terkendali, karena terikat dinamika pasar. Bagaimana daerah dapat mengoptimalkan BOK dan sistem kapitasi dengan pelayanan dasar yang lebih kuat? Maka dibutuhkan kerjasama lintas sektor daerah.
Dr. Dwi Handono dari PKMK melengkapi bahasan ini dengan pernyataan Dinkes kurang nakes, maka terjadi mutasi dari Puskesmas ke Dinas. Akhirnya yang terjadi tidak ada UPT, jika RS bukan Dinas, lalu ia sebagai apa? Selama ini yang terjadi Dinkes menjadi kontraktor, Puskesmas belum menjadi BLUD.
DISKUSI
Pada sesi diskusi terdapat tiga peserta yang menyatakan pendapatnya. Pertama, Heru Aryadi dari Arsada. Heru menyampaikan dalam Deskes, SDM harus dievaluasi, RS dan Dinkes diatur. Hal yang terjadi litbang setiap dinas selama ini tidak independen. Lalu, pendapatan BLUD harusnya tidak masuk dalam kas daerah.
Kedua, peserta dari Antropologi UGM menyatakan banyak kasus yang ditemui yaitu nakes tidak mau ditempatkan di desa. Maka, perlu dilakukan pemetaan nakes melalui kebutuhan dan kaitannya dengan SDM dan SDA. Maka, harus ada UU yang mengatur produk kesehatan.
Ketiga, Dewi dari PKMK menyatakan kita sulit mengirim nakes ke daerah, namun sekarang yang spesialis disana rata-rata berbondong-bondong kembali ke Jawa. Desentralisas -ijin dari Pemda, maka dengan mudah mereka masuk. Daerah asal tidak bisa mengikat, mungkin karena kerjasama sudah selesai. Lalu yag terjadi ialah tidak ada spesialis. Jika insentif diperbesar, namun transportasi dan pendidikan tidak diperbaiki, lalu bagaimana?
Pertemuan berikutnya akan dilakukan pada Kamis (17/4/2014) dan dapat Anda simak laporannya melalui website ini.