Sesi 3.3.B
Implementasi Kebijakan dan Program AIDS
Pembicara :
1. Suhendro Sugiharto - PKNI
Menurut Suhendro Sugiharto sebagai perwakilan dari lembaga PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia), saat ini trend penggunaan narkotika sudah bergeser, dari Heroin ke ATS, namun, layanan yang tersedia umumnya masih berbasis pada penanganan Heroin. Bagaimana dengan pengguna ATS? Apakah layanan sudah memadai bagi perawatan ketergantungan narkotika sebagai komponen yang efektif dalam penerapan program diversi? Bagaimana dengan SDM-nya? Bagaimana akses terhadap layanan? Apakah sejalan dengan penegakan hukum? Dalam skema Wajib Lapor hanya mereka yang sudah diputus pengadilan ditanggung Negara dan jumlah putusan rehabilitasi sangat kecil. Bagaimana dengan pecandu yang suka rela melaporkan diri? Apakah biaya perawatan ditanggung oleh negara? Dialektika tersebut memunculkan pernyataan sikap dari PKNI yang berisi pengakuan, penghormatan dan pemenuhan HAM; dekriminalisasi korban penyalahgunaan napza; pendekatan berorientasi kesehatan meliputi pendidikan, informasi, konseling, integrasi sosial, farmakologis, psikososial dan aftercare; Sistem Informasi Napza yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) Generik dan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit; Studi dan Policy Brief untuk kebijakan berbasiskan bukti.
2. Esteria Naomi - IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia)
IPPI adalah LSM yang mendukung kelompok ODHA perempuan. Tema yang diangkat adalah Feminisasi HIV. Esterina Naomi menjelaskan bahwa IPPI mendorong pemerintah untuk mengeluarkan komitmen kebijakan bersama antara Kementrian Kesehatan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dalam mengintegrasikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan HIV-AIDS. IPPI juga mendorong pemerintah, mitra pembangunan internasional serta Lembaga PBB untuk membuat skema pendanaan bagi organisasi perempuan dan jaringan perempuan dengan HIV. Tujuannya membangun kesadaran masyarakat akan kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan HIV-AIDS. IPPI juga menyatakan perlu adanya mekanisme sistem rujukan layanan kekerasan terhadap perempuan dan layanan HIV-AIDS termasuk layanan bantuan hukum bagi perempuan dengan HIV yang menjadi korban kekerasan serta proses re-integrasi.
3. Tono Muhammad – GWL Ina
Tono Muhammad sebagai perwakilan dari GWL Ina memaprkan bahwa GWL INA mencoba menyoroti pelibatan komunitas GWL dalam pembuatan kebijakan penanggulangan HIV bagi GWL. GWL Ina merupakan sebuah jaringan organisasi-organisasi berbasis komunitas gay, waria dan LSL lain di 28 propinsi dengan 71 organisasi anggota. Fokus mereka saat ini adalah penguatan sistem komunitas agar dapat terlibat secara lebih bermakna dalam penanggulangan HIV.
Menurut Tono, saat ini sulit memperkirakan besarnya populasi GWL karena mereka cenderung tidak diperhitungkan, stigma dan diskriminasi masih tinggi baik internal komunitas maupun eksternal (stakeholder dan masyarakat), adanya kebijakan-kebijakan yang tidak kondusif (misal kriminalisasi kondom dan kriminalisasi homoseksual), kasus pada kelompok dibawah 24 tahun terus meningkat, penggunaan media berbasis teknologi mengurangi kesempatan untuk melakukan pertemuan (tatap muka), kurangnya layanan IMS yang bersahabat dan komprehensif. Strategi yang perlu dikembangkan adalah peningkatan kapasitas komunitas agar lebih terlibat dalam pembuatan kebijakan; strategi perlu sesuai dengan karakteristik sub komunitas dan kondisi geografis; perlu adanya kebijakan-kebijakan yang kondusif dan tidak mengkriminalkan homoseksual; peningkatan kualitas layanan yang bersahabat dan satu atap; menjadikan komunitas sebagai solusi dan bukan sebagai masalah.
4. Aldo - OPSI (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia)
OPSI melalui pemaparan Aldo melihat isu HIV dan AIDS dalam sudut pandang stigma dosa dan kesehatan seksual. Virus HIV yang menjadi penyebab AIDS menular dengan hukumnya sendiri tanpa melihat keyakinan agama, keimanan dan ketaqwaan seseorang. Beberapa implikasi yang muncul karena stigma tersebut adalah banyak pekerja seks yang malu dan takut untuk melakukan VCT sehingga kondisi riil epidemi tidak bisa dideteksi dan dikontrol secara maksimal karena pekerja seks HIV+ akan menyembunyikan diri sehingga penanggulangan HIV dan AIDS tidak bisa maksimal.
Menurut Aldo, masih banyak terjadi pelanggaran HAM terhadap ODHA melalui perlakuan diskriminatif, pengucilan, penolakan, bahkan kekerasan di lingkungan keluarga, kerja, masyarakat, birokrasi pemerintahan, bahkan sampai di tempat-tempat layanan kesehatan. Saatnya mengubah strategi penjangkauan bagi pekerja seks, melalui pendampingan, pemberdayaan, peer outreach. Perubahan kebijakan apapun yang menyangkut pekerja seks wajib melibatkan pekerja seks secara bermakna. Program HIV secara eksplisit harus mencakup dukungan hukum dan perlindungan HAM. Kekerasan terhadap pekerja seks yang selama ini terjadi harus menjadi tolak ukur dalam evaluasi kebijakan tentang kerja seks.
5. Aditya Wardhana - IAC (Indonesia AIDS Coaliton)
Aditya Wardhana sebagai perwakilan dari IAC mengawali pemaparannya dengan beberapa pembelajaran dan peran dari CSO yang concern pada isu AIDS. Program yang dijalankan CSO khususnya dengan partisipasi populasi kunci mampu menjangkau kelompok yang terpinggirkan secara sosial politik (ODHA, Pengguna Narkotika, Pekerja Seks, Gay, Waria, Transgender). Orang dengan HIV lebih tanggap dalam memahami haknya sebagai pasien. Advokasi menjadi salah satu spesialisasi populasi kunci di bidang AIDS baik di level nasional, regional maupun global. Pelibatan penuh komunitas menjadi salah satu poin penting dalam perencanaan implementasi maupun monitoring evaluasi. Tantangan kebijakan selama ini adalah koordinasi, untuk itu perlu penguatan payung hukum Perpres 75 dan modifikasi/penguatan kelembagaan KPAN. Pada aspek implementasi perlu ada Quality Assurance dari kebijakan. Aspek akuntabilitas dan transparansi dari kebijakan serta monitoring dan evaluasi program juga perlu untuk dilakukan. Dari segi pembiayaan, tidak hanya mencakup pendanaan bagi staf KPA namun juga perlu ada alokasi pendanaan APBN/APBD untuk program yang dijalankan populasi kunci.
Presentasi Makalah Bebas :
- Dampak Implementasi Kebijakan Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi untuk PSK dan Untuk Penutupan Prostitusi Terhadap Program Penanggulangan HIV-AIDS – Dewi Rochmah Khoiron, FKM Universitas Jember
- Pola dan Kinerja Kebijakan Anggaran Penanggulangan HIV dan AIDS: Studi Kasus Kota Yogyakarta, Kab. Sleman dan Kab. Bantul th 2010 s.d. 2012 – Valentina Sri Wijiyati, IDEA
19.00 – 21.30 : Membangun Jaringan Kebijakan AIDS Indonesia di Pusat dan Daerah Dalam Konteks Sistem Kesehatan
7 September 2013
08.00 – 10.00 : Pertemuan dengan peneliti dari 9 universitas.