Analisis Keadaan Indonesia, dengan Studi
Kasus tentang Perluasan Cakupan Menuju UHC.
Identifikasi Populasi yang Tak Tercakup: Tantangan Teknis dan Solusi Potensial.
Sesi kali ini disampaikan oleh Elvyn G Massaya, Direktur Utama PT. Jamsostek, Hanung Sugiyantono, Kadinkes Purbalingga : Studi Kasus Kabupaten Purbalingga dan Andi Afdal, Kepala Grup Manajemen Manfaat, PT Askes. Sesi ini dimoderatori yaitu Prof. dr. Budi Sampurna, SpF, SH (Staf Ahli Menteri Kesehatan).
Elvyn G Massaya, Dirut Jamsostek menyampaikan masih terdapat banyak kerumitan situasi dan kesulitan akses. Ada sekitar 700 ribu pekerja informal Indonesia yang telah dicakup Jamsostek melalui JPK. Menurut pengalaman, biaya operasional untuk jaminan ini sangat tinggi. Sehingga harus ada cara baru untuk coverage bagi mereka: misalnya dalam hal pemasaran, registrasi, jaminan sosial diperlukan masing-masing individu, administrasinya tidak bisa seperti pekerja formal-sehingga harus khusus. Bagaimana iurannya dipungut? Manfaatnya pun harus akurat.
Jamsostek melakukan redefinisi model bisnis, memanfaatkan teknologi dan keuangan. Saat ini, telah dibangun 512 outlet jamsostek di seluruh kabupaten kota, pelayanannya bisa melalui banking dan ATM. Bahkan di daerah, ada motor dari bank mitra yang datang ke pasar/rumah tangga untuk mengambil iuran. Mobile phone-register melalui bayar pulsa dapat dimanfaatkan dalam hal ini. Metode ini sudah ada di Nigeria untuk mengatasi akses geografi yang jauh. Sementara, 170 juta nomor handphone di Indonesia, hal ini bisa dimanfaatkan. Bahkan jika perlu registrasi sektor informal bisa melalui mitra seperti: seven eleven, alfamart, carefour. Teknologi lain yang bisa ditempuh yaitu melalui e-money, kartu untuk menjadi peserta (BPJS Kesehatan), bisa daftar melalui ATM. Capture peserta melalui lembaga keuangan/penyedia teknologi. Misal: e-ktp atau ijin usaha, kepala daerah tingkat satu dan dua agar pekerja informal mendapat jaminan dari Jamsostek. Kartu jaminan sosial menjadi smart card untuk BPJS Kesehatan Tenaga Kerja, telekomunikasi ke bank dan lain-lain. Kartu tersebut bisa diberi loan, akses ke merchant.
Hanung Sugihantono-Pengalaman Purbalingga. Tembakau sirih alkohol pengeluaran dominan di Purbalingga. PBI per orang per bulan 19 ribu. Apakah perlu memikirkan orang yang tidak peduli pada kesehatan? Peserta Jamkes bisa dibagi menjadi dua, yaitu PBI dan non PBI. Penduduk miskin yang di-cover Jamkesmas. Perda Jateng di level Provinsi sudah berjalan 3 tahun MOU kabupaten kota. Tahun mendatang akan mengalami integrasi ke BPJS.
Jamkesda Provinsi-pelayanan rujukan tingkat 3. Belum seluruhnya berjalan, mudah-mudahan lebih baik. 800 ribu penduduk kekhasan tersendiri. Slogan yang ditanamkan dalam masyarakat "Yang kaya membantu yang tidak mampu, yang sehat membantu yang sakit". Mutu pelayanan dan tuntutan layanan yang lebih baik. Dari jumlah peserta yang terdaftar dalam Jamkesmas, iurnya ditarik kader dan ada lima ribu rupiah yang disisihkan untuk membayar kader. Tahapan yang berjalan di Purbalingga: sebelum 2010 untuk sosialisasi, tahun 2010 kemantapan dan 2015 kemandirian. Hingga saat ini, tinggal 11,8% dari masyarakat yang belum masuk BPJS. Komposisi pembiayaan APBD Purbalingga, APBD makin besar dan pembiayaan untuk Jamkesmas makin kecil proposinya. Bahkan, APBN tidak ada sama sekali, saat ini ditetapkan 120 ribu/KK per tahun.
Mampu dan tidak mampu ditetapkan sesuai kriteria bupati, rujukan rawat inap hanya di lokal, bukan diidentifikasi formal dan informal. Besaran biaya dan mekanisme pembiayaan yang telah berjalan baik. UHC, pekerja informal ada dalamnya karena kesehatan merupakan kebutuhan dasar. BPJS Kesehatan tempatnya dimana? Jadi harus dicari solusi terbaik. Jamsostek dan Askes harus bekerjasama.
Andi Afdal, Kepala Grup Manajemen Manfaat, PT Askes. Andi menyampaikan bahwa tugas Askes meliputi sosialisasi, memungut dan menyalurkan, mengumpulkan dan mengelola data, membayarkan manfaat, serta memberikan informasi. Iuran untuk sektor informal selama ini dibayar orang per orang. Belajar dari social marketing perbankan 60-70 tahun untuk menabung uang di bank. Maka, perlu ditanamkan dalam masyarakat bahwa bayar meski sedikit untuk asuransi kesehatan. Kemampuan dan keinginan membayar, maukah mereka membayar? Bagaimana mengoleksi premi?
Jaminan kesehatan umum ada Pemda yang bekerjasama bahkan menyerahkan ke Askes yaitu sudah 157 daerah atau 14 juta jiwa yang tertangani. Jalur sudah ada, misalnya integrasi dengan layanan publik misal listrik PAM, sms banking, namun masih butuh sosialisasi. Manfaat disampaikan riil. Hal yang di-manage ekspektasi mereka. Bisa bekerjasama dengan Alfamart, Indomaret, PT Pos dan lain-lain, chanel online banking.
Moderator sesi ini: Prof. Budi Sampurna membuka diskusi dengan policy brief sektor informal: tingkat pendapatan, apa yang diinginkan? Sektor informal yang masuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek yang membutuhkan kesehatan jumlahnya luar biasa.
Penanya pertama yaitu Prof. Muninjaya, sektor informal banyak di rural-konkrit pengalaman di Purbalingga-pendekatan di Pemda seperti apa?. Konsep kepesertaan bagus jika ada peningkatan yang terlihat baru bisa dikatakan baik.
Elvyn, paguyuban nelayan-petani menjadi anggota itu kolektif, konsep ini pertumbuhannya tidak akan cepat. Pekerja informal tidak semuanya ter-cover. Jadi kita gunakan kerjasama dengan BRI untuk meng-cover seluruh pekerja. Approach yang akan dilakukan bukan hanya di kota namun juga di desa. Sektor informal bukan komplementer. Sektor informal 70 juta jumlahnya dibandingkan yang formal.
Perluasan marketing officer, peserta jaminan sosial tidak cukup kapasitas finansial, terbatas akses, apakah bisa dilayani dengan cepat, apakah sampai edukasinya? Administrasi yang tidak mudah sebagai kelemahan. Kementrian dalam negri melalui e-ktp sehingga verifikasi tidak memerlukan biaya untuk mendekati sektor informal. Hal ini bisa dilakukan dengan koordinasi yang baik. Optimalisasi baik dengan seluruh Pemda. Harus jelas pekerja informal dengan pekerja miskin. 65% di rural, 35% di urban. Approach ke rural harus collecting. Askes join to kader kesehatan sosialisasi tentang BPJS Kesehatan. Agar masyarakat sadar hal tersebut dibutuhkan dan mereka mampu bayar. Sosialisasi masif akan banyak tampil di tv pentingnya kesadaran asuransi kesehatan.
Kemudian, Debbie menanyakan dasar yang digunakan untuk mengambil keputusan tersebut-besar biaya? Sosialisasinya bagaimana? Lebih baik melibatkan tenaga kesehatan.
Hanung, sebagai contoh Tegal telah melakukan penetapan bantuan dari Pemda berapa yang dialokasikan selama lima tahun terakhir? Itu yang dihitung. Subsidi jamkesda 2,9 juta masyarakat miskin non kuota yaitu 154 milyar di 35 kabupaten kota. Dibandingkan untuk bansos yang kurang jelas, lebih baik dialokasikan kesini.
PT Askes, IT yang digunakan Askes sudah dimulai namun belum sepenuhnya. Database Jakarta dan Surabaya untuk mencakup seluruhnya.
Penanya berikutnya yaotu Rudiarto, pedagang kaki lima Malioboro. Mampu dan tidak mampu untuk membayar bukan masalah, hal yang terpenting kurangnya minat dalam hal jaminan karena kepercayaan yang rendah. Ada mitos bayarnya mudah, klaim sulit. Jika sudah membayar, layanannya akan seperti apa? Puskesmas yang dirujuk Jamkesmas tidak mampu melayani warga secara maksimal. Empat tahun memotivasi pedagang (2500) baru 100 yang mendaftar. Askes dan Jamsostek yang berpindah ke BPJS apakah perlu registrasi ulang?
PT Askes menjawab kartu tidak perlu diganti, tetap bayar iuran seperti biasa. Data antara Askes dan Jamsostek sudah saling tukar menukar. Klinik yang ada di Jamsostek menjadi BPJS Kesehatan.
Elvyn, yang dialihkan dalam BPJS ini : peserta, program dan provider kesehatannya. Manfaat apa yang sudah diterima sekarang, akan tetap seperti itu namun dilengkapi dengan manfaat tambahan.
Kapasitas RS tidak akan maksimal memberikan pelayanan. Tantangan kepercayaan bukan hal yang mudah. Edukasi, rajin bayar iuran, menghindari high risk social. Harus banyak skenario untuk menangkap solusinya. Perlu tidak uji coba dengan alternatif yang ada?