Panel 2: Isu Prioritas
Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Pemateri: Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes
Sinkronisasi merupakan amanat UU dan semangat NKRI. Sinkronisasi menjadi prioritas dalam tatanan sistem perencanaan pembangunan kesehatan di Indonesia yang terintegrasi. Mengapa harus sinkronisasi? Selama ini upaya sinkronisasi belum jelas, dokumen perencanaan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah di daerah (RPJMD) belum semua memperhatikan dan sinkron dengan RPJM Nasional (RPJMN). Faktanya, perencanaan yang sinkron dan terintegrasi satu sama lain sudah diamanatkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) di Indonesia bahwa perencanaan haruslah terintegrasi dan sinkron satu sama lain serta diamanatkan dalam Undang-Undang No.23 tahun 2014 bahwa Pemerintah Daerah haruslah membuat dokumen perencanaan daerah (RPJMD) yang mengacu RPJPD dan memperhatikan RPJM Nasional (RPJMN).
Ketidaksinkronkan ini juga terjadi akibat adanya situasi politik dimana pemilihan kepala daerah dengan pemilihan presiden tidak sinkron dari aspek waktu. Dalam konteks politik tersebut pilkada serentak yang sekarang sudah mulai dilakukan di Indonesia, mengharuskan para kepala daerah wajib membuat RPJMD sekurang-kurangnya 6 bulan setelah pelantikan. Berdasarkan UU. No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 269 dinyatakan bahwa Menteri berhak membatalkan Perda RPJMD di tingkat provinsi, jika dinilai RPJMD tersebut tidak sesuai dengan RPJMD Provinsi dengan RPJMN. Pada level Kabupaten/Kota tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2014 pasal 271 yang menyatakan bahwa jika RPJMD Kabupaten/Kota dinilai oleh Gubernur dan DPRD Provinsi tidak sesuai dengan RPJPD Kabupaten/Kota dan RPJMD Provinsi, serta RPJMN, maka sebagai perwakilan pemerintah pusat berhak untuk membatalkan Perda-nya.
Sebagai upaya perwujudan sinkronisasi di perencanaan sektor kesehatan PKMK FK UGM bekerjasama dengan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat di Kementrian PPN/Bappenas serta didukung oleh lembaga donor seperti DFAT, AIPHSS, dan UNICEF telah mewujudkannya dalam penyusunan modul sinkronisasi RPJMD-RPJMN Subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat yang telah dimulai pada tahun 2015. Modul sinkronisasi tersebut disusun untuk menjembatani pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk melakukan sinkronisasi, dan modul tersebut sudah diselesaikan baik dalam versi cetak maupun dalam versi online.
Outlook sinkronisasi RPJMD-RPJMN ini, tidak hanya sampai dengan outlook 2017 tetapi jangka panjang sampai dengan tahun 2027 karena pilkada serentak akan terus dilaksanakan pada tahun tersebut, setelah pemilihan presiden akan dilakukan pada tahun 2025. Pada pilkada serentak di tahun tersebut akan ada 500 Kabupaten/Kota yang akan mengikutinya. Pilkada yang terdekat adalah pilkada pada 15 Februari tahun 2017 mendatang yang akan dilakukan oleh 101 Kabupaten/Kota. Tentunya, upaya penyesuaian dan penyelarasan harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh komitmen.
Pelaksanaan tersebut tentunya tidak hanya membutuhkan sumber daya saja namun juga membutuhkan dukungan regulasi-regulasi daerah yang memperkuat. Surat Edaran Bersama (SEB) Tiga Menteri yang akan segera disahkan, jika hal tersebut terjadi maka akan banyak kegiatan-kegiatan pendampingan yang melibatkan banyak tenaga konsultan. PKMK FK UGM tidak mungkin dapat menjangkau semua daerah-daerah yang menjadi target, sehingga harus melibatkan konsultan atau fasilitator pendamping yang ada di daerah untuk melakukan asistensi atau pendampingan sinkronisasi. Sebagai tahapan awal, pemenuhan fasilitator pendampingan ini sudah mulai dilakukan pada akhir 2016 dengan melakukan pelatihan jarak jauh untuk calon fasilitator pendamping yang nantinya juga akan direkomendasikan sebagai fasilitator pendamping bagi daerah. Sinkronisasi yang dilaksanakan dengan komitmen penuh oleh semua pihak yang terlibat baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sektor-sektor yang terkait yang berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan dapat mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata.
Notulen: Emmy Nirmalasari, SKep, MPH
Sinkronisasi Produk Hukum di Bidang Kesehatan
Pemateri: Rimawati
Regulasi kesehatan adalah seperangkat aturan yang tertulis bidang kesehatan yang dibuat oleh badan legislatif maupun stakeholder terkait yang tujuannya adalah untuk mengatur pelaksanaan dan penyelenggaraan kesehatan di Indonesia. Sepanjang periode pertengahan tahun 2015 sampai dengan awal Desember 2016 telah disusun dan disahkan sebanyak 158 regulasi kesehatan dalam berbagai jenis produk hukum. Jenis produk peraturan yang teridentifikasi selama tahun 2016 terdiri dari Undang-undang (7 buah), Peraturan Pemerintah (5 buah), Peraturan Presiden (9 buah), Peraturan Menteri Kesehatan (27 buah), Peraturan Menteri Keuangan (10 buah), Peraturan Menteri Perdagangan (5 buah), SE Menteri Kesehatan (3 buah), Keputusan Menteri Kesehatan (10 buah), Peraturan BPJS (20 buah), Peraturan BPOM (17 buah), Peraturan Daerah/Provinsi/ Kabupaten Kota (55 buah). Dari 158 beberapa menyangkut tentang bidang kesehatan yang terdiri dari Pelayanan Kesehatan (43 buah), Asuransi Kesehatan dan JKN (37 buah), Tenaga Kesehatan (16 buah), Perbekalan dan Alkes (9 buah), Sistem Informasi Kesehatan (9 buah), Farmakin (10 buah) dan Sistem Kesehatan Daerah (34 buah).
Dalam konteks pembentukan regulasi kesehatan banyak dipengaruhi oleh politik hukum kesehatan yang akan menciptakan kebijakan hukum kesehatan. Produk perundangan itu dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Regeling dan Beschikking. Dilihat dari kedua ini perumusan regulasi kesehatan akan sangat dipengaruhi dengan politik hukum. Sinkronisasi Regulasi Kesehatan tidak selamanya sepanjang tahun 2016 mengalami implementasi peraturan sebagaimana yang diharapkan. Ada beberapa produk hukum bidang kesehatan yang diajukan melalui MK untuk dilakukan Judicial Review. Proses ini seringkali murni karena produk hukum yang dibuat bertentangan dengan konstitusi adakalanya juga dipengaruhi oleh Politik hukum.
Ada beberapa isu Prioritas yang ada dalam regulasi di bidang kesehatan yaitu, yudisial review UU 20 /2013 tentang Dikdok (Putusan Mk No. 122/PUU-XII/2014), UU 24/2011 tentang BPJS (Putusan MK No. 47/PUU-XIII/2015), UU 36/2014 tentang tenaga kesehatan (Putusan MK No. 82/PUU-XIII/2015 dan No. 88/PUU-XIII/2015), Kewenangan Daerah UU No. 9/2015 dan PP No. 18/2016 dan Pelayanan Kesehatan dan SDM.
Regulasi tahun 2016 masih ada beberapa regulasi bidang kesehatan khususnya terkait isu pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan/ JKN dan tenaga kesehatan yang masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Disahkannya PP No. 18 tahun 2016 di mana RSUD menjadi UPT Dinkes membutuhkan aturan pelaksana dalam bentuk produk hukum Perpres. Regulasi kesehatan pada tahun 2016 membutuhkan peran aktif dari para perumus baik dari badan legislatif maupun stakeholder terkait. Dalam penyusunan regulasi kesehatan perlu dipertimbangkan adanya politik hukum dalam penyusunan untuk menghindari adanya kemandulan dalam produk hukum yang dibuat.
Outlook Regulasi Kesehatan 2017, DPR RI/ DPRD melakukan Advokasi untuk penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Pemerintah sebagai legislative body. Pemerintah (Badan Eksekutif) melakukan Advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Pemerintah sebagai executive body. Kementrian Kesehatan dan Kementrian terkait melakukan advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Teknis dari amanat peraturan perundang-undangan sebagai penyelenggara teknis. Pemerintah daerah (bagian hukum sekertaris daerah) melakukan advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan. Peranan PKMK FK UGM dalam penyusunan Regulasi Kesehatan 2017 antara lain:
- Melakukan fasilitasi dan konsultasi dengan DPR, DPRD maupun Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan serta Organisasi Profesi untuk penyusunan naskah akademik dan rancangan penyusunan kebijakan teknis yang dibutuhkan
- Melakukan advokasi penyusunan regulasi teknis kesehatan baik pada level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
Notulen: Intan Anatasia N.P., M.Sc.,Apt
Emergency Medical Team
Pemateri : Madelina Ariani, SKM,MPH.
Indonesia kembali dikejutkan dengan bencana gempa bumi yang berkekuatan 6SR pada pukul 05.03 WIB di Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh, setelah Tsunami yang terjadi sekitar 12 tahun yang lalu. Ada sekitar 1009 kejadian bencana yang terjadi di Aceh sejak tahun 1815-2016. Tetapi Jawa masih menjadi juara dalam jumlah kejadian bencana yang terbanyak di Indonesia (sumber: Pusat Data Informasi dan Humas – BNPB).
Sama seperti di tahun 2015, bencana perubahan iklim masih menjadi kejadian bencana yang banyak terjadipada tahun ini. Walaupun di awal tahun bencana kebakaran hutan dan lahan sempat menjadi perhatian dari beberapa propinsi, seperti Propinsi Riau, Palembang, Jambi dan Kalimantan.
Perjalanan kesiapan penanggulangan bencana di Indonesia selama tahun 2016 semakin meningkat. Fasilitas kesehatan baik puskesmas, rumahsakit dan sumber daya manusia semakin sadar bahwa dibutuhkan peningkatan kapasitas terhadap itu semua. Salah satu bentuk yang dilakukan adalah dengan penyusunan rencana kontijensi yang sudah dilakukan Dinas Kesehatan serta kesiapan Rumah Sakit (HDP) dan Puskesmas di Indonesia.
Kebutuhan masyarakat dalam menerima pelayanan terhadap kejadian gawat darurat juga sudah dilakukan pada tahun ini oleh pihak Kementrian Kesehatan berdasarkan Instruksi Presiden no 4/2013, lewat Public Safety Center (PSC) 119. Walaupun dari 539 kabupaten, baru sekitar 90 kabupaten yang memiliki PSC 119, tetapi ini juga menjadi salah satu usaha pemerintah dalam membantu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kegawatdaruratan. Tidak hanya itu, melalui Permenkes No 19 Tahun 2016 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu juga dikembangkan menjadi salah satu sistem yang terkordinasi dari pre Hospital, Inter Hospital dan Intra Hospital. Melihat hal ini maka dibutuhkan sumber daya baik tenaga medis maupun para medis yang terampil dan siap jika dibutuhkan sewaktu-waktu. Saat ini sudah dilakukan pertemuan dan rencana kedepan agar tiap kabupaten, propinsi dan sampai tingkat nasional wajib menyiapkan Tim Reaksi cepat (Emergency Medical Team) sesuai dengan panduan WHO, dan siap terjun saat terjadi krisis kesehatan ataupun bencana.
Berdasarkan prioritas dan perubahan paradigma ke arah kesiapsiagaan, dalam kebijakan penanggulangan bencana di tahun 2017 pada fase pra bencana sesuai dengan "Sendai Framework" yaitu pengurangan risiko bencana dengan penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah lokal. Maka Divisi Manajemen Bencana juga melakukan aksi ini dengan berbagai kegiatan bekerja sama dengan Kemenkes, WHO, rumah sakit, Puskesmas, BPBD, Pemda dan lintas fakultas dalam memberikan pendampingan guna membantu Fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia agar siap dalam menghadapi krisis kesehatan.
Lewat Deklarasi UGM kampus tangguh bencana, maka pengembangan kurikulum manajemen bencana masih akan tetap dilakukan dan selalu dievaluasi agar Fakultas Kedokteran khususnya bisa memiliki mahasiswa yang memahami peran mereka jika masuk dalam situasi bencana. Tidak hanya mahasiswa, tetapi pihak Ilmu Kesehatan masyarakat (IKM) di Fakultas Kedokteran akan membangun sistem keselamatan kerja terhadap dosen, staf, satuan keamanan, petugas yang sehari-hari bertugas saat jam kerja dan di luar jam kerja, untuk siap menghadapi situasi gawat darurat. Harapannya tidak hanya di lingkungan IKM tetapi seluruh civitas di lingkungan FK akan terbangun sistem Keselamatan kerja dan bangunan yang aman (safety building).
Notulen: Intan Anatasia N.P., M.Sc.,Apt
Pembahas : drg. HM Taufiq Ak, M. Kes,
Dinas Kesehatan Provinsi D.I. Yogyakarta
Dalam melakukan sinkronisasi pembangunan kesehatan, pihak terkait dalam hal ini adalah stakeholder, harus memiliki ideologi yang sama. Sederhananya adalah pemahaman, konsep, dan kesepakatan yang sama agar sinkronisasi ini dapat terjadi. Cotohnya, di Provinsi D. I. Yogyakarta selama ini jika daerah akan menyusun suatu kebijakan (kesehatan), daerah harus paham bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat, kesehatan masyarakat, dan prinsip dasar pembangunan kesehatan. Fokus yang harus disepakati, diatur dalam suatu kebijakan yang dapat berlaku lokal masing-masing, jadi harus ada kesepakatan bersama. Mulai dari kepemimpinan, perbaikan kebijakan, dan perbaikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari BPJS Kesehatan, bahwa pelayanan kuratif BPJS Kesehatan telah membayar 6,9 Trilyun untuk di D. I. Yogyakarta. Ini menjadi contoh bahwa dalam proses pembiayaan akan memiliki dampak yang luas khususnya juga kepada masalah ekonomi secara luas. Maka, perlu ada tindak lanjut mulai dari apa yang harus dilakukan selanjutnya dan bagaimana sinkronisasi yang akan kita kerjakan. Jika semisal sudah ada RPJMD, ada hukum, ada kewenanagan, tapi ternyata ada permasalahan yaitu perbedaan prioritas masalah. Masalah penentuan prioritas ini tidak mudah. Perlu ada sinkronisasi kebijakan dulu dalam tingkat stakeholder (misal dalam 5 tahun pemilu) dan kita harus seoptimal mungkin menggunakan sumber daya yang kita miliki. Selain itu, dengan adanya laporan dari BPJS Kesehatan tersebut, kita harus dapat melakukan standar pelayanan kesehatan di Indonesia. Standar pelayanan ini sebaiknya juga mencakup dari kualitas, mutu, dan akses ke pelayanan kesehatan yang optimal. Salah satu sistem yang harus diperbaiki adalah masalah sistem rujukan, kompetensi dan kualitas SDM Kesehatan, profil kemampuan masing-masing FKTP dan FKTL, mengembangkan permberdayaan masyarakat, mutu pelayanan, dan lingkungan. Sinergisme aspek-aspek tersebut dapat menjadi acuan bagi stakeholder untuk dapat sampai pada penentuan program prioritas bersama, khususnya dalam bidan kesehatan.
Diskusi Panel 2
Moderator : Anis Fuad, DEA
Mengapa permasalahan bencana mudah menjadi penggerak bagi setiap orang yang terkait untuk dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik? (Pertanyaan dari Anis Fuad, DEA)
Jawaban :
Sebenarnya tidak mudah untuk dapat berkoordinasi dalam menanggulangi/tanggap darurat bencana, tapi masing-masing pihak terkait darimanapun, dengan kepentingan yang sama mereka akan menurunkan ego masing-masing sehinigga dapat bersatu dan berkoordinasi dengan lebih baik. Disisi lain, jika dilihat dari sisi manajemen SDM, respon terhadap bencana memberikan spontan recruitment personal yang mudah karena pemahaman bahwa bencana ini erat kaitannya dengan cepat tanggap dan memerlukan respon yang tinggi. Retension dari sisi bencana mulai dari fase emergency respon sampai fase selanjutnya bahkan masih ada terus tenaga-tenaga yang respon/turut serta menolong. Atau dapat dikatakan akan ada retensi yang lebih lama. Dalam proses release personalnya pun bahkan ada ceremony khusus yang dilakukan. Mungkin, hal-hal seperti ini dapat diadopsi untuk diterapkan dalam menghadapi permasalahan kesehatan pada daerah-daerah terpencil atau perbatasan.
Berkaitan dengan masalah sinkronisasi secara umum, dari tingkat provinsi biasanya akan memberikan gamabran secara umum yang akan diterapkan dan disesuaikan oleh masing-masing daerah kabupaten/kota. Permasalahannya adalah apakah penerjemahan maksud dan makna dari gambaran umum provinsi akan ditangkap atau ipahami sama ke depannya oleh kabupaten/kota di wilayahnya. Penerjemahan dalam sinkronisasi dalam waktu yang sama itu biasanya masih menjadi kendala. Tapi, biasanya saat terjadi bencana itu akan terjadi lebih mudah. Pemanfaatan anggarannya pun biasanya akan berbeda karena ada situasi sosial yang memang berbeda dari kondisi biasanya/normal.
Bagaimana meningkatkan retensi tenaga kesehatan di wilayah terpencil? (Pertanyaan via webinar dari Alvin Pasaribu),
Jawaban :
SDM Kesehatan harus dipastikan memiliki kompetensi dan kemampuan yang memadai. Selain itu, harus dipastikan bahwa kemampuan mereka itu cocok dengan kebutuhan masyarakat di lokasi yang menjadi sasaran. Kedekatan dengan pihak lokal juga dapat meningkatkan motivasi dalam bekerja. Disisi lain, dari pihak lokal/daerah juga harus memastikan bahwa ada kesiapan sarana prasarana yang menunjang prosedur kerja tenaga kesehatan terkait. Hal lain yang berpengaruh adalah kaitan dengan masalah insentif dan ikatan dinas Pegawai negeri Sipil (PNS). Mengingat bahwa ini berada di lokasi yang terpencil/perbatasan, maka sebaiknya yang harus dipastikan adalah sistem pelayanan/prosedur yang tetap/terstandar, meskipun nanti tenaga kesehatannya akan berganti-ganti.
Siapakah yang memiliki kewenangan dalam mengharmonisasikan kebijakan/regulasi? (Pertanyaan dari Shita Listyadewi, PhD),
Jawaban :
Dalam tata pemerintahan kita ada 3 lembaga terkait yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif memiliki wewenang dalam mengeluarkan produk hukum Undang-Undang. Dari pihak eksekutif, pemerintah pusat ataupun daerah memiliki c.q untuk lembaga teknisnya melalui kementerian atau instansi di daerah. Yudikatif sendiri memiliki kewenangan untuk menegakkan produk hukum baik di pusat ataupun di daerah. Di sisi lain, dalam melakukan penyusunan regulasi/peraturan, seharusnya juga mengikutsertakan orang-orang ahli yang terkait dengan substansi peraturan yang akan dibuat. Fungsi lain yang tidak boleh dilupakan adalah pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan tersebut harus melihat bahwa jangan sampai ada pertentangan antara peraturan yang dia atasnya atau yang sudah ada sebelumnya. Harmonisasi ini diharapkan dapat menjadi penghubung dalam sinkronisasi substansi kebijakan dari pusat misalnya yang akan diturunkan atau diadopsi di daerah. Harmonisasi ini juga sangat penting untuk dilakukan agar tidak menimbulkan kebingungan/makna ganda dalam suatu regulasi tertentu.
{jcomments on}