Sesi 3.2D
Diskusi Panel: 15 Tahun Desentralisasi:
Apa yang terjadi di sector kesehatan?
Waktu: 10.30 – 12.00
Penyaji pertama di sesi ini adalah dr. Krisna Jaya, MS dari ADINKES Pusat. Beliau memaparkan mengenai "Lima Belas Tahun Desentralisasi Bidang Kesehatan". Diawal materi beliau menjelaskan mengenai urgensinya keberadaan pemerintah daerah, yaitu Keberadaan Pemda untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat secara demokratis, Kesejahteraan diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI), dengan indikator utamanya (i) penghasilan; (ii) kesehatan; dan (iii) pendidikan. Untuk meningkatkan pencapaian HDI dilakukan melalui pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; Kesehatan sebagai indikator utama HDI sdh di urai menjadi 24 indikator komposit yg disebut sebagai IPKM, dimana 7 Indikator Pokok dari IPKM terkait dengan Permenkes 741/2008 tentang Indikator SPM Bidang Kesehatan di kab/Kota; Kebutuhan masyarakat terdiri dari : (i) Kebutuhan Pokok (Basic Needs) yaitu SPM; dan Kebutuhan Pengembangan Sektor Unggulan (Core Competences).
Sektor unggulan dapat diidentifikasi dari sintesis PDRB, mata pencaharian, dan pemanfaatan lahan. Penekanan beliau adalah mengenai Kebijakan desentralisasi telah diterapkan sejak 1999/2000. Diharapkan dengan desentralisasi pembangunan ditingkat kabupaten/kota akan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, lebih demokratis, lebih efektif dan efisien karena jalur birokrasi lebih pendek, lebih akuntabel karena langsung mendapat kontrol sosial dari masyakat dan "governance" ditingkat kab/kota akan menjadi lebih baik dan kuat. Dalam praktek, dialami berbagai masalah dan hambatan menerapkan kebijakan desentralisasi dibidang kesehatan. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut: Fungsi-fungsi esensial upaya kesehatan yang seharusnya dilaksanakan oleh Pemerintah Kab/Kota tidak ditetapkan dan diatur secara jelas dan lengkap dalam peraturan yang ada -> NSPK; Organisasi bidang kesehatan sebagai pelaksana fungsi-fungsitersebut juga tidak ditetapkan dan diatur secara tegas, misalnya kedudukan Puskesmas sebagai ujung tombak upaya kesehatan (tidak diatur dalam PP-41/2007 maupun Kepmenkes-267/2008), Standar Ketenagaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi upaya kesehatan yang diatur dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Mentri Kesehatan tidak diterapkan secara konsisten oleh Pemerintah Daerah, karena Pemerintah Daerah lebih "patuh" pada Permendagri atau Kepmendagri; Pembiayaan upaya kesehatan – sebagai konsekuensi dari masalah diatas – tidak diatur untuk mencukupi biaya pelaksanaan fungsi upaya kesehatan di tingkat kab/kota
Pada akhir pemaparan, beliau menjelaskan mengenai Implikasi yang terjadi saat ini adalah pemberantasan Penyakit Menular terhambat, Sistem kesehatan tidak mampu memikul beban meningkatnya NCDs, Masalah TFR yg tinggi (KB) dan kurang Gizi sulit diatasi, Upaya kesehatan terjebak pada "high cost" services karena bertumpu pada pelayanan sekunder dan tertier. Berdasarkan implikasi tersebut, maka harapannya adalah bisa di berikan perbaikan terkait hambatan tersebut.
Sesi dilanjutkan dengan pemaparan dari Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Kesehatan mengenai tantangan kebijakan kesehatan dalam menghadapi stagnasi capaian pembangunan kesehatan. Pemaparan dibuka dengan penjelasan mengenai jenisa dari perencanaan yang terbagi menjadi tingkatan, yaitu perencanaan di daerah, perencanaan di kementerian dan perencanaan di tingkat nasional yang dilaksanakan baik per 1 tahun, per 5 tahun dan per 20 tahun. Sasaran pembangunan kesehatan difokuskan pada peningkatan umur harapan hidup, menurunnya angka kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup, menurunnya angka kematian bayi per 100 kelahiran hidup serta menurunnya prevalensi kekurangan gizi (gizi kurang dan gizi buruk) pada anak balita. Isu dalam desentralisasi adalah Sinkronisasi perencanaan: RPJMN dan RPJMD (siklus dan visi-misi kepala daerah), pembagian tugas dan pembiayaan antara pusat-provinsi-kabupaten kota masih tetap tidak jelas, monitoring dan evaluasi tidak berjalan dengan baik, aliran data tidak lancar, kapasitas tenaga kesehatan dan perekrutan dan penempatan tenaga. Beberapa kesenjangan yang diamati dalam studi ini adalah kesenjangan status kesehatan, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan tenaga kesehatan, distribusi dokter umum, focus kedepan adalah percepatan pencapaian pada indikator pembangunan kesehatan yang mengalami stagnasi dan mempertahankan capaian pembangunan kesehatan yang telah on the track. Peta Jalan Kepesertaan dalam menuju Jaminan Kesehatan Semesta (UHC), yaitu Pada tahun 2012 – 2013, terdapat 148,2 juta jiwa penduduk Indonesia telah memiliki jaminan kesehatan dalam berbagai jenis atau skema jaminan kesehatan yaitu Askes PNS, Jamkesmas, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek, Jamkesda, dsb. Sementara itu masih ada 90,4 juta jiwa penduduk yang belum memiliki jaminan kesehatan. Pada tahun 2012 – 2013, dilakukan persiapan-persiapan, yaitu Penyusunan sistem dan prosedur kepesertaan dan pengumpulan iuran; Sinkronisasi data kepesertaan JPK Jamsostek, Jamkesmas, Askes PNS, TNI/Polri dengan NIK; dan Pemetaan perusahaan dan sosialisasi.
Pada tahun 2014, dimana BPJS Kesehatan sudah operasional, pentahapan kepesertaan Jaminan Kesehatan dalam SJSN dimulai dengan dilakukan pengalihan peserta JPK Jamsostek, Jamkesmas, Askes PNS, TNI/Polri, ke BPJS Kesehatan. Peserta Jamkesmas yang menjadi penerima bantuan iuran (PBI) akan ditingkatkan jumlahnya menjadi sekitar 96,4 juta jiwa, sehingga total ada 121,6 juta jiwa yang dikelola oleh BPJS Kesehatan pada tahun 2014. Di sisi lain, ada data lain dari Komite Ekonomi Nasional (KEN) memproyeksikan terdapat 99 juta jiwa termasuk kelompok miskin dan rentan yang menjadi sasaran program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial. Sementara itu, ada 50,07 juta jiwa penduduk yang masih dikelola oleh Badan lain dan sekitar 73,8 juta jiwa yang masih belum memiliki jaminan kesehatan. Selama kurun waktu 2014-2018, dilakukan dengan pengalihan dan integrasi kepesertaan Jamkesda dan Asuransi Kesehatan Komersial serta Perluasan peserta pada usaha besar, sedang, kecil dan mikro secara bertahap BPJS Kesehatan memberikan pelayanan kesehatan yang terkendali mutu dan biayanya dengan melaksanakan yaitu Pengukuran kepuasan peserta secara berkala, 6 bulan sekali dan Kajian perbaikan manfaat dan pelayanan peserta setiap tahun. Pada tahun 2019, ditargetkan seluruh penduduk Indonesia sejumlah 257,5 juta jiwa telah dikelola oleh BPJS Kesehatan dengan tingkat kepuasan peserta sebesar 85%.