Laporan Hari II
Kunjungan ke RS Kluaynamthai
Pada hari ini peserta konferensi diberi pilihan untuk melakukan kunjungan lapangan ke berbagai tempat. Saya memilih mengunjungi RS Kluaynamthai, sebuah RS Swasta dengan 200 tempat tidur dengan omzet Rp 169 Milyar per tahun. Dari jumlah tersebut, 72% pendapatannya berasal dari asuransi kesehatan sosial Thailand. Saya berpikir, RS ini adalah RS Swasta "biasa" yang karena tidak memiliki pasar komersial memilih dikontrak pemerintah. Namun ketika sampai di sana, kesan itu salah sama sekali. Bila dibandingkan Jakarta, mungkin penampilan RS ini tidak kalah dengan RS MMC. RS ini milik sebuah keluarga pengusaha. RS ini juga memiliki satelit yang juga dikontrak oleh pemerintah untuk melayani peserta asuransi sosial. Dengan demikian rujukan berjalan optimal.
Saat ini di Bangkok terdapat 321 RS swasta yang dikontrak oleh pemerintah, dalam hal ini National Health Security Office. NHSO adalah organisasi otonom yang diberi tugas khusus untuk mengimplementasi Universal Coverage di Thailand. RS Kluaynamthai adalah RS yang dianggap mempunyai kinerja cukup baik oleh NHSO. Salah satunya karena sudah terdapat sistem informasi manajemen yang baik. Di RS Kluaynamthai, dokter diminta menginputkan informasi mengenai pasien yang diperiksanya sehingga bisa diketahui sejarah penyakit serta akan mempermudah utilization review. Pada kunjungan kami ke sana diperlihatkan bagaimana dengan mudah dikaji apakah seorang dokter akan memberikan pengobatan rasional atau tidak.
Sistem rujukan di RS tersebut juga patut dipuji karena sudah menggunakan teknologi telekonferens. Ditunjukkan kepada peserta konferensi bagaimana seorang dokter umum dapat berkonsultasi dengan dokter spesialis di RS tentang penanganan pasien Parkinson's Disease yang sudah kronis. Pasien tersebut tidak perlu harus setiap saat pergi ke RS untuk periksa ke Neurolog, namun cukup ke dokter umum untuk pemeliharaan. Memang pada saat diagnosis dan terapi awal pasien tersebut dirujuk, namun selanjutnya dokter umum di klinik satelit yang menangani.
Hal ini tentu berdampak pada tidak terlalu banyaknya orang yang harus antre di RS. Saya juga sempat mewawancarai pasien yang sedang menunggu di RS tersebut. Pasien mengaku cukup puas dengan pelayanan dan tidak terlalu lama menunggu, sekitar 30 menit.
Dapat dipahami bahwa ketika ada kunjungan dari tamu, semua hal-hal baik yang dilaporkan. Oleh karena itu saya mencoba bertanya untuk menggali permasalahan yang dihadapi. Saya menanyakan bagaimana kepuasan dokter spesialis di sini? Apakah mereka puas dengan sistem pembayaran oleh NHSO? Apakah dokter sering terlambat? Apakah dokter juga praktek di tempat lain? Jawabannya: "Ya kalau mereka tidak puas tentu sudah sejak dulu kami tidak mau kontrak dengan NHSO. Mengenai sistem pembayaran mereka tentu mengharapkan yang lebih baik. Namun itu wajar di mana-mana tentu orang menharapkan dibayar lebih tinggi". Sedangkan mengenai disiplin, dokter di Thailand menurut mereka cukup professional: mereka datang tepat waktu dan semua dokter di RS swasta tersebut adalah dokter penuh waktu (fulltime).
Ketika dalam perjalanan pulang, saya bersama delegasi Indonesia membahas lebih lanjut hasil kunjungan tersebut. Dapatkah kondisi seperti ini diterapkan di Indonesia? Salah satu delegasi menjawab: tentu saja bisa. Peraturan kita sudah mendukung adanya sistem rujukan berjenjang, pembatasan dokter spesialis berpraktek, akreditasi mutu rumah sakit dan sebagainya. Bahkan salah peserta Indonesia mengatakan sistem informasi yang ada di salah satu RS rujukan di Indonesia "lebih canggih dan lebih bagus" dari yang dilihatnya di Thailand. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik untuk menerapkan aturan tersebut, katanya. Saya hanya terdiam.
Telekonferens Dokter umum dengan RS
Jumlah RS Swasta dan Pemerintah di Thailand
Sistem Informasi RS Kluaynamthai
Ruang tunggu RS Kluaynamthai
Pasien dengan kartu Universal Coverage