Sesi 2b : Assessment diri sendiri

  Deskripsi Sesi

Sesi ini dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan organisasi dan institusi dalam usaha mengembangkan kecakapan penelitian pelayanan kesehatan mereka, baik institusi sektor publik maupun swasta. Sesi ini dapat berfungsi sebagai sumber inspirasi bagi organisasi dengan pengalaman terbatas ataupun yang sudah berpengalaman tapi menginginkan pengembangan yang lebih jauh atau yang ingin memperkuat infrastruktur mereka. Secara khusus, sesi ini dapat berfungsi sebagai sebuah sumber untuk:

  • Pengurus dan direktur organisasi yang ingin mengembangkan program penelitian pelayanan kesehatan mereka.
  • Pimpinan jurusan dan direktur program dengan pengalaman riset yang terbatas, yang tertarik untuk membuat atau mengembangkan program penelitian pelayanan kesehatan untuk mahasiswa dan staf mereka.
  • Peneliti perorangan yang ingin membuat sebuah program atau kelompok kerja bagi para peneliti pelayanan kesehatan.

Bahan referensi yang disarankan dalam sesi ini memberikan pendekatan yang mudah dan runut untuk merencanakan, menerapkan, dan memelihara infrastruktur penelitian. Langkah- langkah berikut ini tidak harus dilaksanakan secara berurutan.

Terdapat enam langkah untuk membangun sebuah infrastruktur penelitian yang efektif dan berkesinambungan, yaitu:

  1. Melaksanakan asesmen
  2. Mengusahakan budaya yang mendukung untuk penelitian
  3. Merencanakan dukungan infrastruktur.
  4. Berkomunikasi dengan penyandang dana (funding agencies), peneliti lain dan berbagi temuan
  5. Mengevaluasi infrastruktur
  6. Merencanakan kesinambungan

Asesmen diperlukan untuk menentukan prakarsa yang berhasil. Agar dapat menentukan tujuan, harus didasarkan pada informasi terkini yang memperlihatkan apa yang kita perlukan untuk membangun sebuah infrastuktur penelitian pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, sesi ini secara khusus akan membantu peserta melakukan self-assessment terhadap institusi penelitian tempat mereka bekerja.

 

  Tujuan Sesi

Sesi ini bertujuan untuk melakukan self-assessment dengan menggunakan tools yang tersedia. Setelah mengikuti sesi ini, peserta akan dapat:

  1. Melakukan self-assessment terhadap institusi penelitian tempatnya bekerja dalam hal pengembangan kapasitas lembaga
  2. Mengidentifikasi langkah-langkah perbaikan yg dapat dilakukan institusi penelitian tempatnya bekerja sebagai hasil dari self-assessment yang dilakukannya

 

  Isi sesi
 

Shita Dewi - Hand-out

  1. Peserta diberi lembar evaluasi / self assessment
  2. Peserta diberi waktu 30 menit untuk mengisi lembar evaluasi / self-assessment
  3. Fasilitator mendiskusikan 1-2 point hasil isian peserta untuk membantu peserta mengidentifikasi langkah-langkah pengembangan institusi penelitiannya

 

  Bahan Bacaan

Jennifer Stephens J, Levine R, Burling A, Russ-EftD . 2011. An Organizational Guide to Building Health Services Research Capacity. Agency for Healthcare Research and Quality Rockville, MD. American Institutes for Research Washington, DC. Telah diterjemahkan secara tidak resmi menjadi: "Sebuah Panduan Organisasional untuk Membentuk Kecakapan Dalam Penelitian Pelayanan Kesehatan. " (Dokumen terjemahan tidak resmi). 

 

Prof. Rohan Jayasuriya

The widening gap in equity of pluralistic health systems in low income and
middle income countries in Asia:
emerging issues in unregulated health systems.

Assoc. Prof. Rohan Jayasuriya

School of Public Health and Community Medicine,
Faculty of Medicine, UNSW, Australia

There is wide recognition that health systems in low income and middle income countries have substantial constraints and that efforts to strengthen them are failing. Evidence shows that in countries with pluralistic (ie mixed) systems there is a widening gap in universal access to primary care and a disproportionate financial burden on the poor. Historically many countries in Asia took the path to build publicly funded national health systems with a focus to cater for episodic care of acute disease.

These investments in secondary and tertiary facilities are now a costly burden in infrastructure and specialised staff. Most countries now face the heaviest burden of disease from chronic disease. Private health care has over the years lead to a distortion of demand and health seeking behaviour. Countries face policy issues of an unregulated private sector and dual practice of public sector staff. A comparative analysis of selected case studies from Asian countries will be used to illustrate the underlying factors that contributed to this situation and to analyse reform strategies, taken by design and default to respond to the emerging crisis.

NOTULENSI Lunch Seminar 

Sesi 2a : Kebutuhan penelitian kebijakan kesehatan dan kemampuan perguruan tinggi

  Deskripsi Sesi

Dalam pengantar pertemuan ditekankan bahwa system kesehatan yang terdesentralisasi di Indonesia, kebutuhan untuk melakukan penelitian kebijakan semakin besar. Sebagai gambaran berbagai kebijakan kesehatan tidak hanya diputuskan di level nasional, namun juga ada di propinsi dan kabupaten/kota. Di dalam UU BPJS Pasal 39 ayat 3 menyatakan kebutuhan untuk lembaga pengawas independen yang tentunya membutuhkan dukungan penelitian kebijakan. Kebutuhan ini akan dibahas dalam sesi ini. Dalam konteks kebutuhan ini pertanyaan pentingnya adalah apakah perguruan tinggi mampu untuk menjawab kebutuhan ini. Sebagai gambaran spesifik; apakah perguruan tinggi di Indonesia dapat menjadi memonitor pelaksanaan kebijakan BPJS, khususnya untuk mutu pelayanan klinis dalam konteks INA-CBG.

 

  Tujuan Sesi :

  1. Memahami Penelitian Kesehatan dan Penelitian Kebijakan Kesehatan;
  2. Memahami kebutuhan akan penelitian kebijakan kesehatan;
  3. Memahami beda konsultan, dosen, dan peneliti;
  4. Mengetahui kesiapan perguruan tinggi dalam penelitian kebijakan kesehatan.

 

isisesi  Isi sesi

Trisnantoro L. 2012. Hand-out. Kebutuhan penelitian kebijakan kesehatan dan kemampuan perguruan tinggi. PMPK

 

  Bahan Bacaan

Bennett S, Corluka A, Doherty A and Tangcharoensathien V. 2012.Approaches to developing the capacity of health policy analysis institutes: a comparative case study. Health Research Policy and Systems 2012, 10:7 http://www.health-policy-systems.com/content/10/1/7

Implementation research evidence uptake and use for policy-making (Health Research Policy and Systems 2012, 10:20

Jennifer Stephens J, Levine R, Burling A, Russ-EftD . 2011. An Organizational Guide to Building Health Services Research Capacity. Agency for Healthcare Research and Quality Rockville, MD.American Institutes for Research Washington, DC 

White F. 2002. Capacity-building for health research in developing countries: a manager's approach. Rev PanamSaludPublica/Pan Am J Public Health 12(3), 2002 

Yes, research can inform health policy; but can we bridge the 'Do-Knowing It's Been Done' gap? (Health Research Policy and Systems 2011, 9:23) 

 

What Next?

 

Kemitraan antara pemerintah, swasta dan akademisi akan menjadi kekuatan yang kuat untuk mengadakan perubahan dalam kebijakan.

Sebagian besar, pserta memilih kebijakan yang sifatnya monitoring kebijakan sambil berjalan belum sampai pada evaluasi kebijakan.

Proses pengambilan kebijakan, tetap harus mengacu kepada sequence dari ide ke piloting, ke policy paper ke legislasi ke pelaksanaan dan monitoring ke evaluasi, sampai dengan perubahan.

Pada proses legislasi sendiri juga ada sequence yang panjang, sama dengan pembentukan kebijakan itu sendiri. Kebjiakan ini melibatkan lintas kementrian, sehingga proses legislasinya juga panjang. Kebijakan itu juga bisa merupakan satu paket. Banyak perumusan masalah, lebih banyak ke penelitian system kesehatan. Untuk sampai ke penelitian kebijakan, harus memahami betul perundangan dan legislasinya. Untuk penelitian monitoring kebijakan, hanya melihat sequence proses pelaksanaannya, tidak sampai dengan evaluasi. Sekali lagi intinya harus melihat detail undang-undangnya.

Penulisan kebijakan harus dimulai dengan penelitian kebijakan yang ada. Banyak literasi dengan membaca kebijakan terdahulu. Kemudian dalam penulisan kebijakan banyak menggunakan istilah umum, jangan terlalu banyak menggunakan istilah asing. Ini untuk mengurangi, bias istilah bila dibaca oleh orang yang bukan dari kalangan khusus (akademisi dan praktisi).

Perspektif politik-ekonomi dan ideologi

Perspektif politik-ekonomi dan ideologi
kebijakan Universal Coverage /BPJS dan
pelayanan Medical Tourism

 

Tempat : Gedung Granadi, Jalan Rasuna Said, Jakarta Pusat Pukul 12.00 – 15.00

Pembicara Utama : Prof Laksono Trisnantoro

Pembahasan akan menganalisis persiapan BPJS tahun 2014, bagaimana persiapan pelayanan kesehatan sebagai industry? Termasuk juga bagaimana peluang medical tourism dimasa mendatang. Bagaimana kesiapan kita dalam industry ini. Saat ini Kadin belum memasukan kesehatan sebagai bagian agenda pengembangan industry nasional. Sampai saat ini hanya sebagai pengguna, belum sampai ke penyedia. Pertemuan ini juga mencoba prospek medical tourism ini pasca pelaksanaan BPJS mendatang. Hal ini mendorong PERSI dan KADIN harus berperan aktif untuk mendorong bagaimana industry kesehatan ini bisa dikelola.

Industri ini menghadapi kondisi ekonomi masyarakt yang menarik, 49% penduduk mempunyai penghasilan kurang dari 2US$ perhari. Jumlah orang kaya di Indonesia memiliki jumlah yang sama dengan penduduk Malaysia. Masyarakat Indonesia sangat heterogen. Posisi heterogen ini membuat adanya segmentasi di bidang pelayanan rumah sakit. Apakah ada ideoligi dibalik fenomena ini. Ideologi muncul ketika pasar dianggap gagal.

Ideologi; A set of doctrines or beliefs that form the basis of a political economic, or other system. Ideologi yang ada tidak cenderung dikotomi kanan dan kiri atau hitam putih, lebih cenderung ke abu abu. Tidak ada yang sosialis penuh, tetapi juga tidak ada yang murni liberalism. Ada kombinasi, misalnya sosialis dengan manajemen swasta yang kuat. Ada kombinasi yang unik, seperti kasus China politiknya komunis, namun Sistem Ekonominya liberal. Kasus cina menunjukkan ideology tidak menjadi penting. Yang penting kemampuan Negara untuk membiayai kebutuhan negaranya, dalam hal ini konteks kesehatan.

Negara kita butuh biaya yang besar sekali menuju ke era BPJS tahun 2014. Tetapi hal ini bisa diantisipasi dengan kombinasi dengan model asuransi swasta, dimana posisi yang 20% terkaya menggunakan pendanaan swasta. Sehingga terjadi ketimpangan pelayanan, dimana pelayanan kesehatan cenderung untuk melayani yang kaya, kemudian bagaimana pelayanan kesehatan untuk orang miskin??? BPJS harus memikirkan hal ini, sehingga dikotomi idealism bisa diminimisasi.Jika tidak dipersiapkan dengan matang, akan terhantam oleh industry kesehatan asing.

Sehingga pada akhirnya ada 2 pmikiran yang perlu didiskusikan; apakah perlu ada 2 ideologi atau hanya satu, tetapi diperkuat pondasinya.

Ilham Ilyas, Kadin,

Semua Industri di Indonesia mahal, termasuk pula untuk kesehatan. Untuk Kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah, termasuk dalam pendidikan. Sehingga pemerintah perlu untuk menekankan prioritas, terutama kesehatan. Medical tourism sebetulnya tidak tepat istilahnya, karena ada perbedaan antara bisnis kesehatan dan tourism.

Dokter cenderung kapitalisme, perlu ada perubahan paradigm baru supaya dokter tidak mengacu kepada kekayaan, tetapi lebih kepada pelayanan (masalah klasik). Bagi kadin, industry kesehatan sudah ada, tetapi belum ada koordinasi dengan pemerintah, sebagai pemberi pelayanan kesehatan terbesar di negeri.

Budi Suharto, Siloam Gleneagles, Kadin

Tidak semua dokter kapitalis, tetapi memang kecenderuangan modal dan investasi untuk pendidikan dokter yang menyebabkan kesehatan ini biaya tinggi.

Medical tourism bisa diakali dengan beberapa langkah, supaya tidak ada devisa lari keluar negeri (reverse outbound). Penyebabnya karena kelangkaan dokter spesialis. Saat ini terjadi kelangkaan dokter di dalam negeri. SDM yang ada juga tidak terdistribusi secara merata. Regulasi juga menjadi penyebab distribusi dan persaingan dokter menjadi tidak kompetitif. Potensi lain, adalah bagaimana turis asing juga bisa berobat di Indonesia (inverse rebound). Kompetisi lain adalah dengan high volume low margin. Sehinga penyebaran RS swasta juga menjadi lebih bagus dan menjadi lebih efisien, sebagai counterpart RS Swasta.

Ini menjadi isu menarik, SDM kurang, yang ada juga perlu ditingkatkan kualitas.Tetapi ada juga masalah di legislasi.

Dr Fatimah, RSCM Kepala Dept Bedah,

Kenapa spesialisasi tidak diberikan kepada swasta, karena bukan masalah instutsionalnya tetapi karena pola pendidikan. Sehingga akan riskan kalo pendidikan spesialis diserahkan kepada swasta, terutama control dan fakta sosialnya.

BPJS akan terjadi, ideologinya akan berjalan, tetapi sampai saat ini belum ada segmentasi ideology yang jelas. Kasus RS Narayana India, sudah mulai berubah ke konsepsi industrial health care. Sehingga industry kesehatan menjadi efisien karena produk produk pendukung sudah mulai di buat di dalam negeri. Sehingga dalam hal ini konsep high volume menjadi konsepsi yang bagus. Sehingga ideology ini perlu diperkuat diarah ke mana??..sehingga jelas arahnya.

Pembicara II; Gindo Tampubolon,

Penelitian di Inggris menunjukkan ada perubahan secara signifikan antara beban fiscal dengan kondisi beban kesehatan. Hal ini dikonversikan untuk kasus di Indonesia. Pendanaan perlu lebih smart alokasi sehingga tidak cepet habis. Perlindungan yang merata dan pendanaan yang efisien. Kasus di amerika menunjukkan bahwa orang yang tidak mempunyai asuransi kesehatan memiliki resiko financial yang yang besar juga. Amerika mempunyai rate 18% pengeluaran masyarakat untuk kesehatan, tetapi 18 persen amerika juga tidak mempunyai asuransi

Bagaimana system di Indonesia? System jaminan kesehatan di Indonesia harus bisa mencapai 2 tujuan utama. Pendanaan efisien dan pencapaian yang merata. Sistem pemeliharaan harus merata dan efisien. Belum tentu kita punya system canggih tapi system belum merata. Merata dan Efisien.

Kondisi Indonesia saat ini sperti amerika seabad yang lalu, ketika pemerintah mulai memikirkan bagaimana bisa melayani kesehatan masyarakat dengan dana yang tersedia. Tetapi belum memikirkan pemerataan dan efisiensi, akan menjadi boros dan dana yang ada akan cepat habis (jika kasus di Indonesia, banyak Jamkesda yang bangkrut sebelum pelayanan tuntas).

Pemerintah bisa saja melepaskan harga patokan pelayanan kesehatan kepada harga pasar dan ditentukan oleh asosiasi, tetapi jika tidak ada regulasi yang mengatur pembatasan, akan terjadi inefisiensi. Di amerika dan inggris, diperkuat dengan posisi supply sdm dan alat kesehatan, sehingga penguatan sisi supply akan membawa pengaruh di efisiensi penjaminan pelayanan kesehatan. Akan lebih mahal jika harus membeli dan mengimpor.

Indonesia harus tau diri, bahwa untuk jangka panjang system jaminan ini masih perlu proses waktu. Kasus amerika, sudah 100 tahun masih ada 20% yang belum terlindungi jaminan kesehatan. Selain itu Indonesia perlu data untuk mendukung system informatika kesehatan. Menyiapkan informasi pun perlu waktu untuk mendukung kebijakan pendanaan yang efisien.

Pak Toto, PERSI

BPJS sudah menjadi tuntutan rakyat, walopun prosesnya masih barjalan, tetapi kita harus optimis. Penentuan tariff dan kualitas menjadi key issue dalam sisi supply. Perhitungan premi harus tepat untuk mencapai target kualitas pelayanan kesehatan. Dalam era BPJS nanti costing menjadi isu penting. Yang menjadi masalah sekarang adalah bahwa yang menjadi BPJS nanti adalah ASKES, sedangkan ASKES adalah perusahaan profit. BPJS sendiri merupakan program not for profit.

Premi yang dibayar pemerintah harus sama dengan sama dengan premi yang dibayar oleh masyarakat, tetapi benefit yang diterima akan berbeda. UU BPJS yang ada saat ini masih terlihat ada posisi dikotomi yes or no (pake BPJS atau tidak), sehingga perlu ada kerja sama dengan asuransi swasta dan RS swasta.

Filosofi dasar universal coverage harus dijadikan landasan bagi pembiayaan kesehatan yang tepat. Sehingga jangan sampai semua dipikirkan tetapi melupakan hal pokok dan setengah hati. Apa saja hal pokok yang perlu dipikirkan? Salah satunya adalah pemikiran efisiensi dan pemerataan (baik sisi supply, proses dan quality). Sisi Supply masih bermasalah di sisi Kuantitas dan Kualitas. Termasuk dalam bagaimana mengawasi produksi tersebut dalam hal ini pendidikan dokter.

Infrastruktur masih mahal perlu efisiensi.

Data survey untuk analisis kebijakan

Pelatihan Tatap Muka Riset Kebijakan Kesehatan

"Penggunaan Data Sensus dan Survey Sebagai Dasar/Bukti
bagi Pengambilan Kebijakan Kesehatan yang berbasis Equity"

Pendahuluan
Situasi system kesehatan di Indonesia saat ini masih mempunyai berbagai tantangan berat. Ada masalah pemerataan pelayanan kesehatan, perencanaan kesehatan yang tidak tepat sasaran, pelaksanaan yang terdesak waktu, belum baiknya kesinambungan dan integrasi antar program kesehatan. Secara geografis masih terdapat ketimpangan antar regional dalam pelayanan kesehatan. Sebagai catatan di tahun 2014 program BPJS akan berjalan dengan asumsi sudah terjadi pemerataan pelayanan kesehatan.

Sementaraitu, kecenderungan regionalisasi dan desentralisasi system kesehatan semakin meningkat. Berbagai peraturan baru mengatur kebijakan regionalisasi dan desentralisasi. Konsekuensinya, kebijakan di pusat dan daerah harus sambung, tidak boleh terfragmentasi.

Di sisi pengambilan kebijakan, masih ada kekurangan pemahaman mengenai kebutuhan penelitian yang dapat meningkatkan efektifitas pengambilan kebijakan. Dalam dekade 2000an ini berbagai kebijakan nasional dan regional tentang kesehatan terlihat ditetapkan tanpa masukan penelitian. Bagaimana hasilnya? Sejarah telah mencatat berbagai kebijakan nasional yang sulit disebut sebagai efektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah memang tidak diperlukan penelitian kebijakan?

Pertanyaan ini menarik karena masalahnya adalah belum tersedianya peneliti tentang kebijakan kesehatan di nasional dan regional/daerah dalam jumlah yang cukup. Saat ini peneliti kebijakan masih langka. Pusat – pusat penelitian kebijakan kesehatan masih terbatas, dan terutama berada di kota – kota besar di Jawa.

Dengan minimnya tenaga peneliti kebijakan, terjadi suatu situasi dimana tidak ada dorongan untuk melakukan penelitian kebijakan. Celakanya di sisi pengambil kebijakan, masih ada pendapat yang menganggap tidak perlu adanya penelitian kebijakan yang independen. Sejarah mencatat bahwa beberapa kebijakan besar (contoh Askeskin, penurunan angka kematian ibu dan bayi, penggunaan pathways), dilakukan tanpa didahului, dimonitor pelaksanaannya, dan dievaluasi oleh penelitian yang independen. Akibatnya efektifitas kebijakan menjadi buruk dan sulit dinilai.

Dalam suasana ini, dapat dipahami bahwa saat ini terjadi kekurangan peneliti dalam kebijakan kesehatan. Kekurangan ini diperburuk dengan kenyataan bahwa penelitian kebijakan merupakan bentuk penelitian multi disiplin yang belum terbiasa dilakukan oleh peneliti di bidang kesehatan. Banyak ilmu dan konsep yang berasal dari ilmu – ilmu social dan politik, serta ekonomi. Fakta lain adalah bahwa dana untuk penelitian kebijakan menjadi tidak terperhatikan. Resultan dari berbagai hal tersebut berakibat burukya itu metode penelitian kebijakan dalam system kesehatan menjadi tidak terperhatikan.

Akan tetapi pada beberapa tahun belakangan ini, WHO dalam kelompok Alliance for Health Policy menyelenggarakan berbagai pertemuan dan penelitian untuk menguatkan metode riset dalam kebijakan kesehatan serta system kesehatan. Di tahun 2012 keluar buku yang diedit oleh Lucy Gilson berjudul Health Policy and Systems Research: A Methodology Reader. Buku ini member peluang bagi peneliti di Indonesia untuk mengembangkan kemampuan dalam penelitian kebijakan kesehatan dan system kesehatan.

Sebagai seorang peneliti, data merupakan senjata utama untuk membuat suatu analisis kebijakan. Masalah data memang menjadi masalah klasik di Indonesia, misalnya validitas data, kualitas dari data yang dikumpulkan sampai dengan masalah re-call biased, belum lagi sampai dengan masalah cakupan dari data itu sendiri (misalnya apakah valid hanya untuk nasional, propinsi, atau kabupaten/kecamatan). Di Indonesia, telah berulang kali diadakan survey-survey besar, misalnya Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), Indonesia's Family Life Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), SDKI, Sakerti dsb.

Tujuan Pertemuan Tatap Muka

Tujuan pertemuan tatap muka ini adalah untuk:

  1. Membahas implementasi penggunaan data dari hasil Sensus dan Survey yang ada di Indonesia untuk membuat suatu dasar analisis (evidence) bagi pengambilan kebijakan pelayanan kesehatan.
  2. Menyiapkan pelatihan Jangka Panjang melalui mekanisme Jarak – Jauh yang membahas equity di sector kesehatan.

Metode, Waktu dan Tempat Pertemuan Tatap Muka

Pertemuan ini akan menggunakan system seminar satu hari dengan pembicara Gindo Tampubolon, MSc, PhD (Manchester University, Inggris)

Waktu    : Hari Sabtu, 8 September 2012
Tempat  : Ruang Kuliah S3, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Acara satu hari ini akan dilanjutkan dengan Kursus Jarak Jauh Equity dan penggunaan data survey dalam analisis equity.


WAKTU

ACARA

NARASUMBER

8.30 - 9.00

Registrasi

Panitia

9.00 – 9.30

Pengantar

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

9.45 – 10.45

Sesi I. Penggunaan data survey/sensus untuk penyusunan kebijakan kesehatan

Gindo Tampubolon, PhD

10.45 – 11.00

rehat

11.00 – 12.00

Sesi II. Teknik analisis data dan implementasinya dalam penyusunan kebijakan

Staf dari RTI yang  biasa menggunakan data survey(IFLS) - Wayan Suriastini

12.00 – 13.00

ISHOMA

13.00 – 15.00

Diskusi dan Latihan

Moderator:  Tiara Martias

15.00 – 15.30

Rencana Tindak Lanjut, terkait dengan PJJ mengenai Equity

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

Notulensi - Tiara Marthias

Peserta : Peserta Pelatihan Jarak Jauh Riset Kebijakan Nasional dan Peneliti kebijakan kesehatan

Demikian informasi untuk penyampaian materi penggunaan data survey. Harapannya, peserta akan tergerak menggunakan data-data hasil survey yang ada untuk dapat membuat suatu evidence bagi kebijakan kesehatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perspektif Politik – Ekonomi dan Ideologi Kebijakan Universal Coverage BPJS dan Pelayanan Medical Tourism

Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
(PMPK FK UGM)

Menyelenggarakan
Diskusi Makan Siang

Perspektif Politik – Ekonomi dan Ideologi
Kebijakan Universal Coverage BPJS dan
Pelayanan Medical Tourism

Hari-tanggal: Selasa, 4 September 2012
Tempat: Ruang Kuliah MMR Gedung Granadi Lantai 10 Kuningan Jakarta Selatan
Pukul 12.00 – 15.00

Pengantar

Pelayanan kesehatan di Indonesia mempunyai dua kutub yang berbeda jauh. Pertama adalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Jamkesmas saat ini dan pelayanan bagi masyarakat menengah atas. Pelayanan bagi masyarakat menengah atas saat ini masih dirasakan buruk karena banyak masyarakat Indonesia pergi keluar negeri untuk mencari pengobatan. Dalam konteks "medical tourism", Indonesia dikenal sebagai pasar, bukan penyedia jasa. Menghadapi era BPJS, situasi ini menarik untuk dibahas dan dianalisis.

Pembahasan dilakukan dalam perspektif ekonomi-politik dan ideologi kebijakan BPJS dan "medical tourism". Pembahasan ini menarik karena dalam konteks ideologi, jelas bahwa SJSN dan pembentukan BPJS berdasarkan ideologi sosialis (welfare-state). Universal Coverage diilhami oleh pandangan politik-ekonomi kiri yang banyak dilakukan di Eropa Barat, bekas jajahan Inggris, dan Negara – Negara sosialis seperti Kuba. Sementara itu "medical tourism" merupakan pelayanan kesehatan berdasarkan mekanisme pasar, yang bahkan cenderung mengarah kepandangan neo-liberalisme.

Menjadi pertanyaan untuk Indonesia: Apakah ideologi kebijakan kesehatan di BPJS ini benar-benar sosialisme, ataukah bentuk populisme yang tidak mempunyai dasar logika kuatter masuk segi pendanaan. Pertanyaan selanjutnya, apakah di Indonesia untuk pelayanan kesehatan dapat mempunyai dua ideologi: untuk yang miskin berupa sosialisme kesehatan, sementara bagi kelas menengah atas menggunakan ideology pasar. Situasi menarik terjadi di Thailand: Ada kebijakan Universal Coverage, namun di sisi lain Medical Tourism berkembang pesat terutama di Bangkok. Apakah Indonesia akan mengikuti pola Thailand?

Tujuan Diskusi

  1. Membahas kebijakan SJSN-BPJS, dan Medical Tourism dengan pendekatan perspektif politik – ekonomi dan ideologi kebijakan;
  2. Membahas perkembangan di Inggris dan berbagai Negara lainnya;
  3. Membahas skenario kebijakan mendatang mengenai SJSN dan Medical Tourism dalam konteks sejarah masa lalu.

 Pembicara :
  1. Laksono Trisnantoro, Professor dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta materip
  2. Gindo Tampubulon, Dosen di University of Manchester Inggris.
Pembahas : 
 Dr. Sutoto - PERSI materip

Notulensi :
Deni Herbianto materip

Audio Streaming :

Waktu Pelaksanaan :

Hari – tanggal  : Selasa, 4 September 2012
Tempat           : Ruang Kuliah MMR, Gedung Granadi Lt. 10, Kuningan Jakarta Selatan
Pukul              : 12.00 – 15.00 WIB

Pendaftaran pada :

Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Angelina Yusridar
Telp/Fax. : 0274-549425
HP. 08111 498 442
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net

Pendaftaran paling lambat hari Senin tanggal 3 September 2012

 

 

 

 

 

 

WORKSHOP RESPON CEPAT KEMATIAN IBU DAN ANAK DI TINGKAT KABUPATEN

KERANGKA ACUAN

WORKSHOP
RESPON CEPAT KEMATIAN IBU DAN ANAK DI TINGKAT KABUPATEN

Yogyakarta, 1 Agustus 2012

DASAR PEMIKIRAN

D.I.Yogyakarta saat ini memang masih menjadi provinsi dengan angka kematian ibu dan anak yang sangat baik untuk Indonesia, bahkan pencapaiannya sudah mencapai target MDG 2015. Tetapi bila dilihat melalui kematian absolut ibu dan neonatus ternyata menunjukkan trend peningkatan yang cukup signifikan bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Untuk itulah diadakan berbagai pertemuan pendahuluan selama 6 bulan terakhir ini yang membahas mengenai rencana perbaikan kondisi di Yogyakarta dimana dihadiri oleh seluruh elemen terkait dari dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten, sepakat untuk menyusun sebuah manual rujukan provinsi khusus untuk KIA, dimana manual ini yang akan mengendalikan alur datangnya pasien dari pelayanan primer hingga ke RS PONEK disertai dengan sumber pembiayaannya.

Terkait dengan hal itu dilakukan juga analisis kematian menggunakan angka absolut sebagai acuannya. Analisis ini ternyata membuktikan bahwa telah terjadi penurunan angka kematian dalam periode satu semester 2012 ini dibandingkan tahun 2011. Penurunan yang terjadi hampir mencapai 50%. Sehingga ada kemungkinan bahwa perhatian penuh dari seluruh elemen terkait dapat menurunkan laju kematian ibu secara absolut. Sayangnya pada periode yang sama jumlah kematian bayi justru meningkat. Diharapkan setelah mengikuti workshop ini akan terbentuk sistem surveilance cepat di semua kabupaten DIY terkait dengan kematian ibu dan kematian bayi untuk menanggapi data yang ada.

Tren Peningkatan Kematian Neonatal 23 Juli

TUJUAN

Tujuan Umum:

Terbentuknya rancangan surveilance cepat di setiap kabupaten/kota untuk menanggapi data dan hasil AMP kematian ibu dan bayi/neonatal.

Tujuan Khusus Pertemuan Advokasi dan Evaluasi:

  1. Mengevaluasi keberhasilan pencapaian manual rujukan KIA di masing-masing kabupaten
  2. Menyusun rancangan sistem surveilance cepat KIA di tingkat kabupaten/kota, dari aspek manajerial dan klinis
  3. Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang terjadi dalam penyusunan manual rujukan KIA
  4. Menyusun rencana tindak lanjut tingkat kabupaten/kota terkait manual rujukan KIA.
TEMPAT :

Ruang Kuliah Lantai 3 Gedung IKM FK UGM

WAKTU :

Rabu, 1 Agustus 2012. Pukul 12.00-16.00 WIB

PESERTA dan JADWAL MASING-MASING KEGIATAN

Terlampir

INDIKATOR KEBERHASILAN
  1. Terdapat rancangan sistem surveilance cepat kematian ibu dan anak tingkat kabupaten/kota
  2. Disepakati indikator keberhasilan dari manual rujukan khusus KIA (Input, Proses, Output)
  3. Terlaksananya advokasi bagi para pemangku kepentingan di 5 kabupaten/kota
  4. Tersusun Rencana Tindak Lanjut Kabupaten/kota terkait manual rujukan KIA
BIAYA

Penyelenggaraan kegiatan ini dibiayai oleh masing-masing yang terkait (tidak tersedia biaya khusus)

PELAPORAN

Laporan pelaksanaan kegiatan ini akan dibuat oleh Pusat Managemen Pelayanan Kesehatan (PMPK) FK-UGM sebagai penanggung jawab kegiatan.

PENUTUP

Demikian TOR ini dibuat sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan

Yogyakarta, 20 Juli 2012

Penanggung Jawab

PROGRAM WORKSHOP RESPON CEPAT KIA

Ttd

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

 

No.

Instansi

Jumlah

1

Kementerian Kesehatan            

3 orang

 

1. Direktorat Kes. Ibu
2. Direktorat Ke. Anak
3. Direktorat Rujukan

1
1
1

2

Provinsi Yogyakarta

5 orang

1. Kepala Dinas Kesehatan Prop.DIY
2. Seluruh Kabid yang terkait

1
4

3

Kabupaten/Kota (5)

35 orang

 

1. Kepala Dinas Kesehatan
2. Penanggung Jawab Rujukan Tingkat Kabupaten
3. Direktur RSUD Kab/Kota
4. Spesialis Anak
5. Spesialis Obsgyn
6. Spesialis Interna
7. Spesialis Anestesi

5
5
5
5
5
5
5

4

RSUP Dr.Sardjito

5 orang

1. Drektur Utama
2. Spesialis Anak
3. Spesialis Obsgyn
4. Spesialis Penyakit Dalam
5. Spesialis Anestesi

1
1
1
1
1

5

Fasilitator Kabupaten/kota

5  orang

 

1. Fasilitator Kota Yogyakarta (dr.Phyowai, Sp.OG.)
2. Fasilitator Kabupaten Bantul (dr.Sitti Noor Zaenab, M.Kes)
3. Fasilitator Kabupaten Gunung Kidul (dr.Ova Emilia, Sp.OG)
4. Fasilitator Kab. Kulonprogo (dr.D.K.Setyowireni, Sp.A)
5. Fasilitator Kab. Sleman (dr.Shinta Prawitasari, Sp.OG)

1
1
1
1
1

6

Narasumber NTT

1 orang

 

  1. Dr. Yoseph (Kepala dinas Kabupaten Flores Timur)

1

7

PMPK FK UGM

12 orang

 

Agenda Rabu 1 Agustus 2012 Pukul 12.00 – 16.00 WIB

Tanggal/jam

Acara

Narasumber

Fasilitator/ moderator

12.00-12.30

Registrasi

-

-

12.30-13.00

Pembukaan dan Pengarahan dari  Kemenkes RI

Kemenkes RI

Dr. Hanevi Djasri

Pembukaan dan Pengarahan dari Ketua Tim Penyusun Manual Rujukan Yogyakarta

Dr. Ova Emillia

Pembukaan dan Pengarahan dari Dinas Kesehatan Provinsi

Kadinkes Prop.D.I.Y

Respon cepat kematian ibu dan anak di tingkat kabupaten

Prof Laksono

13.00-13.30

Diskusi umum

-

13.30-14.00

Respon Cepat KIA menggunakan konsep 2H2 di Kabupaten Flores Timur, NTT

Dr. Yoseph (Kadinkes Flotim)

Dr. Hanevi Djasri

14.00-14.15

Paparan hasil kunjungan monitoring manual rujukan 5 Kabupaten/Kota di DIY

Dr. Siti Noor Zaenab

14.15-15.15

Disko masing-masing Kab/Kota:

  1. Rancangan Respon Cepat Kematian Ibu dan Kematian Anak
  2. Penyusunan Indikator manual rujukan KIA (Input, Proses, Output)
  3. Penyusunan RTL

Fasilitator masing-masing

Dr. Hanevi Djasri

15.15-15.45

Presentasi hasil Disko Kab/Kota

Perwakilan Kab/Kota

 

-

15.45-16.00

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kemenkes RI

Kadinkes Yogyakarta

Prof Laksono