Pleno Pagi 1
Kesiapsiagaan, Kesiapan, Tanggapan, dan Pemulihan Sistem Kesehatan dalam Pandemi COVID-19
Pada pleno pagi, terdapat empat pembicara yang akan mengajak peserta berdiskusi. Pertama ialah Profesor EK Yeoh selaku Direktur, Pusat Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Kesehatan Masyarakat dan Perawatan Primer JC, The Chinese University of Hong Kong. Professor EK Yeoh menyampaikan tentang Kesiapsiagaan, Kesiapan, Tanggapan, dan Pemulihan Sistem Kesehatan dalam Pandemi COVID-19. Materi disampaikan berkaitan dengan hasil studi dengan kerangka sistem deteksi dini, asesmen, dan respons (S-EDAR) di Hong Kong, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Shanghai China selama menangani pandemi COVID-19.
Studi ini menemukan bahwa S-EDAR di Hong Kong telah dirumuskan dan disusun dengan empat sesi yakni rencana kesiapsiagaan, operasional kesiapsiagaan, sistem respons dan pemulihan rencana kesiapsiagaan. Kerangka kerja S-EDAR yang disempurnakan ini akan menjadi sistem evolusioner yang kuat untuk memungkinkan kesiapsiagaan, kesiapan operasional, respons tepat waktu untuk memperkuat sistem kesehatan dan ketahanan masyarakat terhadap pandemi di masa depan.
video
Pleno Pagi 2
Kesiapsiagaan dan ketanggapan terhadap pandemi di New South Wales, Australia
Pembicara dari Australia, Dr Kerry Chant selaku Chief Health Officer, New South Wales, Dr Jeremy Mcanulty selaku Executive Director of Health Protection NSW, dan Dr Christine Selvey selaku Director of Communicable Disease Branch, Health Protection NSW, memulai dengan membagikan pengalaman mengenai penanganan pandemi. NSW memiliki pengalaman menangani pandemi influenza 2009, Ebola 2014-16, dan 2017 influenza season, tetapi penanganan COVID-19 ini tetap memiliki tantangan tersendiri. Mirip dengan di Indonesia yang mengalami peak di Delta dan Omicron, jumlah kasus saat Omicron dapat mencapai lebih dari 10 kali lipat dibandingkan saat peak Delta.
Hal yang digarisbawahi oleh pembicara adalah bagaimana NSW menggunakan beberapa data, tidak hanya data terkait kasus harian COVID-19 saja, tetapi juga data terkait pelayanan kesehatan lainnya misalnya jumlah outbreak yang terjadi di aged care, ketersediaan dan akses ke obat antiviral, pemanfaatan pelayanan telekonsultasi, dan sebagainya.
Pemerintah NSW menegaskan beberapa strategi penting dalam penanganan pandemi. Pertama, pentingnya rolling out teknologi efektif secara cepat antara lain vaksinasi, tes PCR dan tes rapid antigen secara mandiri, adanya pelayanan berbasis SMS, e-apotek, dan pelayanan kesehatan virtual atau telekonsultasi. Kedua, struktur dan sistem kewaspadaan untuk kegawatdaruratan kesehatan atau pandemi perlu diformalkan guna meningkatkan resiliensi sistem kesehatan. Ketiga, apa yang dikomunikasikan oleh pemerintah kepada masyarakat menjadi hal yang paling krusial dalam ‘memimpin’ dan mengelola apabila terjadi kegawatdaruratan kesehatan masyarakat. Christine kemudian memberi contoh bahwa komunikasi risiko ini melibatkan populasi minoritas, misalnya aboriginal dan dari organisasi multikultural, dan memastikan pesan yang disampaikan dipahami oleh mereka (menggunakan berbagai bahasa). Christine menutup dengan menggarisbawahi perlunya fokus pada pelayanan kesehatan primer yang setara (equitable), yang melibatkan semua pemberi pelayanan termasuk praktik perorangan dan apotek serta pentingnya investasi yang berkesinambungan pada pelatihan sumber daya manusia, pengintegrasian data dan pemanfaatan teknologi dalam rangka meningkatkan kesiapan sistem kesehatan.
video
Ketahanan Sistem Kesehatan dalam Pandemi COVID-19 di Indonesia
Pembicara empat dari pleno pagi dari Indonesia oleh dr. Siti Nadia Tarmizi selaku Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan di Indonesia. Sebagaimana pembicara lainnya, Nadia juga berbagi cerita tentang Ketahanan Sistem Kesehatan dalam Pandemi COVID-19 di Indonesia. Selama pandemi, pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan public health and social measure (PHMS). Dengan PHMS, Indonesia mengkolaborasikan upaya dari pemerintah melalui test, treat and trace (3T), vaksinasi dan komunitas (wearing mask, hand hygiene and physical distancing).
Selama pandemi COVID-19, ketahanan kesehatan juga dilakukan dengan mengikuti tiga instruksi Presiden untuk vaksinasi gratis secara merata, prioritas keuangan untuk pandemi dan mendorong masyarakat menerapkan protokol kesehatan. Dari situasi pandemi COVID-19 ini, pemerintah Indonesia melakukan transformasi sistem kesehatan untuk mempersiapkan ketahanan sistem kesehatan pada masa depan. Transformasi sistem kesehatan ini terdiri dari enam pilar transformasi pada layanan primer, rujukan, ketahanan kesehatan, keuangan, tenaga kesehatan dan teknologi kesehatan.
video
Ketahanan Sistem Kesehatan dalam Pandemi COVID-19 di Singapura
Dilanjutkan pembicara terakhir pleno pagi dari Singapura oleh Professor Vernon Lee selaku Direktur Senior, Divisi Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan. Lee menyampaikan terkait Ketahanan Sistem Kesehatan dalam Pandemi COVID-19 di Singapura. Selama pandemi COVID-19, untuk memastikan ketahanan dalam sistem kesehatan adalah perencanaan kesiapsiagaan selama bertahun-tahun yang berfokus pada penguatan struktur manajemen krisis dan memastikan tata kelola yang baik. Sama halnya dengan Indonesia, Singapura membangun rumah sakit yang khusus menangani pandemi. Serupa dengan negara-negara sebelumnya, kunci dari pengendalian COVID ini pada pengendalian batas negara, surveilans kasus yang diikuti karantina, komunikasi risiko ke publik, dan vaksinasi.
Surveilans yang dilaksanakan tidak hanya surveilans terkait kasus positif, tetapi juga surveilans pada limbah dan genomik. Adanya informasi tambahan surveilans limbah ini dapat memberikan informasi yang penting dalam hal mengurangi angka transmisi. Singapura juga mengedepankan peran dari penelitian dalam pengendalian pandemi. Di samping itu, rumah sakit swasta dilibatkan dalam memperluas kapasitas untuk tatalaksana COVID-19, dan mengadakan program public health preparedness clinics, sehingga klinik ini dapat berperan dalam menangani non-communicable diseases. Bila Indonesia memiliki Peduli Lindungi, Singapura memiliki program Trace Together, yaitu aplikasi bluetooth-based untuk contact tracing. Kunjungan rumah juga dilaksanakan dalam rangka memperluas cakupan vaksinasi pada masyarakat, yang utamanya untuk lansia.
Dalam hal kesiapan pada bencana, perlu adanya kerangka atau plan untuk disaster, yang sudah diujicobakan atau melakukan drill sehingga saat ‘war time’ tiba, sistem kesehatan sudah siap. Lee menekankan perlu antisipasi hal-hal yang tidak terduga, dan rencana kesiapsiagaan harus mencakup pendekatan yang fleksibel untuk memungkinkan respons yang bervariasi dan terkalibrasi selama fase pandemi yang berbeda, terutama untuk memperhitungkan lonjakan kebutuhan kapasitas selama pandemi.
Dalam sesi diskusi, salah satu peserta menanyakan faktor apa yang membuat Professor Vernon Lee yakin dengan keputusan saat itu bahwa ‘live with the virus’. Professor Vernon Lee menanggapi bahwa aspek yakin itu didukung adanya vaksinasi yang sangat tinggi, analisis data yang ada serta modeling menggunakan data tersebut. Modeling antar angka kasus dan cakupan vaksinasi membuat pemerintah dapat memperhitungkan resources yang dibutuhkan serta keuntungan yang akan diperoleh dari kebijakan yang diambil.
video
Pleno Sore 3
Ketahanan Operasional dalam Pandemi COVID-19 di Indonesia
Knowledge event dilanjutkan kembali pada pleno sore yang dilanjutkan dengan pembahasan tentang Ketahanan Tingkat Operasional di Indonesia, China dan Thailand. Pembicara pertama adalah Professor Laksono Trisnantoro selaku Professor of Health Policy and Management, Department of Health Policy and Management, Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Laksono menceritakan bagaimana kebijakan operasional dari COVID-19 di Indonesia. Pembelajaran dari Indonesia didapatkan bahwa pengalaman penanganan COVID-19 membutuhkan pengetahuan lain, tidak terbatas hanya kesehatan.
Menurut Laksono, semua pengetahuan dengan transdisiplin ilmu dibutuhkan dalam manajemen operasional selama pandemi COVID-19 untuk dapat menetapkan kebijakan. Dengan adanya transdisiplin tersebut dibutuhkan pula partisipasi dari multi pemangku kepentingan. Untuk menggunakan pendekatan ini dibutuhkan pula kepemimpinan yang kuat untuk mengelola berbagai kemampuan dalam membuat keputusan.
video
Ketahanan Operasional dalam Pandemi COVID-19 di Tiongkok
Dilanjutkan dengan China oleh Professor Ying Yao Chen selaku Deputy Dean, School of Public Health, Fudan University, China. Ying menceritakan China membentuk Mekanisme Prevensi dan Kontrol dengan sembilan sembilan group kerja dan dilakukan pada setiap level. Selama pandemi COVID-19 dijelaskan pemerintah China mengalokasi banyak keuangan untuk penanggulangan penyebaran virus. Instrumen kebijakan yang digunakan China untuk penanggulangan COVID-19 menggunakan 4R model yakni recovery, readliness, responses dan reductions.
Selama pandemi COVID-19 Wuhan melakukan berbagai upaya dalam mempertahankan sistem kesehatan utamanya menyediakan tenaga kesehatan, membentuk alur diagnosa dan perawatan untuk pasien infeksi, menyediakan layanan isolasi dan melakukan analisis pembiayaan. Wuhan juga menerapkan HTA dalam ketahanan kesehatan ketika pandemi untuk meningkatkan alokasi sumber daya kesehatan, sistem RS, dan kesehatan masyarakat. Profesor Yao juga menceritakan dalam sistem RS selama pandemi telah dilakukan perluasan kapasitas rumah sakit publik, memperkuat manajemen, tenaga kesehatan dan membangun layanan kesehatan digital.
video
Ketahanan Operasional dalam Pandemi COVID-19 di Thailand
Pembicara terakhir untuk topik ini dari Thailand oleh Professor Siripen Supakankunti selaku Professor, Centre of Excellence for Health Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand. Supakankunti menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan dan WHO bersama berbagai pemangku kepentingan lainnya di Thailand selama pandemi COVID-19 telah membentuk berbagai kebijakan untuk merespons situasi. Kesuksesan kebijakan ini membutuhkan lima hal penting seperti ketersediaan dan kompetensi dari tenaga kesehatan, modal sosial, peraturan khusus penyakit menular, ketersediaan anggaran, sumber daya manusia dan adanya pembagian peranan antara pemangku kepentingan khususnya antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Setelah tiga pembicara pada pleno siang memaparkan pengalaman dari masing-masing negaranya. Moderator membuka sesi diskusi, pertanyaan pertama berkaitan dengan pelibatan pemangku kepentingan dalam melaksanakan ekonomi kesehatan. Ketiga pembicara menyampaikan bahwa isu ekonomi kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab besar sektor keuangan atau kementerian keuangan. Sebagaimana selama pandemi COVID-19, ekonomi kesehatan juga menjadi perhatian besar bagi Kementerian Kesehatan. Pertanyaan kedua dan ketiga berkaitan pelibatan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan selama pandemi COVID-19 yang banyak dipengaruhi aspek politik dan membutuhkan dasar akademik.
video
Pleno Sore 4
Ketahanan Komunitas
Topik pleno sore kedua membahas tentang Ketahanan Komunitas. Sesi ini diawali dengan pembahasan tentang Melindungi Privasi dan Membangun Kepercayaan untuk Ketahanan Komunitas oleh Ada Lai-ling Chung selaku The Privacy Commissioner for Personal Data, The Office of the Privacy Commissioner for Personal Data, HKSAR. Chung menceritakan langkah-langkah yang dilaksanakan dalam global health security, salah satunya adanya contact tracing apps. Contact tracing apps banyak diterapkan saat COVID-19, termasuk di Indonesia dengan Peduli Lindungi-nya.
Tetapi bagaimana dengan risiko kerahasiaan pribadi? Di Singapura ada penolakan contact tracing apps, sehingga membahayakan community resilience. Di Hongkong ada aplikasi LeaveHomeSafe yang diperkenalkan pada November 2020, dan diwajibkan di akhir 2021. Semua penduduk Hongkong wajib scan QR code sebelum diperkenankan masuk tempat umum tersebut. Apabila ada kasus positif di suatu tempat, maka orang-orang yang mendatangi tempat yang sama akan mendapat notifikasi bahwa terdapat suspek kasus di wilayah tersebut. Upaya-upaya dilaksanakan untuk melindungi privacy data, antara lain meminimalkan data yang dikumpulkan dengan tidak mengumpulkan data lokasi, tidak meminta registrasi, juga meminimalkan data yang diunggah sehingga data mengunjungi tempat tertentu hanya ada di smartphone pengguna. Data kunjungan pun dienkripsi dan otomatis dihapus setelah 31 hari. Seluruh data sudah dihapus saat kebijakan tidak diberlakukan lagi.
Selain LeaveHomeSafe, Hong Kong juga memiliki health passport, yang berisikan data vaksinasi dalam bentuk kertas atau elektronik yang perlu ditunjukkan saat memasuki tempat umum. Penerapan health passport ini dihentikan pada December 2022. Langkah-langkah melindungi data, selain yang sudah disebutkan di atas adalah data kunjungan yang hanya tersimpan oleh operator tempat umum, dan hanya data QR code yang ditampilkan. Prinsip-prinsip tersebut lah, meminimalkan informasi yang diunggah, membatasi penyimpanan data, serta melakukan data enkripsi, merupakan hal yang setidaknya dilakukan untuk melindungi privasi masyarakat.
video
Membangun Masyarakat yang Tangguh untuk Menghadapi Pandemi di Masa Depan di Filipina
Pembicara selanjutnya Professor Maria Elena B. Herrera, FASP, PHD, dari Faculty of Asian Institute of Management Makati City, Metro Manila Philippines. Herrera membagikan pengalaman bagaimana Filipina mengoptimalkan analisis data, yang awalnya melihat modelling untuk berbagai skenario. Skenario yang dilakukan mempertimbangkan jumlah kasus lama, kasus baru, jumlah kasus yang dirawat di rumah sakit, jumlah kematian, serta berapa estimasi beban ekonomi yang terjadi pada masing-masing skenario. Tentunya terdapat beberapa tantangan menggunakan dan skenario ini, yang utama adalah keterbatasan data yang tersedia. Hal yang lebih penting digarisbawahi oleh Herrera adalah data bukanlah tujuan akhir tetapi merupakan permulaan: permulaan dalam merancang program atau kebijakan, permulaan dalam pengadaan dan pengalokasian sumber daya, dan sebagainya.
video
Membangun Masyarakat yang Tangguh Menghadapi Pandemi di Masa Depan di Shanghai, Tiongkok
Professor Fan Wu, Deputy Dean dari Shanghai Medical College Fudan University, China, melanjutkan mengenai penguatan community resilience dari pengalaman di Shanghai, China, mega city dengan penduduk sekitar 24 juta jiwa. Secara umum, terdapat 2 pola dalam pengendalian COVID-19, pola 1 yang terjadi sampai pada puncak Delta dan pola 2 yang terjadi setelahnya. Pada pola 1, kunci pengendaliannya adalah skrining, contact tracing, dan respon cepat untuk mengendalikan potensi penyebaran. Di pola 1 ini tentunya sumber daya yang ada banyak tersedot, dan dalam jangka panjang bisa menyebabkan ‘kelelahan’ dari sistem kesehatan. Tetapi pada pola 2, ada aspek penguatan masyarakat berperan krusial dalam pengendalian pandemi.
Salah satu outbreak yang terjadi yaitu di Januari 2021 di apartemen di Huangpu, di mana dalam 15 jam terdeteksi 1000 kontak erat, 3300 individu berisiko, 30 taksi dan 20 restoran. Ledakan kasus lokal itu berhasil dikendalikan dalam waktu 2 minggu dengan mengerahkan tenaga untuk tracing dan karantina. Pengalaman lain yaitu pada 31 Oktober 2021 terdapat kasus suspek pada pengunjung Disneyland Shanghai. Dalam kurang dari 24 jam, petugas memblokade subway dan mengganti dengan bus, dan sebelumnya melaksanakan contact tracing pada lebih dari 10,000 pengunjung Disneyland. Ini adalah contoh pengendalian pada pola 1. Sedangkan di pola kedua, sudah ada pelatihan dimana ada stratified diagnosis and treatment system, sehingga beban kerja dapat dibagi pada petugas-petugas kesehatan di level pelayanan yang berbeda. Masing-masing tingkat dalam pelayanan ini pun memiliki guidelines yang berbeda. Masyarakat pun diberi pelatihan pada level tertentu, misalnya self monitoring, sehingga dapat berpartisipasi dalam mendeteksi dan menilai lingkungan masing-masing. Wu menyimpulkan bahwa ketahanan komunitas ini tergantung dari bagaimana komitmen dari pemimpin.
video
Membangun Masyarakat yang Tangguh untuk Menghadapi Pandemi di Masa Depan di Korea Selatan
Sesi sore ini ditutup oleh pembicara terakhir, Minji Ju, senior researcher Institute of Development and Human Security Ewha Womans University, Seoul, Korea, yang menceritakan komponen dari resiliensi masyarakat terhadap bencana (community disaster resilience / CDR) selama pandemi di Korea Selatan. Ini adalah hasil studi yang bertujuan mengembangkan kerangka CDR untuk penilaian CDR di kemudian hari. Studi ini menemukan bahwa, meskipun informasi mengenai kasus terkonfirmasi telah dikumpulkan dan dikelola, upaya yang dilakukan untuk membentuk sistem information sharing yang efektif belum terjadi.
Studi ini juga menemukan pentingnya adanya caring personal, tidak hanya medical personnel, dalam mengatasi pandemi, terutama untuk mereka yang ada di fasilitas perawatan lansia. Hal menarik lain adalah masyarakat yang rentan, yaitu lansia, juga berkontribusi ke masyarakatnya sendiri dalam hal mengkomunikasikan risiko dalam pengendalian COVID. Kapasitas individu dalam pemanfaatan teknologi digital (digital capacity of citizen) menjadi salah satu aspek yang penting dalam meningkatkan resiliensi masyarakat. Kesimpulannya, modal atau capital itu penting, tetapi sangat rentan pada kekurangan atau keterbatasan, dan di dalam keterbatasan capital ini attributes berperan dalam meningkatkan community resilience. Minji Ju juga menekankan pentingnya peran dari sektor non profit di masyarakat dalam mendukung upaya-upaya dari pemerintah.
Setelah pleno sore, peserta diajak kembali berdiskusi dengan semua pembicara pleno sore untuk menyampaikan pertanyaan dan tanggapan. Hari pertama ditutup pula dengan kegiatan pemberian penghargaan untuk peserta poster. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang knowledge event ANHSS, dapat mengakses materi dan video. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang knowledge event ANHSS, dapat mengakses materi dan video.
video