Course Day 1
Selasa, 5 Desember 2023
Sambutan dari Ketua ANHSS
Hari pertama kursus kebijakan (5/12/2023) dimulai dengan sambutan dari Profesor Laksono Trisnantoro selaku chairman ANHSS. Laksono mengucapkan terimakasih atas kerja keras panitia dalam merancang kegiatan. Pihaknya menyampaikan juga bahwa kegiatan konferensi hari sebelumnya (4/11/2023) dan hari ini merupakan kegiatan yang penting untuk peserta belajar dan mengimplementasikannya dengan isu utama ekuitas dan public private partnership.
Conceptual Framework for Engagement of the Private Sector for Health Systems Goals and Integrated Care Systems
Setelah itu sesi pembukaan dilanjutkan oleh Profesor Eng-kiong Yeoh selaku Direktur, Pusat Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan, JC School of Public Health and Primary Care, Fakultas Kedokteran, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong. Pengantar Yeoh berkaitan dengan kerangka konsep untuk melibatkan privat sektor dalam tujuan sistem kesehatan dan integrasi layanan kesehatan.
Selain itu, Yeoh juga menjelaskan struktur program dari kursus kebijakan. Integrasi pelayanan kesehatan yang dijelaskan dengan kerangka konsep yang dibentuk berdasarkan WHO Building Block untuk sistem kesehatan yang mempengaruhi sistem kesehatan dan instrumen kebijakan. Dalam konsep ini pembiayaan kesehatan dari publik, pemerintah dan layanan kesehatan diintegrasikan.
MATERI
Tantangan bagi Keterlibatan Keterlibatan Sektor Swasta untuk Layanan Kesehatan Terpadu
yang digerakkan oleh Layanan Kesehatan Primer
Sebelum memasuki kursus kebijakan, terdapat sesi Pleno Pagi yang diisi oleh dua pembicara yakni Dr. Libby Lee selaku Under Secretary for Health, Health Bureau, Hong Kong Special Administrative Region dan dr. Endang Sumiwi selaku Director General of Public Health, Ministry of Health, Indonesia. Ketiga pembicara ini membahas tentang Tantangan bagi Keterlibatan Sektor Swasta dalam Sistem Kesehatan untuk Layanan Kesehatan Terpadu yang digerakan oleh Layanan Primer.
Lee menjelaskan tantangan yang dialami Hong Kong salah satunya berasal dari status kesehatan yang dimana tingginya prevalensi penyakit kronis pada penduduk dengan usia lansia. Di Hong Kong, diabetes dan hipertensi menjadi penyakit prioritas yang berpotensi menimbulkan komplikasi dua kali lebih banyak untuk biaya pelayanan. Selain status kesehatan, Hong Kong juga mengalami tantangan pada pengeluaran kesehatan yang lebih tinggi dari pada GDP per tahun. Keterbatasan tenaga kesehatan juga masih dialami oleh Hong Kong, dari data yang ditampilkan jumlah perawat telah mencapai 54,6% tetapi ketersediaan dokter hanya mencapai 13,3% dan profesi tenaga kesehatan lainnya baru mencapai kurang dari 5% untuk 7,3 juta penduduk.
Hong Kong telah melakukan beberapa aksi untuk mengatasi strategi tersebut dengan 1) pemerintah melakukan copayment dengan masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan di layanan primer publik dan privat; 2) menyediakan insentif untuk dokter keluarga; 3) memberikan dukungan melalui koordinasi district health service; 4) melakukan integrasi vertikal antara dokter keluarga dengan rumah sakit dan spesialis khususnya untuk penyakit komplikasi.
materi
Berbeda dari Hong Kong, Endang menjelaskan sistem pelayanan primer di Indonesia mengalami tiga tantangan karena 1) masih kurangnya integrasi dan standarisasi, pelayanan primer masih berpusat pada program belum kebutuhan siklus kehidupan, tidak memiliki standar dalam layanan kesehatan antara layanan kesehatan khususnya di tingkat desa sehingga integrasi belum dapat berjalan optimal; 2) kesenjangan ketersediaan dan fasilitas kesehatan; 3) kesenjangan kemampuan dari kader kesehatan yang kurang mendapatkan pembekalan kapasitas dan sistem rekrutmen yang kurang optimal.
Untuk mengatasi tantangan tersebut Indonesia juga telah melakukan upaya seperti transformasi sistem kesehatan yang tujuan utamanya mengintegrasikan layanan primer. Integrasi pelayanan primer ini dilakukan untuk menghubungkan seluruh jejaring puskesmas di Indonesia hingga level RT/RW.
materi
Diskusi Panel
Kemudian Pleno Pagi dilanjutkan dengan talkshow yang melibatkan Professor Ying Yao Chen dari China dan Professor Dr Sharifa Ezat Wan Puteh dari Malaysia yang dipandu oleh Profesor Eng-kiong YEOH. Dalam talkshow Profesor Wan Puteh menceritakan Malaysia tidak memiliki dana kapitasi di layanan primer tetapi memiliki subsidi dari pemerintah. Selain itu, pelayanan primer di Malaysia juga mengalami keterbatasan tenaga kesehatan sebagaimana yang dialami beberapa negara lainnya. Berbeda dengan Malaysia, di kondisi layanan primer di China untuk situasi keuangannya memiliki dana kapitasi dari pemerintah cukup memadai.
Namun, masyarakat China cenderung lebih banyak mengakses layanan kesehatan di RS dan pelayanan primer tidak cukup kuat memainkan perannya. Dalam isu tenaga kesehatan di China mengalami keterbatasan motivasi untuk memberikan layanan kesehatan di luar dari otoritas karena gaji yang tidak sesuai. Seperti Indonesia, China juga memiliki jaminan kesehatan yang juga mencakup kebutuhan di layanan primer. Saat talkshow, Yeoh juga memberikan kesempatan kepada peserta untuk terlibat dalam diskusi. Peserta dari Taiwan, Thailand dan Indonesia berpartisipasi untuk bertanya dan memberikan tanggapan kepada pembicara saat itu.
Instrumen Kebijakan, Modalitas dan Mekanisme untuk Layanan Kesehatan Terpadu
Setelah itu, sesi kursus kebijakan dimulai dengan pemaparan dari Profesor Eng-kiong Yeoh yang memaparkan tentang Instrumen Kebijakan, Modalitas dan Mekanisme untuk Layanan Kesehatan Terpadu yang disampaikan oleh Yeoh. Instrumen kebijakan, modalitas dan manajemen merupakan suatu kerangka yang ditujukan untuk mengintegrasikan sistem, organisasi penyedia, dan klinisi.
Sistem merupakan level makro yang berkaitan dengan WHO Building Block. Aspek tata kelola dan kepemimpinan menjadi penting untuk mengintegrasikan penyedia dan pasien di berbagai level dalam pelibatan privat sektor. Aspek pembiayaan menjadi modalitas untuk mengintegrasikan level meso dan mikro. Aspek pelayanan kesehatan menjadi penting untuk melakukan pengambilan keputusan belanja kesehatan strategis dalam layanan terpadu. Sementara dijelaskan dalam level meso diperlukan modalitas untuk membentuk integrasi organisasi, mekanisme infrastruktur, mekanisme fungsional, integrasi profesionalitas, integrasi normatif dan mekanisme untuk integrasi klinis.
MATERI
Peran Sektor Swasta di Kawasan Asia Pasifik
Materi kedua mengenai Peran Sektor Swasta di Kawasan Asia Pasifik yang disampaikan oleh Profesor Siripen Supakankunti selaku Profesor, Pusat Keunggulan Ekonomi Kesehatan, Fakultas Ekonomi, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand. Supakankunti menyampaikan peranan sektor swasta dapat dilakukan untuk pembiayaan kesehatan, penyediaan layanan kesehatan, produksi dan distribusi sarana prasarana medis maupun obat-obatan, pendidikan untuk tenaga kesehatan, pengembangan pengetahuan dan modal investasi. Supakankunti juga menjelaskan bahwa peranan sektor swasta mengalami perkembangan di Asia untuk Pembiayaan, Modal, Investasi, Asuransi, Penyedia, Pengusaha, Perantara, Tata Kelola dan regulator. Dari peranan tersebut sistem private mix memiliki lima jenis yakni sektor swasta yang dominan, yang dapat melengkapi sektor publik, memiliki biaya tinggi, komersial, dan sektor swasta dibentuk oleh komunitas.
MATERI
Instrumen Kebijakan I: Mekanisme Tata Kelola Sistem Kesehatan & Pembiayaan Publik-Swasta
Pada sesi siang hari kursus kebijakan, peserta mendapatkan materi terkait instrumen kebijakan oleh Profesor Laksono Trisnantoro selaku Guru Besar Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Laksono memaparkan materi terkait mekanisme tata kelola sistem kesehatan dan pembiayaan publik-privat. Sebagaimana materi sebelumnya, materi Laksono dimulai dengan menjelaskan sistem kesehatan dari WHO Building Block yang dihubungkan dengan aspek pembiayaan kesehatan.
Memasuki pembiayaan kesehatan, dijelaskan sistem pembiayaan kesehatan yang terdiri dari revenue, pooling dan purchasing-payment. Laksono mengajak peserta untuk mengidentifikasi revenue dari masing-masing negara dari sektor swasta dan privat. Setelah itu, dikenalkan pula pooling di Indonesia yang cukup besar dari BPJS Kesehatan dan peserta diajak untuk mengidentifikasi pooling di negara yang mereka miliki. Setelah itu, Laksono menjelaskan bentuk-bentuk dari belanja dan pembayaran kesehatan yang terdiri dari 1) alokasi berdasarkan sumber daya melalui sistem perencanaan; 2) pembayaran kepada RS dan organisasi pelayanan kesehatan; 3) pembayaran langsung ke dokter. Dijelaskan bahwa setiap bentuk tersebut memiliki masalah dan solusi yang dibutuhkan sebagai contoh dari pembayaran kapitasi memiliki masalah rendah pemanfaatan, tingginya angka rujukan, rendahnya atensi dokter dan rendahnya kepuasan masyarakat. Permasalahan ini membutuhkan solusi seperti UR dan manajemen pengaduan.
MATERI
Instrumen Kebijakan II: Regulasi Sektor Kesehatan Swasta
Setelah itu, sesi siang dilanjutkan oleh Profesor Adi Utarini selaku Ketua Program Doktor, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Utarini menyampaikan materi terkait Regulasi Sektor Kesehatan Swasta dimulai dari proses dan mekanisme. Dalam mekanisme dibutuhkan enam hal penting seperti perizinan, sertifikasi, akreditasi, monitoring, network dan pemasaran sosial.
Mekanisme regulasi memiliki tiga tipe seperti 1) command dan control yang bersifat wajib dan memiliki sanksi; 2) insentif bersifat pemberian reward atau sanksi peringatan dalam bentuk uang maupun non-uang; 3) self regulation yang bersifat penyedia dan tenaga kesehatan profesional mengatur secara mandiri standar yang ingin mereka gunakan. Utarini menyampaikan bahwa regulasi perlu berfokus pada pembiayaan dan intervensi yang rendah sebagaimana piramida dan hanya akan meningkatkan secara progresif jika kegiatan tersebut gagal. Dalam kerangka piramida regulasi perlu dilakukan secara sukarela terlebih dahulu sebelumnya menjadi wajib dan memiliki kontrol yang mengikat. Utarini juga menyampaikan beberapa refleksi atau contoh dari beberapa isu kesehatan di Indonesia.
materi
Setelah sesi pemaparan, peserta secara berkelompok mendapatkan penugasan untuk merefleksikan materi yang telah didapatkan. Pada hari pertama kursus kebijakan, peserta mendapatkan penugasan untuk mengidentifikasi tantangan dalam integrasi pelayanan kesehatan dan melibatkan sektor swasta.
Course Day 2
Rabu, 6 Desember 2023
Private Health Sector Assessment
Hari kedua kursus kebijakan (6/12/2023) dimulai dengan preview dari pertemuan pertama oleh Shita Dewi selaku Kepala Divisi Kesehatan Masyarakat, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Setelah itu Shita juga memaparkan materi terkait Private Health Sector Assessment (PHSA).
PHSA disampaikan perlu dilakukan dengan spesifik tujuan sistem kesehatan dan bersifat objektif. Hasil dari PHSA juga diharapkan dapat meningkatkan intervensi kebijakan dan adanya dialog kebijakan dengan pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan kesehatan nasional. Shita memberikan panduan untuk melakukan asesmen sektor swasta melalui pemetaan. Untuk peserta juga diajak untuk melakukan diskusi berkelompok.
materi
External Quality Assurance and Accreditation
Pembicara selanjutnya adalah Professor Chi-tim Hung selaku Professor of Practice in Health Services Management, JC School of Public Health and Primary Care, Faculty of Medicine, The Chinese University of Hong Kong. Professor HUNG memaparkan terkait topik akreditas rumah sakit di Hong Kong yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Rumah sakit swasta memiliki regulasi tersendiri untuk mendapatkan akreditasinya yang diatur dalam Code of Practice for Private Hospital.
Di Hong Kong terdapat pula Joint Commission International (JCI) Tracer yang membantu proses akreditasi rumah sakit swasta. Hong Kong juga pernah melakukan piloting untuk mengadaptasi Australia Council of Healthcare Standar (ACHS) dengan proses siklus empat tahunan until self assessment, organizational survey, self assessment dan periodic review. Akreditasi rumah sakit ini dinilai memiliki dampak positif untuk membentuk tim dan mengubah kultur organisasi, menambah sumber daya, peningkatan sistem kesehatan dan adanya regular review eksternal. Namun, akreditasi ini juga memiliki dampak negatif pada beban kerja, sulitnya rekomendasi baru untuk diaplikasikan, terlalu banyak urusan dokumen, dan banyaknya standar penilaian interpretasi.
materi
Terdapat juga pembicara lainnya yakni Professor Adi Utarini yang membahas akreditasi. Utarini menjelaskan dalam perspektif kualitas regulasi dan tujuannya yang memiliki struktur licencing, certification dan accreditation. Dalam mengatur akreditasi, jelaskan peranan dari regulator dari pemerintah sebagai pengawas, lembaga akreditas dan pemerintah sebagai penyedia. Utarini juga berbagi pengalaman di Indonesia dalam menerapkan akreditasi rumah sakit yang diatur oleh Kementerian Kesehatan. Di Indonesia peningkatan kualitas layanan telah dilakukan dari 1988 hingga sekarang yang memiliki enam lembaga akreditasi. Saat ini, akreditasi dalam proses akreditasi sebanyak 2277 rumah sakit. Akreditasi rumah sakit di Indonesia ini berkaitan dengan untuk rumah sakit dapat terlibat dalam jaminan kesehatan di Indonesia.
materi
Infrastructural Mechanism for Integrated Health Care – Global Experience
Pembicara selanjutnya dari Thailand oleh Associate Professor Chantal Herberholz selaku Director, Centre of Excellence for Health Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University. Chantal menjelaskan tentang mekanisme infrastruktur untuk integrasi pelayanan berdasarkan pengalaman global. Implementasi PPP dinilai berbeda dengan implementasi kebijakan lainnya, karena ada pembagian risiko, hubungan jangka panjang dan memiliki indikator kunci.
Terdapat tiga bentuk PPP yakni infrastructure based, clinical service dan co-location. Dari semua model tersebut terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seperti kemauan dan komitmen pemerintah, situasi lingkungan legislatif dan regulator, kemampuan publik, kapasitas privat, rancangan kontrak, pelibatan stakeholders, dan transparansi.
materi
Primary Care and Hospital PPPs in Thailand
Kemudian, topik ini dilanjutkan oleh Professor Siripen Supakankunti selaku Professor, Centre of Excellence for Health Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University yang menjelaskan pengalaman Thailand dalam mengimplementasikan PPP. Di Thailand, PPP telah dilakukan dalam bentuk Co-location dimana terdapat rumah sakit publik yang dioperasionalkan oleh privat sektor sehingga layanan dapat diintegrasikan.
Banyak keterbatasan fasilitas dan layanan di RS Thailand yang dikerjasamakan diselesaikan dengan PPP. Seperti tidak adanya area parkir kendaraan di rumah sakit, maka publik melibatkan swasta untuk menyediakan instruktur parkir tersebut. Supakankunti berbagi banyak pengalaman di Thailand dalam implementasi PPP pada sektor kesehatan khususnya di Rumah Sakit untuk negara memiliki fasilitas dan layanan yang baik.
materi
Purchasing for Integrated Health Care; Primary Care Package and Specialist and Hospital Care
Setelah istirahat, diskusi dilanjutkan bersama pembicara lain yakni Professor Laksono Trisnantoro membahas belanja kesehatan strategis atau strategic health purchasing (SHP). SHP merupakan konsep baru yang diharapkan dapat membuat perubahan dari belanja yang pasif menjadi lebih strategis untuk memiliki kualitas layanan kesehatan yang baik dan sesuai standar. SHP memiliki karakteristik sistem pembayaran yang membuat insentif, melakukan seleksi dalam pemberian kontrak, adanya peningkatan layanan kesehatan dan membuat harga yang memiliki kualitas. Setelah menjelaskan konsep, terdapat tiga kasus BKS dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan, program TB dan pembiayaan berbasis kinerja di Indonesia. Untuk saat ini, BKS belum terlaksana dan masih sangat pasif dalam pembelanjaannya.
materi
Purchasing and Organisation Mechanisms for Integrated Health Care
Topik terkait belanja kesehatan dilanjutkan pemateri kedua oleh Professor Ying Yao Chen selaku Deputy Dean, School of Public Health, Fudan University dari China. Chen membahas tentang mekanisme belanja dan organisasi untuk integrasi layanan kesehatan. Di China, pengeluaran kesehatan dari OOP sangat rendah meskipun mayoritas masyarakat lebih sering menggunakan layanan di RS daripada layanan primer. Ketersediaan jumlah RS di China sendiri sangat banyak dan setiap tahunnya mengalami peningkatan yang terdiri dari Publik, Private Non Profit dan Private. Dari ketiga RS tersebut, jumlah RS Publik di China dari 2017 hingga 2021 mengalami penurunan cukup drastis berbeda dengan RS Private yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Penurunan jumlah RS Publik di China karena lemahnya dukungan dari pemerintah seperti subsidi hanya 10% dari pengeluaran kesehatan. Kondisi ini membuat RS Publik di China tidak bertahan lama dan harus mengikuti kondisi pasar.
materi
Purchasing, Professional and Clinical Mechanisms for Integrated Health Care
Berbeda dengan Malaysia, Professor Dr Sharifa Ezat Wan Puteh selaku Professor of Public Health, Department of Community Health, National University of Malaysia menjelaskan bahwa di Malaysia tidak memiliki jaminan kesehatan dan masih memiliki OOP yang tinggi. Meskipun demikian, Malaysia telah mengimplementasikan BKS dengan Kementerian Kesehatan sebagai purchaser. Terdapat dua point penting yang perlu dilakukan dalam implementasi BKS dari pengalaman Malaysia yang dapat tercatat yakni 1) stabilitas tata kelola instansi 2) memanfaatkan pendekatan ekonomi kesehatan untuk memastikan cost-benefit. Serta menggunakan HTA dalam penetapan manfaat kesehatan.
materi
Information and Engagement, Social Franchising
Pembicara terakhir dari kursus kebijakan hari ini (6/12/2023) adalah Professor Maria Elena B. Herrera dari Adjunct Faculty of Asian Institute of Management, Makati City, Metro Manila, Philippines. Maria menjelaskan tentang Social Franchising, Exhortation dan Information yang merupakan bagian penting dari instrumen kebijakan. Dalam social franchising ini dilakukan untuk dapat memperluas kebijakan yang baik dan di replika pada tempat atau daerah yang berbeda-beda. Sementara exhortation dan information dalam konsep pelibatan sektor swasta ini perlu melakukan social marketing yang tidak hanya berupa diseminasi tetapi ditujukan untuk mengubah perilaku.
materi
Course Day 3
7 Desember 2023
Sistem Kontrak dalam Pelayanan Primer
Hari ketiga kursus kebijakan (7/12/2023) dimulai dengan topik Contracting oleh Prof Laksono Trisnantoro dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM. Contracting merupakan mekanisme ‘purchasing’ dari provider tertentu, untuk jasa tertentu, dalam kuantitas dan kualitas yang telah diketahui, dengan harga yang disepakati, untuk jangka waktu tertentu. Contoh dari contracting ini yaitu pemerintah mengontrak pihak swasta untuk pelayanan cleaning service. Contracting ini memiliki banyak manfaat, yang salah satunya memperluas manfaat untuk pelayanan kesehatan dan memperluas pelayanan sampai ke wilayah terpencil.
Dua pembicara dari Indonesia dan Hongkong berbagi mengenai pelayanan kesehatan primer di negara masing-masing, serta bagaimana konsep ‘contracting’ ini telah dilakukan. Dr Mubasysyir Hasanbasri dari Departemen Biostatistika, Epidemiologi dan Kesehatan Populasi FK-KMK UGM menceritakan studi kasus contracting untuk memperluas pelayanan primer di wilayah pedesaan dan terpencil. Mubasysyir menyebutkan perbedaan primary care dan primary healthcare. Primary care adalah pelayanan yang diberikan, sementara primary health care systems merupakan bagaimana pelayanan dirancang untuk memenuhi kebutuhan primary care tersebut.
materi
Dalam konteks pelayanan kesehatan di wilayah pedesaan dan terpencil di Indonesia, umumnya pelayanan diberikan oleh puskesmas, pelayanan kesehatan milik pemerintah. Di lain sisi akses ke puskesmas oleh masyarakat umumnya sulit, meskipun pelayanan kesehatan gratis tetapi biaya transportasi ke faskes sendiri harus membayar, maka pelayanan banyak bertumpu pada outreach atau kunjungan rumah atau puskesmas keliling. Outreach itu dilaksanakan oleh petugas kesehatan di puskesmas, yang bahkan terbatas jumlahnya (hal ini terlihat di gambar di kiri). Sehingga upaya contracting yang dilakukan misalnya dengan membayar tenaga kesehatan dari luar wilayah terpencil tersebut, contohnya Nusantara Sehat, yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Tentunya hal ini memiliki banyak tantangan, seperti yang disampaikan oleh Laksono sebelumnya. Antara lain karena keterbatasan kapasitas manajer setempat dalam mengelola program, sehingga bergantung pada program dari pusat. Dengan adanya kontrak juga dapat menimbulkan ‘kecemburuan’ dari pihak internal.
Contohnya adanya Nusantara Sehat yang mengontrak tenaga kesehatan tertentu untuk bekerja di wilayah terpencil, dengan pendapatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petugas setempat dengan posisi yang sama, sehingga menimbulkan kecemburuan pada petugas setempat. Idealnya, pelayanan kesehatan seperti yang di kanan dimana pendekatan pemberian pelayanan kesehatan merupakan multisektoral, dan melibatkan sektor non-government dan komunitas.
materi
Mubasysyir menutup sesi dengan mengusulkan di aspek apa dan bagaimana contracting ini dapat diterapkan ke depannya di wilayah pedesaan dan terpencil di Indonesia. Kepala desa dan kecamatan dapat berperan sebagai manajer eksekutif dalam pelayanan kesehatan, dengan kata lain sebagai orang yang mengontrak / purchaser. Pelayanan yang diberikan adalah yang ditawarkan oleh Puskesmas, dokter, perawat, dan bidan praktik perorangan, yang dapat meliputi konsultasi kesehatan individual, klinik mobile, vaksinasi, edukasi dan promosi kesehatan, dan sebagainya.
Kontrak dalam Pelayanan Primer: Studi Kasus di Hong Kong
Selanjutnya Dr. Fei-chau Pang dari Commissioner for Primary Healthcare, Primary Healthcare Office, Health Bureau, Hong Kong Special Administrative Region menceritakan mengenai penguatan primary care di Hong Kong negara dengan 7 juta penduduk dan dengan setting urban. Hong Kong mempunyai dual track sistem, yaitu public dan private. public itu hospital based services. Hanya ada 13 private hospital, minoritas dibandingkan semuanya. Sebelum upaya integrasi yang saat ini diupayakan, public systems fee-nya sangat rendah, sehingga memang lebih disukai oleh masyarakat.
Rendahnya fee pelayanan ini kurang memberikan insentif bagi para pemberi pelayanan memberikan pelayanan terkait chronic diseases, dibandingkan dengan acute care. Akibat pelayanan kesehatan utamanya di rumah Sakit, maka prevention sangat rendah. Fokus PPP saat ini lebih kepada specialist care, diagnostics, ancillary, emergency, dan inpatient care, akan lebih dikembangkan penguatan ke arah prevention, primary care, intermediate care, dan rehabilitation care. Di samping itu, yang berlaku saat ini di Hongkong adalah centralized drug supplies, fixed package dan service fee, sehingga dari kacamata private practitioners, tidak menarik menjadi pemberi pelayanan yang bekerjasama dengan pemerintah.
Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan primer, terutama untuk pelayanan penyakit kronis, pemerintah Hongkong mengupayakan integrasi pelayanan primer dengan mengontrakkan pelaksanaan pelayanan primer oleh family doctor, department of health dan district health center, serta rumah sakit.
Pertama, terdapat beberapa PPP project untuk penyakit tertentu, misalnya katarak. Diberikan kuota untuk operasi katarak yang dilaksanakan oleh RS swasta. Terdapat beberapa pelayanan lain yang juga dilakukan dalam hal ini. Kedua, melaksanakan family doctor systems, dimana diberikan subsidi untuk paired doctor dan peserta, pendekatan life course preventive care yang termasuk subsidi untuk vaksinasi dan cancer screening, adanya community drug formulary dengan harga paket (lebih murah), skema bi-directional referral ke rumah sakit untuk konsultasi ke spesialis, adanya pay for performance incentives, serta dukungan pembentukan perilaku hidup sehat di district health centers. Poin terakhir ini adalah bentuk contracting ketiga, yaitu dengan mengontrak district health center, yang bersifat non-government organization, untuk memberikan pelayanan tertentu. Contracting keempat adalah dengan melibatkan praktik perawat untuk memberikan follow up pelayanan untuk pasien dengan penyakit kronis yang telah berkonsultasi dan didiagnosis oleh dokter.
Ini adalah upaya-upaya contracting yang dilakukan oleh pemerintah Hongkong dalam rangka memperluas cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan yang sedang dilakukan, dan Pang menutup dengan mengundang kita semua untuk melihat lagi evaluasi pelaksanaannya dalam beberapa tahun ke depan.
Sesi selanjutnya adalah mengenai monitoring dan evaluasi dari implementasi dan capaian program yang diisi oleh 2 pembicara. Pembicara pertama, Professor Eng-Kiong Yeoh, Director Centre for Health Systems and Policy Research, JC School of Public Health and Primary Care, Faculty of Medicine, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong. Prof Yeoh memulai dengan mendeskripsikan 4 hal yang menyebabkan program kesehatan tidak optimal. Salah satunya yaitu lemahnya monitoring evaluation.
Implementasi, Pemantauan, dan Evaluasi
Prof Eng Kiong Yeoh (EK) memberikan contoh adanya pilot scheme untuk elderly healthcare voucher scheme sebesar HK$50 sebanyak 5 unit setiap tahun untuk yang berusia di atas 70 tahun sejak 2009. Pada 2017, batas usia diturunkan menjadi 65 tahun. Voucher tersebut diklaim oleh dokternya, dokter tetap dapat men-charge co-payment, tetapi masyarakat juga tidak tahu apakah voucher-nya sudah digunakan atau belum. Desain pelayanan ini cukup rentan permasalahan, karena sebetulnya tidak ada insentif untuk dokter untuk mengklaimkan voucher tersebut. Total klaim selalu meningkat sejak program ini diluncurkan. Sebagian besar klaim untuk pelayanan yang diberikan oleh medical practitioners. Sebagian besar voucher diklaimkan untuk penatalaksanaan akut sekitar 58-65%, follow up long term conditions sekitar 20-30%, padahal masalah utama pada lansia adalah penyakit kronis. Jadi, permasalahan dari program tersebut adalah tidak memotivasi masyarakat lansia untuk mengikuti pencegahan penyakit kronis secara rutin.
Setelah ada pemanfaatan voucher, terjadi peningkatan proporsi masyarakat yang mengakses pelayanan public dan private, yang tadinya 49% menjadi 61%. Tidak ada perbedaan signifikan untuk kunjungan ke dokter antara pengguna dan non-pengguna voucher.
Pembelajaran dari sini adalah setelah pelaksanaan program, dilaksanakan analisis untuk pemanfaatannya, berdasarkan kelompok masyarakat dan lain-lain, sehingga bisa terlihat apa saja tantangan dan hambatan dari program tersebut, untuk kemudian diperbaiki dan disesuaikan.
Selanjutnya, EK menjelaskan bahwa dalam implementasi program, perlu adanya perencanaan implementasi, metodologi pelaksanaan program yang berdasarkan bukti, serta mengembangkan kriteria dan metode yang jelas untuk monitoring dan evaluasi intervensi dan implementasi dari program tersebut.
Keuntungan mengaplikasikan kerangka berpikir yang scientific salah satunya dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat berkontribusi pada kesuksesan program.
Salah satu contoh yang diberikan oleh EK adalah Consolidated Framework for Implementation Research (CFIR), yang melihat satu implementasi program dari aspek external, internal, individual, proses implementasi, dan karakteristik dari program itu sendiri. CFIR dapat membantu mengidentifikasi kendala penerapan program, dan memilih strategi apa yang dapat diambil untuk mengatasi kendala tersebut.
Dalam proses implementasi, penting untuk mencapai konsensus dari stakeholders, yang salah satunya dapat dilakukan dengan Delphi study. EK menutup dengan bagaimana keterkaitan antara mengintegrasikan pelayanan kesehatan di tingkat mikro, meso dan makro yang menggunakan prinsip-prinsip CFIR.
materi
Setelah pembicara pertama memaparkan aspek scientific evidence di balik monitoring dan evaluasi, pembicara kedua, Professor Maria Elena B. Herrera, Adjunct Faculty of Asian Institute of Management, Makati City, Metro Manila, Philippines memberikan materi mengenai aplikasi atau praktik dari implementasi, monitoring dan evaluasi program.
Dalam hal monitoring, penting untuk mengingat bahwa pelayanan kesehatan adalah sebuah sistem, serta penting untuk mengidentifikasi root causes adanya permasalahan dari program tersebut. “Dengan melakukan assessment yang baik dan menyeluruh, maka dapat menentukan rencana implementasi integrasi pelayanan kesehatan dengan baik”, sambung Prof. Herrera.
Kunci dari monitoring dan evaluation adalah memahami hubungan sistematik antara satu aspek dan lainnya. Herrera menekankan bahwa setiap strategi atau kebijakan memiliki hipotesis-hipotesis. “If we do this, this will happen, under specific assumptions”. Dalam melakukan monitoring evaluasi, penting juga untuk menggunakan pendekatan people-centered. Untuk mencapai ini, Herrera melanjutkan, “Merancang monitoring dan evaluasi untuk upaya integrasi yang akan dilakukan merupakan proses yang iterative dan feedback-driven”. Perlu banyak diskusi untuk memunculkan ide-ide yang inovatif. Adanya pilot study memegang peran penting dalam mengembangkan monitoring dan evaluasi. Dari pilot study dan upaya menyeluruh ini bisa menghasilkan indikator-indikator apa yang perlu diamati, misalnya apakah indikator ini actionable dan measurable.
materi
Diskusi Isu-isu Tantangan dalam Sistem Layanan Kesehatan Terpadu yang Digerakkan oleh Layanan Kesehatan Primer dan Keterlibatan Sektor Swasta dalam Konteks Negara
Di sesi terakhir ini masing-masing kelompok menampilkan hasil diskusinya mengenai tantangan dalam integrasi pelayanan kesehatan. Kelompok pertama yaitu tantangan dari Indonesia. Tantangan yang pertama adalah beberapa program nasional yang telah berusaha untuk melibatkan sektor swasta dalam pelayanan kesehatan, tetapi insentif yang masih minimal untuk sektor swasta tersebut. Namun, beberapa program belum terdapat kebijakan untuk pelibatan sektor swasta. Strategi yang diusulkan yaitu pertama untuk memberikan insentif untuk meningkatkan keterlibatan sektor swasta, melakukan pemetaan pelayanan kesehatan apa saja yang diutamakan serta dapat dikontrakkan ke sektor swasta.
Kelompok selanjutnya memaparkan tantangan integrasi sektor swasta di Hongkong. Tantangan pertama yaitu peningkatan proporsi lansia, ketimpangan biaya pelayanan di sektor publik dan swasta, serta kesadaran untuk menjaga kesehatan pribadi yang masih kurang. Sektor publik biasanya lebih disukai karena lebih murah dan berkualitas bagus, tetapi waiting time panjang, sementara sektor swasta lebih terfragmentasi tetapi waiting time pendek. Sama halnya dengan di Indonesia, keterbatasan pendanaan menjadi tantangan utama dalam hal integrasi sektor swasta. Dengan demikian, beberapa aspek direkomendasikan. Pertama, selain adanya skema yang saat ini ada yaitu elderly healthcare voucher scheme, chronic disease co-care scheme, district health center, general outpatient clinic PPP, cancer screening, direkomendasikan adanya perubahan pembiayaan kesehatan.
Selanjutnya, negara maju lainnya yaitu Singapura. Usia harapan hidup yang melebihi 80 tahun menyebabkan Singapura memiliki proporsi populasi lansia yang tinggi. Sistem pembiayaan kesehatan ada MediSave, MediFund, MediShield Life, dan subsidi dari pemerintahan, ditambah oleh skema tambahan misalnya healthier SG dan CHAS untuk askes ke private GP. Poliklinik publik meng-cover 20% total care tetapi 45% dari pelayanan untuk penyakit kronis, sehingga ada long waiting time. Tantangan utama pelayanan yaitu untuk memperbaiki pelayanan penyakit kronis yang selama ini sebagian besar dilaksanakan oleh faskes pemerintah. Beberapa strategi yang diusulkan yaitu social marketing, pelibatan masyarakat dan evaluasi yang rutin. perlu ada penetapan harga yang menarik untuk sektor swasta, subsidi di poliklinik milik publik, memperluas peran gatekeeping untuk GP (biasanya pasien tidak perlu ke GP untuk mendapatkan pelayanan yang disubsidi), kolaborasi multi sektoral. Salah satu contoh dengan berkolaborasi dengan pihak swasta dalam merancang technology-enabled self-management untuk memonitor faktor risiko dan morbiditas penyakit tidak menular, menyelenggarakan telekonsultasi untuk gatekeeping dan pemantauan penyakit kronis.
Di Tiongkok, terdapat primary care berupa community health centers, secondary care berupa community hospital, dan tertiary care berupa hospitals. Dari analisis kelompok 4 ditemukan bahwa kualitas pelayanan kesehatan di sektor swasta justru kurang baik dibandingkan dengan sektor publik. Gap lainnya adalah kurangnya promosi kesehatan dalam pelayanan kesehatan yang terintegrasi. Untuk mengintegrasikan promosi kesehatan ini kami akan melakukan integrasi organisasi dengan strategic alliance, melibatkan primary care practitioner-led. Selain integrasi organisasi, kelompok 4 merekomendasikan professional integration dalam melaksanakan skrining kesehatan dan konseling. Terkait contracting, yang akan dilakukan adalah mengontrak dokter dan perawat untuk melakukan capacity building dan training di tingkat desa untuk community health centers.
Presentasi terakhir dari Taiwan (Siwei Huang) memaparkan bahwa National Health Insurance (NHI) di Taiwan dalam bentuk single payer yang telah meng-cover 99% populasi. Proses pembayarannya adalah global budget payment systems dengan metode pembayaran fee for service. Sektor swasta memiliki lebih dari 83% rumah sakit dan 98% klinik. Terdapat medical records yang tersimpan di Media Cloud melalui program NHI. Kepuasan publik pada program NHI lebih dari 90%. Meskipun demikian, NHI sistem mengalami defisit sejak 2017, petugas kesehatan overworked, dan usia harapan hidup menjadi 79 tahun, terendah dalam 1 dekade terakhir. Adanya global budget payments (prospektif) dengan (retrospektif) membingungkan dan menimbulkan risiko masalah kompetisi dan kurangnya koordinasi antara penyedia layanan kesehatan.
Strategi yang diusulkan adalah memanfaatkan mekanisme pembayaran yang berbeda misalnya DRGs, kapitasi. Dalam hal metode pembayaran, diusulkan perubahan regulasi untuk penguatan peran gatekeeper dan memperbaiki sistem rujukan, menyesuaikan nilai pembayaran copayment untuk tingkat faskes yang berbeda. Terkait burnout tenaga kesehatan, strategi yang diusulkan yaitu skema memberi insentif pada tenaga kesehatan. Strategi untuk tantangan terakhir, yaitu data yang tidak terintegrasi, solusi yang diusulkan adalah penguatan database NHI. Strategi terakhir yang diusulkan yaitu adopsi external quality assurance dan akreditasi dan integrasi database untuk monitoring dan evaluasi. Beberapa masukan dari narasumber meliputi bagaimana rekomendasi bisa lebih spesifik, terutama dalam hal bagaimana memulai strategi tersebut. Juga perlu mempertimbangkan strategi lainnya di samping PPP infrastruktur seperti co-location.