Reportase Webinar Kebijakan Penanggulangan Penyakit Jantung di Era JKN
Pada Jum’at (28 Mei 2021) telah diselenggarakan webinar tentang “Kebijakan Penanggulangan Penyakit Jantung di Era JKN).” Webinar ini diselenggarakan oleh PKMK FK-KMK UGM didukung oleh WHO Indonesia. Webinar berlangsung pada pukul 13:00-15:00 WIB di Gedung Litbang, FK-KMK UGM dan disiarkan secara langsung melalui Zoom Meeting serta YouTube Live Streaming.
Tujuan dari webinar ini adalah untuk menyampaikan inisiasi para pemangku kepentingan dalam rangka pengembangan dan perbaikan kebijakan jantung di Indonesia. Narasumber pada webinar ini adalah M. Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH (PKMK FK-KMK UGM) dan dr. Anggoro Budi Hartopo, M.Sc., Ph.D, Sp.PD, Sp.JP (Departemen Kardiologi FK-KMK UGM/RS Sardjito). Pembahas dalam webinar ini adalah Dirjen Pelayanan Kesehatan (Kemenkes RI), Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kemenkes RI), RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, serta Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diskusi pada webinar dipandu oleh moderator yaitu Relmbuss Biljers Fanda, MPH.
Pengantar Kegiatan
Oleh: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
Laksono menyampaikan pengantar bahwa kegiatan ini merupakan awal dari proses penanggulangan masalah jantung di era JKN agar bisa dianalisis, sehingga harapannya akan ada berbagai rekomendasi kebijakan yang bisa disampaikan ke Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta pemerintah daerah.
Materi 1: Pembiayaan Penyakit Jantung
Oleh: M. Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH
Faozi menyampaikan materi tentang pembiayaan penyakit jantung di Indonesia serta penguatan kebijakan pelayanan jantung. Indonesia memiliki tingkat kematian akibat CVD yang semakin meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menjelaskan bahwa prevalensi merupakan angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Setidaknya ada 15 dari 1000 orang, atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita penyakit jantung. Terdapat 11 provinsi di Indonesia dengan tingkat prevalensi di atas 1,5%. Namun, jumlah ketersediaan rumah sakit sebagian besar ada di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang memiliki populasi penduduk lebih besar, kondisi geografis relatif mudah, serta investasi lebih terjangkau.
Sebagai contoh dari data sampel BPJS Kesehatan 2015-2018, terlihat bahwa banyak orang dari daerah di luar Pulau Jawa yang melakukan rujukan ke rumah sakit di Pulau Jawa. Biaya pelayanan Jantung di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta lebih tinggi daripada provinsi lainnya. Segmen kepesertaan yang banyak mengeluarkan biaya yaitu PPU, PBPU, dan PBI APBN. Penguatan kebijakan pelayanan jantung perlu memperhatikan siapa sasarannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah melakukan penguatan promotif dan preventif, screening jantung, memberikan sosialisasi masif ke masyarakat, menciptakan kawasan tanpa rokok, serta menyediakan pengobatan dengan prosedur yang jelas.
Materi 2: Produksi dan Distribusi Dokter Spesialis Jantung
dr. Anggoro Budi Hartopo, M.Sc., Ph.D, Sp.PD, Sp.JP
Anggoro menyampaikan materi tentang produksi dan distribusi dokter spesialis jantung. Sebagai informasi, sebanyak 86% kematian secara global tahun 2016 didominasi oleh penyakit tidak menular, salah satunya adalah kardiovaskuler. Kematian akibat penyakit kardiovaskuler diperkirakan mencapai 23,3 juta pada 2030. Terdapat ketimpangan ketersediaan dokter spesialis penyakit jantung-pembuluh darah, dengan jumlah terbanyak ada di DKI Jakarta.
Saat ini terdapat 751 calon Sp.JP dan sudah ada 1.196 orang Sp.JP yang tersebar di seluruh Indonesia. Produksi Sp.JP harus selaras dengan penyebaran Sp.JP, namun masih ada ketidakmerataan pelayanan di daerah. Kebijakan jangka pendek yang dapat dilakukan yaitu melakukan standarisasi penyebaran Sp.JP, penerapan kebijakan bersama tentang penerimaan PPDS JP dan penempatan, serta meneruskan program kemitraan, LPDP dan TUBEL Kemenkes untuk Sp.JP. Sedangkan untuk kebijakan jangka panjang yaitu memperbanyak beasiswa, pembukaan prodi jantung yang lebih merata, penetapan wilayah binaan, serta meningkatkan fasilitas termasuk insentif untuk alat-alat Sp.JP di daerah.
Pembahasan 1
Oleh: Dr. dr. Yout Savithri, MARS
Yout menyampaikan bahwa 10 kasus terbanyak pada kode INACBGs mencapai jumlah ratusan ribu kasus. Ada beberapa kompetensi fasyankes yang perlu diperhatikan sehingga bisa dibuat standar pedoman cath lab, harapannya bisa menekan angka kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung. Terkait dengan SDM, pembentukan prodi khusus sudah dilakukan serta penentuan standar SDM untuk memberikan pelayanan. Masih ada beberapa hambatan, misal terbatasnya SDM, alat kesehatan di daerah terpencil, tenaga kesehatan yang masih terkonsentrasi di kota besar, kurangnya peningkatan kapasitas kompetensi SDM dan rumah sakit, antrian pasien yang panjang karena pola rujukan yang belum optimal, serta perlunya memperhatikan rencana strategis bisnis rumah sakit untuk pengembangan kompetensi rumah sakit.
Pembahasan 2
Oleh: dr. Cut Putri Arianie, M.H.Kes
Cut menyampaikan harapannya terhadap fakultas yang terkait kesehatan masyarakat terkait upaya promotif dan preventif yang direkomendasikan. Kemudian terkait distribusi dan pengadaan Sp.JP, harapannya kolegium dapat memproduksi para dokter Sp.JP dengan peminatan sosial. Data Riskesdas terkait beban penyakit tidak menular (PTM) menunjukkan bahwa selama 2014-2020 (BPJS) menghabiskan biaya 118,16 triliun untuk PTM.
Pada masa pandemi ini, PTM meningkatkan jumlah mortalitas dan morbiditas, serta meningkatkan penundaan vaksinasi. Kemenkes RI menerapkan kebijakan P2PTM (dalam Permenkes No. 71/2025 tentang penanggulangan PTM), yaitu dengan melakukan promosi kesehatan, deteksi dini, perlindungan khusus, serta penanganan kasus. Regulasi perlu dikuatkan, kepatuhan masyarakat perlu ditingkatkan, maka harapannya insiden PTM akan semakin berkurang.
Pembahasan 3
Oleh: Dr. dr. Isman Firdaus, FIHA, FESC, FACC, FSCAI
Isman memulai pembahasan dengan menjelaskan pemetaan pelayanan kardiovaskuler di Indonesia, dengan adanya 1.413 dokter Sp.JP di Indonesia namun penyebarannya belum merata. Pemetaan layanan faskes kardiovaskuler terbagi dalam 5 kriteria warna yang berbeda, yaitu merah, ungu, hijau, kuning, dan biru dengan rincian fasilitas, strategi, dan target yang berbeda-beda (dapat dilihat melalui gambar di bawah ini).
Pembahasan 4
Oleh: Nur Azizah, SKM, M.Kes
Azizah menyampaikan tanggapannya tentang pembiayaan penyakit jantung. Menurut Riskesdas 2018, prevalensi penyakit jantung di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah 0,7%. Kasus tertinggi di NTT adalah hipertensi, sedangkan penyakit jantung ada di posisi ke-6. Penyebaran SDM Sp.JP di NTT masih sangat terbatas, oleh sebab itu diagnosa yang diperoleh dari 22 kabupaten/kota di NTT itu dilakukan oleh dokter umum, sehingga kebanyakan mengarah ke hipertensi dan diabetes melitus. Harapan ke depan adalah meningkatkan jumlah SDM yang berkompetensi di bidang penyakit jantung dan pemerataan pelayanan.
Penutup
Diskusi dilaksanakan dengan dipandu oleh moderator. Peserta webinar terlibat secara aktif dalam memberikan pertanyaan dan/atau melakukan diskusi dengan narasumber. Kegiatan webinar diakhiri dengan penyampaian kesimpulan oleh moderator diskusi, bahwa program program pengendalian penyakit jantung itu sangat bergantung terhadap besar populasi yang ada, misal populasi orang sehat, populasi orang berisiko, maupun populasi orang dengan PTM.
Reporter: Rokhana Diyah Rusdiati
Tags: reportase,, 2021,