Resume Hasil Pertemuan 1: Kajian Prospek Kegiatan Promotif-Preventif Di Puskesmas Dalam Anggaran Kemenkes
LATAR BELAKANG
Kebijakan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kegiatan promotif-preventif di puskesmas tahun 2016 ini tercermin dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Hal ini menjadi tonggak penting karena akhirnya keberpihakan pada kegiatan promotif-preventif bisa tercermin dalam alokasi anggaran yang jelas dan relatif besar.
Anggaran Kementerian Kesehatan di tahun 2016 ini perlu diketahui oleh para ahli promosi kesehatan. Ada beberapa pertanyaan mendasar, antara lain:
- Apakah "menu" kegiatan promosi kesehatan yang bersifat generik tersebut dapat diterapkan dan sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-masing puskesmas?
- Bagaimana bentuk kegiatan riil promosi dan preventif kesehatan di Puskesmas dengan menggunakan dana yang ada?
- Apakah memang diperlukan system kontrak?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini diselenggarakan dalam dua kali. Seminar pertama telah dilakukan pada Kamis, 11 Februari 2016. Resume hasilnya disampaikan dalam laporan singkat ini. (Catatan: Seminar ke-2 dengan tema: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas akan diselenggarakan pada Kamis 18 Februari 2016).
RESUME
Dengan dukungan dana BOK 2016, prospek kegiatan promotif-preventif di puskesmas menjadi cerah. Prospek cerah ini akan tercapai jika berbagai prasyaratnya terpenuhi antara lain:
- Dinas Kesehatan Kab/Kota harus dapat menjabarkan Juknis DAK Bidang Kesehatan dari pusat ke dalam Juklak sesuai situasi dan kebutuhan setempat. Hal ini dibutuhkan sebagai acuan bagi puskesmas termasuk dalam membuat indicator kinerja bagi tenaga kontrak promoter kesehatan.
- Lingkungan internal kesehatan (mulai dari level kabupaten hingga ke puskesmas) harus benar-benar memahami kebijakan baru tersebut agar bisa mendukung dan atau melaksanakan kegiatan tersebut dengan baik. Namun, dikhawatirkan belum semua pegawai memahami hal ini.
- Pemda setempat perlu diadvokasi agar penyerapan dana BOK ini bisa dilakukan sejak awal tahun. Permasalahan muncul karena tahun ini dana BOK harus melalui APBD sehingga ada pemda yang mengharusnya penyerapan dana BOK harus sesuai mekanisme APBD. Hal ini berdampak pada terlambatnya penyerapan.
- Kegiatan promosi kesehatan tidak bisa lagi dilakukan secara rutin dengan pendekatan klasik (tanpa inovasi atau tidak sesuai dengan kebutuhan setempat). Agar upaya ini efektif, kegiatan tersebut harus berdasarkan suatu Grand Design. Grand Design ini disusun di level provinsi, kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan pelaksanaan di level puskesmas.
Kualifikasi tenaga promoter kesehatan yang dibutuhkan tergantung pada level organisasi dan tugas yang harus dilakukan. Jika hanya sebagai eksekutor di puskesmas, maka cukup D3 Kesehatan (tapi jika harus membuat analisis, harus S1). Untuk level kabupaten/kota, minimal S1 Promkes. Untuk level provinsi, minimal S2 Promkes. Artinya, di semua level tenaga promoter kesehatan dibutuhkan dengan kualifikasi yang sesuai.
Bagi daerah yang sulit untuk mendapatkan tenaga promoter kesehatan (seperti di Indonesia Bagian Timur), muncul ide agar dilakukan pendekatan teknologi informasi yang paling sesuai.
{jcomments on}