Prof Laksono Trisnantoro, Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM Tri Aktariyani, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK Insan Rekso Adiwibowo, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK
Hasil penelitian PKMK FK-KMK UGM bersama 16 perguruan tinggi di 13 provinsi Indonesia menunjukkan bahwa transparansi program JKN masih belum baik. Situasi ini disinyalir karena maturitas Lembaga penyelenggara program JKN belum terjadi. Di sisi lain, lemahnya DJSN selaku Lembaga substansial dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia juga menyebabkan akuntabilitas keputusan kebijakan JKN sering berada jauh dari apa yang dicita-citakan oleh UU SJSN dan UU BPJS.
Aspek Akuntabilitas & Transparansi Program JKN
Sentralisasi tata Kelola program JKN selain menyebabkan terfragmentasinya tata pemerintahan dalam pemenuhan hak pelayanan kesehatan bagi masyarakat, juga mengakibatkan sulitnya akses data dan informasi. Menurut teori perundang-undangan isi Pasal 83-84 Perpres No.82/2018, telah menjadi validasi bahwa sejak 2014 hingga saat ini transparansi data dan informasi program JKN sulit diakses baik oleh pemerintah daerah maupun oleh kementerian/Lembaga bahkan DJSN. Ketidaktransparan data dan informasi program JKN membuat monitoring dan evaluasi JKN tidak dilakukan secara partisipasti, dan kebijakan diambil tidak berdasarkan bukti yang komprehensif.
Apabila menelaah dalam UU SJSN, ada dua Lembaga yang dibentuk khusus untuk menyelenggarakan program Jaminan sosial (JKN), yakni DJSN & BPJS (Kesehatan & Ketenagakerjaan). Kedua Lembaga ini memiliki fungsi & tugas yang berbeda, namun sama-sama bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Realitanya, putusan MA No.60P/HUM/2018 & Putusan MA No.007/P/HUM mengungkapkan fakta bahwa lemahnya DJSN. Padahal DJSN adalah sebuah Lembaga yang berisikan perwakilan pemerintah, pemberi kerja, ahli dan pekerja. Lembaga ini menjadi lemah diidentifikasi karena instrumen hukum yang tidak mendukung.
Ekosistem IT dalam JKN
Hasil dari pengamatan menilai bahwa sistem TI di BPJS belum menggunakan pendekatan ekosistem JKN secara keseluruhan. TI di BPJS masih untuk kebutuhan BPJS Kesehatan dengan pendekatan korporasi, bukan sebuah Badan Publik. Sehingga prinsip interoperabilitas data (saling bekerja sama antar sistem yang berbeda) antar stakeholder menjadi belum diterapkan saat ini. Berbagai fungsi TI dalam sistem jaminan kesehatan yang seharusnya ada, belum dijalankan (misal fungsi early warning untuk pengawasan, penggunaan data untuk perencanaan).
Kesimpulan
Faktor utama penyebab transparansi dan akuntabilitas yang belum baik dalam program JKN adalah tidak terjadi maturitas baik pada BPJS Kesehatan, DJSN maupun kementerian/Lembaga terkait. Sulitnya akses data dan informasi ini menyebabkan monitoring dan evaluasi program JKN tidak dilakukan secara partisipatif, sedangkan kebijakan yang dibentuk cenderung tidak berdasarkan bukti dan data yang komprehensif.
Saran
UU BPJS perlu direview bersama pemerintah dan stakeholders. Sebab, UU tersebut tidak tuntas mendelegasikan tanggung jawab dan pengawasan program JKN bagi DJSN, Kementerian Kesehatan dan Pemerintah daerah. Selain itu, UU BPJS tidak memadai menjelaskan kedudukan dan kewenangan antara BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini dapat memicu potensi disharmonis pada peraturan pelaksana yang dibentuk kemudian waktu.
Aturan mengendai pengendalian fraud program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah diluncurkan sejak tahun 2015 dalam PMK No. 36/ 2015. Pada tahun 2019, regulasi ini direvisi menjadi PMK No. 16/ 2019. Hingga tahun ke 6 diluncurkannya regulasi ini, belum ada evaluasi terkait penerapan regulasi ini oleh berbagai stakeholder yang terlibat program JKN. Situasi ini mendorong PKMK FK KMK UGM dan didukung oleh Knowledge Sektor Inisiative (KSI) menyelenggarakan penelitian dengan topik “Evaluasi Realis: Implementasi Regulasi Anti Fraud Program JKN.”
Penelitian ini dilakukan di 13 provinsi di Indonesia untuk menilai penerapan PMK No. 36/ 2015. Penelitian dilakukan dengan pendekatan realis, yaitu metode yang menangkap dalam situasi apa regulasi ini dapat berjalan? Bagaimana caranya berjalan? Dan Keluaran sebagai dampak berjalannya regulasi ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak adanya kebijakan khusus anti fraud yang diadopsi di tingkat organisasi menyebabkan tidak ada arahan yang pasti bagi seluruh staf institusi dan tim anti fraud untuk menjalankan program-program pengendalian fraud sehingga menyebabkan komponen program berjalan tidak optimal.
Rekomendasi yang diajukan sebagai respon hasil penelitian adalah: (a) menyusun kebijakan tingkat daerah terkait pencegahan kecurangan JKN; (b) mendorong pimpinan untuk berkomitmen tinggi untuk menerapkan upaya-upaya pengendalian kecurangan JKN; (c) membentuk Tim Pencegahan kecurangan JKN; dan (d) meningkatkan kompetensi Tim Pencegahan Kecurangan JKN melalui program edukasi dan training.
Penerapan PMK No. 36/ 2015 yang belum optimal sejalan dengan situasi di Indonesia yang memang juga belum optimal membangun sistem pengendalian kecurangan JKN. Salah satunya adalah dalam proses deteksi potensi fraud. Laporan Majalah Tempo per 6 Juni 2020 menyebutkan bahwa potensi fraud di Indonesia hanya kurang 1%. Namun, data ini juga kurang detil apakah 1% ini adalah besaran kasus atau besaran dampak atau besaran kelompok yang berpotensi melakukan fraud.
Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu membangun sistem anti fraud yang menyeluruh, termasuk sistem deteksi potensi fraud. Agar sistem deteksi potensi fraud dapat lebih optimal, perlu dilakukan langkah-langkah berikut: (a) membangun sistem pengaduan terpadu; (b) melatih pihak-pihak terkait untuk mengenali skema fraud program JKN dan mendorong pihak terlatih ini untuk melaporkan potensi fraud yang diketahui/ dialami; (c) mengembangkan metode deteksi lain yang membantu terbongkarnya kasus fraud program JKN; (d) melatih pihak terkait untuk mampu mendeteksi potensi fraud secara mandiri; dan (e) hasil deteksi potensi fraud ditindaklanjuti dalam bentuk investigasi.
Seri IV Penanganan Fraud Layanan Kesehatan untuk Keberlangsungan Program JKN
Yogyakarta, 9 Juli 2020
PENGANTAR
Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator Forum menyampaikan bahwa forum ini merupakan sesi ke - 4 yang diselenggarakan sejak sekitar 3 minggu lalu, selama ini PKMK – JKKI telah bersama 13 perguruan tinggi melakukan evaluasi JKN mengunakan data kesehatan dengan membahas 3 hal diantaranya mengenai; 1) Tata kelola, membahas hubungan kementerian kesehatan DJSN, termasuk bagaimana peran pemerintah daerah, 2) Menekankan aspek equity dan mutu layanan yang dilihat sebagai tujuan mulia yang harus dicapai, serta 3) Sistem mutu secara lebih baik, diantaranya terkait dengan masalah fraud.
Selama 2 minggu ke depan disuse akan membahas evaluasi JKN terkait mutu, memperdalam salah satu apek definisi mutu yakni efisiensi, dimana saat ini kita menghadapi tantangan terkait dengan potensi fraud. Bagaimana implementasi regulasi anti fraud, tidak hanya terkait dengan efisien tapi juga clinical quality baik di RS dan pelayanan primer dapat berjalan dengan baik. Hasil yang diharapkan dalam pembahasan ini yakni dapat mentransformasikan hasil penelitian ke pengambil kebijakan, berharap apa yang diteliti bisa masuk ke media masa secara teratur, merespons isu JKN yang sedang berkembang saat ini dalam kontek isi undang - undang SJSN dan UU BPJS termasuk tentang mutu di kala COVID-19 serta fraud dan dapat memberikan saran yang akan dibahas pada sesi terakhir yang dilanjutkan dengan advokasi. Minimal saat ini sudah mulai menggunakan bukti - bukti baru yang sudah bermunculan serta melihat apakah JKN itu sudah mencapai tujuan ka arah equitas, transparan serta apakah mutunya dapat dipertanggungjawabkan.
Sesi Presentasi hasil penelitian:
- Deteksi fraud dalam pelaksanaan kebijakan JKN
drg Puti Aulia Rahma selaku peneliti menyampaikan hasil kajian deteksi fraud dalam pelaksanaan kebijakan JKN dengan menggunakan pendekatan realist evaluation dengan menilai implementasi PMK No. 36/ 2015 oleh TPK JKN di tingkat Dinas Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan (FKTP & FKRTL): bagaimana regulasi ini berjalan, pada kondisi seperti apa, serta bagaimana hasilnya. drg Puti juga menyampaikan hingga saat ini, setelah hampir 5 tahun berjalan implementasi regulasi tersebut belum pernah dievaluasi. Semua hipotesis dalam penelitian ini diformulasikan dalam bentuk konteks yang menggambarkan situasi, mekanisme yang merupakan bentuk ketika berjalan/tidak berjalan seperti apa, serta keluaran akibat kebijakan tersebut berjalan /tidak berjalan.
Terdapat 4 besar amanat kebijakan organisasi yang diharapkan dalam context, mechanism dan outcome (CMO) diantaranya; 1) Penerapan kebijakan dan pedoman pencegahan kecurangan (fraud), 2) Pengembangan Budaya Pencegahan Kecurangan, 3) Pengembangan Pelayanan Kesehatan Berorientasi Kendali Mutu dan Kendali Biaya, 4) Pembentukan Tim Pencegahan Kecurangan JKN. Hasil penelitian terkait CMO menyimpulkan bahwa tidak adanya kebijakan khusus anti fraud, dimana tidak ada arahan yang pasti bagi seluruh staf institusi dan tim anti fraud untuk menjalankan program - program pengendalian fraud serta komponen program yang sudah berjalan, tidak optimal.
Secara garis besar terdapat 2 penyebab tidak dijalankannya amanat PMK No. 36/ 2015 yakni rendahnya komitmen pengendalian fraud baik dari sisi tim itu sendiri maupun struktur di atasnya (Kepala Dinas Kesehatan, Kepala FKTP, dan Direktur RS) serta minimnya pengetahuan dan keterampilan terkait kecurangan JKN. Rekomendasi dalam penelitian ini agar; 1) Dinas Kesehatan menyusun kebijakan tingkat daerah terkait pencegahan kecurangan JKN yang diadopsi dari PMK No. 36/ 2015 (saat ini dapat menggunakan PMK No. 16/ 2019) kebijakan ini nantinya dapat diadopsi di tingkat provider layanan kesehatan, 2) Pimpinan Dinas Kesehatan serta pimpinan provider layanan kesehatan (FKTP & FKRTL) berkomitmen tinggi untuk menerapkan upaya - upaya pengendalian kecurangan JKN, 3) Membentuk Tim Pencegahan kecurangan JKN di tingkat Dinas Kesehatan dan di tingkat provider layanan kesehatan (bagi yang belum memiliki tim) dan Meningkatkan kompetensi Tim Pencegahan Kecurangan JKN melalui program edukasi dan training terkait JKN.
- Pencegahan dan Penindakan Fraud era JKN
Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan poin - poin penting dalam deteksi fraud merupakan 1) tahap penting dalam proses pengendalian fraud yakni dapat menjadi titik awal dilaksanakan investigasi 2) Semakin cepat fraud terdeteksi, semakin cepat pula kerugian fraud terhindarkan, 3) Menjadi kunci dalam pencegahan fraud, yang dapat menciptakan persepsi staf, bahwa perbuatan fraud akan diketahui serta 4) Pondasi dari deteksi fraud yang efektif untuk mengetahui metode mana yang paling banyak digunakan untuk membongkar kasus fraud.
Prof. Laksono juga menyampaikan bahwa sistem pencegahan dan penindakan fraud di Indonesia belum berjalan seperti seharusnya, terutama jika meliat dari siklus program anti fraud dari awareness, reporting, detection, investigation, sanctioning. Bahkan pada tahapan awareness saja masih belum berjalan dengan baik, apalagi pada tahapan investigasi padahal fraud bukanlah masalah sepele, contoh di Amerika sudah menerapkan sanksi. Padahal jika semakin cepat fraud terdeteksi maka semakin cepat pula kerugian fraud terhindarkan. Di lapangan, data juga belum dipergunakan untuk mendeteksi bahkan saat ini di Indonesia belum ada profesi investigator. Di Amerika Seriat, data menunjukkan bahwa dari banyak pihak (dari berbagai kelompok) yang terdeteksi berpotensi melakukan fraud, terdapat 6% pihak yang terbukti melakukan fraud (dan mendapat hukuman pidana).
Jika kita melihat bahwa sistem JKN yang ada saat ini yakni sistem klaim dan INA CBG merupakan impor dari Amerika Serikat dan Australia namun sebagian dari komponen yang harusnya juga diimpor masih ketinggalan seperti pencegahan dan pengendalian fraud yang belum ada di indonesia.
SESI PEMBAHASAN
Pada sesi ini dibahas oleh 2 pembahas yakni Toto Prihantono dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kunto dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Toto Prihantono manyampaikan bahwa fraud merupakan fenomena gunung es dan menekankan perlunya upaya agar bagaimana 94% orang yang punya potensi tapi tidak bisa dibuktikan berdasarkan data di Amerika Serikat tersebut merupakan ancaman potensi yang dapat mengganggu keberlangsungan JKN di Indonesia. Toto juga membagi pengalaman BPKP melakukan pengendalian fraud yakni dengan melakukan Identifikasi terhadap 3 hal saling berhubungan dan dipandang menjadi satu kesatuan, yakni dari faktor; 1) Manusia mengenai soal integritas, 2) Aspek budaya karena ada bebeberapa kondisi dimana dimanfaatkan oleh pelaku fraud dengan menafsirkan ulang budaya yanga biasa diterima di masyarakat kita dengan memberikan hadiah dan sebagainya untuk membenarkan kejadian fraud, 3) Sistem dan Kolusi.
BPKP juga melihat hubungan aspek manusia dan budaya dengan mencoba mengembangakan kelompok pembelajar anti korupsi (KOMPAK) yakni suatu komunitas yang peduli dengan anti fraud. BPKP juga melakukan intervensi dari aspek manusia dan sistem sehingga dilakukan pengawasan terus menerus dengan metode continous audit continous monitoring (CACM) selalu dilakukan pegawasan akan sangat terbantu dengan penggunaan IT karena bisa mengetahui history dan pola fraud akan terlihat sehingga bisa menjadikan indikator base yang menunjukkan bahwa fraud sedang berlangsung meskipun belum sampai pada tahap akhir kegiatan. Namun di sisi lain, jika hanya mengandalkan IT mungkin juga tidak akan cukup sehingga perlu upaya lainnya namun dengan pendekatan early warning sistem mampu membangkitkan kewaspadaan bahwa fraud sedang berlangsung.
Selanjutnya, Kunto dari Direktorat Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertegas kembali mengenai tahapan terjadinya fraud, dan mengharapkan pemerintah sudah menyentuh 3 tahapan tersebut untuk melakukan pencegahan fraud mulai dari tahapan; 1) Action, dimana pada tahap ini merupakan tahap awal dan suda mulai terlihat indikasi fraud sehingga sebuah lembaga seharusnya mempersiapkan regulasi maupun internal kontrol, 2) Conceal, tahapan ini si pelaku ingin menyembunyikan kejahatannya agar tidak terlihat sehingga perlu upaya misalnya menyusun PNPK atau pedoman, bahkan melakukan audit. 3) Conversion, pada tahap ini si pelaku ingin mengubah sesuatu dan ingin menikmati hasil kejahatan, sehingga perlu dibuatkan sebuah regulasi misalnya dengan sistem laporan harta kekayaannya untuk mencegah pelaku menikmati hasil kejahatannya.
Kunto juga menjelaskan bahwa kasus kejahatan mengenai kesehatan yang pernah ditangani KPK masih terkait dengan alkes barang dan jasa, dan fraud yang terkait dengan diagnosa masih banyak yang belum terungkap, banyak dokter yang belum dapat melakukan low full investigation dengan keparakarannya untuk mengungkap diagnosa upcoding dll. Terdapat juga permasalahan misalnya dengan kasus fisioterapi dengan rata - rata diberikan dengan jumlah yang tidak sesuai dengan rekomendasi dan diberikan 24 kali namun kelemahannnya ketika dilakukan audit untuk menentukan apakah fraud atau tidak belum ada PNPK - nya, saat ini selalu mendorong Kemenkes untuk menyelesaikan standar untuk penyakit tertentu yang belum ada standarnya.
SESI DISKUSI
1. Meskipun tidak ada regulasi anti fraud, namun dengan adanya kebijakan terkait clinical pathway/ panduan praktek klinis tentunya bisa sebagai tools untuk menilai kepatuhan terhadap standar dan secara tidak langsung bisa mencegah fraud, Mohon tanggapannya?
drg Puti: betul, ketika ada PPK yang berjalan diturunkan dalam bentuk clinical pathway (CP) ini dapat menjadi instrumen atau dapat menjadi salah satu barrier melakukan hal - hal yang mengarah ke fraud. CP merupakan instrument yang sangat baik namun CP saja tidak cukup utuk membangun anti fraud, karena di beberapa fasyankes justru konten CP disesuaikan dengan kebutuhan tertentu dalam hal ini yang bisa menjurus pelaksanakanya ke dalam fraud. Namun jika CP dilakukan dengan kaidah yang baik maka bisa digunakan, tapi tidak semata dilakukan karena harus ada evalausi terhadap CP dan ada kebijakan jika CP nya sudah patuh diapakan dan ada kebijakan juga jika CP yang dilaksanakan tidak patuh.
2. Mengapa rekomendasi penelitian tidak mengarah pada law inforcement?
Laksono: Klaim BPJS yang tidak terlalu tinggi, maka RS harus melihat fraud menjadi isu menarik, fraud karena survival. Di UGM adalah pencegahan sejak 2014. Memang betul penindakan itu belum. Di UGM coba mem - benchmark dengan yang ada di Amerika dan disana keras sekali, disana fraud sudah berkembang menjadi organisasi kriminal dan dilakukan oleh mafia - mafia, namun petugas anti fraud juga sudah menggunakan mesin untuk merazia markasnya orang - orang yang melakukan fraud.
Kunto: Sebuah fraud tidak mudah membuktikan menjadi tindak pidana, bisa dilakukan dengan 2 cara yakni: Ranah pidana dan Ranah adminstratif, tetapi mungkin dengan kadar tertentu bisa dibawa ke persidangan. Sebetulnya di pusat kemkes ada tim gabungan yang menangani fraud, dan ada BPKB juga.
Toto: Salah satu yang terbaru dan sudah mulai mengarah menjadi salah satu isu dengan aparat penegak hukum, problemnya adalah bagaimana kita bisa katakan ini pelayanan dianggap berlebihan dan siapa yang bisa menyatakan itu berlebihan, seharusnya yang paham proses bisnisnya adalah oang yang paham bisnis tersebut/atau orang yang berkecimpung dibidang itu. Harus dibangun beradasarkan kejadian skenaio fraud siapa yang melakukan apa. Sehingga muncul simptom - simptom dan dapat dilakukan pendalaman dan audit.
Laksono: situasi ini ketika hukum kurang jelas menyangkut suatu proses medik yang kompleks, di Indonesia belum ada profesi investigator. Bila ada profesi investigator dan di Amerika merupakan profesi khusus dan mereka menginvestigasi tidak berbulan - bulan dan bahkan bertahun - tahun dengan melihat pola.
3. Ketika fraud terjadi, apakah FKRTL sebagai pihak yang dirugikan atau malah diuntungkan? Sistem pencegahan fraud harus mampu menempatkan FKRTL sebagai pihak yang dirugikan ketika ada stafnya yang melakukan fraud. Sehingga diharapkan fungsi pencegahan dan pengendalian fraud oleh FKRTL dapat berjalan?
drg. Puti: Terkait pemahaman dan kesadaran, awarness jalan duluan sembari menyiapkan low enforcement, Amerika sudah mempunyai website khusus yang di page - nya khusus untuk edukasi anti fraud khusus sektor kesehatan, tidak digabungkan dengan yang lain. Dengan adanya edukasi membuat orang sadar bisa meruugikan semua pihak. Di website mendorong masayarakat melaporkan, jadinya tingkat pelaporannya tinggi. Harus disdarkan kembali merugikan FKRTL sendiri, dan jika terbukti nanti akan kena masalah, awareness harus kuat dan edukasinya harus kuat dulu. Saat ini masih terdapat aura bahwa fraud itu justru menguntungkan FKRTL sehingga penting sekali edukasi yang gencar terhadap FKRTL.
Kunto: Sebenarnya MA telah mengelurkan peraturan Nomor 13 Tahun 2016 tentang pemidanaan korporasi, jadi korporasi bisa dikenakan sanksi misalnya pencabutan ijin, pembekuan usaha jika tidak melakukan upaya - upaya pencegahan fraud, misalnya tidak menerapkan ISO 37001 tentang anti suap dan lain - lain, bukan hanya korporasi tapi juga pegawainya bisa dituntut. Misalnya di RS ada oknum yang melakukan fraud maka yang bisa ditindak hanya oknum tersebut selagi manajamen RS dapat membuktikan bahwa sudah melakukan upaya - upaya pencegahan misalnya sudah menerapkan Kendali mutu kendali biaya dan seterusnya, namun jika tidak maka bisa dikatakan bahwa RS tersebut menikmati keuntungan tersebut sehingga bisa diberikan sanksi seperti pencabutan ijin, pembekuan usaha
4. Fraud dalam JKN selain dipicu oleh faktor internal juga eksternal, faktor eksternal diantaranya adalah kebijakan, faktor apa yang mendorong/mempengaruhi kebijakan ikut memberi andil terjadi nya fraud JKN di Indonesia? dan Apa yang menyebabkan tenaga kesehatan berpotensi melakukan fraud tinggi? Selain dari sistem, apakah memang "system" BPJS saat ini memaksa tenaga kesehatan untuk fraud?
Toto: Belajar mengendalikan fraud tidak hanya belajar dar pengalaman sndiri tapi juga bisa belajar dari dari bidang lain. Menurut saya tdak ada masalah dan saat ini membangun sistem dan sduah harus mulai mengenalkan upaya - upaya pengendalian fraud. Sebagai bentuk pemeblajaran. Bagaimana kejadian fraud di wilayahlain yang bisa dilihat dari dan sudah cukup membangun sistem yang memadai. Dalam prosesnya akan diketahui siapa yang berpotensi yang melakukan fraud bagaimana melakukan proses pencatatan. Dimana prosedur yang lemah dan menguatkan kendali. Tetap tidak akan lepas dari bentuk fraud yang umum, tekhnik invesitagasi relatif lebih sama maupun mengenai siapa yang akan diwawancarai.
Puti: Mulai dari komitmen pimpinan. Saat ini sudah ada pergeseran kesadaran, kuncinya adalah keadilan, jika igin menindak pihak lain maka pihak lainnya juga ditindak. Penanganan fraud yang berkeadilan, ada regulasi yang menaungi dan ada yang paham tentang fraud.
5. Siapa yang harus menjadi lembaga independen (tidak memiliki hubungan dengan pelaku usaha layanan kesehatan tersebut) sehingga tidak terjadi konflik kepentingan? 2000 RS
Puti: Paling tepat adalah menggunakan tim anti fraud yang sudah digadang dari tahun lalu di tingkat pusat, sama dengan yang dilakukan di AS merupakan gabungan dari beberapa institusi. Apakah dinas mempunyai kapasitas dan potensi, iya punya kapasitas orang dan ada yang punya pemahaman namun tertutup dengan banyaknya program lain yang harus dikerjakan, namun yang diharapkan pihak dinas dapat hadir jika ada persengketaan. Dalam Permenkes 16 Tahun 2019 tersebut Dinas harus punya andil setidaknya untuk sosialisasi
6. Belum lagi masyarakat yang belum “terdidik” akan regulasi yang bener di BPJS, yang sering kali kita menyebutnya fraud dari peserta. dan jika tidak di penuhi bisa berujung komplain ke BPJS, dan kalau BPJS ada komplain dari peserta selalu membela pihak peserta?
drg.Puti: Bisa dilakukan adalah edukasi ke peserta, harus ada upaya real untuk membantu RS membuat upaya edukasi ke pasien dan dibuat poster yang besar - besar.
PENUTUPAN
Dalam siklus program anti fraud terlihat belum berjalan dengan baik di semua titik, awareness masih lemah, sehingga menjadi isu kunci dalam konteks kebijakan. Dalam UU SJSN dan BPJS juga tidak jelas menyatakan bagaimana fraud itu dilakukan dan dicegah, yang ada hanyalah kendali mutu dan kendali biaya sehingga mungkin ke depan bisa saja perlu UU khusus dalam bidang kedokteran terkait dengan fraud layanan kesehatan. Kita ketahui jika menggunakan model klaim maka akan selalu ada potensi fraud. Selanjutnya pembahasan akan sampai pada low inforcement. Penelitian ini bukan akhir - akhir dan akan diskusikan dengan anggota DPR.
Pengantar, Dr. dr. Supriyantoro, SpP, MARS (Ketua Umum IKKESINDO) membuka dengan mengatakan “Mari bersama Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO) berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan di Indonesia”. Kita harus melakukan pembenahan tidak hanya pada pemikiran bahwa sistem tersebut rusak atau memang harus ditingkatkan. Dalam perjalanan 6 tahun, kita masih bingung siapa dan berapa dirihen(pemandu) dalam ekosistem JKN dan bagaimana menciptakan sinergi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan sebagai kunci dalam pencapaian tujuan SJSN memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang layak.
Sambutan, Mundiharno dari BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa diharapkan dalam sistem jaminan kesehatan tercipta ekosistem yang harmoni seperti halnya sebuah orkestra. Program JKN ini melibatkan banyak pemangku kepentingan baik di tingkat nasional maupun daerah serta yang berperan sebagai regulator, implementor maupun peserta JKN. Setiap pemangku kepentingan memiliki perannya masing - masing sehingga diharapkan dengan adanya peraturan presiden nomor 85 dapat mensinergikan semua pemangku kepentingan yang akan membuat ekosistem ini berjalan harmoni sebagai musik yang indah.
Keynote speech, Emanuel Melkiades Laka Lena (Komisi IX DPR RI) menyampaikan keynote - nya melalui video karena tidak dapat hadir dalam webinar ini. Emanuel memandang bahwa acara baik sekali oleh IKKESINDO dan harapannya dapat membahas bagaimana kita membenahi sistem JKN KIS. Pembenahan ini menjadi penting dan menjadi perhatian bangsa Indonesia apalagi soal kenaikan iuran peserta dalam 2 Perpers. Situasi ini harus dipikirkan bagaimana cara untuk memastikan bahwa program ini dapat berkelanjutan melalui peran serta seluruh rakyat indonesia. Emanuel menyampaikan bahwa telah terjadi diskusi untuk beberapa catatan penting dan dibahas dalam rapat gabungan.
Tiga aspek penting harus dipertimbangkan dalam sistem kesehatan nasional yaitu aspek kepesertaan, layanan yang diberikan dan iuran. Selain pemerintah dan DPR RI penting, BPJS Kesehatan sebagai operator harus memastikan berbagai layanan kesehatan dan meminimalkan potensi fraud di berbagai level layanan. Semua pemeharti diharapkan dapat terus mencari upaya efektif dan efisien dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Aspek data perlu dirapikan dan dibersihkan secara bersama.
Moderator, drg. Usman Sumantri, MSc, Analis Kebijakan Ahli Utama Kemenkes RI, membuka pemaparan materi oleh para narasumber dengan menyampaikan bahwa implementasi JKN sudah masuk tahun ketujuh dan peserta JKN telah mencapai 223 juta jiwa atau sudah sampai 83 % dari total seluruh populasi Indonesia. Kunjungan peserta JKN telah mencapai 233 juta yang terdiri kunjungan di FKTP maupun di FKTL dan pada 2019 mengalami kenaikan yang cukup signifikan menjadi 433,44 juta kunjungan (1,5 kali dari peserta JKN). Beliau menyampaikan bahwa meskipun banyak persoalan dalam pengelolaan JKN, manfaat telah dirasakan oleh peserta JKN.
Narasumber pertama, dr. Hasbullah Thabrani, PhD, Pakar Jaminan Sosial, menyampaikan pendangan pribadinya dalam judul Ekosistem JKN – KIS menghalau awan mendung mental miskin. Hasbullah menyampaikan bahwa undang - undang yang sudah ditetapkan tidak diterjemahkan dengan baik ke dalam peraturan - peraturan yang lebih spesifik. Hasbullah mengutip laporan Bank Dunia tentang pengakuan dari pemerintah tentang tantangan koordinasi dan fragmentasi antara lembaga pusat membatasi efektivitas program - program utama pemerintah seperti JKN dan program - program bantuan sosial dalam mencapai tujuan mereka.
Desentralisasi menimbulkan tantangan tambahan bagi akuntabilitas dan pemantuan lembaga - lembaga di tingkat pusat. Hasbullah menyampaikan bahwa SJSN ini memiliki kontrak utama (master kontrak) antara negara dan rakyatnya dalam Undang - Undang Dasar 1945 dan kontrak spesifiknya dalam Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2004. Kontrak yang harus dipahami adalah akses dan konsumsi dalam pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan layak bagi semua orang. Kebutuhan dasar ini sedang dirumuskan, namun Hasbullah menyampaikan pandangan pribadi bahwa kebutuhan dasar itu sebenarnya sudah dirumuskan dalam UU SJSN yaitu sesuai dengan kebutuhan medis. Namun, telah banyak diskusi yang mencoba menggambarkan bahwa telah terjadi salah kaprah bahwa kebutuhan dasar diperkecil sehingga dapat dikurangi manfaat dan biaya layanannya.
Simpulan dari penyampaian tersebut adalah pertama, UUD dan UU tidak dipahami secara baik oleh semua sektor dan setiap sektor masih berjalan dengan kepentingannya sendiri; kedua, komandan efektif untuk program JKN belum ada; ketiga, sebagian pejabat dan rakyat Indonesia masih memiliki “mental miskin” menghambat kemajuan program JKN dimana mengeluhkan bahwa Indonesia tidak memiliki kemampuan fiskal yang memadai; keempat, potensi fiskal bangsa dan negara sebenarnya ada, dan kelima dan terakhir, perlu peningkatan komunikasi dan buka fakta.
Narasumber kedua, Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD menyampaikan pandangan pribadinya tentang Pembenahan Ekosistem JKN : Jangan Tuntut, Penuhi Dulu Tupoksi menyampaikan pendapat pribadi. Budi menyampaikan bahwa program JKN yang dijalankan melalui single payer terbesar sudah dilirik negara lain seperti India. Prof Budi juga menyampaikan bahwa kita tidak boleh membatasi melihat pada ekosistem yang makro saja namun ekosistem meso JKN. Undang - undang JKN dilahirkan untuk mengatasi fragmentasi program jaminan, sasaran yang eksklusif dan pelaksanaan program jaminan yang belum tepat. Budi menyampaikan bahwa terdapat ruang inkonsisten dalam peraturan - peraturan penerjemahan yang lebih bersifat teknis sehingga mengakibatkan atuan tersebut “mandul arsitektur strategic purchasing BPJS”.
Budi menegaskan bahwa seharusnya para pemangku kepentingan bertanya kepada diri mereka dan tidak menuntut kinerja dari institusi lainnya. Budi menyampaikan bahwa harusnya masalah JKN itu perlu dijelas dan sebuah kaca pembesar pada level meso yaitu area pendanaan, pembayaran fasilitas kesehatan, pemanfaatan layanan, output dan kepesertaannya. Nilai pendanaan yang kecil dan pembayaran faskes yang belum terstandarisasi penyesuaian manfaatnya berpengaruh kepada defisit JKN tersebut. Pembayaran faskes kepada rumah sakit belum sesuai dengan konteks ke - Indonesiaan sehingga masih tercipta ruang yang cukup lebar untuk klasifikasi biaya InaCBGs. Namun mayoritas masalah yang muncul adalah under price, masalah overprice belum secara optimal ditelusuri. Masalah ini menimbulkan praduga tentang tumbuh suburnya dugaan fraud namun harus dibuktikan.
Narasumber ketiga, dr. Asih Eka Putri, MPPM, anggota DJSN menyampaikan pandangan pribadi tentang Ekosistem JKN dalam Tata Kelola Jaminan Sosial. Asih menyampaikan bahwa kita harus memandang ekosistem JKN tidak hanya sebagai hubungan klasik supplier dan konsumer. Dengan cakupan peserta yang besar dikuatirkan akan menambah besarnya pengeluaran untuk peserta tersebut. Defisit yang terjadi saat ini merupakan defisit struktural yang terjadi pada 2014 hingga 2019.
Ketidakseimbangan kronis antara pendapatan dan pengeluaran kerena struktur iuran tidak cukup membiayai manfaat, bukan karena penyelenggaraannya tidak efisien. Obat untuk defisit ini adalah restrukrisasi SJSN yang telah dimulai dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 dan 64 Tahun 2020. Bu Asih menyatakan terdapat ketidakberdayaan DJSN untuk membantu BPJS Kesehatan yang mengalami kelebihan muatan biaya layanan tersebut. Budi mengemukakan bahwa dalam menetukan iuran dalam program JKN terdapat Presiden sebagai penetap besaran iuran berdasarkan masukan dari Kementerian Keuangan yang telah menghitung kembali perhitungan DJSN. DPR RI berwenang untuk memberikan pendapat dan mendesak pemerintah tentang kelayakan besaran iuran dan Mahkamah Agung dapat menuji peraturan preseiden tentang peraturan presiden.
Rekonstruksi Ekosistem JKN dimulai dengan menyadari bahwa aktor utama yaitu peserta, DJSN, dan BPJS Kesehatan belum terlalu nampak, tetapi aktor lain melayang - layang dalam ekosistem tersebut yaitu lemahnya peradilan, kelompok masyarakat dan lainnya. Hal ini menunjukkan ketidakefisienan dan rawan konflik. Rekonstrukrisasi harus membenahi empat area yaitu Kebijakan dan pengawasan, kelembagaan, operasional dan keuangan SJSN.
Pembahas pertama , Ahmad Ansyori, SH, MH, Ahli Jaminan Sosial membahas tentang para “pemain” dalam orkestra “JKN” tidak boleh bermain diluar pengaturannya. Undang - undang SJSN menyasar DJSN sebagai “Dirigen” dalam pengelolaan program JKN namun faktanya tidak seperti itu. Ahmad juga mengkritik bahwa untuk materi yang sangat serius ini, harusnya para pemateri menyampaikan atas nama lembaga, karena dapat menimbulkan pemikiran bahwa sepertinya dapat terjadi ketidaksamaan suara dalam suatu lembaga.
Ahmad menyatakan bahwa harusnya lembaga peradilan itu memiliki fungsi tersendiri dalam suatu tata kenegaraan sehingga dia tidak bisa dilihat sebagai pengganggu dalam ekosistem JKN tersebut. Harusnya hal ini diteliti secara regulasi akan berisiko terhadap proses hukum. Ahmad menitikberatkan terhadap kesamaan pandangan terhadap problem statement JKN sehingga dapat digunakan cause and effect analysis. Ahmad menyimpulkan bahwa ada empat permasalahan utama yaitu regulasi, subtansi program, penyelenggaran atau tata kelola program dan masyarakat.
Pembahas kedua, DR. Chazaly Situmorang, Apt, M. Sc, Ketua Institut Jaminan Sosial Nasional, Mantan Ketua DJSN, membahas bahwa hakekat ekosistem JKN - KIS harusnya adalah “keberpihakan” yang didetilkan pada kepentingan peserta, kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan serta kejujuran, empati dan keterbukaan informasi. Potensi permasalah regulasi JKN juga dapat dibagi menjadi sudah ada namun belum lengkap, belum selesai sinkronisasi dan bias implementasi. Chazaly juga memberikan sebuah pertanyaan tentang apakah BPJS Kesehatan diperkuat atau dilemahkan fungsi kelembagaannya? Masalah integrasi kelembagaan masih sulit dirasakan dalam program JKN ini.
Persoalan power sharing telah terjadi sehingga dilematis dalam implementasi program tersebut. Problem utama kita dalam JKN yang dilihat secara makro dan meso adalah terdapat waiting list, belum ada pendampingan peserta dan perlu dibukanya aksesbilitas faskes sesuai dengan kebutuhan peserta tersebut. Chazaly mengakhiri pembahasan dengan mengatakan bahwa kebutuhan dasar kesehatan adalah indikasi medis yang telah diatur dalam undang - undang.
Pembahas ketiga, Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, PhD, Wakil Menteri Kesehatan RI 2011-2014 membahas konsep dasar JKN sendiri harus diperbaiki yaitu gotong royong atau saling membantu yang tidak terjadi. Pembahasan tentang siapa dirigen dalam sistem kesehatan belum ditunjukan dalam SJSN. Ghufron menyampaikan bahwa infrastruktur layanan kesehatannya masih jauh dari manfaat yang telah dijanjikan.
Melihat permasalahan kesehatan harusnya komprehensif dimana daerah yang sudah dapat menjalankan sistem jaminan dan daerah yang tidak cocok menjalankan sistem tersebut seperti daerah pelosok. Implementasi kapitasi pada puskesmas untuk membiayai layanan disana tidak berjalan seperti tujuannya karena masyarakat tidak dapat mengakses layanan tersebut. Lebih lanjut, puskesmas yang dapat mengakses protein dalam urin sebesar 10 % dimana pemeriksaan ini penting untuk mendeteksi eklampsi dan preeklampsi pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan kematian.
Penguatan SDM kesehatan dan SDM asuransi kesehatan perlu ditingkatkan sehingga indonesia siap untuk menjalankan reformasi ini. Ghufron menyampaikan bahwa belum ditunjukkan posisi pemerintah daerah yaitu dinas kesehatan masih bersifat sebagai penonton yang tidak berperan sama sekali. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembagian tanggung jawab dalam sistem kesehatan nasional tersebut belum jelas. Beliau mengakhiri pembahasan tersebut dengan menyatakan bahwa perlu dilakukan reorientasi kebijkan dan perubahan mindset pejabat dan penduduk kearah promosi, prevensi dan perilaku sehat masyarakat.
Serial Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah
Yogyakarta, 07 Juli 2020
PENGANTAR
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 4 “Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah”. Webinar ini dilaksanakan pada Selasa (07/07) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Evaluasi Capaian Kepesertaan, Pemerataan dan Mutu Pelayanan Kesehatan Program JKN di Provinsi Bengkulu” yang disampaikan oleh Peneliti JKN Provinsi Bengkulu, Jon Hendri Nurdan. Pembahas pada pertemuan ini adalah Hendriwan Mansyur selaku Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan Provinsi Bengkulu.
Jon Hendri selaku narasumber menyampaikan hasil penelitian evaluasi JKN di Provinsi Bengkulu baik dari Aspek Tata Kelola, Mutu Layanan dan Aspek Equity. Dari Aspek Tata kelola ditemukan masih banyak kendala yang dihadapi antara lain data penduduk miskin yang menjadi peserta PBI JKN belum terintegrasi antara data Disdukcapil, data Dinas Sosial dan data BPJS Kesehatan, minimnya anggaran yang disediakan Pemerintah Daerah untuk PBI daerah dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam program JKN. Selain itu, akses data penyelenggaran JKN di Provinsi bengkulu belum baik, kebijakan kompensasi belum terlaksana secara optimal namun Pemerintah provinsi telah berpartisipasi melalui Kebijakan Jaminan Kesehatan Provinsi Bengkulu.
Dari sisi kebijakan, belum ada peraturan gubernur terkait UHC namun beberapa regulasi telah dikeluarkan seperti Sistem Jaminan Kesehatan Daerah Provinsi Bengkulu dan Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan. Pada aspek Mutu Layanan, ditemukan tugas yang dilakukan TKMKB masih sangat bergantung pada dukungan BPJS Kesehatan yang berupa fasilitatif operasional, koordinasi dan insentif. Tim anti fraud telah terbentuk namun belum berjalan optimal serta indikator rujukan non spesialistik telah tercapai karena adanya pengawasan dari tim monev JKN. Pada aspek equity, secara umum provinsi bengkulu belum mencapai UHC dengan capaiak kepesertaan 80%, paket manfaat belum merata karena kurangnya tenaga spesialistik, distribusi Dokter umum dan Dokter spesialis jantung belum merata serta kunjungan peserta JKN lebih banyak di akses oleh segmen PBPU.
Hendriwan Mansyur selaku pembahas menyampaikan situasi kondisi kesehatan di Provinsi Bengkulu baik SDM maupun Sarana Prasarana. Secara umum capaian program JKN semester 1 tahun 2020 sudah mencapai 80%. Sebagai komitmen Pemerintah Provinsi terhadap JKN, Permprov mengaktifkan Jaminan Kesehatan Provinsi untuk menutupi tunggakan segmen PBPU dengan menggunakan dana pajak rokok sesuai amanat regulasi penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat.
Kegiatan program JKN yang bersumber dari Pajak Rokok antara lain: 1) Pembayaran premi bagi 23ribu peserta PBPU yang menunggak iuran untuk pembayaran biaya perawatan kelas 3 di Rumah Sakit; 2) pertemuan koordinasi lintas program/lintas sektor; 3) pertemuan perencanaan dan evaluasi program JKN di tingkat provinsi; 4) pertemuan penguatan program JKN di tingkat provinsi; dan 5) monitoring dan evaluasi program ke Kabupaten Kota. Hasil simulasi proporsi anggaran Jamkesda dari pajak rokok sebesar 37,5% atau 36,5 Miliar Rupiah di tahun 2020. Selain itu, ditemukan berbagai persoalan dalam JKN antara lain pasien yang dirawat di rumah sakit tidak memiliki kartu JKN dan masalah pendamping pelaksana rujukan ke luar kota yang belum diketahui sumber pembiayaannya, adanya stigma bahwa TKMKB adalah bentukan BPJS Kesehatan, Tim Pertimbangan Klinis (TPK) yang perlu disinkronisasi dengan tim anti fraud serta pelaksanaan KBK yan terhambat karena pandemi.
SESI DISKUSI
1. Saat ini BPJS kesehatan telah melaunching Dashboard BPJS Kesehatan yang bisa di akses oleh pemerintah daerah, bagaimana tanggapan Dinas Kesehatan terkait data BPJS Kesehatan?
- Yang kami tampikan data tadi dari RS pemerintah dan Swasta. Kalau dilihat dari pemerataan fasilitas kesehatan, dan SDM Kesehatan lebih terfokus di perkotaan dibanding pedesaan atau DTPK sehingga persayaratan Akreditasi dan Kredensialing menjadi pertanyaan dari Dinas Kesehatan Provinsi.
2. Belum tercapainya kepesertaan JKN karena adanya stigma terkait pelayanan kesehatan, bagaimana peran stakeholder terkait dalam memperbaiki stigma tersebut?
- Jadi ini hal yang klasik, dari Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan selalu berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada peserta JKN. Tidak ada perbedaan pelayanan pada peserta JKN dan Bukan Peserta JKN. Simak lebih lanjut di video sesi diskusi.
Forum Analisis Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan bukti
Seri IV Penanganan Fraud Layanan Kesehatan Untuk Keberlangsungan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Kamis, 9 Juli 2020
Latar Belakang
eKecurangan (fraud) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan kasus yang sungguh-sungguh terjadi di Indonesia. Namun, hingga tahun ke tujuh pelaksanaan program, belum ada data riil yang menunjukkan besaran kasus dan nilai kerugian yang ditimbulkan akibat fraud ini. Dalam laporan investigasi Majalah Tempo per 6 Juni 2020, disebutkan terdapat potensi fraud di rumah sakit namun dalam jumlah kecil. Data ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Saat ini, Indonesia sudah memiliki regulasi dan pedoman anti fraud. Namun, regulasi yang sudah ada dianggap belum kuat untuk mendorong berjalannya sistem anti fraud. Indonesia juga belum sepenuhnya memiliki sistem pengendalian fraud JKN terpadu. Diharapkan diskusi ini dapat memicu adanya kebijakan untuk sistem terpadu yang diperlukan untuk menjamin berjalannya program-program anti fraud yang lebih merata di seluruh Indonesia. Dengan demikian pelaksanaan kebijakan JKN dapat lebih efisien.
Hasil yang Diharapkan
Pengambil keputusan dan stakeholders terkait memahami fenomena fraud program JKN terkini .
Mengidentifikasi persiapan pengembangan kebijakan dan sistem pengendalian fraud program JKN
Ada proses transformasi hasil penelitian ke pengambil keputusan.
Tri Muhartini Telp: 0274-549425 HP/WA: 089693387139 Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Seri III Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah
Yogyakarta, 30 Juni 2020
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 3 “Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah”. Webinar ini dilaksanakan pada Selasa (30/06) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Evaluasi JKN Di DIY: Fakta dibalik Menurunnya Capaian Kepesertaan UHC di Yogyakarta” yang disampaikan oleh Peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM, Tri Aktariani, S.H., M.H. Pembahas pada pertemuan ini adalah Endang Patmintarsih, SH, MSi dari Bappeda Prov DIY.
Sesi Presentasi: Fakta dibalik Menurunnya Capaian Kepesertaan UHC di DIY
Tri Aktariani selaku narasumber menyampaikan rujukan regulasi yang mendasari Jaminan Kesehatan Semesta hingga regulasi penunjang untuk mendukung Jaminan Kesehatan Nasional. Hasil penelitian di DIY menunjukkan terjadi penurunan kepesertaan sebesar 3,23% atau sekitar 104.092 jiwa dari Bulan Agustus hingga Desember 2019 karena adanya perbedaan data penduduk miskin DIY dengan pemerintah Pusat. Dari sisi iuran dan biaya manfaat JKN, DIY mengalami defisit anggaran BPJS setiap tahunnya karena penduduknya sangat menikmati dan dapat mengakses layanan JKN lebih dari optimal. Selain itu, terjadi tunggakan peserta PBPU dari Januari 2014 hingga Desember 2019 sebesar 113.281 peserta.
Sesi Pembahas: Menuju Universal Health Coverage (UHC) di DIY
Endang Patmintarsih, SH, MSi dari Bappeda DIY selaku pembahas menyampaikan kondisi pembangunan kesehatan di DIY mulai dari Indeks Pembangunan Manusia yang diatas rata-rata nasional, kondisi PTM, Proporsi Status Gizi Balita, dan perkembangan tingkat kemiskinan. Berdasarkan data kepesertaan Jaminan Kesehatan Semesta (Jamkesta) DIY per 4 Juni 2020, rata-rata kota kabupaten telah mencapai UHC namun ada beberapa kendala dalam pencatatan PBI antara lain data PBI yang masih belum valid dan bayi yang baru lahir itu juga belum tercatat.
Peran Pemda dalam Sub Sistem Pembiayaan Jaminan Kesehatan terkait PBI antara lain berkontribusi pembiayaan PBI JKN melalui APBD, dan melakukan verifikasi dan validasi data penduduk miskin atau calon peserta PBI, menyiapkan dana buffer untuk penduduk yang belum tercover PBI. Kebijakan pemerintah daerah, semua masyarakat dilayani melalui Jamkesos, terbagi menjadi 4 macam Jamkesus Disabilitas, Miskin Non Jaminan Kesehatan, Anggaran Penyangga dan Rawan Kesehatan seperti penyakit yang tidak dijamin oleh Jaminan Kesehatan.
SESI DISKUSI
Kenapa DIY belum atau tidak memberi perhatian kepada BPJS tentang penurunan Defisit Pemerintah DIY?
Endang Patmintarsih, SH, MSi dari Bappeda DIY
- Saya malah bertanya inih “aturan dari Pusat ada tidak Bu yang memang harus Provinsi/Pemda menanggung defisit itu? karena ketika menanggung defisit itu kita dasarnya apa. Sekali lagi yang menjadi pertanyaan kami adalah yang harus krusial segera dilakukan, Perbaikan data PBI JKN agar pelayanan BPJS menjadi maksimal. DJSN kan sudah mengeluarkan tuh data statistik untuk BPJS maka untuk kedepannya yang harus menjadi perhatian kita, lalu siapa yang mengeluarkan data PBI? Dinas Sosial kah dengan Kebijakan dari DJSN gitu, kalau kementrian sosial lalu bagaimana prosedur? apakah dengan mekanisme kemarin ada perubahan? karena sekali lagi sampai saat ini data PBI JKN masih bermasalah ke validasinya.
Serial Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti
Yogyakarta, 02 Juli 2020
PENGANTAR
Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator Forum menyampaikan bahwa apakah bukti-bukti terbaru yang ditemukan saat ini bisa menjadi acuan kegiatan untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS? Pada pertemuan sebelumnya ada beberapa pasal dalam UU yang penting untuk di revisi sehingga pada pertemuan ke enam akan direview berbagai masalah terkait UU SJSN dan UU BPJS. Hasil review ini menjadi bahan advokasi ke pemerintah dan DPR untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS.
Sesi Presentasi: Penyajian hasil penelitian JKN: Akuntabilitas dan Transparansi BPJS Kesehatan
Penyaji pertama disampaikan oleh Tri Aktariani selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS, DJSN dan BPJS memiliki hubungan koordinatif yang bertanggung jawab pada presiden tetapi tugasnya berbeda. Selain itu, DJSN memiliki fungsi esensial sebagai perumus kebijakan dan pengontrol implementasi program JKN. Fakta-fakta transparansi dan akuntabilitas baik di tingkat pusat maupun daerah menunjukkan bahwa belum adanya transparansi dan akuntabilitas BPJS Kesehatan, lemahnya peran DJSN dalam JKN, sulitnya akses data JKN yang tervalidasi pada perpres 82 tahun 2018.
Selain itu di tingkat daerah, peran dinkes untuk mengawasi program JKN belum terlaksana karena tidak diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS, data JKN masih sulit diakses oleh pemerintah daerah, dan koordinasi BPJS Kesehatan dengan Kementerian Kesehatan terputus akibat dari UU SJSN dan UU BPJS. Telaah regulasi UU SJSN menunjukkan DJSN didesain sebagai lembaga independen, pemerintah daerah dilibatkan sebatas pendataan peserta dan pembayaran iuran PBI, dan pemerintah pusat dilibatkan hanya pada pendaftaran, persentase iuran dan tindakan-tindakan khusus. Selain itu, telaah regulasi UU BPJS menunjukkan tidak ditemukan peran pengawasan kementerian kesehatan, pelibatan Pemda hanya sebatas pengenaan sanksi tunggakan yang belum dilaksanakan Pemda, tidak ada pasal yang mengatur kewajiban BPJS untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil monev program JKN yang dilakukan DJSN.
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
Memang yang terjadi adalah suatu situasi dimana DJSN diharapkan sebagai lembaga yang kuat ternyata selama 6 tahun ini belum kuat dan secara anggaran sangat kecil untuk melakukan pengawasan. Hal ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola hubungan antara BPJS Kesehatan, DJSN dan Kementrian Kesehatan.
SESI PEMBAHAS
Pembahas pertama disampaikan oleh Dr. Indra Budi Sumantoro, S.Pd., M.M berasal dari DJSN. Indra menyampaikan secara prinsip DJSN dibentuk berdasar pada stakeholder yang mempunyai kepentingan baik dari unsur pemerintah, unsur pekerja, unsur pemberi kerja, dan unsur tokoh atau ahli sehingga pengawasan yang dilakukan terkait dengan kepentingan stakeholder tersebut. Ada beberapa hal yang dibahas oleh Indra, antara lain rujukan berjenjang diperlukan agar pelayanan terdistribusi secara proporsional dan pemda berkewajiban menyediakan fasilitas kesehatan. Selain itu, ada beberapa variabel yang menjadi persoalan pada benefit coverage seperti adverse selection, moral hazard. Dari sisi perumusan kebijakan, DJSN adalah lembaga non struktural sehingga tidak memiliki kewenangan sebagai pemrakarsa berdasarkan UU 17 tahun 2019 dan perpres no 87 tahun 2014, namun hal ini tidak menghalangi fungsi DJSN. Selain itu, kewenangan DJSN dibatasi oleh Perpres 46 tahun 2014 dan UU SJSN yang menyebutkan sekretariat DJSN dipimpin oleh eselon 2 sehingga DJSN tidak memiliki kewenangan anggaran.
Lebih lanjut terkait desentralisasi, sistem SJSN tidak dicreate untuk desentralisasi meskipun ada putusan MK Nomor 007 tahun 2005 yang memperbolehkan dibentuk BPJS daerah yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 yang mengatur bahwa BPJS harus dibentuk dengan UU sehingga kalau membentuk BPJS daerah harus diamanatkan undang-undang. Telah ada 5 Putusan MK yang tidak mengabulkan gugatan pemohon yang ingin menjadikan SJSN terdesentralisasi,
Pembahas kedua disampaikan dr. Andi Afdal Abdullah, MBA,, AAK dari BPJS Kesehatan Pusat. Andi menyampaikan sebagai bentuk improvement, BPJS Kesehatan dan DJSN telah mengeluarkan data statistik JKN mulai dari 2014-2018. Selain itu telah dibentuk kedeputian manajemen data dan informasi di BPJS Kesehatan Pusat. Kedepannya, BPJS akan membuat data sampel versi kedua yang dibuat secara kohort dari data yang pertama yang akan dirilis tahun depan. Data sampel yang dirilis merepresentasikan populasi yang ada di JKN sehingga bisa melihat karakteristik perubahan di 2014-2018. Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pada pemerintah daerah, saat ini BPJS Kesehatan telah mengeluarkan Dashboard Informasi dengan 10 fitur di dalamnya yang bisa di akses Pemerintah Daerah namun masih membutuhkan kemampuan literasi data dan informasi untuk perumusan kebijakan daerah. Bagi akademisi, telah dibuatkan data sample 2015 dan 2016, dan tahun 2020 akan dikeluarkan data sample 2017 dan 2018 dengan harapan data JKN bisa dimanfaatkan.
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
Selama 2 tahun terakhir, berbagai usaha dilakukan untuk membuka data dari BPJS baik dengan inpres hingga perpres. Selama 7 tahun ini memang proses yang menarik dari awal yang tidak begitu terbuka, hingga BPJS mau membuka data.
Sesi Presentasi Kedua: Ekosistem IT dalam keterbukaan data JKN: Akses data BPJS oleh para stakeholder utama.
Insan Rekso Adiwibowo, S.Psi., M.Sc selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan bahwa IT dalam JKN merupakan bagian dari ekosistem kesehatan nasional. Secara umum adi mengkategorikan outlet komunikasi data BPJS Kesehatan yang terdiri atas: 1) outlet penelitian terkait data sampel BPJS Kesehatan; 2) pengambilan keputusan daerah terkait data Business Intelligence (BI); 3) Outlet Informasi Publik melalui Buku Statistik JKN; 4) informasi peserta yang berasal dari Mobile JKN; dan 5) informasi provide dari P Care. Yang kemudian dibahas lebih dalam kelebihan dan kekurangannya.
Lebih jauh Adi menyampaikan, saat ini dalam transparansi data BPJS kesehatan telah menyediakan berbagai platform komunikasi data dengan target yang jelas. Namun masih lemah dalam transparansi data BPJS di level daerah yang harus menunggu approval dari pusat. Sehingga untuk transparansi data dibutuhkan data yang mendetail dan terupdate untuk mendukung evidence based policy yang reliable dan tepat sasaran serta aksesibilitas yang lebih luas untuk pengambil kebijakan di daerah maupun masyarakat umum dengan memperhatikan prinsip ekosistem IT.
Prof Laksono: Analisis berdasarkan ekosistem JKN.
TI merupakan fondasi dasar dari JKN, tanpa sistem IT yang baik tidak mungkin dilakukan perbaikan JKN yang bersifat enabler pada pelaksanaan JKN. Sebagai Badan Hukum layanan publik, BPJS Kesehatan belum mengikuti berbagai aturan Badan hukum publik. Outlet data yang dikeluarkan BPJS saat ini lebih banyak legacy dari PT Askes, belum menggunakan pendekatan ekosistem JKN secara keseluruhan dan prinsip interoperabilitas data. Fungsi Early system warning atau penggunaan data untuk perencanaan ditemukan masih banyak pemerintah daerah yang belum bisa menggunakan data BPJS untuk perencanaan termasuk menutupi defisit tiap kabupaten kota. Kondisi saat ini, sistem TI kemenkes dan sistem TI BPJS kesehatan belum ada interoperabilitasnya sehingga jika dicermati proses pertukaran data masih menggunakan prinsip laporan kertas yang merupakan data ringkasan. Hal ini belum menceritakan suatu sistem interoperabilitas dalam konteks BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik sehingga diharapkan menggunakan pendekatan ekosistem JKN.
SESI PEMBAHAS KE 2
Pembahas pertama disampaikan oleh dr. Yulita, M.Epid dari P2JK Kemenkes RI. Yulita menyampaikan Kemenkes menerima keluhan dari Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota yang memiliki keterbatasan akses data sehingga dinkes tidak bisa melakukan perencanaan berbasis data epidemiologi. Sehingga harapannya, stakeholder baik kemenkes termasuk Pemda dapat mengakses data JKN dari BPJS Kesehatan sesuai dengan Kebutuhan. Data Laporan dari BPJS Kesehatan dapat diberikan secara sistem menggunakan Application Programming Interface (API) melalui Layanan Interoperabilitas Data Kesehatan.
Pembahas kedua disampaikan oleh Dadan Suparjo Suharmawijaya, S.IP., M.IP dari Ombudsman RI. Dadan menyampaikan IT menjadi kebutuhan atau keniscayaan karena Program JKN memiliki beban yang kompleks dan ekosistem yang bervariasi. Ketika IT ini dibangun termasuk menyajikan data-data sebagai bentuk transparansi maka akan berhadapan dengan UU 2014 tentang kebebasan publik dimana ada informasi yang dibuka dan informasi yang dikecualikan sehingga dalam TI perlu dipikirkan aspek transparansi dan aspek kerahasiaan. Begitu banyak kompleksitas TI sehingga perlu SOP yang sangat mendetail.
Pembahas ketiga disampaikan oleh dr. Andi Afdal Abdullah, MBA,, AAK dari BPJS Kesehatan Pusat. Andi menyampaikan terkait data BPJS memastikan semua data di masking tidak ada data by name by address. Adapun data sampel dilakukan individual untuk mendapatkan diagnosis namun individunya dirahasiakan. BPJS Kesehatan sampai saat ini masih mencari cara agar data yang disediakan cukup untuk para peneliti dan tetap menjaga kerahasiaan orang tertentu atau instansi tertentu. Pengalaman BPJS Kesehatan dengan Kemenkeu melakukan transfer data menggunakan IPI. Terakhir Andi menyampaikan tentang proses selection data sample BPJS.
SESI DISKUSI
1. Saya belum melihat adanya hasil tentang fakta akuntabilitas itu sendiri yang perlu dipaparkan disini dan juga termasuk transparansi, Mohon tanggapan dari PKMK?
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
Kajian ini terkait dengan seri yang sebelumnya ada sesi 1, 2 dan ini yang ke 3. Kemudian minggu depan kita masuk ke fraud, ke mutu 5 dan nanti yang ke 6. Di akhir dari seri ini, kita akan menyimpulkan termasuk tadi “bagaimana transparansi akuntabilitas terkait dengan defisit, akan lebih diformulasikan. Ini untuk masukan kami ke DPR dan Pemerintah. Kami UGM tidak mau mengganti undang-undang tapi undang-undang SJSN sudah 16 tahun, UU BPJS sudah 9 tahun dan setiap tahun di lapangan banyak masalah. Perintah UU, setiap UU itu perlu dimonitoring dan dievaluasi, sehingga monev oleh UGM ini akan bermuara pada DIM (Daftar Isian Masalah) yang versi kami. UGM juga nanti akan menyangkut tentang transparansi dan juga akuntabilitas.
2. Apakah BPJS Kesehatan sudah melakukan penarikan Iuran kepada peserta yang belum membayar?
Andi Afdal BPJS Kesehatan
- Sampai saat ini BPJS masih persuasif, menggunakan kader JKN, telecollection dan Channeling untuk keperluan membayar. Selain itu, tahun lalu sudah menerapkan auto debet. Yang jelas kalau peserta tidak membayar, kartunya akan di nonaktifkan.
3. Apakah dinkes kabupaten/kota diperbolehkan mengakses data pelayanan peserta JKN untuk menjalankan fungsinya untuk mencegah fraud di daerah? Regulasi apa yang harus diperbaiki agar akses ini bisa diperoleh?
Andi Afdal BPJS Kesehatan
- Saat ini banyak permintaan fitur dari daerah tapi belum generik. Saya kira saat ini kita sedang merumuskan hak aksesnya seperti apa untuk mencegah penyalahgunaan data individual.
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
- Ketika berbicara mengenai ekosistem JKN, ada tim antifraud membutuhkan data yang dibutuhkan, ini akan berbeda dengan data seperti apa yang akan diberikan kepada masyarakat. Sebagai gambaran di BPJS, kita tahu berapa ribu RS yang mengerjakan seksio dan kita tahu ada RS yang kurang dari 5%. Ini tentunya bisa dipakai sebagai strategi Pinpoint untuk mendeteksi adanya RS yang memiliki potensi fraud, tapi ini belum dikerjakan. Kalau kita tidak cukup detil datanya, kami khawatir nanti BPJS akan kesulitan mengidentifikasi kelompok—kelompok mana yang melakukan fraud karena data yang ditemukan sampai tahun ke 6 rendah sekali.