Reportase Webinar Serial Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti

Reportase Webinar
Serial Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti

Yogyakarta, 25 Juni 2020

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 2 “Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti”. Webinar ini dilaksanakan pada kamis (25/06) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Sentralisasi BPJS Kesehatan dan Kebijakan Kompensasi JKN” yang disampaikan oleh Peneliti PKMK FK-KMK UGM, Tri Aktariani, Faozi Kurniawan dan Prof. Laksono Trisnantoro. Pembahas pada pertemuan adalah Pak Subuh sebagai staf ahli bidang ekonomi kesehatan Kementerian Kesehatan, Dr. Eduard Sigalingging, M.Si sebagai direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah Kemendagri, Benyamin Saut sebagai Deputi Direktur Risbang BPJS Kesehatan Pusat dan Kelompok Kajian Kebijakan Gunungan.

PENGANTAR

Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator Forum menyampaikan bahwa forum ini akan mengembangkan diskusi dan dialog kebijakan untuk mencari solusi masalah implementasi JKN berbasis Bukti baik dari aspek ekonomi, politik dan lainnya.

Sesi Presentasi: Tata Pemerintahaan Indonesia dan Tata Kelola JKN

Presentasi pertama disampaikan oleh Tri Aktariani selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dalam pasal 18A ayat 1. Pada Urusan pemerintah daerah diatur dalam UU No 23 tahun 2014 yang mengatur dari inovasi, sampai tata pemerintahan daerah namun belum ada pengaturan jaminan kesehatan di dalamnya. Hasil temuan riset evaluasi kebijakan JKN oleh PKMK FK-KMK UGM selama 5 tahun menunjukkan verifikasi dan validasi data masih bermasalah, dana kapitasi yang terpendam di kas daerah, data BPJS Kesehatan sulit diakses, pemerintah daerah tidak ikut menanggung defisit. Implikasi lemahnya peran pemerintah daerah dalam program JKN adalah beban defisit JKN berada pada pemerintah pusat sementara daerah yang fiskal tinggi tidak menanggung beban defisit sehingga perlu perubahan undang-undang.

materi

SESI PEMBAHAS

Pembahas pertama dibawakan oleh Dr. Eduard Sigalingging, M.Si sebagai direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah Kemendagri. Eduard menyampaikan salah satu urusan yang diatur dalam UU No 23 tahun 2014 adalah bidang kesehatan yang diwujudkan dalam SPM. Selain itu, peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam jaminan kesehatan adalah pemerintah daerah wajib mendukung penyelenggaraan JKN, kepatuhan pembayaran iuran melalui pelaksanaan pembayaran iuran secara tepat jumlah dan tepat waktu, serta peningkatan pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui penyediaan fasilitas kesehatan, pemenuhan SPM dan peningkatan mutu layanan.

materi

Pembahas kedua disampaikan Pak Subuh sebagai staf ahli bidang ekonomi kesehatan Kementerian Kesehatan. Subuh menyampaikan sentralisasi pelaksanaan JKN di daerah sebenarnya pada tahun 2005 dalam keputusan MK mengamanatkan bahwa desentralisasi boleh dilakukan dengan syarat harus ada badan hukum berbentuk BPJS dengan dasar UU namun tidak berlaku efektif. Dalam konteks sentralisasi JKN, peran pemerintah daerah adalah menjamin ketersediaan dan mutu fasilitas kesehatan terhadap akses ke fasilitas kesehatan. Strategic purchasing yang dilakukan BPJS Kesehatan dengan membeli pelayanan faskes yang telah lulus akreditasi dan kredensial tetapi karena ada asas konkuren, pemerintah pusat berkewajiban untuk memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat.

materi

Selain itu, saat ini sedang dibahas reformasi perlindungan sosial yang menjadi agenda pusat dimana pada point No 4 disebutkan tentang reformasi skema pembiayaan baik APBD maupun APBN.

Prof Laksono: Ada satu yang kami tekankan tentang resiko menanggung defisit. Mengapa UU menempatkan APBN yang menanggung resiko padahal tempat transaksinya ada di daerah? Hal ini akan dijawab pada sesi presentasi kedua.

SESI DISKUSI 1

 

Sesi Presentasi Kedua: Pemberian Kompensasi di Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat.

Faozi Kurniawan selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan bahwa Iuran dan beban layanan per segmen PBI APBN mengalami surplus yang semakin lama semakin tinggi setiap tahunnya. Surplus ini terjadi karena klaim rasio atau utilisasi layanan PBI APBN terlalu rendah dengan estimasi 75%. Hingga saat ini, masih terjadi gap antara daerah terpencil dengan perkotaan baik dari sisi pelayanan, ketersediaan SDM maupun ketersediaan Sarpras.

Kebijakan dana kompensasi belum terlaksana akibat dasar hukumnya belum jelas. Apabila dilaksanakan maka bentuk pelaksanaan dana kompensasi diberikan berupa pengiriman tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, penggantian uang tunai bagi faskes bukan mitra BPJS, penyediaan fasilitas kesehatan tertentu. Selain itu perlu diatur mengenai kriteria daerah penerima kompensasi, mekanisme pemberian kompensasi, indikator kesehatan yang dicapai, dan kontribusi lintas sektor.

materi

SESI PEMBAHAS KE 2

Pembahas pertama dibawakan oleh Benyamin Saut sebagai Deputi Direktur Risbang BPJS Kesehatan Pusat. Benyamin menyampaikan jika tidak dimulai dengan sentralistik, pencapaian BPJS tidak akan seperti saat ini. Pada tata kelola informasi, BPJS sudah mengimplementasikan Dashboard JKN untuk pemerintah daerah dan disajikan dalam bentuk data rekapan agregat yang dapat digunakan untuk perbaikan dan keberlanjutan program JKN.

Terkait kebijakan kompensasi, pada tahun 2017-2019, BPJS kesehatan sudah menjalankan kompensasi dalam bentuk transportasi dan uang harian namun kompensasi dengan penggantian uang tunai tidak dapat terealisasi. Tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan antara lain belum adanya regulasi pengaturan kompensasi, kompensasi uang tunai tidak dapat berjalan, adanya potensi tumpang tindih pembiayaan antara kapitasi dan anggaran daerah, kesesuaian penjaminan pengiriman tenaga kesehatan dan belum optimalnya peran pemda.

Pembahas kedua disampaikan oleh Pak Slamet dari LSM Gunungan. Slamet menyampaikan bahwa ada satu masalah besar dimana roadmap menuju JKN belum tercapai dan struktur organisasi pemerintah dan BPJS Kesehatan tidak sebanding sehingga mengalami kesulitan dalam hal koordinasi.

materi

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pembahasannya antara lain pembiayaan kesehatan dalam sistem kesehatan nasional yang perlu disusun kembali; 2) pembagian urusan dibidang kesehatan pada UU No 23/2014 tidak mengatur tentang pembiayaan; 3) pelaksanaan urusan konkuren, pemerintah provinsi bersifat oportunis; 4) pada tugas pembantuan, belum semua pemerintah daerah membentuk perda; 5) besaran alokasi anggaran kesehatan belum sesuai UU; 6) mobilisasi pembiayaan kesehatan bersumber dari swasta; 7) tarif JKN tidak ditetapkan sesuai pagu tarif maksimal pada rumah sakit provinsi.

Hal ini membuat pemerataan pembangunan kesehatan menjadi sesuatu hal yang mutlak harus dilakukan secara adil dan merata serta penyesuaian dalam bentuk revisi UU SJSN dan UU BPJS agar sejalan dengan UU No 23 tahun 2014 menyesuaikan dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi serta ada kompensasi pada daerah yang sumber daya kesehatan tidak atau kurang memadai.

SESI DISKUSI

1. Yang dimaksud dengan pasal yang di ubah menyangkut keterlibatan daerah dalam menaggung defisit nya?

Tari Aktariani (Peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM)

- Mengidentifikasi dari UU SISN itu ada di pasal 19 menyimpulkan iuran itu ditanggung oleh Pemerintah Daerah. Definisi iuran sendiri diutamakan untuk PBI (Peserta Bantuan Iuran), PBI sendiri didefinisikan sebagai orang tidak mampu dan fakir miskin. Tapi untuk implementasi seperti di Pergubnya DKI Jakarta bahwa setiap orang yang memiliki KK atau KTP yang berdomisili di DKI Jakarta dan bersedia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan Kelas 3 itu akan menjadi peserta PBI APBD.


2. Apakah bapak setuju ke sentralistik atau dikembalikan ke jaman dulu atau tetap seperti ini tapi diperbaiki ?

Tanggapan dari Kemendagrai

- Pada prinsipnya UU JKN “Gotong Royong” , jadi artinya semua berkontribusi. Apabila daerah yang mempunyai kesenjangan fiskal jangan dibebani banyak, tapi yang kaya membantu yang miskin, namun dalam prakteknya berbeda. Yang intinya bahwa di UU otonomi daerah, Pemda diberikan tugas dan tanggung jawab tapi disisi lain ada UU JKN yang oleh pemerintah Daerah harus patuh. Pemerintah Daerah membuat perbandingan kalau dikelola oleh Pusat, artinya menjadi kajian barangkali untuk kedepannya agar memperbaiki sistem tersebut untuk dapat mengcover seluruhnya.


3. Di UU SJSN belum bisa tapi faktanya yang sudah dipaparkan oleh peneliti bahwa didaerah seperti DIY, BPJS mengalami defisit yang sangat tinggi juga di Jawa tengah dan Jawa Barat. Tapi satu sen pun daerah tersebut tidak membayar defisit tadi Pak, tidak ikut menanggung defisit tadi karena di UU yang menanggung semua APBN.

Tanggapan Kemendagri

- Dalam Perpres yang baru, artinya dalam rangka kelangsungan pelayanan kesehatan di pasal 29, jadi untuk menjamin keberlangsungan kesehatan, keuangan dan jaminan kesehatan, pemerintah daerah berkontribusi. Jadi sudah ada formula-formula yang kita bangun berapa tanggung jawab Pemda sesuai dengan kepesertaanya dan data dari Kemensos. Jadi defisit itu menjadi tanggung jawabnya APBN tapi yang menjadi terdaftar sebagai bagian tanggung jawabnya APBD, terintegrasilah dengan BPJS. seperti itu yang kita bangun.

Tanggapan Prof Laksono:

- Tadi yang dikatakan Pak Subuh mengenai omnibus law, saat ini masih ada konteks ekonominya. Tujuan seri diskusi ini mengidentifikasi daftar isian masalah di UU SJSN dan UU BPJS yang terkait dengan bukti-bukti masalah defisit, ketidakadilan, mutu pelayananan, potensi fraud, dan sebagainya. Arah muara kegiatan ini akan masuk ke DPR dan pemerintah untuk mengusulkan revisi UU. Saya melihat BPJS seperti menanggung resiko sendiri, yang kemudian resiko ini diambil alih oleh APBN. Padahal intervensinya di daerah. Ketika daerah tidak menanggung resiko, mereka tidak akan peduli dengan layanan promotif preventif.


4. Jika peran pemda hanya pada masalah defisit atau iuran, nampaknya akan banyak pemda yang defensi. Maka bukankah lebih baik peran pemda difokuskan pada membangun kapasitas pemda.

Tanggapan Kemendagri Prof Laksono:

- Defisiti per daerah tidak banyak. Di DIY, BPJS Kesehatan defisit sekitar 1 Triliun di tahun 2019 sementara NTT mengalami Surplus. Uang itu tidak bisa dipakai di NTT tapi kesedot ke Jogja juga. Ini masalah besar ketika pemda tidak mendapat informasi ini, dan hasil penelitian PKMK menunjukkan bahwa Pemda-Pemda tidak tahu bahwa mereka sudah banyak mendapatkan manfaat BPJS.

Tanggapan Kemendagri BPJS Kesehatan:

- Memang menarik sekali untuk mengoptimalkan peran pemda, sebenarnya BPJS kesehatan sedang melakukan uji coba, ada prototipe global budget di Kabupaten Tanah Datar yang melibatkan pemda untuk mengatur budget untuk setiap fasilitas tingkat pelayanan sehingga ada risk sharing yang terjadi antara Pemda dan ASKES. Hanya pada saat itu terkendala sistem informasi yang masih lemah. Kalau Global budget yang sekarang dijalankan, rasanya ini menjadi satu solusi agar BPJS Kesehatan bisa bersama-sama dengan pemda menghitung dan kecukupan revenue yang dimiliki. Jadi strategic purcahasingnya bisa jalan dari Global Budgetnya. Selain itu perlu menghitung bersama-sama peta kekuatan fiskal daerah sehingga jika di eskalasi menjadi peran Pemda, APBD dan APBN yang kuat maka dari peta fiskal tadi dapat digunakan untuk saling mengsubsidi tertuma pada kota kabupaten yang kekuatan fiskalnya rendah dibantu daerah dengan fiskal yang tinggi.


SESI PENUTUP

 

 

Seri III Tantangan Kelembagaan BPJS Kesehatan: Akuntabilitas dan Transparansi

Forum Analisis Kebijakan JKN:
Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan bukti

Seri III
Tantangan Kelembagaan BPJS Kesehatan: Akuntabilitas dan Transparansi

Kamis, 2 Juli 2020

  Latar Belakang

Menurut UU SJSN, BPJS dan DJSN merupakan badan hukum tunggal yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Instansi penyelenggara jaminan sosial atau asuransi seperti PT Askes, PT Jamsostek, PT Asabri, dan PT Taspen harus meleburkan diri Pasca terbentuknya UU BPJS (2011). Pada tahun 2014, BPJS Kesehatan telah beroperasi sebagai penyelenggara jaminan sosial, salah satunya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selama hampir tujuh tahun menyelenggarakan program JKN, BPJS Kesehatan mendapat banyak capaian dan tantangan. Salah satu tantangannya adalah tata Kelola dan kelembagaan.

Persoalan kelembagaan yang ditemukan PKMK FK-KMK UGM melalui penelitian kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjelaskan bahwa akses data dari BPJS Kesehatan masih sulit untuk diakses oleh pemerintah daerah. Data mengenai capaian kepesertaan dan biaya klaim pelayanan kesehatan di provinsi/kabupaten/kota hanya dapat di informasikan secara terbatas, pemerintah daerah tidak dapat mengakses secara penuh. Akses data tersebut seharusnya dapat pemerintah daerah lakukan untuk perencanaan dan penganggaran program, sehingga akan ada program/perencanaan/intervensi untuk mendukung atau mengatasi hambatan program JKN di wilayahnya. Keterbukaan data di BPJS Kesehatan merupakan bagian dari sasaran kedelapan dari peta jalan JKN. Selain itu, Perpres No. 25/2020 tentang Tata Kelola BPJS juga menjelaskan bahwa keterbukaan data BPJS Kesehatan dapat dilakukan untuk pemerintah daerah.

Tidak optimalnya tata kelola BPJS Kesehatan dalam implementasi membutuhkan pengawasan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Namun, pengawasan yang DJSN lakukan dari 2014 hingga saat ini tidak dapat mengintervensi untuk perbaikan BPJS Kesehatan. Untuk memahami persoalan tersebut lebih lanjut, maka PKMK FK-KMK UGM menyelenggarakan diskusi bersama pemerintah dan stakeholders mengenai evaluasi program JKN.

  Hasil yang Diharapkan

  1. Pengambil keputusan dan berbagai stakeholders memahami persoalan kelembagaan BPJS Kesehatan
  2. Adanya proses transformasi hasil penelitian ke pengambil keputusan.
  3. Mengidentifikasi perubahan yang dibutuhkan dalam kebijakan, termasuk di level UU.

  Penyaji Hasil Penelitian

  1. Prof. Laksono Trisnantoro, Pengamat Kebijakan JKN FK-KMK UGM
  2. Tri Aktariyani SH., MH (Peneliti Kebijakan JKN PKMK FK-KMK UGM)
  3. Insan Rekso Adiwibowo S.Psi., M.Sc, (Pengelola DaSK PKMK FK-KMK UGM)

  Pembahas

  1. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
  2. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
  3. Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan
  4. Ketua Ombusdman

  Moderator

Faozi Kurniawan SE., Ak., MPH, (Peneliti Kebijakan JKN PKMK FK-KMK UGM)

Agenda Acara

Hari, Tanggal : Kamis, 2 Juli 2020
Pukul    : 13.00 – 15. 00 WIB
Tempat : Common Room, Gd Litbang Lantai 1 FK-KMK UGM

link zoom

Meeting ID : 840 6334 8442
Meeting Password: 880374

Waktu Kegiatan Narasumber
13.00 – 13.10 Pembukaan Prof. Laksono Trisnantoro MSc., PhD

13.10 – 13.25

Penyajian Hasil Penelitian JKN: Akuntabilitas dan Transparansi BPJS Kesehatan

Prof. Laksono Trisnantoro MSc., PhD
Tri Aktariyani SH., MH

materi

13.25 – 14.00

Pembahasan
  1. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
  2. BPJS Kesehatan

14.00 – 14.15

Ekosistem IT dalam keterbukaan data JKN: Akses data BPJS oleh para stakeholder utama

Insan Rekso Adiwibowo S.Psi., M.Sc
Prof. Laksono Trisnantoro MSc., PhD

materi

14.15 – 15.00

Pembahasan
  1. Kementerian Kesehatan
  2. BPJS Kesehatan
  3. Ombusdman

15.00 – 15.05

Penutupan Prof. Laksono Trisnantoro MSc., PhD

 

  Narahubung

Tri Muhartini
Telp: 0274-549425
HP/WA: 089693387139
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Reportase Hari Keempat Indonesia Public Expenditure Review

Improving Quality of Expenditure on Infrastructure: National Roads, Housing, Water Resource Management, and Water Supply

25 Januari 2020

25jun 1

Gambar 1. Opening Virtual Events Public Expenditure Review (PER) 2020

Jakarta - World Bank Indonesia mengadakan virtual launch Public Expenditure Review (PER) 2020 atau Kajian Belanja Publik yang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. PER 2020 ini bertujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia mengidentifikasi kendala utama agar belanja publik dapat lebih efisien dan efektif. Kajian ini juga merekomendasikan cara meningkatkan kualitas belanja untuk mewujudkan tujuan pembangunan Indonesia.

Kamis, 25 Juni 2020 dilakukan pertemuan virtual keempat dengan topik “Improving Quality of Expenditure on Infrastructure: National Roads, Housing, Water Resource Management, and Water Supply” dengan mengundang pembicara Elena Chesheva, Senior Transport Specialist, WB dan Tomás Herrero Diez, Transport Consultant, WB. Pembicara lainnya yaitu Dao Harrison, Senior Housing Specialist, WB, Deviariandy Setiawan, Water Resouces Consultat, WB, dan Irma Magdalena Setiono, Senior Water Supply and Sanitation Specialist, WB.

25jun 2

Gambar 2. Pemateri dalam Indonesia Public Expenditure Review Hari Keempat

Materi pertama oleh Elena Chesheva menjelaskan jalan nasional dan jalan tol sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan daya saing nasional. Meskipun saat ini hanya sebesar 40% dari semua lalu lintas di Indonesia. Kajian terhadap kualitas belanja oleh pemerintah pusat terhadap jalanan nasional terus mengalami peningkatan pada tahun sebelumnya yaitu mencapai 44 - 46 triliun di tahun lalu, namun ini masih belum sesuai dengan target yang diinginkan. Dari segi output fisik belum meningkat sesuai dengan belanja, yang dapat dilihat di dalam bagan yaitu pembangunan jalan relatif konstan antara 2 - 3 ribu per tahun.

materi

Pelestarian jalan meningkat siginifikan pada 2010 - 2017 namun setelahnya terus mengalami penurunan. Indonesia merupakan negara yang memiliki paling sedikit jalan tol dibandingkan dengan Negara - negara tetangga lainnya. Pemerintah saat ini telah memprioritaskan pembangunan jalan tol yang bertujuan untuk menjangkau 6.500 km sebelum 2034 dimana hampir 1/3 bagian dari target ini sudah dimulai konstruksinya.

Rekomendasi yang diberikan yaitu pemerintah dianjurkan untuk terus melanjutkan konsolidasi proyek kecil ke proyak besar dan diharapkan untuk dapat mengefisiensikan proses pengadaan dengan ekonomi skala dan sistem penjaminan kualitas yang lebih kuat. Peraturan PP 16 dapat mengimplementasikan kontrak berbasis kinerja yang akan meningkatkan efisiensi belanja dan Dirjen Bina Marga sudah menerapkan kontrak berbasis kinerja yang diperkenalkan dari tahun 2016. Pengalaman sebelumnya yang dimiliki World Bank di Amerika Latin menunjukkan adanya penghematan biaya mencapai 25 - 30%. Dari sisi eksekusi anggaran, agar lebih terfokus untuk menjaga anggaran menuju yang lebih baik lagi.

Materi kedua yaitu oleh Dao Harrison yang membahas bagaimana perumahan di Indonesia. Dibandingkan dengan Negara - negara tetangga lainnya seperti Cambodia, Mongolia dan Filipina, Indonesia saat ini menduduki posisi terendah dalam mengatur perkembangan perumahan. Hal ini disebabkan karena pemerintah masih sedikit memberikan subsidi untuk perumahan yaitu hanya sebesar 16% yang sesuai dengan anggaran konstruksi minimum. Adanya program subsidi KPR yang dilakukan pemerintah merupakan langkah yang tidak baik, karena sangat menghabiskan biaya yang mahal bagi pemerintah sendiri dan pembelinya. Selain itu subsidi KPR menunjukkan adanya standar yang tidak baik.

materi

Adapun langkah yang dapat dilakukan yaitu kualitas dari subsidi harus ditingkatkan sehingga dapat diakses dengan baik. Pemerintah saat ini harus melihat dan menyadari bahwa pasar tidak mampu untuk membeli apa yang ditawarkan sehingga pemerintah harusnya tidak puas dengan apa yang sudah dilakukan. Masih ada pilihan yang bisa dilakukan, melakukan perbaikan masalah yang ada di Indonesia terkait memberikan pilihan rumah dengan harga terjangkau.

Materi ketiga oleh Deviariandy Setiawan mengatakan bahwa, Indonesia memiliki banyak permasalahan air terkait manajemen air yaitu bagaimana ketersediaan air bersih per kapita di berbagai daerah. Ketidakseimbangan distribusi di berbagai pulau ini menyebabkan, Indonesia kesulitan untuk meningkatkan manajemen ketersediaan air per kapita. Dibandingkan dengan negara lainnya, Indonesia masih sangat sedikit memiliki ketersediaan air. Manajemen sumber daya air sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial terutama untuk ketahanan pangan dan juga irigasi pertanian. Membahas konsep irigasi terhadap ketahanan pangan yaitu dari 65 juta beras yang dihasilkan, 95% dihasilkan dari sawah yang di irigasi oleh air sehingga irigasi air ini sangat penting.

materi

Berdasarkan RPJMN terakhir, pemerintah meningkatkan produksi beras sebesar 11 ton dan hal ini sangat bergantung dari kontribusi efisiensi manajemen sumber daya air dan produktifitas pertanian. Sektor irigasi sudah mengalami reformasi sejak otonomi daerah, dimana pemerintah daerah memiliki peran besar yaitu untuk mendelegasikan skema dari tingkat provinsi kabupaten untuk daerah irigasi. Skema tersebut yaitu lahan di bawah 1000 ha untuk dikelola oleh kabupaten, luas 1000 - 3000 ha dikelola oleh provinsi dan luas lebih dari 3000 ha dikelola oleh pemerintah pusat.

Dari sisi kualitas belanja, saat ini 65% anggaran masih dikelola oleh pemerintah pusat dan hanya 35% belanja dikelola oleh pemerintah daerah. Anggaran 35% ini masih banyak dipengaruhi dari dana alokasi khusus dan ini mengindikasikan bahwa sumber daya air masih belum menjadi prioritas daerah. Jika melihat dari belanja pemerintah pusat saat ini masih terfokus pada pengembangan infrastruktur pada 2017 contohnya pengeluaran irigasi hanya 16% dan alokasi operasional manajemen per hektar saat ini masih lebih rendah dibandingkan dari yang diperlukan. Selain itu manajemen “dam” hanya 3%.

Deviariandy mengatakan seharusnya pemerintah lebih realistis dalam proses perencanaan, karena pembangunan infrastruktur yang ambisius bukan hanya menjadi beban fiskal tetapi juga mempertimbangkan kapasitas institusi. Rekomendasi yang diberikan yaitu meningkatkan kualitas dan managemen sistem, terkait dengan irigasi di level subnasional dan bagaimana memperbaiki dalam hal perencanaan, anggaran serta hasil monitoringnya.

Materi keempat oleh Irma Magdalena Setiono menjelaskan Pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai target dalam pasukan air dan sanitasi yaitu peningkatan akses air minum sebesar 73% dan 69% akses sanitasi. Jika melihat tantangan di sektor ini masih ada kekhawatiran efektivitas dan efisiensi dalam belanja pemerintah dan walaupun terlihat peningkatan belanja, namun masih belum terlihat hasil yang signifikan dari sisi kualitas sanitasi. Membahas tentang isu sektor terkait persediaan air, ada tantangan dari sisi supply dan sisi demand.

materi

Sisi supply yaitu kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang berujung sedikitnya jumlah rumah tangga yang terhubung dan pembangunan pipa - pipa baru masih kurang. Dari sisi demand lebih memilih untuk mendapatkan sumber air dari sumber tanah meskipun mereka memiliki akses dari PDAM, hal ini karena adanya ketidakpercayaan dari aspek kualitas air. Selain itu adanya persepsi air tanah lebih murah dan kurangnya regulasi dari topik ini.

Sisi layanan juga masih sangat rendah, dimana masih banyak rumah tangga yang memiliki septictank yang di bawah standar dan pengepul limbah tinja, pengelolaan air limbah belum optimal dan masih buruk. Rekomendasi yang diberikan yaitu penting untuk dipastikan adanya fokus dalam mengidentifikasi peluang - peluang untuk meningkatkan efisiensi.

Pemerintah pusat perlu memperluas perannya dan secara perlahan melakukan transisi peran dari penyedia infrastuktur menjadi regulator, penegak aturan dan juga mendukung Negara dalam memberikan layanan. Pemerintah juga harus mendukung perusahaan-perusahaan air minum untuk lebih berintegrasi dengan PDAM. Rekomendasi keduameningkatkan manajemen institusi untuk memastikan agar kajian belanja memberikan layanan yang lebih baik dan layanan koordinasi di level pemerintahan.

Pada sesi diskusi mengundang Ikhwan Hakim, Director for Transportation, Bappenas, Herry Trisaputra Zuna, Director of Director of System & Strategy Development for Financing Implementation, MoPWH. Moderator dalam sesi ini yaitu Sudipto Sarkar, Practice Manager for Water.

25jun 3

Gambar 3. Para Panelis Diskusi Indonesia Public Expenditure Review Hari Keempat

Menurut Ikhwan Hakim, sangat penting untuk memperbaiki efisiensi terkait dengan pembelanjaan publik dan ada rekomendasi yang relevan namun semua rekomendasi yang diberikan juga tidak mudah untuk dilakukan. Sudah banyak upaya yang dilakukan bersama dengan pihak Bina Marga untuk meningkatkan kapasitas balai - balai, karena balai - balai ini lebih memahami kondisi setempat dan dapat meningkatkan perencanaan. Faktor pengawasan juga menjadi laporan masalah hal ini terkait dengan sektor di luar yaitu sektor konsultan dan ini perlu dibahas secara mendalam lagi.

Selanjutnya Herry Trisaputra menyampaikan, seperti contoh kasus Sumetera dan proyek tol dalam jangka pendek berhasil membuat jalan sekitar 500 km ruas jalan. Pada sektor jalan perlu untuk melihat bahwa infrastuktur membutuhkan dana, karena alokasi APBN hanya 30% dan saat ini juga kita harus menghadapi pandemi COVID-19. Jadi saat ini bagaimana cara untuk memanfaatkan dana dan perluasan yang mencakup semua sektor dimana ini dimulai dari pendanaan dan penyampaian layanan.

Reporter: Citta Wicakyani

Link Terkait

 

 

Reportase Hari Ketiga Indonesia Public Expenditure Review

Improving Quality of Expenditure on Human Capital: Education, Health, Social Assistance, and Nutrition

24 Januari 2020

perh3

Gambar 1. Opening Virtual Events Public Expenditure Review (PER) 2020

Jakarta - World Bank Indonesia mengadakan virtual launch Public Expenditure Review (PER) 2020 atau Kajian Belanja Publik yang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. PER 2020 ini bertujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia mengidentifikasi kendala utama agar belanja publik dapat lebih efisien dan efektif. Kajian ini juga merekomendasikan cara meningkatkan kualitas belanja untuk mewujudkan tujuan pembangunan Indonesia.

Rabu, 24 Januari 2020 dilakukan pertemuan virtual ketiga dengan topik “Improving Quality of Expenditure on Human Capital: Education, Health, Social Assistance, and Nutrition” dengan mengundang pembicara Rythia Afkar, Senior Education Economist, WB, Juul Pinxten, Social Protection Specialist, WB, Reem Haafez, Senior Economist dan Eko Satyo Pambudi, Health Economist, WB.

Materi pertama dari Rythia Afkar menjelaskan Indonesia telah menunjukkan reformasi penting di sektor pendidikan selama dua dekade terakhir dengan menetapkan 20% anggaran untuk sektor pendidikan. Walaupun adanya peningkatan pada sumber daya, tidak semua sekolah memadai untuk menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa. Selain itu saat ini sumber daya pendidikan masih tidak merata di semua pemerintahan daerah dan level pendidikan. Pendidikan dan pengembangan anak usia dini perlu lebih diperhatikan. Pengeluaran anggaran untuk pendidikan sebagian besar berasal dari pemerintah pusat untuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan digunakan untuk mandat spesifik Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK diperuntukkan untuk mendanai dana operasional sekolah (BOS), tunjangan profesi guru dan untuk infrastruktur.

Rythia menyampaikan terdapat beberapa alasan yang sampai saat ini menjadi penyebab alokasi sumber daya untuk pendidikan tidak optimal. Pertama, adanya distribusi yang tidak merata dari pemerintah pusat. Kedua, alokasi transfer DAK masih lemah dimana hal ini terkait dengan kebutuhan infrastruktur dan terakhir perbedaan dari kapasitas kabupaten untuk mengelola pendidikan. Rekomendasi yang bisa diberikan untuk meningkatkan kualitas belanja yaitu dengan memperkuat koordinasi dan kapasitas dengan pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan pendidikan, memastikan bahwa siswa diajar oleh guru yang berkompeten dan meningkatkan akuntabilitas untuk sektor pendidikan.

perh3 1

Gambar 2. Juul Pinxten menyampaikan materi “Social Assistance”

Materi kedua oleh Juul Pinxten yang menjelaskan 2012 - 2017 anggaran untuk subsidi energi diarahkan dana untuk bantuan sosial. Pada 2020 bantuan sosial meningkat lebih dari dua kali lipat sebagai bentuk tanggap COVID-19. Pengeluaran terus meningkat secara nominal yang berfokus pada program yang sudah ditargetkan seperti bantuan sembako. Hari ini bantuan sosial yang diberikan dirancang untuk memberikan perlindungan komprehensif bagi rumah tangga yang memiliki anak. Bantuan sosial seharusnya lebih responsif terhadap guncangan dan cakupannya diperluas. Juul Pinxten memberikan rekomendasi terhadap bantuan sosial yaitu menetapkan reformasi kebijakan dan desain program yang disesuaikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pengeluaran untuk pendampingan sosial yang ditagetkan dan yang membutuhkan dukungan. Selanjutnya rekomendasi yang diberikan yaitu memperkuat sistem pengiriman dengan cara meningkatkan koordinasi antara program tingkat pusat dan pemerintah daerah.

Dari sektor kesehatan dibahas oleh Reem Haafez yang menjelaskan seberapa efektif sektor kesehatan di Indonesia. Saat ini Indonesia telah mencapai kemajuan yang siginifikan dalam cakupan kesehatan dan perlindungan keuangan. Tujuan utama yang dicapai oleh Kementrian Kesehatan yaitu untuk meningkatkan status kesehatan penduduk dengan menyediakan cakupan kesehatan universal (UHC) dan memberikan perlindungan keuangan untuk semua. Angka kesehatan di Indonesia saat ini meningkat selama beberapa dekade terakhir namun masih dihadapkan dengan Millennium Development Goal yang belum tercapai dan semakin tingginya angka penyakit tidak menular. Angka kematian maternal menunjukkan setiap 1,4 jam terjadi 1 kematian maternal atau setiap 100.000 kelahiran terjadi 305 kematian maternal. Penyakit ketiga terbesar yaitu Tuberculosis yang pada 2017 mencapai angka kasus baru sebesar 842.000 dan 116.000 kematian akibat Tuberculosis. Selain itu sebesar 8 juta anak atau 1 dari 3 anak di Indonesia menderita stunting.

Hal lainnya yaitu adanya transisi epidemiologis: munculnya penyakit tidak menular dan kondisi kronis dari dampak kondisi sosio demografis dan gaya hidup. Permasalahan kualitas pada fasilitas pelayanan kesehatan di tingkat primer mendorong masyarakat untuk melakukan perawatan ke rumah sakit dengan fasilitas dan sumber daya yang lebih baik. Fasilitas pelayanan kesehatan primer tidak memiliki tes diagnostik dasar, obat esensial dan pedoman diagnostik pengobatan. Praktik pribadi cenderung tidak terfokus pada tindakan pencegahan dan lebih banyak melakukan pengobatan. Juul Pinxten juga menjelaskan bagaimana kelangsungan keuangan JKN yang saat ini berada di bawah ancaman. Seperti diketahui hingga akhir Mei, JKN mengalami defisit sebesar Rp. 31,7 triliun. Pada sistem JKN, bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer dibayarkan dengan sistem kapitasi yaitu besaran pembayaran yang menanggung 144 kompetensi di FKTP.

Pemberian insentif rujukan yang berlebihan dan lemahnya sistem pengawasan. Sebaliknya, klaim pembayaran ke rumah sakit pada dasarnya terbuka, adanya kerugian insentif dan pemberian perawatan yang tidak perlu. BPJS Kesehatan memiliki kekuatan sangat lemah dalam mengelola insentif pelayanan yang efektif, perilaku provider yang efisien dan kualitas pelayanan yang baik. Rekomendasi yang dapat diberikan kepada pemerintah yaitu dilakukan reformasi untuk meningkatkan pendapatan tambahan bagi BPJS Kesehatan, mengelola laju pengeluaran dan meningkatkan tata kelola dan akuntabilitas.

Masih dalam sektor kesehatan Eko Pambudi sebagai pemateri keempat membahas lebih lanjut tentang bagaimana mengurangi angka stunting di Indonesia. Mengatasi pencegahan stunting pada masa anak - anak sangat penting karena anak-anak merupakan investasi untuk sumber daya manusia nantinya. Generasi di Indonesia berikutnya yang menerima kesehatan dan pendidikan yang baik hanya sebesar 53%. Namun, untungnya intervensi pada nutrisi merupakan investasi sumber daya manusia yang efektif.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan Strategi Nasional Percepatan Stunting (StraNas) 2018 - 2024. Sebanyak 23 kementerian berkomitmen dan menyiapkan Rp 51,9 triliun untuk intervensi pada sektor kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan anak usia dini, perlindungan sosial dan keamanan pangan. Permasalahan stunting ini disebabkan dari adanya kualitas akses pemberian perawatan yang tidak baik. Sebagai contoh yaitu rendahnya kemampuan para kader kesehatan di masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan, konseling, kunjungan kesehatan di rumah dan di dalam komunitas. Selain itu juga para ibu dan bayi baru lahir tidak menerima intervensi baik selama pemeriksaan terutama bagi para ibu yang memiliki pendidikan rendah.

Eko juga menambahkan bahwa masih adanya tantangan yang dihadapi dalam sistem menghambat peningkatan kualitas dalam belanja yang secara langsung berdampak pada stunting. kurangnya data yang reliabel, adanya fragmentasi dalam keuangan dan kurangnya kejelasan dalam peraturan dan tanggung jawab pendanaan dan pelayanan di level antara pemerintahan. Rekomendasi yang diberikan untuk mengatasi masalah ini adalah sebagian besar terkait dengan isu - isu lintas sektoral yang berdampak luas pada kualitas belanja publik secara keseluruhan. Rekomendasi pertama adalan menstandarisasi informasi kesehatan dan sistem akuntansi. Kedua melakukan investasi pada sistem informasi agar menjadi lebih terintegrasi. Ketiga adalah melakukan pelaporan yang baik dalam insentif dan proses akuntasi termasuk dasar pengukuran kinerja. Keempat mengharmonisasi anggaran dan prosedur antara pemerintah pusat dan daerah. Kelima adanya pedoman yang jelas tentang pembagian dana dan pemberian pelayanan di pemerintahan pusat, pemerintahan daerah hingga desa.

Reporter: Putu Citta Wicakyani

Link Terkait

 

 

Reportase Hari Kedua Indonesia Public Expenditure Review

Improving The Performance Orientation of The Central Government Budget and Subnational Transfers

23 Januari 2020

pergb1

Gambar 1. Opening Virtual Events Public Expenditur Review (PER) 2020

Jakarta - World Bank Indonesia mengadakan virtual launch Public Expenditure Review (PER) 2020 atau Kajian Belanja Publik yang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. PER 2020 ini bertujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia mengidentifikasi kendala utama agar belanja publik dapat lebih efisien dan efektif. Kajian ini juga merekomendasikan cara meningkatkan kualitas belanja untuk mewujudkan tujuan pembangunan Indonesia.

Pada Selasa, 23 Januari 2020 dilakukan pertemuan virtual kedua dengan topik “Improving the performance orientation of the central government budget and subnational transfers” dengan mengundang pembicara Arun Arya sebagai Senior Public Sector Specialist, World Bank dan Jürgen René Blum, Senior Public Sector Specialist.

Materi pertama diberikan oleh Arun Arya tentang bagaimana ringkasan singkat dan pencapaian yang dicapai, kendala yang dihadapi tentang manajemen keuangan publik dan rekomendasi untuk meningkatkan PFM di Indonesia. Arun mengatakan, Indonesia saat ini telah memiliki kerangka kebijakan yang kuat untuk bisa menyelenggarakan PFM yang solid dimulai dari undang - undang perbendaharaan, audit dan kerangka yang cukup baik. Indonesia saat ini sudah melakukan disiplin fiscal dari formulasi anggaran dengan cukup baik, strategi manajemen fiskal dan utang, dan peraturan fiskal dalam defisit anggaran tahunan. Adanya sistem kendali belanja dimana pemerintah telah mereformasi sistem informasi finansial yang menghasilkan perbaikan pelaporan finansial dan kepatuhan secara fiskal. Hal ini berdampak pada penghematan hampir 55 milyar dollar dan hampir 175 dollar dalam penghematan bunga. Indonesia mempunyai kendala - kendala yang dihadapi yaitu pertama, hubungan kompleks antara rencana dengan budget dimana terdapat gap antara perencanaan anggaran di renstra dengan proporsi yang di alokasikan oleh APBN pada 2019 mengalami penurunan.

materi

Kedua, adanya disconnect secara operasional terkait dengan pendekatan money follows program yang belum menunjukkan hasil. Ketiga, pentingnya untuk memiliki logika program dari lembaga kementerian baik dari kegiatan dan output yang dihasilkan oleh Pemda agar dikaitkan dengan outcome. Keempat, kurangnya data yang reliable dan alokasi sumber daya yang efektif. Kemudian rekomendasi yang dapat diberikan untuk menjawab tantangan di atas yaitu pertama memperkuat perspektif jangka menengah dalam perencanaan dan anggaran. Kedua, Menteri Keuangan dan Bappenas harus bekerja sama dengan harmonisasi dan reformasi yang lebih baik dimana kurangnya koordinasi yang terjadi karena baik Kemenkeu dengan Bappenas menggunakan koding dan struktur penganggaran yang berbeda. Ketiga, uang harus mengikuti program dimana pemerintah harus melakukan pengganggaran di awal. Keempat, memperkuat implementasi logika intervensi di dua tingkat yaitu dari seluruh struktur pemerintah pusat ke daerah dan keliman meningkatkan pengumpulan data, harmonisasi dan standarisasi pada input, output dan outcomes.

Pada sesi diskusi pertama dimoderatori oleh Yongmei Zhou, Program Leader Equity, Finance and Institutions, World Bank. Dalam diskusi panel ini diikuti oleh tenaga ahli dari Kementerian Keuangan yaitu Saiful Islam, Director of treasury Information and Technology, Mof, Kunta Nugraha, Expert Staff State Expenditure, Mof, dan Leonard Tampubolon, Deputy Minister Development Funding, Bappenas

Diskusi dimulai dari tanggapan dari Leonard Tampubolon tentang rekomendasi diberikan yang terkait dengan Bappenas. Leonard mengatakan sangat setuju dengan rekomendasi untuk meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan Kemenkeu. Pada 2019 Bappenas menyimpulkan adanya tumpang tindih tugas antar lembaga dan struktur organisasi yang menyebabkan terjadinya inefisiensi belanja. Salah satu tantangan yang dihadapi yaitu dalam penganggaran proses kinerja adalah bagaimana menyelerasakan antara outcome dengan programnya yang meliputi berbagai proses dengan menetapkan kinerja outcome - nya. Selain itu perlu adanya pertimbangan dalam hal alokasi yang didiskusikan bersama antara Kemenkeu dengan Bappenas. Perlu merestrukturisasi kelembagaan Kementrian dan Bappenas agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pembagian wewenang pada Pemerintah, Kementrian dan Pihak Swasta.

Selaras dengan tanggapan dari Leonard Tampubolon, Kunta Nugraha juga mengatakan sangat penting untuk memperkuat koordinasi dan tugas antara Bappenas dan Kemenkeu seperti di PP 17 yang didasarkan dari peraturan keuangan publik dan rencana pembangunan. Hal ini harus didukung dengan adanya SOP sebagai pembagian atau sharing data. Pemanfaatan teknologi sangat penting dalam perencanaan, penganggaran, dan proses implementasi menjadi lebih optimal. Pada 2021 ada dua hal yang menjadi fokus Kemenkeu yaitu pertama meneruskan pemulihan ekonomi yang dipengaruhi pandemi COVID-19 dan kedua meneruskan reformasi kebijakan pendapatan pajak, belanja dan keuangan. Bagi Saiful Islam, kaitannya dengan peningkatan PFM yaitu dengan memperkuat perspektif untuk jangka menengah perencanaan dan fungsi anggaran dengan memastikan alokasi sumber daya yang efisien. Perlu meningkatkan kerjasama Kemenkeu dengan Bappenas untuk dapat meningkatkan proses bisnis yang pada akhirnya akan memberika umpan balik.

pergb1

Gambar 2. Jürgen René Blum menyampaikan materi “Transfer To Improve Performance”

Pemateri kedua oleh Jürgen René Blum tentang bagaimana Indonesia bisa memperkuat transfer fiskal antar pemerintahan agar bisa memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Tantangan yang besar yang dihadapi yaitu bagaimana memperluas akses pelayanan di daerah terpencil dengan meningkatkan sumbu vertikal dan horizontal. Adanya pembiayaan urbanisasi di kota yang berkembang dan meningkatkan akuntabilitas dalam mutu pelayanan publik. Hal ini masih belum bertumpu dengan selaras dengan jumlah belanja yang dilakukan.

Saat ini masih terjadi ketimpangan dalam hasil pembelajaran di SMP di berbagi kabupaten dan ini bisa diintegrasikan dengan sistem lain yaitu kesehatan ibu, sanitasi dan parameter lainnya. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan ini yaitu dari jumlah setiap distrik untuk menghabiskan jasa per kapita tergantung dari jumlah transfer setiap wilayah. Rekomendasi yang diberikan secara keseluruhan yaitu harus merevisi UU 33 Kemenkeu untuk memperlihatkan peluang penyesuaian fiskal dengan memenuhi kebutuhan yang tinggi di daerah yang tertinggal. Penting untuk menargetkan DAK yang lebih baik dan lebih bisa diprediksi di daerah tertentu.

Bagaimana cara Indonesia untuk melakukan efisien pengeluaran pemerintah daerah dan ini dijelaskan dalam beberapa langkah yaitu bagi para pemimpin daerah untuk meningkatkan PAD dibandingkan dengan ketergantungan dari pusat. Rekomendasi bagi pemerintah pusat untuk meningkatkan kekuatan akuntabilitas adanya sistem transfer fiskal antar di lingkungan pemerintah yaitu dengan meningkatkan kemampuan pemerintah pusat dengan daerah, melakukan percobaan terlebih dahulu sebelum mengaitkan ke skala yang lain, memberikan insentif kepada kabupaten untuk meningkatkan PAD dengan cara meningkatkan sumber daya setempat. Maka dari itu mari untuk mendukung pertumbuhan di daerah lain atau daerah terlambat dengan mengembangkan dan memberikan bimbingan yang lebih baik.

materi

Pada sesi kedua diskusi dimoderatori oleh Yongmei Zhou, Program Leader Equity, Finance and Institutions, World Bank. Dalam diskusi panel ini diikuti oleh Agung Widiadi, Director of Evaluation & Information System, Mof, Mohammad Roudo, Acting Director of Regional Autonomy, Deputy Regional Development, Bappenas, dan Ridwan Kamil, Governor of West Java.

pergb1

Gambar 3. Sesi Diskusi Kedua bersama Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil

Pembahasan pada sesi diskusi menurut Mohammad Roudo, cara untuk menetapkan logika intervensi dengan melakukan pendekatan prinsip dengan holistik, integratif, tematik dan spasial. Selain itu perlu dilakukan pengembangan kapasitas pemerintah untuk meningkatkan perencanaan dengan anggaran. Menurut Ridwan Kamil, sebuah sistem harus dievaluasi dan ditingkatkan dan yang kedua semua yang terjadi di Indonesia tidak hanya terjadi karena sains atau ilmu pengetahuan, namun juga adanya sisi politis seperti Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK ini sangat ditentukan dari bagaimana pemerintah daerah mampu untuk melobi ke pemerintah pusat. Jadi jika pemerintah daerah yang tidak mampu melobby dengan baik ke pemerintah pusat tidak akan mendapat anggaran yang diinginkan. Selain itu Ridwan Kamil, sangat meminta kepada Presiden untuk memberikan dana alokasi berdasarkan populasi daerah, karena saat ini Jawa Barat kesulitan untuk mengelola dana yang sedikit dengan populasi yang banyak.

Reporter: Putu Citta Wicakyani

Link Terkait

 

 

Reportase Peluncuran Buku Indonesia Public Expenditure Review oleh Bank Dunia

24 Juni 2020

Jakarta. Bank Dunia pada Senin hingga Kamis, 22 - 25 Juni 2020 pukul 08.30 WIB menyelenggarakan webinar terkait peluncuran buku Indonesia Public Expenditure Review (PER/Kajian Belanja Publik di Indonesia).

per2

Webinar ini bertujuan untuk mendiskusikan beberapa temuan kunci dari hasil kajian terhadap pola pembelanjaan pemerintah Indonesia dalam beberapa sektor utama. Harapannya buku ini dapat memberikan gambaran mengenai bagaiamana kebijakan pemerintah direfleksikan oleh pola pembelanjaan anggarannya. Webinar ini terdiri dari serial empat webinar dengan fokus yang berbeda.

Pada hari pertama, fokusnya adalah pada highlight dari temuan utama dan diskusi mengenai seberapa besar ruang fiskal yang dimiliki pemerintah untuk anggaran pembangunannya. Hari kedua membahas bagaimana transfer dari pemerintah pusat ke daerah dapat lebih diarahkan menjadi transfer berbasis kinerja. Hari ketiga membahas mengenai pola pembelanjaan di sektor pembangunan sosial (nutrisi, Kesehatan, bantuan sosial dan pendidikan), sementara pada hari terakhir akan membahas mengenai pola pembelanjaan di sector pembangunan infrastruktur (jalan, akses air,dan perumahan). Reportase ini adalah reportase mengenai webinar ketiga. Webinar ketiga ini dimoderatori oleh Angela Lapukeni. Webinar menghadirkan beberapa narasumber berikut:

  1. Rhytia Afkar (Education Economist - World Bank)
  2. Juul Pinxten (Social Protection Specialist – World Bank)
  3. Reem Hafeez (Senior Health Specialist – World Bank)
  4. Eko Pambudi (Health Specialist – World Bank)

Acara dibuka oleh Frederico Gil Sander (Lead Country Economist di World Bank untuk Indonesia). Frederico memberikan sambutan dengan menyatakan isu human capital merupakan modal dasar dalam membangun bukan hanya sektor pengetahuan tetapi juga membangun ekonomi. PER merupakan dokumen penting yang dapat menjadi refleksi dari kualitas pembelanjaan pemerintah, melihat dimana ada gap yang dapat diisi oleh pihak non pemerintah (swasta). Isu yg dibahas adalah tiga tantangan utama anggaran: (1) kecukupan dan keberlangsungan, (2) efisiensi, dan (3) efektivitas.

Human Capital Indeks Indonesia masih menunjukkan posisi yang butuh peningkatan, dan hal ini disadari oleh Pemerintah Indonesia, dimana Presiden Jokowi telah menekankan bahwa dalam periode k-dua ini pemerintah memiliki prioritas pada pembangunan human capital. Beberapa temuan kunci yang disoroti oleh Sander adalah:

  • Social assistance: hanya bersifat jangka pendek, tetapi memiliki peran besar dalam mendukung human capital, karena diperlukan pada saat masyarakat berada dalam himpitan masalah sosial. Jadi ini merupakan investasi kunci untuk melindungi masyarakat.
  • Pendidikan: akses telah meningkat pesat namun tetap ada tantangan mengenai kualitas.
  • Kesehatan: ada peluang untuk lebih meningkatkan kemampuan Indonesia untuk memiliki sistem kesehatan yang lebih siap untuk menghadapi krisis dan pandemi di masa depan.

Paparan

Pembicara pertama, Rhytia Afkar menyebutkan bahwa belanja publik untuk sektor pendidikan telah meningkat: Kementerian Agama (12%), Kementerian Ristekdikti (9%), Kementerian Pendidikan (72%) dimana 63% - nya merupakan belanja di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten). Rhytia menekankan pentingnya peningkatan akuntabilitas dari anggaran sektor pendidikan (BOS, BOP-PAUD, TPG dan DAK fisik) untuk memastikan efisiensi anggaran, juga investasi yang lebih besar pada peningkatan kualitas pendidikan termasuk ketersediaan guru yang berkualitas untuk meningkatkan efektivitas.

materi

juulPembicara kedua, Juul Pinxten menyebutkan beberapa temuan dalam social assistance. Ada dua jenis social assistance, yaitu targeted dan non-targeted. Targeted termasuk conditional cash transfer (program PKH), subsidi energi (listrik dan gas). Non targeted termasuk subsidi BBM (yang disinyalir banyak dinikmati pula oleh kelompok masyarakat menengah). Subsidi BBM sudah turun drastis pada 2015 tetapi masih menjadi porsi terbesar dalam anggaran social assistance, walaupun pada masa pandemi COVID-19 porsi untuk targeted social assistance meningkat hampir dua kali lipat.

Indonesia masih memiliki porsi rendah untuk social assistance, dibandingkan negara - negara Asia lain sehingga masih ada ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan perlindungan melalui social assistance. Namun, better targeting adalah kunci dari peningkatan efisiensi dan efektivitas perlindungan social assistance, pembicara menyarankan penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) secara lebih ketat. DTKS hanya mencatat kuintil terbawah (40% rumahtangga) namun dalam masa pandemi ternyata masyarakat yang terdampak jauh lebih besar dari itu. Menurut Juul, rekomendasinya adalah memperluas cakupan DTKS dan juga mencoba mengarahkan berbagai bantuan yang tersedia dalam bentuk yang lebih terintegrasi.

materi

reemPembicara ketiga, Reem Hafeez membahas tentang belanja kesehatan. Pertama Reem menyoroti keberhasilan dari sektor kesehatan dalam menurunkan OOP dan menyatukan berbagai jaminan kesehatan ke dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional, tetapi menyoroti pula tantangan yang tersisa khususnya mengenai AKI dan AKB serta stunting. Reem menggunakan supply-side readiness sebagai salah satu proxy dari kualitas layanan dan memperlihatkan beberapa tantangan dalam hal ini. Sementara dalam hal kecukupan pendanaan, Reem menyoroti mengenai deficit dalam JKN. Reem memperlihatkan bahwa walau pun hanya sepertiga pemanfaatan JKN terjadi di tingkat FKRTL tetapi ternyata ini menyodot lebih dari 80% anggaran JKN (2018).

Hal ini menunjukkan peluang untuk lebih meningkatkan efisiensi dari paket layanan yang tersedia di RS. Reem juga menyoroti masalah transfer DAK kurang didasari oleh kebutuhan faskes dan kinerja mereka, karena tidak ada informasi terintegrasi yang tersedia yang memungkinkan pemerintah mendasarkan transfer semacam ini berbasis pada kinerja. Sistem pembiayaan yang terfragmentasi sangat menyulitkan perencanaan anggaran yang terpadu. Untuk meningkatkan keberlanjutan anggaran, Reem menganjurkan BPJSKesehatan memiliki peran lebih besar dalam turut menetapkan premium, paket layanan yang dicakup, dan pembayarannya, sementara Kemenkes lebih berperan dalam menetapkan standar kualitas. Reem juga menutup presentasinya dengan beberapa rekomendasi:

  1. Meningkatkan kepatuhan pembayaran premi dan memperluas kepersertaan JKN untuk kelompok masyarakat yang belum memiliki jaminan
  2. Mengendalikan pertumbuhan pengeluaran, termasuk menetapkan ceiling untuk pembelanjaan di rumah sakit
  3. Meningkatkan tatakelola dan akuntabilitas, termasuk meningkatkan kualitas dan pemanfaatan data

materi

ekoPembicara terakhir, Eko Pambudi berbicara tentang isu stunting. Eko menyoroti bahwa access to care does not guarantee quality of care karena ternyata walaupun layanan untuk gizi telah tersedia sampai ke tingkat terbawah dari masyarakat namun capaiannya belum sesuai harapan. Eko menyampaikan bahwa sistem anggaran yang terfragmentasi (bahkan di dalam sektor kesehatan sendiri, belum termasuk dari sektor - sektor lain) sangat menyulitkan peningkatan efisiensi anggaran. Belanja publik untuk nutrisi juga masih didominasi oleh anggaran pemerintah pusat.

Eko juga menyoroti adanya disconnectedness antara perencanaan, penganggaran dan kapasitas untuk menyediakan layanan nutrisi. Pemerintah Daerah seringkali tidak mengetahui seberapa besar anggaran yang akan mereka terima dari Pemerintah Pusat, keterlambatan pembayaran, dan juga fragmentasi sistem anggaran. Hal ini diperparah dengan tingginya turnover dari pegawai dan kurangnya koordinasi. Selain itu, Eko juga menyatakan bahwa tidak tersedianya data yang reliable akan sangat menyulitkan keberhasilan dalam mencapai target dalam program penurunan stunting. Eko menutup presentasi dengan beberapa rekomendasi:

  1. Standarisasi sistem informasi Kesehatan dan sistem akuntansi
  2. Investasi pada pembuatan sistem informasi yang terintegrasi
  3. Mendorong pelaporan dan mekanisme akuntabilitas yang lebih baik
  4. Harmonisasi jadwal anggaran dan mekanisme serta prosedur anggaran

materi

PEMBAHASAN

Sesi diskusi dimoderatori oleh Camilla Holmemo. Ada beberapa panelis dalam sesi diskusi yaitu Elan Satriawan (TNP2K), Kolsum Komaryani (Kepala PPJK, Kemenkes) dan Purwanto (Direktur Anggaran Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kemenkeu).

Elan Satriawan menyatakan bahwa kunci dari mekanisme untuk memastikan penargetan yang lebih baik adalah dynamic targeting. Elan juga sepakat bahwa yang diperlukan bukan hanya konsolidasi tetapi juga integrasi dari social assistance dan memperkuat sistem penyediaan layanannya. Elan menambahkan bahwa diperlukan upaya lebih keras untuk meningkatkan kualitas data, integrasi data dan pemanfaatan data.

Kolsum Komaryani menyatakan bahwa untuk mendukung efisiensi dan sustainability dari anggaran kesehatan pemerintah, telah ada prioritas untuk menekankan upaya public private partnership baik dalam Renstra Kemenkes maupun dalam RPJMN. Kolsum juga menaruh harapan pada peningkatan premium JKN untuk dapat membantu menurunkan defisit JKN, serta pada penghitungan yang lebih akurat dari paket layanan dan kepatuhan pada clinical guideline dan sistem rujukan. Purwanto memberi komentar mengenai potensi untuk investasi lebih besar dalam social assistance dan Kesehatan.

Namun, Purwanto juga menyatakan bahwa ada pola yang berulang dan persistent dari PER tahun - tahun sebelumnya, dan ini mencerminkan sistem politik yang sangat unik (system presidential tetapi sangat berat dipengaruhi oleh parlemen) dan juga kompleksitas dari perencanaan dan anggaran untuk sebuah negara dengan 500 - an kabupaten kota. Kemenkeu juga mengupayakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak sebagai upaya peningkatan pendapatan, serta penyediaan fasilitas bagi investor.
Angela menutup sesi webinar dengan menyatakan terimakasih kepada seluruh pembicara maupun panelis dan kepada 246 peserta webinar.

Kesimpulan dan catatan untuk pembaca

Ada beberapa pesan kunci dari dokumen PER dan juga presentasi serta diskusi hari ini, yaitu:

  • Kita membutuhkan lebih banyak peningkatan pendapatan pemerintah
  • Belanja harus ditargetkan hanya untuk kelompok masyarakat miskin
  • Investasi harus lebih besar pada early and preventive health
  • Fokus terkait capaian SDGs haruslah pada pencapaian kualitas bukan kuantitas
  • Terkait belanja untuk anggaran daerah, kumpulkan bukti - bukti capaian (deliverables) sebagai bahan evaluasi untuk memungkinkan adanya belanja berbasis kinerja
  • Menarik lebih banyak investasi swasta, khususnya untuk membantu pembiayaan infrastruktur

(Reporter: Shita Dewi/ PKMK)

Link Terkait

 

 

Reportase Webinar Serial Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah

Reportase Webinar

Serial Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah

Yogyakarta, 23 Juni 2020

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 2 “Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah”. Webinar ini dilaksanakan pada Selasa (23/06) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Implikasi Perpres 64/2020 pada keberlangsungan JKN di daerah fiskal rendah: Studi Kasus Provinsi NTT” yang disampaikan oleh Peneliti JKN di NTT, Stevi Ardianto Nappoe, MPH. Pembahas pada pertemuan ini adalah Johny Ericson Ataupah, SP., MM dari BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

PENGANTAR

Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator Forum menyampaikan bahwa forum ini merupakan suatu program yang membahas hasil penelitian tentang hubungan antara JKN dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk perbaikan JKN dan menelaah implementasi UU SJSN yang tidak sesuai dengan kondisi daerah sehingga diharapkan ada revisi UU SJSN.

Sesi Presentasi: Implikasi Perpres Nomor 64 Tahun 2020 di daerah NTT

Stevie selaku peneliti JKN di Provinsi NTT menyampaikan situasi pelayanan kesehatan di NTT yang serba kekurangan mulai dari SDM Kesehatan, ketersediaan fasilitas kesehatan yang didominasi RS Tipe C dan D serta akses layanan kesehatan yang masih sulit. Terkait implementasi JKN di Provinsi NTT terdapat 85% peserta yang telah tercover JKN dan 15% belum tercover dimana peserta didominasi oleh PBI APBN. Utilisasi layanan kesehatan dan portabilitas layanan rujukan lebih banyak dilakukan oleh segmen PBPU, BP dan PPU. Selain itu, kolektabilitas dan biaya layanan masih terdapat dana sisa dengan klaim rasio sebesar 59%. Proyeksi pembiayaan JKN berdasarkan Perpres Nomor 64 tahun 2020, pemerintah daerah NTT akan mengeluarkan biaya sekitar 271 Miliar untuk segmen PBI Daerah dan Pemerintah Pusat mengeluarkan biaya sekitar 1,8 Triliun di tahun 2021 untuk segmen PBI APBN. Proyeksi ini belum memperhitungan dampak Covid19 dan migrasi turun kelas III sebagai dampak kenaikan iuran JKN. Tantangan yang dihadapi pemerintah daerah antara lain beban pembiayaan pemerintah daerah akan bertambah pada tahun 2021 untuk mencapai UHC dan memastikan semua penduduk 15% yang belum tercover BPJS masuk dalam DTKS yang terverified dan valid.

materi


SESI PEMBAHAS

Sesi ini dibawakan oleh Johny Ericson Ataupah, SP., MM dari BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara Timur. Johni menyampaikan pembangunan kesehatan dalam konsep UHC harus dilihat secara holistik. Saat ini cakupan peserta JKN di Provinsi NTT mencapai 85% yang di dominasi oleh segmen PBI APBN dan beberapa kabupaten sudah UHC namun sebagian besar belum UHC. Kebijakan yang dilakukan Provinsi NTT terkait advokasi dan perluasan jaminan layanan kesehatan ada 3 blok yaitu 1) memastikan data penduduk miskin dimana sampai saat ini masih terjadi perbedaan data antara BPS, DISPENDUK dan DTKS; 2) Kebijakan anggaran APBD baik Provinsi/Kab/Kota untuk UHC; dan 3) Manajemen informasi dan regulasi penyelenggaraan asuransi jaminan kesehatan.

materi


SESI DISKUSI

1. Selama implementasi JKN apakah sudah terlaksana kebijakan dana kompensasi?

Pak Stefi (Peneliti JKN Prov. NTT):

- Kebijakan Kompensasi di UU BPJS dan SJSN sudah jelas bahwa daerah yang sulit atau terbatas fasilitas kesehatannya, BPJS wajib memberikan dana kompensasi sesuai peruntukannya tapi kenyataannya banyak teman-teman di Dinas Kesehatan tidak tahu kalau ada dana kompensasi sehingga tidak ada follow up dari pemerintah daerah tentang mekanisme dana kompensasi. Terbukti, seharusnya beberapa kabupaten/kota di Provinsi berhak mendapatkan dana kompensasi. Selain itu, pada dana kompensasi sama sekali tidak disinggung oleh BPJS Kesehatan pada forum kepentingan di Provinsi NTT. Jika dilihat aliran dana APBN ke NTT cukup banyak dari PBI APBN tetapi karena rendanya utilisasi PBI APBN dan fasilitas kesehatan yang terbatas sehingga dana tersebut tidak dimanfaatkan provinsi NTT. Bisa jadi dana tersebut digunakan untuk membiayai faskes di daerah Jawa.

Pak Jhoni (BAPPEDA Prov. NTT)

- Saya menanyakan di bagian keuangan tentang kompensasi ini, waktu saya konfirmasi mereka juga mempertanyakan hal yang sama, kompensasi yang bagaimana.


2. Dalam UU SJSN, seperti apa pemenuhan kompensasi dalam kebijakan SJSN?

Laksono Trisnantoro (PKMK FKKMK UGM):

- Memang ini menjadi satu isu kunci dalam JKN, ketika melihat JKN sebagai sistem yang sentralistik. Peraturan yang di susun itu satu, misal pengaturan tarif untuk membayar premi. Di Sleman, premi PBI APBD atau PBI APBN sama di seluruh Indonesia padahal faskesnya berbeda jauh antara NTT dengan DIY. Akibatnya, situasi yang terjadi di DIY mengalami defisit sementara di NTT masih ada dana sisa. Hal ini karena fasilitas kesehatannya tidak ada atau masih sangat terbatas. Kompensasi harusnya dipakai untuk menyeimbangkan, walaupun itu menjadi tanggung jawab Pemerintah daerah. Namun karena defisit yang sudah berjalan sejak awal ternyata BPJS tidak mempunyai dana kompensasi. Selama 7 tahun tenyata di NTT belum ada kebijakan kompensasi. Ini yang menjadi isu kunci yang perlu dibawah ke pusat dan DPR bahwa ini tidak adil karena kalau dibiarkan dana BPJS ditambah APBN nanti dipakai orang-orang yang memiliki akses mudah seperti di Jawa.


3. Apakah dapat diberikan gambaran keseluruhan pembiayaan kesehatan di NTT? seberapa ketergantungan NTT terhadap transfer pusat seperti DAK, DAU, dst? Porsi anggaran untuk sektor kesehatan terhadap total anggaran daerah? berapa porsi yang dialokasi untuk subsidi APBD daerah? seberapa pendapatan daerah yang berasal dari sektor kesehatan?

Pak Jhoni (BAPPEDA Prov. NTT)

- Pemerintah provinsi saat ini untuk Dana Transfer daerah, APBD NTT sekitar 6 Triliun, dan PAD sekitar 1,2 T yang lainnya trasfer dari Pusat. Di Kota Kupang, PAD nya paling banyak 200M. dan Rata-rata PAD kabupaten paling banyak 80 M dalam satu tahun anggaran. Dana transfer pusat sudah jelas peruntukannya. Total anggaran kesehatan NTT cukup baik mendekati anjuran 10% yang ditentukan.

Laksono Trisnantoro (PKMK FKKMK UGM):

- PAD NTT sangat kecil dan sangat bergantung pada Pusat. Dalam konteks JKN, kembali pada faskesnya. Selama faskes belum terbangun merata dengan tolak ukur seperti di jawa maka akan sulit sekali bagi penduduk NTT untuk mendapatkan akses pelayanan yang canggih seperti jantung, cancer dsb. Kalau kami minta NTT untuk meningkatkan investasi untuk infrstruktur kesehatan, saya yakin NTT tidak memiliki uang. Ini memang fakta bahwa JKN agak susah diterapkan di daerah seperti NTT.

Pak Pandu (Wold Bank Indonesia):

- Konsep Sosial health insurance idealnya pada suatu setting yang perbedaan kapasitas wilayahnya tidak terlalu mencolok namun Indonesia kondisinya masih terjadi perbedaan kapasitas dan akses ke pelayanan kesehatan antar daerah masih sangat berbeda. Jadi ini mengakibatkan ketimpangan makin menonjol. Yang perlu kita fikirkan adalah perlu membuat orang yang tidak bisa menjangkau fasilitas kesehatan bisa menjangkaunya. Salah satu pemikirannya adalah memastikan ketimpangan dan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan teratasi. Tapi ini dilakukan secara paralel. Jadi perlu ada advokasi yang sangat kuat ke Kemenkeu, Kemenkes, Bappenas untuk mengurangi tajamnya perbedaan kapasitas daerah dalam memberikan pelayanan. Kalau saya, bagaimana meminimalisir ketimpangan pendanaan yang ada. Ini PR bersama. Mungkin ada mekanisme khusus untuk sementara mengurangi ketimpangan pembiayaan.

 
SESI PENUTUP

 

 

Reportase: Peluncuran Buku Statistik JKN 2014 - 2018: Mengungkap Fakta JKN dengan Data

22j

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS K) meluncurkan Buku Statistik JKN 2014 - 2018: Mengungkap Fakta JKN dengan Data di Jakarta pada 18 Juni 2020. Buku ini mendeskripsikan data dan statistik terkait implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2014 - 2018. Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P (Menteri koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), Ir. Tubagus Achmad Choesni, M.A., M.Phil. (Ketua DJSN), dan Prof. Dr. dr. Fachmi Idris, M.Kes (Direktur Utama BPJS Kesehatan). Selain itu, narasumber yang membahas buku ini adalah Prof. Hasbullah Thabrany (akademisi), Mundiharno (Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan), dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK PhD (PERSI) dan Asih Eka Putri (Anggota DJSN). Program yang juga diadakan secara telekonferens ini dihadiri perwakilan Komisi IX DPR RI, BPJS Ketenagakerjaan, perwakilan Pemerintah Daerah dan akademisi.

Kegiatan peluncuran buku ini diawali dengan sambutan oleh Dirut Utama BPJS Kesehatan dan Ketua DJSN. Fachmi Idris menyampaikan, program JKN telah menapaki tahun ketujuh dan memiliki angka kepesertaan sebesar 224 Juta Jiwa (84% penduduk Indonesia). JKN telah memiliki peranan besar dalam memastikan hak layanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia yang adil dan beradab. Peluncuran buku statistik JKN merupakan wujud BPJS Kesehatan dalam upaya peningkatan tata kelola yang lebih baik dan upaya transparansi data. Di akhir sesinya, Dirut BPJS ini menekankan bahwa data JKN ini adalah aset besar yang dapat digunakan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk meningkatkan layanan kesehatan yang lebih baik. Selanjutnya, Ketua DJSN memaparkan bahwa peluncuran buku ini merupakan proses kerjasama yang panjang antara DJSN dan BPJS Kesehatan RI. Achmad Choesni menekankan, data pada buku tersebut dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan evaluasi pelaksanaan JKN. Buku statistik JKN diharapkan menjadi sumber informasi yang dapat digunakan oleh pemangku kepentingan untuk menghasilkan kebijakan berdasarkan data empirik.

Selanjutnya, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P selaku Menko PMK memberikan keynote speech pada peluncuran buku statistik JKN. Muhadjir Effendy sangat menyambut baik kegiatan peluncuran buku statistik JKN ini. Berdasarkan data - data ini program JKN memiliki data yang kaya untuk digunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan. Menteri Koordinator PMK menambahkan, aspek pelayanan kesehatan perlu dilakukan banyak perbaikan, khususnya pada aspek kesetaraan pelayanan, kemudahan akses, dan kualitas pelayanan. Pandemi COVID-19 ini juga telah menjadi momentum besar bagi perbaikan program JKN. Pandemi ini telah memberikan gambaran secara jelas bahwa masih adanya ketimpangan infrastruktur, suprastruktur, SDM kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan di beberapa daerah. Momen pandemi dan data statistik ini diharapkan dapat menjadi modal penting untuk perbaikan sistem kesehatan nasional.

Kegiatan ini dilanjutkan ke sesi presentasi oleh Asih Eka Putri (anggota DJSN) dan Mundiharno (Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan). Ketua Pokja pengolahan dan analisis data JKN 2014 -2018 menyampaikan perjalanan panjang bagaimana mengolah data populasi peserta JKN yang sangat besar menjadi buku statistik. Asih menjelaskan, data - data ini ditunjukkan sebagai upaya transparansi implementasi program JKN dan meningkatkan pemahaman seluruh pemangku kepentingan melalui telaah sumber data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Proses pengolahan big data ini melibatkan BPJS Kesehatan, Universitas (UI dan UGM), TNP2K dan tenaga ahli. Masyarakat dan pembuat kebijakan dapat mengakses data JKN tahun 2014 - 2018 secara lengkap, meliputi: data peserta, iuran, pembiayaan, pemanfaatan fasilitas kesehatan, sebaran fasilitas kesehatan, alat medis, obat, hingga jenis penyakit yang membutuhkan pembiayaan besar.

download materi

Selain itu, Mundiharno menambahkan, besarnya data yang dikelola membuat BPJS Kesehatan ingin mengelola sumber daya tersebut dengan baik. Sebelumnya, BPJS Kesehatan juga meluncurkan data sampel BPJS Kesehatan yang telah digunakan oleh banyak akademisi dan peneliti. Buku Statistik JKN ini menjadi modal untuk mewujudkan kebijakan layanan kesehatan yang lebih baik dan berdasarkan evidence based policy. 

download materi

Emanuel Melkiades Laka Lena sangat menyambut baik upaya oleh DJSN dan BPJS Kesehatan dalam memberikan informasi mengenai buku statistik JKN. Informasi ini sangat penting untuk mengevaluasi kebijakan JKN yang telah berjalan sejak 2014. Perwakilan Komisi IX DPR RI ini juga menyampaikan bahwa buku statistik JKN ini memberikan informasi tentang beberapa penyakit dan tindakan medis yang memiliki kontribusi biaya yang besar. Berdasarkan hal tersebut, tata kelola layanan perlu ditingkatkan lebih maksimal. Emanuel juga menuturkan bahwa saat ini pihaknya juga banyak mendiskusikan tentang isu kelas standar JKN, peningkatan upaya promotif preventif, dan penggunaan alat kesehatan dan obat dalam negeri. Buku ini dinilai bisa menjadi pedoman bagaimana kebijakan dapat dibuat berdasarkan data yang ada.

Berikutnya, Prof. Hasbullah Thabrany menyampaikan pandangannya tentang buku statistik JKN 2014 - 2018. Menurut Hasbullah, secara statistik buku ini telah membuktikan terjadi peningkatan akses layanan kesehatan yang sangat signifikan. Program JKN yang dijalankan sejak 2014 dinilai telah mampu memenuhi hak - hak warga negara dalam mendapatkan layanan kesehatan yang adil. Selain itu, era JKN ini telah menaikkan jumlah FKTP dan FKRTL. Ahli ekonomi kesehatan ini juga menekankan, program JKN dinilai melindungi masyarakat miskin dengan adanya peningkatan akses bagi peserta JKN kelas III. Hasbullah juga berpendapat, isu fraud dan isu terkait PBPU tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap permasalahan utama terkait defisit di era JKN saat ini. Defisit tersebut memiliki hubungan terhadap meningkatnya penggunaan layanan kesehatan dan ketidaksesuaian besaran iuran dengan nilai aktuaria. Data statistik pada buku ini cukup menggambarkan fakta yang ada tentang implementasi JKN sejauh ini.

Dwonload Materi

Sekretaris Kompartemen Jaminan Kesehatan PERSI, dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK, PhD, menanggapi dan membahas peluncuran buku statistik JKN dan kondisi rumah sakit di era JKN. Tonang menggarisbawahi, rumah sakit telah melakukan banyak “diet” untuk melakukan efisiensi supaya dapat memenuhi ketentuan tarif yang telah ditetapkan dalam lingkup kebijakan JKN. Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS UNS ini juga menjelaskan bahwa RS secara signifikan mengalami kenaikan angka kunjungan namun tidak selaras dengan pendapatan rumah sakit. RS sudah sangat berjuang dalam menyesuaikan tarif dan pemberian layanan kesehatan secara optimal. Terkait dengan kendala yang dialami, RS memiliki kendala terhadap isu tudingan fraud, kendala sistem rujukan, dan pencairan klaim yang lambat. Oleh karena itu, pihak rumah sakit membutuhkan kepastian arah dan kebijakan yang mendukung rumah sakit untuk mendukung program JKN.

Download Materi

Sesi diskusi pada program ini banyak membahas mengenai pentingnya peningkatan kualitas kebijakan layanan kesehatan berbasis bukti. Buku Statistik JKN 2014 - 2018 diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas bagi semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan layanan kesehatan. Selain itu, sesi ini juga menyoroti iuran peserta, tingginya angka operasi caesar dan tingginya pembiayaan layanan kesehatan penyakit katastropik. Kegiatan peluncuran buku statistik JKN diakhiri dengan penekanan bahwa keberlanjutan JKN adalah tanggung jawab semua pihak. Data empirik yang telah ada ini dapat menjadi modal penting untuk meningkatkan implementasi program JKN yang lebih optimal. Buku statistik JKN 2014 - 2018 dapat diakses di website Dewan Jaminan Sosial Nasional.

Video pertemuan Peluncuran Buku Statistik JKN 2014 - 2018: Mengungkap Fakta JKN dengan Data dapat diakses melalui akun Youtube DJSN RI atau link berikut:

klik disini 

Reporter : Nopryan Ekadinata (PKMK FK - KMK UGM)