Reportase kelompok AIDS - 6 September

Apakah Perlu Ada Jaringan untuk Kebijakan AIDS?

Diskusi JKKI Kelompok AIDS


Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Kelompok AIDS merupakan kelompok yang baru terbentuk pada Forum Nasional Kebijakan Kesehatan keempat tahun 2013 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Menurut Praptoraharjo, terbentuknya kelompok ini untuk merespon epidemi HIV/AIDS di Indonesia dan kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Dalam diskusi perdanananya pada Jumat, 6 September 2013 yang bertempat di Hotel On The Rock, Kupang, kelompok ini akan membahas dua hal penting dari sisi konteks kebijakan dan pemerintahan. Konteks kebijakan selama ini melihat seberapa jauh kebijakan sudah merefleksikan nature of the disease, dimensi sosial, politik, ideologi, serta kecenderungan epidemiologi AIDS berlandaskan kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Dari sisi pemerintahan, kelompok AIDS akan melihat bagaimana kepemimpinan dalam pengembangan dan implementasi kebijakan dan program ini bagaimana peran kelembagaan, kejelasan peran dan konteks desentralisasi, apakah ada sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan, bagaimana mengintegrasikan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang ada dengan mempertimbangkan sifat dari penyakit, serta melihat partisipasi, akuntabilitas dan transpirasi.

Rangkuman sesi Kelompok AIDS sebelumnya, yaitu (1) melihat seberapa jauh pemanfaatan bukti untuk mengembangkan kebijakan, (2) melihat pembiayaan, adanya isu layanan (stigma dan diskriminasi, rendahnya efektivitas strategi program), adanya missed opportunity (diagnosis, perawatan/terapi dini, akses dukungan sosial), terbatasnya akses dan utilisasi terhadap layanan (LASS, TRM, VCT, dan ART), logistik dan SDM yang kurang memadai, jejaring dan rujukan antar layanan, kualitas layanan dan kebijakannya, dan mitigasi dampak program perlindungan sosial dalam respon nasional untuk penanggulangan HIV.

Prof. Laksono membuka diskusi dengan pertanyaan Apakah AIDS merupakan bagian dalam sistem kesehatan? Marguari (Spiritia) menjawab dengan pasti bahwa AIDS tidak akan lepas atau keluar dari sistem kesehatan. Saat ini memang AIDS menjadi bagian dari sistem kesehatan, tetapi belum sempurna jika dilihat dari faktor-faktor lain yang secara tidak langsung bersinggungan dengan isu ini, misalkan adanya faktor sosial, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi.

Utomo (HCPI) menanggapi pertanyaan tersebut dengan perlunya menyepakati framework untuk diskusi sehingga relevan dengan isu utama yaitu mencari gap antara framework dengan implementasi (realita) yang ada. Dari bidang kesehatan masyarakat perlu dilihat sisi kebijakan, bagaimana konteksnya, dan penganggaran, dengan tujuan untuk mengurangi epidemi yang ada. Tentu saja ada framework kesehatan masyarakat yang akan dibuat, tetapi ini merupakan diskusi awal untuk membangun sinergi antara kelompok kebijakan dan kelompok AIDS, jelas Trisnantoro. Hasil kebijakan AIDS lebih maksimal jika ditangani oleh orang AIDS yang diberikan penjelasan tentang kebijakan, bukan sebaliknya.

Sistem kesehatan AIDS melihat fungsi dalam sistem dari setiap komponen sistem, sebagai contoh KPA menjalankan fungsi regulasi atau sebagai penyusun kebijakan, Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan menjalankan fungsi pemberi dana, Rumah Sakit dan Puskesmas sebagai pelaksana kegiatan, LSM dan organisasi lainnya bergungsi untuk pengembangan SDM. Jika melihat fungsi dan komponen sistem tersebut maka jelaslah pembagian peran dari masing-masing komponen dan meninjau kompetensi staf dari setiap komponen.

Dr. Andri menanggapi, perusahaan swasta perlu menjadi komponen karena mempekerjakan buruh. Dalam hal ini buruh dianggap sebagai populasi berisiko karena menjadi pelanggan Wanita Penjaja Seks (WPS). Kementrian Tenaga Kerja sudah termasuk dalam komponen sistem, namun hingga saat ini implementasi dinilai belum berjalan optimal. Marguari menanyakan apa yang dimaksud dan menjadi kriteria komponen? Menurutnya, ada banyak faktor yang mempengaruhi sistem sehingga komponennya menjadi lebih sederhana. Tentu saja semakin banyak aktor yang berperan akan semakin banyak pula komponen dalam suatu sistem, lanjut Trisnantoro. Menurut Naomi (Ikatan Perempuan Positif Indonesia-IPPI) dan Aldo (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia-OPSI) dalam sistem kebijakan kesehatan AIDS perlu dimasukkan komponen ODHA dari berbagai kelompok, misal pengguna narkoba, gay, dan waria.

Dalam diskusi juga membahas tentang kerancuan fungsi antara stakeholder dalam implementasi program AIDS. Marguari menanyakan secara spesifik kerancuan itu seperti apa, karena rancu bukan dipahami sebagai tidak menjalankan fungsi secara optimal. Bukan kerancuan yang terjadi, tapi tidak menjalankan secara optimal. Lihat saja peran KPA sebagai pembuat kebijakan, yang memobilisasi sumber dana, dan menjalankan fungsi lainnya, terimplementasi iya, tetapi yang menjadi pertanyaan sudah optimalkah implementasi tersebut.

Isu selanjutnya dalam diskusi terkait fungsi KPA yang kadang dapat tumpang tindih dengan Kemenkes. Argumentasi dari Utomo menyatakan bahwa keduanya (KPA dan Kemenkes) mempunyai terminologi yang sama yaitu sebagai pemangku kepentingan. Banyak cara membangun framework. Usulan program seharusnya memiliki tiga fungsi pokok; pengembangan kebijakan (regulasi), jaminan pelaksanaan (perencanaan, pendanaan, kelembagaan dalam konteks pelaksanaan), dan fungsi assesment. Ketiga fungsi tersebut bukan hanya sekedar list tetapi perlu dilengkapi akses vertikal, misal nasional ke tingkat provinsi kemudian ke kabupaten/kota. Keduanya harus sepakat memetakan pemangku kepentingan, bagaimana tanggung jawab, dan secara kelembagaan bagaimana menjalankan peran dari masing-masing. Kalau ada overlapping itulah yang menjadi masalah yang kita temui, sedangkan tujuan program HIV/AIDS ialah perubahan perilaku dan perubahan epidemi yang secara anatomis terbagi tiga, yaitu epidemi dan perilaku, layanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), services (pengobatan dan lainnya), serta kelembagaan. Khoirun (FKM Universitas Jember) membenarkan isu overlapping dengan melihat realita di lapangan selama ini dimana pelaksana tatanan kebijakan merupakan sesuatu yang diatas, tidak dalam tatanan pelaksana sehingga overlapping dipastikan selalu terjadi. KPAD dan LSM harusnya sejajar, KPA menjadi motor dan koordinator dari semua kegiatan HIV/AIDS, Dinkes menjalankan fungsi pemeriksaan dan pengobatan, dan LSM sebagai pelaksana. Bupati, dari struktur organisasi ditempatkan sebagai ketua seringkali sulit ditemui dan tidak bisa hadir dalam setiap pertemuan koordinasi dan evaluasi antara anggota dalam struktur KPAD, sehingga patut dipertanyakan bagaimana bupati sebagai ketua dapat menjalankan fungsi dan perannya seperti yang diamanatkan.

Apakah selama ini ada acuan seperti itu dan setiap individu yang berperan harus menjalankannya? Marguari, Khoirun, Tappy (FKM Universitas Cendrawasih), Aldo, dan Naomi merespon pertanyaan tersebut dengan melihat kesesuaian dengan poin-poin dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Selanjutnya, USU mempertanyakan kejelasan implementasi Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT) di lapangan seperti yang pernah dialami saat melalukan penelitian, dimana seharusnya melakukan PMTCT, di Seksi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) atau Seksi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)? Sistem yang diatur dalam Permenkes belum terimplementasi di dinas. Pembagian peran sudah lebih rapih tetapi kemudian yang menjadi masalah ialah tidak adanya wewenang KPA di daerah untuk membuka KPA baru di tingkat kabupaten/kota, ibarat pepatah 'hidup segan mati tak mau'. Isu yang menjadi fokus saat ini terletak pada keseriusan pemimpin di daerah untuk menanggapi epidemi HIV/AIDS di daerahnya. Utomo menyepakati perlunya kejelasan lebih lanjut tentang fungsi KPA di daerah dan dinas, yang mana peran koordinasi dan untuk menggerakkan menjadi tanggung jawab KPA, tetapi karena satu dan lain hal, keduanya tidak sejalan. Mengapa bupati yang ditunjuk sebagai ketua dalam organisasi KPAD, jawabannya tentu berkaitan erat dengan kekuasaan (power) untuk menjalankan program HIV/AIDS di daerah. Jika representasi dari masing-masing bidang sering tidak hadir saat pertemuan KPA menandakan peran fasilitasi tidak berjalan maksimal. Menurut Universitas Udayana fungsi dan peran struktur organisasi KPA hadir karena peran dari lembaga donor (dukungan dana Global Fund). KPA tidak punya power untuk menyarankan hal tertentu kepada SKPD begitu pula sebaliknya, sehingga pada akhirnya fungsi dan peran keduanya tidak berjalan secara maksimal karena tidak mempunyai kekuasaan. Dampak desentralisasi di daerah menjadikan kekuasaan dipegang sepenuhnya oleh pimpinan dari masing-masing kota, jika bupati memiliki komitmen tentu saja peran KPAD berjalan maksimal. Universitas Udayana juga membenarkan adanya overlapping peran dan fungsi dari KPA dan Dinas. Realita yang ada KPA menjadi regulator sekaligus juga menjadi implementor sebagai tuntutan HCPI atau GF.

Laksono mengemukakan, idealnya sebuah sistem menghasilkan outcome dari fungsi-fungsi yang ada, fungsi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan assessment. Kebijakan operasional seperti obat yang langung dikonsumsi juga merupakan kebijakan sistem. Diluar konteks AIDS sesuai pengamatan Marguari, tiga hal yang perlu digaris bawahi dalam kebijakan pemerintah: (1) peningkatan pagu anggaran kesehatan sebagai salah satu sumber dan masalah yang besar, (2) kebijakan desentralisasi tidak berimplikasi positif pada HIV/AIDS, (3) secara multisektoral pemerintah tidak punya mekanisme pada masyarakat kecil terkait donasi sosial sehingga tidak mampu mengakomodir secara berarti.

Selama ini peran KPA hanya sebatas day to day activity untuk sekrtetariat KPA. Pernahkah dilakukan studi mendalam sebagai sejarah hadirnya KPA? Irwanto menjelaskan ditahun 1988 HIV muncul di seluruh dunia yang mana epideminya terjadi pada homoseksual sehingga berimplikasi pada keputusan-keputusan selanjutnya. Pada waktu itu adanya dokumen kecil, adanya orang hukum dan hankam sudah dianggap cukup karena membutuhkan respon yang sangat cepat. Respon tersebut tidak hanya berlaku untuk sektor kesehatan saja, namun kenyataannya tidak diimplementasikan karena semua orang takut dikotori oleh stigma karena pasien yang ditemukan lebih banyak dari homoseksual. Respon awal sangat mewarnai komisi 1988 sehingga baru diresmikan tahun 1999.

Isu selanjutnya adalah kasus AIDS dianggap sebagai kecelakaan sejarah, itu given. Menurut Irwanto infectious disease jarang dilihat dalam sistem, jangan sampai kena populasi general, masih saling menuding siapa yang salah, sehingga implikasinya cara berpikir masih terbawa secara historis. Populasi yang termarginalisasi merupakan populasi berisiko. Paradigma yang disusun secara sistematik mengelompokkan AIDS sebagai kelompok penyakit tersebut.

Perbaikan kebijakan diluar AIDS dilihat melalui pisau kebijakan, misal 'KPA is the part of the problem'. Universitas Hasanudin (Unhas) menanggapi dengan menjelaskan bahwa process involuntery of marginalization, kurang populasi yang ingin dimarginalisasi. Turunan dari KPA ke bawah yang harus membahas isu AIDS dan menjadikan isu populer. JKKI dalam forum riset perlu melihat bagaimana sosialisasi process involuntery of marginalization yang tidak memiliki masalah dan prominent. Isu marginalisasi berawal dari peneliti. Isu ini tidak pernah muncul sebelumnya, karena hanya sebagai pandangan konservatif yang sangat tidak berdasar. Indonesia perlu mencontoh negara lainnya yang berhasil mengatasi HIV dengan perspektif isu marginalisasi.

JKKI Kelompok AIDS perlu memahami betul aspek historis tadi, termasuk bagaimana perkembangan selama 25 tahun implementasi kebijakan HIV/AIDS. Diskusi ini menjadi dasar untuk melihat sistem kesehatan AIDS dalam kerangka kebijakan awal. Utomo membenarkan hal tersebut karena hub dan respon pemerintah dalam HIV/AIDS sangat diperlukan, berbicara soal respon, pemerintah Indonesia cukup cepat melaksanakannya. Bukti dapat dilihat berapa banyak terbitan Surat Keputusan (SK) Pemerintah sebagai bentuk respon, namun praktek di lapanganlah yang menjadi pertanyaan besar. Anehnya lagi dalam SK ditemui banyak pasal-pasal yang tidak sesuai karena tidak ada tenaga kesehatan masyarakat yang berhak mendapat kompensasi untuk mendapatkan pelayanan. Undang-undang banyak hadir disebabkan kecelakaan sejarah. Dugaan Trisnantoro, konflik yang ada saat ini merupakan bawaan masa lalu.

Riyadi (PKBI Pusat) mempertanyakan fokus JKKI, apakah nantinya akan membahas kebijakan, karena kebijakan merupakan sesuatu yang abstrak. Selama ini program HIV lebih banyak berbasis donor response, bukan problem response. Irwanto menanggapi mengapa tidak ada respon dari Indonesia, karena masih ada marginalisasi terhadap kelompok berisiko. Contoh riil, kasus pelemparan sebuah rumah hanya karena ada anak di rumah tersebut yang terinfeksi HIV.

Kesesuaian konteks kebijakan epidemi HIV/AIDS antara 20 tahun yang lalu dengan sekarang menjadi poin diskusi selanjutnya. Thailand berhasil menerapkan kebijakan kondom 100%, Indonesia sulit mengimplementasikan best practice kebijakan kondom tersebut karena toleransi agama yang tinggi dan adanya kelompok penentang kebijakan (misal Forum Pembela Islam-FPI) yang perlu diperhitungkan untuk mendukung kebijakan.

Tahapan perbaikan kebijakan AIDS di Indonesia diawali ide, pilot, kemudian merumuskan naskah akademik kebijakan, melalui proses legislasi, implementasi kebijakan, mengevaluasi kebijakan serta merumuskan rekomendasi untuk perubahan kebijakan. Di level mana kebijakan akan diimplementasikan juga perlu ditentukan, apakah di tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten. Maukah setiap peserta diskusi yang hadir masuk dalam JKKI Kelompok AIDS? Marguari secara prinsip mendukung, perlu digarisbawahi keikutsertaan itu perlu minat. Isu kebijakan adalah isu hulu yang nantinya berimplikasi terhadap network, tidak hanya pada kacamata HIV. Lintas aspek yang lain sangat penting. Apakah ada kemajuan selama ini? Contohnya saja obat dapat diperoleh di tempat layanan, program ada dimana-mana, penjangkauan bisa dilakukan, tapi bagaimana dengan perubahan perilaku? Kuncinya tetap satu, perubahan perilaku. Berapa persen orang yang pakai kondom. Di luar forum kebijakan, bagaimana perubahan perilaku yang ada? Komunitas tetap bisa berjalan tanpa ada donor. Local ownership dari masing-masing daerah harus tinggi.

Trisnantoro menanggapi bahwa analisis kebijakan publik membandingkan dulu dan saat ini. Pendekatan yang digunakan dalam analisis kebijakan merupakan bagian desentralisasi melihat jaringan AIDS di pusat, jaringan AIDS di provinsi, jaringan AIDS di 82 kabupaten/kota. Analisis kebijakan dinamis karena melihat proses implementasi kebijakan yang dinamis.

Universitas Atma Jaya Jakarta (UAJJ) merespon terkait poin diskusi pendekatan yang akan digunakan JKKI Kelompok AIDS apakah menggunakan pendekatan hulu (sisi promotif dan preventif) atau hilir (sisi kuratif dan rehabilitatif), di hilir hanya dokter yang berperan, pendamping layanan dan LSM pun bagian dari hilir. Kemenkes dituntut membuat kebijakan yang sesuai dengan tanggung jawabnya. Selama ini rujukan sudah didisain tetapi apakah konteks berjalan baik perlu ditanyakan menurut Marguari.

JKKI mencakup berbagai macam jaringan. Bagaimana komitmen para pemimpinnya untuk melakukan kegiatan jejaring? Apakah bisa kerja sama? Sugiharto (Persaudaraan Korban Napza Indonesia-PKNI) memberi contoh best practice kerja sama lintas sektor dalam program rehabilitasi korban napza di Bogor. Harm reduction (HR) dalam rehabilitasi mengadopsi Behavior Drug Reduction Counselling (BDRC) yang membolehkan pasien panti rehabilitasi memakai narkoba selama proses rehabilitasi berjalan. Pasien diminta mengisi kapan waktu pakai, jam berapa, berapa rupiah yang dikeluarkan, dimana atau kemana pakai, dan semuanya harus dilaporkan kepada konselor. Program itu terbukti berhasil dalam penelitian, dan menjadi inovasi dibidang program HR. Selain itu program didukung polisi setempat, jika ditemukan pasien rehabilitasi tidak akan ditangkap tapi dikembalikan ke panti.

Sistem rusak 'mendirikan benang basah'. Contoh kasus di Kabupaten Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta seperti hasil penelitian LSM IDEA yang diungkapkan Wijiyati, dengan melihat bagaimana politik anggaran di DIY, ditemukan ada yang salah. Orang-orang dalam struktur organisasi di KPA sebaiknya paham dan mengambil peran untuk melaksanakan kebijakan. Temuan di lapangan banyak SKPD yang tidak mengetahui AIDS sehingga implementasi kebijakan tidak optimal. Catatan kemudian, 'hadirnya SDM makin memperparah implementasi kebijakan'. Perlu dilihat lagi kebijakan yang ada dan siapapun bisa mengingatkan.

Kebijakan logis, politik lah yang tidak logis. Masyarakat ingin action sehingga menurut Marguari perlu didesain rencana ke depan. Saat menetapkan desain dikaitkan dengan tata pemerintahan karena hal tersebut sangat signifikan melakukan perubahan kebijakan. Bagaimana perubahan kepemimpinan. Dominan dalam masa kepemimpinan. Perlu memperhitungkan dalam proses untuk bersinggungan karena unpredictable, misalkan apa yang akan terjadi dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), perlu juga mempertimbangkan apa yang terjadi. Kepala dinas dalam struktur organisasi KPA merupakan political position. Unhas menambahkan, what works is not working dan tidak berjalan tidak popular.

Ada dua hal yang perlu dilihat, yaitu memahami symptom melihat dari seluruh konteks dan meneruskan diskusi mailing list atau pertemuan di tingkat kota atau masyarakat. Ada agenda yang sudah dilkeluarkan untuk memantau kebijakan yang sudah ada dan apa saja yang perlu dikembangkan yaitu pada pertemuan tahun depan di Bandung. Temuan-temuan dan perkembangan kebijakan di daerah kita masing-masing akan disampaikan dalam forum selanjutnya.

Refleksi kebijakan selama 25 tahun berjalan harus dilakukan menurut Irwanto, dengan melihat apa dampak terhadap epidemi dan perilakunya, harus bekerja sama dengan posisi yang berbeda. Realita yang ada masing-masing sibuk melihat diri dan program sendiri. Setiap orang harus menjadi bagian dari solusi, bukan dari masalah, mencari apa solusi yang bisa ditawarkan. Apakah selama ini kebijakan menjadi stagnan? Setiap pihak perlu merekonstruksi solusi beneficiaries, menolong orang-orang ke dalam mainstream, menghormati mereka terlebih dahulu, jadikan sebagai keluarga besar, harus bisa komunikasi dengan baik. Dibalik semuanya itu, dituntut semangat baru untuk melihat policy untuk merusak virus. Virusnya akan kalah.

Kedepannya, ada media yang nantinya dapat terus membagi informasi, memberikan penyuluhan dalam strategi yang sangat berbeda. Tidak ada inisiatif tanpa ada duit dapat melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan memicu kegiatan AIDS di lapangan. Inisiatif lokal menjadi isu utama dalam diskusi ini.

Oleh: Sisilya Oktaviana Bolilanga, S.K.M., M.Sc.

Sesi 3.4E Makalah Bebas Kelompok Kebijakan Inovatif

Sesi 3.4E

Makalah Bebas Kelompok Kebijakan Inovatif


Bertindak selaku moderator dalam sesi diskusi makalah bebas kelompok kebijakan inovativ adalah Ali Imron dengan 2 presentan diantaranya adalah Felix Kasim dari Universitas Maranatha dan Mubasysyr Hasanbasri dari Fakultas Universitas Gadjah Mada. Semula presentan dalam sesi diskusi ini akan disampaikan oleh 3 orang, namun dalam pelaksanaannya hanya dilakukan oleh 2 orang saja karena peserta lainnya tidak dapat mengikuti kegiatan. Namun hal ini tidak mengurangi antusiasme dari peserta seminar daan sesi tanya jawab, karena 2 peserta yang ada membawakan diskusi dengan sangat menarik dan sangat maksimal dengan sentuhan pendekatan masing-masing.

Presentan pertama mengangkat materi mengenai Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Jamkesda di Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas yang berada dalam lingkup pembinaan dinas kesehatan Kota Banjar. Keingintahuan tentang seberapa jauh program jamkesda sudah berjalan sangat kuat dikarenakan kota banjar dipimpin oleh walikota yang merupakan seorang dokter dan wakilnyapun seorang doker sehingga dukungan terkait kesehatan akan lebih baik diberikan oleh pihak pemerintah daerah apabila pemerintahnya responsif. Hal ini menjadi catatan penting bagi Dinkes Kota Banjar karena manfaat program Jamkesda di Kota Banjar ternyata dirasakan masih kurang oleh masyarakat karena secara khusus Jamkesda lebih terasa manfaatnya di RS, namun secara umum manfaatnya sebagai jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, manfaat untuk persalinan, dapat membantu pelaksanaan program puskesmas, serta dapat mendeteksi dini kasus penyakit. Kendala dari program Jamkesda di Kota Banjar adalah adanya database yang tidak tepat sasaran, manlak dan juknis yang belum jelas, alokasi dana belum lancar dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang Jamkesda sehingga Diharapkan masyarakat dapat memberikan respon yang lebih baik dan mendukung keberlangsungan program ini, dengan cara bertanya pada pihak bersangkutan bila tidak mengerti.

Berbeda halnya dengan presentan kedua yakni Mubasysyr Hasanbasri dari Universitas Gadjah Mada yang mempresentasikan mengenai Pelajaran dari Gebrakan Joko Widodo dalam Memecahkan Pelayanan Kesehatan di Jakarta, sebuah Content Analysis. Pelajaran yang bisa diambil dari jokowi dalam memecahkan masalah adalah menganggap masalah bukanlah masalah kebijakan namun masalah manajemen dan easy to solve serta lebih menekankan pada siapa yang menderita bukan penyakitnya karena yang mengurusi penyakit adalah dokter. Ia peduli dengan hal-hal yang menjadi urusan para manajer Jokowi dan Ahok memiliki argumen manajerial yang jelas terhadap isu kebijakan. Setiap pilihan yang diambil memiliki arah yang strategis bagi pengembangan sistem. Berbeda halnya dengan Pemerintah daerah kadang latah mengikuti pola projek dan senang bekerja jika ada projek. Jokowi dan Ahok tidak tampak mengikuti pola projek ini. Ada beberapa hal juga yang perlu diketahui juga bahwa Kunci untuk pembuatan kebijakan yang sukses adalah melakukan manajemen yang baik dan kuncinya adalah memahami masalah manajemen dengan baik. Adapula sebuah pelajaran yang baik dikarenakan jokowi adalah seorang enterpreneur sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat adalah enterpreneur policy bukan projek policy.

Kedua presentan berhasil membuat rasa penasaran peserta seminar sehingga memicu diskusi yang menarik sehingga waktu yang dibutuhkan lebih panjang yakni pelaksanaan diskusi berakhir lebih lama dari jadwal yang sudah ditentukan yakni berakhir sekitar 10 menit dari jadwal. 

Oleh: Andriani Yulianti

Reportase sesi 3.4E

Sesi 3.4 E

Makalah Bebas Kelompok Kesehatan jiwa


Bertindak selaku moderator dalam sesi diskusi makalah bebas kelompok jiwa adalah Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes dengan 3 presentan diantaranya adalah Muhammad Mulia dari Survey Meter, Budi Anna Keliat dari Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, Sunar Indriati dari Survey Meter. Masing-masing memperesentasikan makalahnya dengan sangat maksimal dengan beberapa pendekatan yang sudah diteliti oleh masing-masing peneliti. Presentan pertama disampaikan oleh Muhammad Mulia yang membahas mengenai Kebijakan Kesehatan Jiwa Paska Bencana, Terapi Pemberdayaan Diri secara Kelompok sebagai Sebuah Alternatif, kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan wilayah rawan bencana, sehingga program trauma healing diharapkan dapat digunakan secara luas untuk memenuhi kebutuhan akan respon terhadap trauma mental paska bencana di Indonesia, manfaat dari program ini tidak hanya dalam mengurangi gangguan paska trauma dan mengelola stres, tetapi juga memberdayakan masyarakat melalui peningkatan rasa percaya diri namun kelelmahannya dalam penelitian ini tidak dilakukan secara jangka menengah sehingga untuk mengadopsi kembali diperlukan penelitian lebih lanjut.

Hal serupa terkait dengan kesehatan jiwa juga diangkat oleh Prof Budi Anna Kelliat dari Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, membahas mengenai Efektifitas Penerapan Model Community Health Nursing (CMHN) terhadap kemampuan hidup pasien gangguan jiwa dan keluarganya di wilayah DKI Jakarta. penerapan CHMN merupakan pelayanan keperawatan jiwa masyarakat yang komprehensif, holistik, paripurna berfokus pada masyarakat yang sehat jiwa, risiko gangguan jiwa dan gangguan jiwa agar dapat mandiri dan produktif. Untuk mendukung penerapan model ini diperlukan keterlibatan keluarga. Hasil yang didapatkan bahwa asuhan keperawatan setelah dilakukan 12 kali home visite dapat meningkatkan kemandirian dan waktu produktif pasien, meningkatkan pengetahuan dan psikomotor dalam merawat, mengurangi beban keluarga. Sehingga kedepan agar jalannya pengobatan sesuai dengan yang diharapkan paling tidak dilakukan 1 kali perminggu/2 minggu serta berharap agar pelayanan di puskesmas ada Home Visite terkait dengan asuhan perawatan jiwa.

Kemudian presentan ketiga yakni oleh Sunar Indriati mengenai Penilaian Kepatuhan Terhadap Standar Kebijakan Nasional untuk Pelayanan Kesehatan Lansia di Yogyakarta, Puskesmas Santun Lanjut Usia. Berangkat dari kenyataan bahwa indonesia merupakan peringkat keempat negara dengan populasi penduduk lanjut usia terbanyak di dunia dengan proporsi lanjut usia terbanyak berada di Provinsi D.I. Yogyakarta provinsi sehingga peneliti ingin melihat kembali kinerja puskesmas dalam program pemerintah mencanangkan "puskesmas lanjut usia" di 121 puskesmas yang tersebar di wilayah DIY dengan narasumber yakni koordinator/ programer, dokter dan kepala puskesmas dan didapatkan hasil bahwa Puskesmas Santun Lanjut Usia di D.I.Y secara keseluruhan memberikan dampak yang positif pada pelayanan kesehatan untuk lanjut usia sehingga kebjakan nasional puskesmas santun lanjut usai perlu untuk diterapkan kesemua puskesmas serta perlu evaluasi agar program di puskesmas dapat meningkatkan kinerjanya.

Setelah ketiga dari presentan selesai mempresentasikan makalah masing-masing, maka Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes selaku moderator membuka sesi diskusi yang disambut antusias oleh peserta dengan tanya jawab. Sesi yang dilaksanakan di mutiara ballroom ini berjalan tepat waktu dan selesai sesuai dengan yang sudah dijadwalkan.

Reportase sesi 3.3C

Sesi Makalah Bebas Kelompok KIA dan KB serta Reproduksi


Bertindak selaku moderator dalam sesi diskusi makalah bebas kelompok KIA dan KB serta reproduksi adalah Yane Tambing dengan 5 presentan yang masing-masing datang dari berbagai Fakultas di wilayah indonesia diantranya adalah Agus Zaenuri dari FKM Universitas Cendrawasih Papua, Ali Imron dari FIS Universitas Negeri Surabaya, Demsa Simbolon dari Poltekes kemkes Bengkulu, Kasman Makassau dari Dinkes Prop. Sulawesi Barat dan Nurfadillah dari FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta. Masing-masing memperesentasikan makalahnya dengan sangat maksimal dengan pemaparan yang berbeda-beda namun tetap dengan goals bagaimana angka kematian ibu dan bayi di indonesia dapat ditekan dengan beberapa pendekatan yang sudah diteliti oleh masing-masing peneliti.

Seperti misalnya pada presentan pertama Agus Zaenuri dari FKM Universitas Cendrawasih Papua meneliti bahwa MTBS di Puskesmas Sentani tidak berjalan, hal ini dikarenakan tidak seimbangnya jumlah petugas yang menangani bayi/balita sakit dikarenakan petugas terlatih MTBS yang melaksanakan tugas rangkap, petugas terlatih pindah tugas dan atau petugas terlatih melanjutkan pendidikan serta terhentinya pengadaan sarana penunjang pelaksanaan MTBS dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura kepada Puskesmas Sentani dan tidak berkualitasnya sarana/fasilitas penanganan bayi/balita yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura sehingga Dinas Kesehatan perlu untuk melakukan revitalisasi MTBS dan perlu membuat standar pelayanan MTBS serta kebijakan (juklak dan juknis). perencanaan mengenai anggaran yang berasal dari dana APBD serta dibentuk Tim khusus untuk menangani pelaksanaan MTBS di Kabupaten Jayapura mulai dari pelatihan, supervisi, hingga pada evaluasi. Menurut Agus Zaenuri hal ini harus sesegera mungkin diambil tindakan mengingat puskesmas sentani rencana akan dijadikan pilar projek percontohan di papua oleh UNICEF.

Berbeda halnya dengan Presentan kedua yakni Ali Imron dari FIS Universitas Negeri Surabaya juga menganggakat tema yang sama yakni KIA namun dengan pendekatan yang berbeda dikarenakan beliau adalah seorang sosiolog sehingga sebagian besar pandangan lebih banyak dilihat dari perspektif sosiologi. Dalam penelitiannya peneliti mengkaji implementasi program LIBAS 2+ yang fokus pada Bebas kematian ibu melahirkan dan Bebas kematian bayi kemudian mengidentifikasi faktor-faktor sosial budaya yang memengaruhi implementasi program tersebut. Setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil bahwa secara sosiologis, dipengaruhi oleh kemitraan bidan dukun, Program 5T (Timbang, Tensi, Tablet fe, Timbang ukuran perut, dan Tinggi badan) membantu ibu hamil, SMS "Bayi Sehat 24 jam", Secara kultural kontruksi budaya tradisional Madura yang bercorak pesisir masih mengakar kuat sehingga konstruksi pengetahuan tentang kesehatan reproduksi masih lemah, Pijat dukun, jamu tradisional, mitos kehamilan serta kharismatik tokoh sentral masih berjalan, Infrastruktur masih lemah, Relasi sosial dan dukungan aktor lokal masih lemah. Sehingga menurut Ali imron semua harus berkolaborasi secara sistematik. Politik harus bagus, sistem ekonomi terkait dengan budgeting yang mendukung dan sistem budaya yang kuat.

Setelah pemaran dari tim UNESA kemudian dilanjutkan dengan pemaran oleh Demsa Simbolon dari Poltekes kemkes Bengkulu yang mengangkat tema Determinan Kinerja Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di RS Pemerintah Indonesia, sangat mencengangkan hasil yang didapatkan bahwa manajemen pelayanan KIA secara keseluruhan semua dengan proporsi yang kurang maksimal. Disampaikan juga oleh penyaji bahwa ada atau tidak adanya sumber daya manusia rata-rata memiliki kinerja yang kurang optimal namun apabila dibandingkan dengan yang lainnya hanya model status akreditasi rumah sakit memiliki skor yang lebih baik dari beberapa faktor determinan lainnya seperti RS sebagai wahana pendidikan, SDM team ponek, Dokter jaga terlatih di IGD,Tim siap melakukan operasi atau tgas meskipun on call, jumlah dokter Sp.A dan koordinasi internal. Hal ini menjadi catatan bagi KEMENKES untuk perlu melakukan perbaikan pada seluruh jenis pelayanan untuk mendapatkan akreditas dimana akreditasi sebaiknya bisa lengkap 16 jenis pelayanan serta perlu menjadikan RS pemerintah sebagai RS wahana pendidikan, peningkatan kuantitas dan kualitas SDM PONEK, pelengkapi dokter jaga terlatih di UGD, ketersediaan tim siap melakukan operasi atau tugas meskipun on call, dan peningkatan komitmen organisasi.

Hal yang lain dari sudut pandang yang berbeda mengenai KIA juga disampaikan oleh presentan ke Empat yakni Kasman Makassau dari Dinkes Prop. Sulawesi Barat yang mengangkat judul Penetapan Prioritas Program Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak dengan Metode Analyitc Herarcy Process (AHP), dikatakan bahwa dengan penerapan AHP dapat memberikan kesempatan bagi para perencana dan pengelola program bidang kesehatan untuk dapat membangun gagasan-gagasan atau ide-ide dan mendefinisikan persoalan-persoalan yang ada dengan cara membuat asumsi-asumsi dan selanjutnya mendapatkan pemecahan yang diinginkannya serta hasil yang didapatan lebih cepat, lebih baik dan lebih akurat. Namun penjelasan dari Presentan ini lebih tepat apabila dilakukan pelatihan khusus bagi para peserta karena lebih kepada pengenalan software yang masih asing dimata peserta seminar. Dibutuhkan waktu khusus untuk lebih mendalami lagi apa yang sudah disampaikan presentan tentang software yang sejatinya dapat membantu para tenaga kesehatan untuk membuat skala prioritas pada program yang akan dijalankan.

Kemudian presentan yang terakhir adalah Nurfadillah dari FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta yang mempresentasikan penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi ideal pada pasangan menikah, selama ini penggunaan alat kontasepsi dianggap masih menjadi tanggungjawab wanita sehingga peran laki-laki sangat rendah padahal kondom sendiri merupakan alat kontasepsi yang efektifitasnya tinggi dan relatife tanpa efek samping sehingga Petugas kesehatan diharapkan dapat menganjurkan penggunaan kondom sebagai alkon ideal, di samping penjelasan tentang semua alternative alkon yang dapat digunakan pasangan. Informasi tentang KB dan alkon sebaiknya dilakukan tidak hanya kepada salah seorang dari pasangan namun keduanya. Serta diperlukan peran serta dari BKKBN untuk melakukan sosialisasi program dan melaksanakan lagi program motivator/panutan.

Setelah kelima dari presentan selesai mempresentasikan makalah masing-masing, maka Yane Tambing selaku moderator membuka sesi diskusi yang disambut antusias oleh peserta dengan tanya jawab. Sesi yang dilaksanakan di ruangan Pearl hotel On The Rock ini berjalan tepat waktu meskipun sempat dilakukan pergantian moderator namun tetap menarik minat peserta.

Oleh: Andriani Yulianti

KELOMPOK AIDS - 7 September 2013

Kelompok AIDS

Laporan Content Pertemuan Awal dengan Universitas Lokal
Penelitian Kebijakan HIV/AIDS di Indonesia


Pertemuan kelompok erja AIDS telah dilaksanakan pada Sabtu, 7 September 2013 di On The Rock Hotel. Pertemuan diawali dengan perkenalan dari masing-masing peserta, baik tim inti peneliti dan tim peneliti universitas rekanan. Ignatius Praptoraharjo memberikan pengantar tentang gambaran penelitian Kebijakan AIDS di Indonesia, yang mana pemetaan kebijakan AIDS di Indonesia dalam konteks sistem kesehatan berlaku di tingkat nasional dan lokal sehingga dianggap penting untuk melibatkan banyak universitas di daerah agar dapat memberikan pemahaman yang luas tentang penelitian. Terdapat dua keluaran yang diharapkan dari penelitian ini, pertama secara normatif adanya kebijakan ke pemerintah, kedua, penelitian ini secara praktis dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan teknis dan pendanaan AusAID tahun 2016 yang mendorong kebijakan-kebijakan dibidang AIDS. Fokus advokasi diharapkan tidak hanya pada saat pengumpulan data dan analisa. Tahapan pengumpulan data diawali dengan diskusi dengan pemerintah daerah, proses dialog dengan para policy maker dan kelompok dampingan, diseminasi informasi penelitian, pertemuan untuk mendorong agenda-agenda kebijakan,melakukan advokasi melalui unit pengetahuan sebagai bentuk advokasi ke policy maker. Penelitian ini ada di dalam upaya untuk membangun knowledge hubungan antara unit intermediary (pihak NGO) dengan policy maker. Melihat tujuan penelitian ini maka dibutuhkan peran dari tingkat lokal sehingga dalam pengorganisasiannya penelitian ini terdiri dari dua tim, tim inti yang menyiapkan (PKMK FK UGM) dan tim tim universitas. Pertemuan koordinasi kali ini akan membahas tentang pengorganisasian tim peneliti dan hal-hal substansial terkait penelitian akan dibahas pada pertemuan selanjutnya di Yogyakarta.

MATERI PRESENTASI (EXECUTIVE SUMMARY)

Udayana mengawali tanggapannya dengan menanyakan mekanisme keputusan tentang publikasi authorship dari dosen tim universitas. Hal ini didasari pengalaman dari Unipa peneliti lokal umumnya hanya sebatas kemitraan sehingga dalam laporan penelitian terdahulu tidak mencantumkan nama peneliti lokal. Kesepakatan tentang autorship harus ditentukan sejak awal. USU menambahkan, membangun mekanisme transparan memang sulit, publikasi (authorship) biasanya dari pihak kampus dan dari dinas, bukan peneliti.

Ignatius Praptoraharjo merespon bahwa nantinya akan terkumpul sembilan laporan dari masing-masing universitas yang mana dalam setiap laporan akan teridentifikasi siapa pengarangnya karena setiap laporan akan ditulis nama penelitinya. Kedepannya, tidak hanya laporan penelitian saja yang menjadi keluaran dari penelitian ini, tetapi harus ada aksi yang digunakan untuk advokasi. Terdapat salah satu contoh penelitian multi-countries, multi-institution (Kemenkes, NGO, universitas, dan sebagainya) yang mana dalam penelitian tersebut tercatat nama-nama peneliti yang terlibat.

Adapun pihak yang memiliki hak sepenuhnya terhadap penelitian ini ialah AusAID dan authornya tetap tim inti dan tim universitas. Ada beberapa kegiatan dalam penelitian yang memberikan kesempatan bagi peneliti lokal dalam penulisan jurnal nasional maupun internasional. Tanggapan yang berbeda diperoleh dari AusAID yang menyatakan bahwa kegiatan penelitian ini milik Indonesia karena menjadi kebutuhan pusat, bukan AusAID. Ignatius mengklarifikasi pernyataan tersebut dengan penjelasan tentang peraturan-peraturan terkait dan hak publikasi oleh donor penelitian yang memberikan dana bagi penelitian, misal setelah lima tahun atau waktu yang disepakati setelah penulisan laporan, pihak donor membolehkan publikasi hasil penelitian, pada batas waktu tersebut siapa saja dapat memperoleh data penelitian.

Isu selanjutnya diangkat oleh USU yaitu mengenai justifikasi penunjukkan peneliti lokal. Umumnya penelitian yang melibatkan universitas lokal akan masuk melalui lembaga penelitian yang berimplikasi pada institutional fee karena melalui fakultas. Alangkah baiknya jika tim inti (PKMK FK UGM) bersurat kepada dekan universitas lokal terkait pemilihan peneliti lokal, dan perlu menambahkan kalimat 'berdasarkan kriteria tertentu ditunjuklah (nama peneliti) sebagai peneliti lokal' agar tidak diragukan identitasnya. Draft protokol akan dibahas di minggu keempat November. Pembahasan akan dihadiri oleh perwakilan core team, AusAID, National Advisory Board (NAB), dan consultative group. Kesepakatan waktu pertemuan menunggu dari masing-masing universitas lokal.

Selanjutnya terkait poin aplikasi etik di daerah penelitian sebagai pertanyaan dari Udayana. Ethical clearence akan dibuat oleh PKMK dan diajukan ke Komisi Etik FK UGM. Menurut Iko, hal tersebut perlu ditindaklanjuti di masing-masing universitas karena bisa saja beda daerah beda pula peraturannya. Tim universitas lokal perlu membuat timetable penelitian disamping timetable tim inti. Di Medan biaya untuk memperoleh ethical clearence sangat mahal, sebesar dua juta rupiah maka perlu dipertimbangkan kembali poin tersebut jika dilakukan di daerah. Ignatius merespon dengan konsultasi antara masing-masing universitas lokal terkait peraturan ethical clearence dan menginformasikannya dengan tim inti.

Mengingat alokasi waktu penelitian yang cukup panjang, Ignatius menanyakan komitmen dari masing-masing peneliti universitas lokal dalam jangka waktu 30 bulan kedepan. Uncen, Udayana, dan UAJJ menyatakan jika dalam waktu tersebut ada peneliti yang ingin resign maka harus mencari pengganti yang sesuai kriteria dan harus jelas. Informasi tambahan dari Ignatius bahwa kerjasama bersifat individual sehingga jelas siapa yang akan menggantikan, tidak perlu meminta pengganti dari universitas.Menurut Iko, surat resmi komitmen penelitian bisa dilakukan paralel jika terdapat multicenter, dan komitmen dari individual peneliti lokal ke PKMK. Nantinya pihak PKMK FK UGM yang akan memberitahukan ke dekan masing-masing universitas. Saran dari USU, surat kesediaan probadi dikonsepkan PKMK UGM, mengetahui pihak dekanat, dan ada poin tambahan, seandainya dalam perjalanannya ada perubahan maka pihak yang bersangkutan merekomendasikan siapa yang akan mengganti. Pertemuan selanjutnya akan membahas protokol penelitian sampai kegiatan selanjutnya, yang direncanakan akhir November, kemudian dilanjutkan training sehingga sesuai timetable tim inti pada Februari akan dilakukan turlap.

Iko menanggapi UAJJ yang menanyakan tentang pelaksanaan kegiatan desk review. Desk review dilakukan dengan mengambil daerah tertentu karena hasil kegiatan ini bukanlah data primer. Tim peneliti inti yang akan datang melakukannya di lokasi penelitian. Uncen menyarankan tim inti yang membuatkan surat surat pemberitahuan ke daerah penelitian. Di Bali pengurusan surat ijin penelitian sangat mudah pengurusannya, cukup dilengkapi proposal surat ijin sudah bisa dikantongi.

Sebelum penyusunan protokol, USU mengusulkan sebaiknya setiap universitas lokal sudah memiliki baseline data awal (data kasar) dari KPAD provinsi maupun kabupaten untuk didiskusikan. Tindak lanjutnya, tim inti membuat surat pengantar untuk memperoleh data awal tersebut. Dalam desk review tim inti akan memilih beberapa kabupaten/kota dan menjelaskan alasan pemilihan daerah. Langkah awal dari pertemuan koordinasi ialah mendaftarkan setiap pihak yang terlibat dalam penelitian, termasuk tim inti dan tim universitas lokal, kedalam group sebagai media koordinasi.

Oleh: Sisilya Oktaviana Bolilanga

Reportase sesi 3.1 KIA

Sesi 3.1

Simpisium KIA


Di Hari ketiga sesi pertama kelompok KIA, diawali pemaparan oleh dr. Stefanus Bria Seran, MPH (kepala Dinas Provinsi Nussa Tenggara Timur).

Di kesempatan ini dr. Stefanus memaparkan mengenai pengalaman program Sister Hospital dengan revolusi KIA di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Program Sister Hospital merupakan salah satu program yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengantisipasi tingginya kematian ibu dan anak. Konsep dari program Sister Hospital dengan cara menggandeng beberapa rumah sakit besar yang ada di berbagai tempat untuk bekerja sama dengan rumah sakit kecil di provinsi Nusa Tenggara Timur

Program tersebut mempunyai beberapa tujuan, antara lain; perubahan etos kerja di bidang kesehatan, penataan dan pengembangan SDM kesehatan, meningkatkan peran serta aktif masyarakat, dan pemenuhan dokter spesialis di rumah sakit kabupaten atau kota melalui pendidikan dokter spesialis. Dari beberapa tujuan tersebut terdapat tujuan yang paling mendesak yaitu agar puskesmas dan rumah sakit dapat mempersiapkan diri untuk menjadi PONEK 24 jam.

Program ini sudah dilaksanakan sejak tahu 2010. Oleh karena itu terdapat beberapa hasil yang sudah diperoleh. Hasil tersebut, antara lain; jumlah dokter spesialis (anastesi, ahli peralatan medis, obsgyn, dan anak) meningkat, meningkatnya jumlah persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan, semakin meningkatnya kepercayaan diri petugas rumah sakit dan puskesmas bila menerima rujukan. Dengan adanya kepercayaan diri yang terbentuk maka akan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat bila mereka harus dirujuk oleh petugas kesehatan ke fasilitas yang lebih tinggi.

Hasil secara umum yang diperoleh dari program sister hospital adalah menurunnya kematian ibu dan anak selama 2010 hingga 2013.

Selain hasil di atas, pemerintah provinsi NTT menggunakan system yang efisien untuk memantau atau mengingatkan ibu hamil ketika mendekati hari persalinan. Menurut dr. Stefanus memaparkan bahwa dokter atau petugas kesehatan yang menangani ibu hamil tersebut mengirimkan sms ke camat, kepala desa, bidan desa untuk mengingatkan bahwa ada ibu hamil yang mendekati hari persalinan. Pemantauan dilakukan aktif oleh petugas kesehatan.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, terdapat banyak pembelajaran yang diambil dari program Sister Hospital. Pemebelajaran tersebut, antara lain; Tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai strandard), menularkan budaya kerja yang baik, semakin meningkatnya kepercayaan diri dari staf atau petugas kesehatan terhadap pekerjaannya, sebagai media pengenalan daerah melalui kunjungan rutin dari rumah sakit mitra.

Sesi 3.1, pembicara 2.

Setelah dilakukan pemaparan oleh Kepala Dinas Provinsi Nusa Tenggara Timur, dilanjutkan oleh dr. Hartanto Hardjono, M.Kes dengan tema "pengalaman program expanding maternal and neonatal survival (EMAS) di beberapa kabupaten".

Pada awal pemaparan dr. Hartanto menjelaskan tujuan besar dari program EMAS ini untuk memberikan kontribusi sebesar mungkin terhadap penurunan kematian maternal dan neonatal. Program EMAS dilaksanakan di 6 provinsi dan mempunyai beberapa tujuan. Tujuan 1, antara lain; mematiskan prioritas intervensi medis berdampak besar pada penurunan kematian ibu dan neonates diterapkan di rumah sakit dan puskesmas, pendekatan tata kelola klinis diterapkan di rumah sakit dan puskesmas. Tujuan 2, antara lain; menguatkan peran serta masyarakat dalam menjamin akuntabilitas dan kualitas tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, dan pemerintah daerah; penguatan sistem rujukan; mempermudah akses masyarakat untuk menggunakan fasilitas kesehatan.

Dengan tujuan untuk mengurangi angka kematian ibu dan anak, maka framework program emas dengan cara meningkatkan kualitas layanan darurat serta meningkatkan efisiensi kualitas system rujukan. Dengancara tersebut

Setelah pemaparan oleh Kepala Dinas kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan dr. Hartanto Hardjono, M.Kes, presentasi dilanjutkan oleh Digna Niken Purwaningrum, S.Gz., MPH; Ratna Dwi Wuladari, SKM, M.Kes, dan Christina Rony Nayoan, SKM, M.Kes. Presentasi ini membahas mengenai "Temuan Hasil Kualitatif HSB: Pola Pencarian Pelayanan Kesehatan serta Faktor Apa Saja yang Berpengaruh pada Kelompok Miskin dan Hampir Miskin di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur". Penelitian ini berfungsi sebagai baha base line program Health System Strengthened.

Di awal presentasi ini dipaparkan mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respon atau pendapat masyarakat mengenai program jampersal dan jamkesmas, mengidentifikasi fasilitas kesehatan apa yang biasa dipakai oleh masyarakat miskin dan hampir miskin, mengeksplorasi konsep sehat dan saki di masyarakat, mengidentifikasi kualitas pelayanan kesehatan yang sering dipakai oleh masyarakat miskin dan hampir miskin.

Daerah penelitian dilakukan dua provinsi yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Sumba Barat Daya, Flores Timur, Ngada dan kabupaten Timor Tengah Utara); dan Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Sampang, Bangkalan, Situbondo, dan Kabupaten Bondowoso)

Metode untuk penelitian ini menggunakan dua fase yaitu kualitatif dan kuantitatif. Untuk metode kualitatif penelitian ini menggunakan berbagai tekhni, antara lain; Focus Group Discussion (FGD) dan indepth interview dengan berbagai kalangan responden.

Hasil kualitatif memperoleh data yang beraneka ragam mengenai persepsi sehat dan sakit untuk orang dewasa dan anak-anak. Masyarakat mempunyai konsep sehat yang sakit yang sederhana yang didasarkan pada ada atau tidaknya rasa sakit di badan serta gangguan fungsi tubuh yang dirasakan mengganggu. Untuk penggunaan fasilitas kesehatan kebanyakan masyarakat sudah menggunakan fasilitas kesehatan medis (puskesmas dan jajarannya, rumah sakit). Pelayanan kesehatan swasta yang sering dimanfaatkan adalah mantra, Bidan Praktek Swasta, BKIA dan Dokter praktek Swasta dengan berbagai macam alasan. Banyak masyarakat yang menyatakan karena jaraknya relative dekat, bisa dimanfaatkan pada sore hari, mau dipanggil ke rumah, dan ada unsure kecocokan. Namun juga ada yang menggunakan pengobat tradisional ataupun melakukan pengobatan sendiri (dengan beli obat sendiri di apotik, toko obat). Untuk pola pencarian pelayanan kesehatan pada sarana pengobatan modern di masyarakat sebagian besar sudah mengikuti sistem rujukan berjenjang.

Perilaku kesehatan ibu saat hamil sudah menunjukkan kondisi yang baik, karena ibu hamil sudah terbiasa melakukan ANC di bidan dengan frekuensi yang teratur. Sebagian besar ibu bersalin ditolong oleh bidan dengan tempat persalinannya masih banyak yang dilakukan di rumah penduduk. Dikarenakan kurang pengetahuan mengenai kondisi akan melahirkan. Program jamkesmas sudah sangat dikenal oleh masyarakat sebagai kartu berobat gratis, tetapi program Jampersal belum banyak dikenal (masyarakat hanya mengetahui mengenai ada program periksa hamil dan melahirkan gratis).

 

Reportase sesi 3.4

Sesi 3.4

Makalah Bebas Kelompok Pembiayaan dan Anggaran


 

Waktu: 15.30 – 17.00

Sesi ini dibuka dengan penyajian hasil penelitian dari Dudung Abdul Malik mengenai Implementasi Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Di Puskesmas Kabupaten Kuningan Tahun 2011—2012. Kajian ini sebenarnya ingin menjawab pertanyaan kritis yang ada, yaitu Bagaimana implementasi kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) di puskesmas Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat Tahun 2011—2012?. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan wawancara mendalam, telaah literature terkait buku bacaan, peraturan perundang-undangan, jurnal dan laporan. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterbatasan penelitian yang meliputi tujuan analisis dalam penelitian terbatas pada menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan BOK di puskesmas Kab. Kuningan tahun 2011 - 2012, Penentuan puskesmas lokasi penelitian bersifat subjektif karena ada > 2 puskesmas dengan angka yang sama, Pencapaian cakupan SPM bidang kesehatan oleh puskesmas tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dana BOK semata dan terjadinya 3 kali pergantian Kadinkes dan PPK BOK dalam rentang tahun 2011—2013. Diakhir penyajian, penyaji memberikan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan yang prinsif dalam implementasi kebijakan (puskesmas dengan SPM tinggi maupun rendah baik ditinjau dari staf meeting, inisiatif yang kreatif, rakor yandu dan estimasi sasaran program.

Penyaji kedua menyampaikan hasil penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2011 yang disampaikan oleh Rita Nurcahyani dari FK, IKM Universitas Padjajaran. Kajian ini dilatarbelakangi oleh Masalah pembiayaan kesehatan daerah yait keterbatasan biaya operasional pelayanan kesehatan (puskesmas), Dukungan pemerintah pusat untuk meningkatkan fungsi puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), BOK tahun 2010 : 226 M (bantuan sosial) langsung ke rekening kepala puskesmas dan BOK tahun 2011: 904,5 M (Tugas Pembantuan) disalurkan ke pemerintah daerah Kab/Kota (Dinas Kesehatan). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui output dari pelaksanaan BOK di pusk (hasil cakupan program) sebelum dan sesudah ada dana BOK dan mengeksplorasi implementasi kebijakan BOK dari unsur input dan process serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Dari hasil kajian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kebijakan BOK termasuk good policy, hal ini dapat dilihat dari tujuan dan ukuran kebijakan tersebut realistis dan berada di tingkat pelaksana kebijakan, tetapi dalam implementasinya termasuk dalam unsuccesfull implementation karena tidak berdampak pada peningkatan cakupan program puskesmas secara signifikan, Kebijakan BOK tidak berdampak pada peningkatan cakupan program puskesmas secara signifikan karena belum maksimalnya dukungan input yang berdampak pada tahap proses, Ketidaksiapan SDM adalah unsur input yang sangat memengaruhi implementasi kebijakan BOK

Reportase sesi 3.3D

SESI 3.3D

MAKALAH BEBAS KEBIJAKAN SDM DAN ORGANISASI SERTA
KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN LINGKUNGAN


Waktu 13.30 – 15.00

Penyaji pertama pada sesi ini memaparkan mengenai Pengelolaan Limbah Medis Padat Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Rumah Sakit Dalam Perlindungan Kesehatan Lingkungan Pada RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang oleh Appolonari Berkanis. Latar belakang dari penelitian ini adalah merujuk pada penyelenggaraan rumah sakit yang merupakan salah satu bentuk pembangunan di bidang kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan rumah sakit bertujuan memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit. Rumah sakit dikenal dengan trias padat, yaitu padat tenaga, padat modal dan pada masalah. Rumah sakit di Indonesia telah melaksanakan manajemen pengelolaan limbah padat medis dengan baik hanya 26,43%. Fakta yang terjadi di Kupang adalah Menggambarkan pengelolaan limbah rumah sakit di Kota Kupang masih jauh dari yang diharapkan. Penelitian yang dilakukan adalah Untuk menggambarkan pengelolaan limbah medis padat sebagai bentuk tanggung jawab rumah sakit dalam perlindungan kesehatan lingkungan pada RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perda Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup dan Pergub Nusa Tenggara Timur Nomor : 04 Tahun 2010 tentang Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. Beberapa hambatan dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, yaitu Belum ada regulasi khusus tentang pengelolaan limbah rumah sakit, Petugas belum maksimal melakukan pemilahan limbah medis, Perlindungan kepada petugas kebersihan belum maksimal khususnya kelengkapan kerja, Penyediaan kantong plastik limbah masih kurang, Pengangkutan limbah ke TPA menggunakan truk sampah yang terbuka. Dari hasil penelitian ini, maka untuk kebijakan kepada arah perbaikan adalah disarankan kepada pemerintah Provinsi NTT adalah perlu menyusun perda atau pergub tentang pegelolaan limbah rumah sakit, sedangkan dari aspek manajemen rumah sakit umum daerah adalah Memberikan reward dan sanksi bagi petugas serta ruangan

Penyaji kedua menyampaikan hasil penelitian dengan judul Aplikasi Agency Theory Dalam Inisiatif Institution-Based Contracting Out Di Berau, Nias, Dan NTT yang dipaparkan oleh Dwi Handono S. penelitian ini dilator belakangi karena kelangkaan, ketidakmerataan dan ketidaksinambungan tenaga kesehatan yang tidak terpecahkan, sehingga dicoba suatu inovasi yang dari system kontrak berdasarkan individu, kemudian menjadi kelompok hingga kearah berdasarkan lembaga. Oleh karena itu, perlu adanya bukti efektifitas dari program ini. Tujuan yang ingin dicapai secara umum adalah mengevaluasi efektivitas institution-based contracting out dengan pendekatan tim dalam meningkatkan kinerja sistem kesehatan dan status kesehatan di Kabupaten Berau (Propinsi Kalimantan Timur), RSUD Gunungsitoli (Kabupaten Nias, Sumatera Utara), dan 6 RSUD Kabupaten (Timor Tengah Selatan, Sumba Barat, Flores Timur, Lembata, Ende, Bajawa) di Propinsi NTT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Inisiatif institution-based contracting out dengan pendekatan tim dapat mengatasi kelangkaan tenaga kesehatan tertentu, dan meningkatkan kinerja sistem kesehatan (khususnya akses dan kualitas pelayanan) di NTT dapat menurunkan jumlah kematian ibu, neonatal, dan kasus IUFD. Dari perspektif Agency Theory, kegagalan inisiatif di Berau merupakan bentuk keberhasilan principal dalam mengelola masalah agency sebelum kontrak (masalah adverse selection) meskipun dengan konsekuensi program dibatalkan. Sedangkan keberhasilan inisiatif di Nias dan NTT, merupakan bentuk keberhasilan principal dalam mengelola masalah agency baik sebelum (masalah adverse selection) maupun saat kontrak berjalan (masalah moral hazard). Berdasarkan kesimpulan yang didapat, diberikan saran terkait isu regulasi, yaitu jenis usaha, Kontrak: Mekanisme lelang; multiyear, Pengelolaan keuangan: mitigasi risiko serta Provider asing.

Sesi dilanjutkan dengan pemaparan oleh Ferry Efendi dari Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang menyajikan hasil kajiannya dengan judul Intervensi Kebijakan Yang Memiliki Dampak Jangka Panjang Terhadap Retensi Tenaga Kesehatan Di Daerah Terpencil: Sebuah Tinjauan Sistematis. Latar belakang dari kajian ini adalah Indonesia merupakan salah satu dari 57 negara mengalami krisis tenaga kesehatan (WHO, 2006). Kekurangan tenaga kesehatan terbesar di Asia Tenggara, didominasi oleh India, Banglades dan Indonesia (Mario Dal Poz, 2006), dan Kekurangan tenaga kesehatan semakin besar didaerah terpencil. Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah Menganalisis berbagai intervensi kebijakan yang memiliki dampak jangka panjang terhadap retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil sedangkan manfaat yang diharapkan adalah Memberikan informasi kepada pembuat kebijakan untuk mempertahankan tenaga kesehatan sesuai waktu ideal guna bekerja di daerah tertinggal. Dari hasil kajian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan dan rekomendasi kebijakan yang sesuai adalah retensi merupakan isu kompleks yang memerlukan pendekatan multidimensional. Strategi retensi yang efektif memerlukan kerjasama lintas sektor dengan tidak hanya memperhatikan tenaga kesehatannya saja tetapi juga lingkungan sekitar, perlu aturan tersendiri terkait dengan retensi diterapkannya kebijakan afirmatif pada semua sekolah kesehatan yang mencetak tenaga kesehatan, dikembangkannya jenjang karir yang jelas bagi tenaga kesehatan di daerah terpencil, dan penelitian lebih lanjut terkait dengan lama masa kerja tenaga kesehatan di daerah terpencil (juga dampak terhadap derajat kesehatan) serta preferensi yang membuat mereka bertahan atau memilih bekerja disana.

Penyaji keempat menyampaikan hasil penelitiannya dengan judul Implementasi Kebijakan

Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws) Di Rsud Prof.Dr.M.Ali Hanafiah Sm Batusangkar Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013 yang disajikan oleh Indra Darmanto. Studi ini latarbelakangi oleh karena belum diketahuinya jumlah rumah sakit yang telah menjalankan kebijakan HBL (Kemenkes dan Dinkes Provinsi Sumbar) serta peraturan dan dokumen kebijakan yang ada belum sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah (Direktur dan Kabid Pelayanan RSUD Prof.dr.M.A.Hanafiah SM Batusangkar). Implementasi kebijakan Peraturan Internal Rumah Sakit (HBL) belum berjalan secara optimal dan mengkaji lebih dalam penyebab belum terlaksananya kebijakan tersebut dilihat dari beberapa faktor yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Berdasarkan latarbelakang yang ada, maka muncul pertanyaan kritis yaitu, Bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Internal Rumah Sakit (HBL) ditinjau dari faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi dan perspektif hukum normatif di RSUD Prof.Dr.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar Provinsi Sumatera Barat tahun 2013?. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik dari informan adalah terdiri dari 11 orang unsur pemilik, pengelola, dan staf medic dengan instansi, jabatan, umur, pendidikan dan masa jabatan yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Komunikasi kebijakan HBL belum berjalan karena belum ada sosialisasi, perbedaan persepsi, dan pemahaman anta aktor tentang kebijakan HBL, serta anggapan yang menyatakan kebijakan hBL adalah kebijakan teknis; Ketersediaan sumber daya dalam implementasi HBL sangat kurang karena tidak ada SDM dengan latar pendidikan Hukum/Hukum Kesehatan, instrumen kebijakan belum didistribusikan, serta ketidakjelasan pembagian wewenang; Tidak ada upaya konkret sebagai wujud komitmen pengelola rumah sakit untuk implementasi kebijakan HBL; Struktur birokrasi tidak mencerminkan implementasi HBL (ex: tidak ada dewan pengawas) dan menimbulkan keraguan dalam proses koordinasi

Sesi ditutup dengan presentasi dari Lindawati Wibowo dari Seameo Recfon yang menyampaikan hasil penelitian dengan judul Antara Peraturan dan Realita: Sudahkah Ditelaah sebagai Relativitas? Studi kasus Program Bidan Desa (PBD) di tingkat kabupaten. Tujuan dari studi yang dilakukan ini adalah untuk menelaah kebutuhan akan bidan dan fasilitas kesehatan sebagai input utama program bidan desa relatif terhadap peraturan yang terkait (Pendekatan dengan evaluasi partial: jika satu komponen esensial program tidak "berfungsi", maka dapat dikatakan bahwa program secara keseluruhan juga belum berjalan secara optimal). Metode yang digunakan adalah Studi programmatic dengan pendekatan kuantitatif (survei) dan kualitatif (wawancara mendalam, telaah dokumen) untuk pengumpulan data Dilakukan sebagai bentuk kolaborasi antara SEAMEO RECFON dengan WVI. Subyek wawancara: ibu bayi 0-3 bulan, bides, kepala desa, staf Puskesmas, dan Dinkes Kab Nias. Telaah dokumen dilakukan melalui peraturan-peraturan terkait PBD termasuk turunannya. Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini adalah ada indikasi over-simplifikasi terhadap permasalahan program yang semata dinilai karena kekurangan dana/materi, SDM, atau peraturan beserta turunannya, sementara solusi thd permasalahan inti dirasa kurang tepat karena adanya masalah pada monitoring sistem yang kurang optimal dalam mendeteksi, mendokumentasi, dan merespon masalah yang sebenarnya, Dukungan manajemen, baik dari sektor kesehatan maupun dari sektor lain, untuk mendeteksi dan merespon masalah secara cepat tepat dan Tidak adanya sistem reward-saction yang jelas. Saran kritis dari kajian ini adalah hasil studi di kabupaten Nias ini tidak untuk digeneralisir sebagai keadaan yang terjadi di semua kabupaten di Indonesia, bahwa pendekatan yang cukup sederhana (rapid appraisal atau partial evaluation) dapat digunakan untuk menguji feasibilitas suatu peraturan dalam implementasinya, dan sebagai langkah awal, diharapkan adanya proses capacity building untuk stakeholder program di tingkat kabupaten ke bawah untuk mampu melaksanakan evaluasi cepat guna menjawab permasalahan program atau memberikan asupan untuk telaah peraturan-peraturan yang ada

  • angka jitu
  • togel 4d
  • agen togel
  • slot 4d
  • bandar toto 4d
  • togel 4d
  • togel online
  • rajabandot
  • slot gacor
  • toto macau
  • toto macau
  • situs toto
  • situs slot
  • rtp live slot
  • toto slot
  • bandar slot
  • toto macau
  • bandar togel online
  • togel online
  • togel sdy
  • togel online
  • toto macau
  • hongkong lotto
  • hongkong lotto
  • situs slot
  • slot gacor
  • bandar slot 4d
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • bandar slot gacor
  • bandar togel 4d
  • wengtoto
  • toto hk
  • slot dana
  • hk lotto
  • toto sdy
  • slot gacor
  • slot 5000
  • toto slot
  • toto macau
  • slot thailand
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • Bandar Slot
  • bandar slot gacor
  • toto slot
  • slot qris
  • slot toto 4d
  • Toto Togel 4D
  • sdy lotto
  • bola gacor
  • toto hongkong
  • toto slot
  • slot 5000
  • slot 5000
  • toto togel
  • slot 5000
  • slot 5000
  • slot 5000
  • situs toto
  • toto macau
  • slot 5000
  • toto slot
  • bandar togel
  • slot 5000
  • toto macau
  • toto macau
  • bandar slot
  • BATASRAJABANDOT
  • slot 777
  • slot gacor
  • slot gacor
  • situs slot
  • situs slot
  • Situs Slot Gacor
  • Slot 88
  • situs slot gacor 88
  • Bandar Situs Slot Gacor
  • bokep
  • Slot Demo
  • situs togel
  • permainan slot
  • dewa slot
  • agent slot
  • slot toto
  • slot gacor
  • toto slot
  • toto slot
  • slot gacor
  • slot gacor
  • https://heylink.me/iblbettotoslot
  • slot88
  • situs toto
  • polototo
  • slot 5000
  • slot 5000
  • togel online
  • slot 5000
  • scatter hitam
  • slot online
  • slot online
  • slot gacor
  • situs toto
  • agen slot 5000
  • bandar togel online