Reportase kelompok AIDS - 6 September
Apakah Perlu Ada Jaringan untuk Kebijakan AIDS?
Diskusi JKKI Kelompok AIDS
Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Kelompok AIDS merupakan kelompok yang baru terbentuk pada Forum Nasional Kebijakan Kesehatan keempat tahun 2013 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Menurut Praptoraharjo, terbentuknya kelompok ini untuk merespon epidemi HIV/AIDS di Indonesia dan kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Dalam diskusi perdanananya pada Jumat, 6 September 2013 yang bertempat di Hotel On The Rock, Kupang, kelompok ini akan membahas dua hal penting dari sisi konteks kebijakan dan pemerintahan. Konteks kebijakan selama ini melihat seberapa jauh kebijakan sudah merefleksikan nature of the disease, dimensi sosial, politik, ideologi, serta kecenderungan epidemiologi AIDS berlandaskan kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Dari sisi pemerintahan, kelompok AIDS akan melihat bagaimana kepemimpinan dalam pengembangan dan implementasi kebijakan dan program ini bagaimana peran kelembagaan, kejelasan peran dan konteks desentralisasi, apakah ada sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan, bagaimana mengintegrasikan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang ada dengan mempertimbangkan sifat dari penyakit, serta melihat partisipasi, akuntabilitas dan transpirasi.
Rangkuman sesi Kelompok AIDS sebelumnya, yaitu (1) melihat seberapa jauh pemanfaatan bukti untuk mengembangkan kebijakan, (2) melihat pembiayaan, adanya isu layanan (stigma dan diskriminasi, rendahnya efektivitas strategi program), adanya missed opportunity (diagnosis, perawatan/terapi dini, akses dukungan sosial), terbatasnya akses dan utilisasi terhadap layanan (LASS, TRM, VCT, dan ART), logistik dan SDM yang kurang memadai, jejaring dan rujukan antar layanan, kualitas layanan dan kebijakannya, dan mitigasi dampak program perlindungan sosial dalam respon nasional untuk penanggulangan HIV.
Prof. Laksono membuka diskusi dengan pertanyaan Apakah AIDS merupakan bagian dalam sistem kesehatan? Marguari (Spiritia) menjawab dengan pasti bahwa AIDS tidak akan lepas atau keluar dari sistem kesehatan. Saat ini memang AIDS menjadi bagian dari sistem kesehatan, tetapi belum sempurna jika dilihat dari faktor-faktor lain yang secara tidak langsung bersinggungan dengan isu ini, misalkan adanya faktor sosial, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi.
Utomo (HCPI) menanggapi pertanyaan tersebut dengan perlunya menyepakati framework untuk diskusi sehingga relevan dengan isu utama yaitu mencari gap antara framework dengan implementasi (realita) yang ada. Dari bidang kesehatan masyarakat perlu dilihat sisi kebijakan, bagaimana konteksnya, dan penganggaran, dengan tujuan untuk mengurangi epidemi yang ada. Tentu saja ada framework kesehatan masyarakat yang akan dibuat, tetapi ini merupakan diskusi awal untuk membangun sinergi antara kelompok kebijakan dan kelompok AIDS, jelas Trisnantoro. Hasil kebijakan AIDS lebih maksimal jika ditangani oleh orang AIDS yang diberikan penjelasan tentang kebijakan, bukan sebaliknya.
Sistem kesehatan AIDS melihat fungsi dalam sistem dari setiap komponen sistem, sebagai contoh KPA menjalankan fungsi regulasi atau sebagai penyusun kebijakan, Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan menjalankan fungsi pemberi dana, Rumah Sakit dan Puskesmas sebagai pelaksana kegiatan, LSM dan organisasi lainnya bergungsi untuk pengembangan SDM. Jika melihat fungsi dan komponen sistem tersebut maka jelaslah pembagian peran dari masing-masing komponen dan meninjau kompetensi staf dari setiap komponen.
Dr. Andri menanggapi, perusahaan swasta perlu menjadi komponen karena mempekerjakan buruh. Dalam hal ini buruh dianggap sebagai populasi berisiko karena menjadi pelanggan Wanita Penjaja Seks (WPS). Kementrian Tenaga Kerja sudah termasuk dalam komponen sistem, namun hingga saat ini implementasi dinilai belum berjalan optimal. Marguari menanyakan apa yang dimaksud dan menjadi kriteria komponen? Menurutnya, ada banyak faktor yang mempengaruhi sistem sehingga komponennya menjadi lebih sederhana. Tentu saja semakin banyak aktor yang berperan akan semakin banyak pula komponen dalam suatu sistem, lanjut Trisnantoro. Menurut Naomi (Ikatan Perempuan Positif Indonesia-IPPI) dan Aldo (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia-OPSI) dalam sistem kebijakan kesehatan AIDS perlu dimasukkan komponen ODHA dari berbagai kelompok, misal pengguna narkoba, gay, dan waria.
Dalam diskusi juga membahas tentang kerancuan fungsi antara stakeholder dalam implementasi program AIDS. Marguari menanyakan secara spesifik kerancuan itu seperti apa, karena rancu bukan dipahami sebagai tidak menjalankan fungsi secara optimal. Bukan kerancuan yang terjadi, tapi tidak menjalankan secara optimal. Lihat saja peran KPA sebagai pembuat kebijakan, yang memobilisasi sumber dana, dan menjalankan fungsi lainnya, terimplementasi iya, tetapi yang menjadi pertanyaan sudah optimalkah implementasi tersebut.
Isu selanjutnya dalam diskusi terkait fungsi KPA yang kadang dapat tumpang tindih dengan Kemenkes. Argumentasi dari Utomo menyatakan bahwa keduanya (KPA dan Kemenkes) mempunyai terminologi yang sama yaitu sebagai pemangku kepentingan. Banyak cara membangun framework. Usulan program seharusnya memiliki tiga fungsi pokok; pengembangan kebijakan (regulasi), jaminan pelaksanaan (perencanaan, pendanaan, kelembagaan dalam konteks pelaksanaan), dan fungsi assesment. Ketiga fungsi tersebut bukan hanya sekedar list tetapi perlu dilengkapi akses vertikal, misal nasional ke tingkat provinsi kemudian ke kabupaten/kota. Keduanya harus sepakat memetakan pemangku kepentingan, bagaimana tanggung jawab, dan secara kelembagaan bagaimana menjalankan peran dari masing-masing. Kalau ada overlapping itulah yang menjadi masalah yang kita temui, sedangkan tujuan program HIV/AIDS ialah perubahan perilaku dan perubahan epidemi yang secara anatomis terbagi tiga, yaitu epidemi dan perilaku, layanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), services (pengobatan dan lainnya), serta kelembagaan. Khoirun (FKM Universitas Jember) membenarkan isu overlapping dengan melihat realita di lapangan selama ini dimana pelaksana tatanan kebijakan merupakan sesuatu yang diatas, tidak dalam tatanan pelaksana sehingga overlapping dipastikan selalu terjadi. KPAD dan LSM harusnya sejajar, KPA menjadi motor dan koordinator dari semua kegiatan HIV/AIDS, Dinkes menjalankan fungsi pemeriksaan dan pengobatan, dan LSM sebagai pelaksana. Bupati, dari struktur organisasi ditempatkan sebagai ketua seringkali sulit ditemui dan tidak bisa hadir dalam setiap pertemuan koordinasi dan evaluasi antara anggota dalam struktur KPAD, sehingga patut dipertanyakan bagaimana bupati sebagai ketua dapat menjalankan fungsi dan perannya seperti yang diamanatkan.
Apakah selama ini ada acuan seperti itu dan setiap individu yang berperan harus menjalankannya? Marguari, Khoirun, Tappy (FKM Universitas Cendrawasih), Aldo, dan Naomi merespon pertanyaan tersebut dengan melihat kesesuaian dengan poin-poin dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Selanjutnya, USU mempertanyakan kejelasan implementasi Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT) di lapangan seperti yang pernah dialami saat melalukan penelitian, dimana seharusnya melakukan PMTCT, di Seksi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) atau Seksi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)? Sistem yang diatur dalam Permenkes belum terimplementasi di dinas. Pembagian peran sudah lebih rapih tetapi kemudian yang menjadi masalah ialah tidak adanya wewenang KPA di daerah untuk membuka KPA baru di tingkat kabupaten/kota, ibarat pepatah 'hidup segan mati tak mau'. Isu yang menjadi fokus saat ini terletak pada keseriusan pemimpin di daerah untuk menanggapi epidemi HIV/AIDS di daerahnya. Utomo menyepakati perlunya kejelasan lebih lanjut tentang fungsi KPA di daerah dan dinas, yang mana peran koordinasi dan untuk menggerakkan menjadi tanggung jawab KPA, tetapi karena satu dan lain hal, keduanya tidak sejalan. Mengapa bupati yang ditunjuk sebagai ketua dalam organisasi KPAD, jawabannya tentu berkaitan erat dengan kekuasaan (power) untuk menjalankan program HIV/AIDS di daerah. Jika representasi dari masing-masing bidang sering tidak hadir saat pertemuan KPA menandakan peran fasilitasi tidak berjalan maksimal. Menurut Universitas Udayana fungsi dan peran struktur organisasi KPA hadir karena peran dari lembaga donor (dukungan dana Global Fund). KPA tidak punya power untuk menyarankan hal tertentu kepada SKPD begitu pula sebaliknya, sehingga pada akhirnya fungsi dan peran keduanya tidak berjalan secara maksimal karena tidak mempunyai kekuasaan. Dampak desentralisasi di daerah menjadikan kekuasaan dipegang sepenuhnya oleh pimpinan dari masing-masing kota, jika bupati memiliki komitmen tentu saja peran KPAD berjalan maksimal. Universitas Udayana juga membenarkan adanya overlapping peran dan fungsi dari KPA dan Dinas. Realita yang ada KPA menjadi regulator sekaligus juga menjadi implementor sebagai tuntutan HCPI atau GF.
Laksono mengemukakan, idealnya sebuah sistem menghasilkan outcome dari fungsi-fungsi yang ada, fungsi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan assessment. Kebijakan operasional seperti obat yang langung dikonsumsi juga merupakan kebijakan sistem. Diluar konteks AIDS sesuai pengamatan Marguari, tiga hal yang perlu digaris bawahi dalam kebijakan pemerintah: (1) peningkatan pagu anggaran kesehatan sebagai salah satu sumber dan masalah yang besar, (2) kebijakan desentralisasi tidak berimplikasi positif pada HIV/AIDS, (3) secara multisektoral pemerintah tidak punya mekanisme pada masyarakat kecil terkait donasi sosial sehingga tidak mampu mengakomodir secara berarti.
Selama ini peran KPA hanya sebatas day to day activity untuk sekrtetariat KPA. Pernahkah dilakukan studi mendalam sebagai sejarah hadirnya KPA? Irwanto menjelaskan ditahun 1988 HIV muncul di seluruh dunia yang mana epideminya terjadi pada homoseksual sehingga berimplikasi pada keputusan-keputusan selanjutnya. Pada waktu itu adanya dokumen kecil, adanya orang hukum dan hankam sudah dianggap cukup karena membutuhkan respon yang sangat cepat. Respon tersebut tidak hanya berlaku untuk sektor kesehatan saja, namun kenyataannya tidak diimplementasikan karena semua orang takut dikotori oleh stigma karena pasien yang ditemukan lebih banyak dari homoseksual. Respon awal sangat mewarnai komisi 1988 sehingga baru diresmikan tahun 1999.
Isu selanjutnya adalah kasus AIDS dianggap sebagai kecelakaan sejarah, itu given. Menurut Irwanto infectious disease jarang dilihat dalam sistem, jangan sampai kena populasi general, masih saling menuding siapa yang salah, sehingga implikasinya cara berpikir masih terbawa secara historis. Populasi yang termarginalisasi merupakan populasi berisiko. Paradigma yang disusun secara sistematik mengelompokkan AIDS sebagai kelompok penyakit tersebut.
Perbaikan kebijakan diluar AIDS dilihat melalui pisau kebijakan, misal 'KPA is the part of the problem'. Universitas Hasanudin (Unhas) menanggapi dengan menjelaskan bahwa process involuntery of marginalization, kurang populasi yang ingin dimarginalisasi. Turunan dari KPA ke bawah yang harus membahas isu AIDS dan menjadikan isu populer. JKKI dalam forum riset perlu melihat bagaimana sosialisasi process involuntery of marginalization yang tidak memiliki masalah dan prominent. Isu marginalisasi berawal dari peneliti. Isu ini tidak pernah muncul sebelumnya, karena hanya sebagai pandangan konservatif yang sangat tidak berdasar. Indonesia perlu mencontoh negara lainnya yang berhasil mengatasi HIV dengan perspektif isu marginalisasi.
JKKI Kelompok AIDS perlu memahami betul aspek historis tadi, termasuk bagaimana perkembangan selama 25 tahun implementasi kebijakan HIV/AIDS. Diskusi ini menjadi dasar untuk melihat sistem kesehatan AIDS dalam kerangka kebijakan awal. Utomo membenarkan hal tersebut karena hub dan respon pemerintah dalam HIV/AIDS sangat diperlukan, berbicara soal respon, pemerintah Indonesia cukup cepat melaksanakannya. Bukti dapat dilihat berapa banyak terbitan Surat Keputusan (SK) Pemerintah sebagai bentuk respon, namun praktek di lapanganlah yang menjadi pertanyaan besar. Anehnya lagi dalam SK ditemui banyak pasal-pasal yang tidak sesuai karena tidak ada tenaga kesehatan masyarakat yang berhak mendapat kompensasi untuk mendapatkan pelayanan. Undang-undang banyak hadir disebabkan kecelakaan sejarah. Dugaan Trisnantoro, konflik yang ada saat ini merupakan bawaan masa lalu.
Riyadi (PKBI Pusat) mempertanyakan fokus JKKI, apakah nantinya akan membahas kebijakan, karena kebijakan merupakan sesuatu yang abstrak. Selama ini program HIV lebih banyak berbasis donor response, bukan problem response. Irwanto menanggapi mengapa tidak ada respon dari Indonesia, karena masih ada marginalisasi terhadap kelompok berisiko. Contoh riil, kasus pelemparan sebuah rumah hanya karena ada anak di rumah tersebut yang terinfeksi HIV.
Kesesuaian konteks kebijakan epidemi HIV/AIDS antara 20 tahun yang lalu dengan sekarang menjadi poin diskusi selanjutnya. Thailand berhasil menerapkan kebijakan kondom 100%, Indonesia sulit mengimplementasikan best practice kebijakan kondom tersebut karena toleransi agama yang tinggi dan adanya kelompok penentang kebijakan (misal Forum Pembela Islam-FPI) yang perlu diperhitungkan untuk mendukung kebijakan.
Tahapan perbaikan kebijakan AIDS di Indonesia diawali ide, pilot, kemudian merumuskan naskah akademik kebijakan, melalui proses legislasi, implementasi kebijakan, mengevaluasi kebijakan serta merumuskan rekomendasi untuk perubahan kebijakan. Di level mana kebijakan akan diimplementasikan juga perlu ditentukan, apakah di tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten. Maukah setiap peserta diskusi yang hadir masuk dalam JKKI Kelompok AIDS? Marguari secara prinsip mendukung, perlu digarisbawahi keikutsertaan itu perlu minat. Isu kebijakan adalah isu hulu yang nantinya berimplikasi terhadap network, tidak hanya pada kacamata HIV. Lintas aspek yang lain sangat penting. Apakah ada kemajuan selama ini? Contohnya saja obat dapat diperoleh di tempat layanan, program ada dimana-mana, penjangkauan bisa dilakukan, tapi bagaimana dengan perubahan perilaku? Kuncinya tetap satu, perubahan perilaku. Berapa persen orang yang pakai kondom. Di luar forum kebijakan, bagaimana perubahan perilaku yang ada? Komunitas tetap bisa berjalan tanpa ada donor. Local ownership dari masing-masing daerah harus tinggi.
Trisnantoro menanggapi bahwa analisis kebijakan publik membandingkan dulu dan saat ini. Pendekatan yang digunakan dalam analisis kebijakan merupakan bagian desentralisasi melihat jaringan AIDS di pusat, jaringan AIDS di provinsi, jaringan AIDS di 82 kabupaten/kota. Analisis kebijakan dinamis karena melihat proses implementasi kebijakan yang dinamis.
Universitas Atma Jaya Jakarta (UAJJ) merespon terkait poin diskusi pendekatan yang akan digunakan JKKI Kelompok AIDS apakah menggunakan pendekatan hulu (sisi promotif dan preventif) atau hilir (sisi kuratif dan rehabilitatif), di hilir hanya dokter yang berperan, pendamping layanan dan LSM pun bagian dari hilir. Kemenkes dituntut membuat kebijakan yang sesuai dengan tanggung jawabnya. Selama ini rujukan sudah didisain tetapi apakah konteks berjalan baik perlu ditanyakan menurut Marguari.
JKKI mencakup berbagai macam jaringan. Bagaimana komitmen para pemimpinnya untuk melakukan kegiatan jejaring? Apakah bisa kerja sama? Sugiharto (Persaudaraan Korban Napza Indonesia-PKNI) memberi contoh best practice kerja sama lintas sektor dalam program rehabilitasi korban napza di Bogor. Harm reduction (HR) dalam rehabilitasi mengadopsi Behavior Drug Reduction Counselling (BDRC) yang membolehkan pasien panti rehabilitasi memakai narkoba selama proses rehabilitasi berjalan. Pasien diminta mengisi kapan waktu pakai, jam berapa, berapa rupiah yang dikeluarkan, dimana atau kemana pakai, dan semuanya harus dilaporkan kepada konselor. Program itu terbukti berhasil dalam penelitian, dan menjadi inovasi dibidang program HR. Selain itu program didukung polisi setempat, jika ditemukan pasien rehabilitasi tidak akan ditangkap tapi dikembalikan ke panti.
Sistem rusak 'mendirikan benang basah'. Contoh kasus di Kabupaten Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta seperti hasil penelitian LSM IDEA yang diungkapkan Wijiyati, dengan melihat bagaimana politik anggaran di DIY, ditemukan ada yang salah. Orang-orang dalam struktur organisasi di KPA sebaiknya paham dan mengambil peran untuk melaksanakan kebijakan. Temuan di lapangan banyak SKPD yang tidak mengetahui AIDS sehingga implementasi kebijakan tidak optimal. Catatan kemudian, 'hadirnya SDM makin memperparah implementasi kebijakan'. Perlu dilihat lagi kebijakan yang ada dan siapapun bisa mengingatkan.
Kebijakan logis, politik lah yang tidak logis. Masyarakat ingin action sehingga menurut Marguari perlu didesain rencana ke depan. Saat menetapkan desain dikaitkan dengan tata pemerintahan karena hal tersebut sangat signifikan melakukan perubahan kebijakan. Bagaimana perubahan kepemimpinan. Dominan dalam masa kepemimpinan. Perlu memperhitungkan dalam proses untuk bersinggungan karena unpredictable, misalkan apa yang akan terjadi dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), perlu juga mempertimbangkan apa yang terjadi. Kepala dinas dalam struktur organisasi KPA merupakan political position. Unhas menambahkan, what works is not working dan tidak berjalan tidak popular.
Ada dua hal yang perlu dilihat, yaitu memahami symptom melihat dari seluruh konteks dan meneruskan diskusi mailing list atau pertemuan di tingkat kota atau masyarakat. Ada agenda yang sudah dilkeluarkan untuk memantau kebijakan yang sudah ada dan apa saja yang perlu dikembangkan yaitu pada pertemuan tahun depan di Bandung. Temuan-temuan dan perkembangan kebijakan di daerah kita masing-masing akan disampaikan dalam forum selanjutnya.
Refleksi kebijakan selama 25 tahun berjalan harus dilakukan menurut Irwanto, dengan melihat apa dampak terhadap epidemi dan perilakunya, harus bekerja sama dengan posisi yang berbeda. Realita yang ada masing-masing sibuk melihat diri dan program sendiri. Setiap orang harus menjadi bagian dari solusi, bukan dari masalah, mencari apa solusi yang bisa ditawarkan. Apakah selama ini kebijakan menjadi stagnan? Setiap pihak perlu merekonstruksi solusi beneficiaries, menolong orang-orang ke dalam mainstream, menghormati mereka terlebih dahulu, jadikan sebagai keluarga besar, harus bisa komunikasi dengan baik. Dibalik semuanya itu, dituntut semangat baru untuk melihat policy untuk merusak virus. Virusnya akan kalah.
Kedepannya, ada media yang nantinya dapat terus membagi informasi, memberikan penyuluhan dalam strategi yang sangat berbeda. Tidak ada inisiatif tanpa ada duit dapat melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan memicu kegiatan AIDS di lapangan. Inisiatif lokal menjadi isu utama dalam diskusi ini.
Oleh: Sisilya Oktaviana Bolilanga, S.K.M., M.Sc.