Reportase sesi 12

 

Session Tittle:
Health Insurance Market in Developing Countries

 

 


Sesi : Asuransi di Pasar Negara Berkembang

Dalam sesi ini terdapat empat paper yang akan dipresentasikan, tetapi karena adanya kendala teknis, hanya 2 paper yang dipresentasikan, yaitu:

SESI 1: Apakah skema Asuransi mikro kesehatan dan asuransi kesehatan nasional bersama-sama bergabung untuk mencakupi sektor informal dan bergerak menuju cakupan kesehatan universal (Universal Health Coverage)?
Oleh: Christina Synowiec (Results for Development Institute)


Paper ini menjelaskan tentang mikroinsurance dan hubungannya dengan universal health coverage. Dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa cakupan kesehatan universal (UHC), atau "suatu sistem di mana setiap orang dalam masyarakat dapat mendapatkan layanan perawatan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa kesulitan keuangan," adalah bangunan di seluruh dunia, namun negara-negara menghadapi tantangan besar dalam memperluas cakupan ke sektor informal sektor. Sementara itu, asuransi mikro kesehatan (Health Mikro Insurance/HMI) yang sering dipimpin oleh badan swasta , telah berkembang secara bersamaan di tempat-tempat yang sama. Tapi itu belum mencapai skala, dan mengalami banyak hambatan, seperti menawarkan manfaat yang komprehensif, lintas-subsidi keberlanjutan keuangan yang sangat miskin dan jangkauannya. Kedua UHC dan asuransi mikro yang berjuang dengan cara yang berbeda, sayangnya, di sebagian besar negara mereka sebagian besar melanjutkan secara paralel, dengan berbagai kelompok pelaksana dan pendukung, meskipun memiliki tujuan yang sama.

Paper ini bermula dari hipotesis ada potensi kerja sama antara pemerintah dan microinsurers yang dapat membantu mengatasi masalah yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan nasional dan HMIs. Dibutuhkan pemahaman hubungan antara HMI dan UHC dengan mengembangkan kerangka kerja untuk bagaimana dua gerakan bisa maju bersama, mengidentifikasi dan mendokumentasikan contoh nyata yang menggambarkan hubungan ini, dan menganalisis kasus-kasus ini untuk mengekstrak pelajaran penting dan wawasan.

Temuan tulisan ini menunjukkan bahwa ada enam peran yang menggambarkan hubungan HMI untuk UHC: pengganti, demonstrasi, yayasan, kemitraan, tambahan, dan duplikatif, dengan peran yang diinginkan HMI bergeser dari waktu ke waktu. Tulisan ini akan membahas empat peran peran komplementer HMI melalui pengalaman 8 negara yang berbeda (Kamboja, Ghana, India, Yordania, Kenya, Filipina, Tanzania, dan Thailand). Dari contoh terkenal scalling up CBHI di Ghana, untuk bermitra dengan HMI di Kenya dan Filipina, untuk menguji kebijakan-kebijakan baru dan model operasional di India dan Kamboja, untuk inovasi organik di Tanzania.

Paper ini juga berbagi checklist bagi para pembuat kebijakan yang bergulat dengan tantangan meliputi sektor informal. Banyak pemerintah memulai gerakan mereka menuju UHC dengan terlebih dahulu meliputi sektor formal, kemudian menargetkan masyarakat miskin melalui subsidi, tetapi mereka yang tetap berada di tengah cenderung datang terakhir dan yang paling menantang bagi banyak negara miskin dan berkembang untuk mencakupi semua. Bahkan jika pemerintah tidak memiliki kapasitas untuk mencakupi ekonomi informal segera, penting bagi para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan di mana mereka berada di sepanjang perjalanan menuju UHC dan apakah HMI dapat membantu untuk mencapai tujuan mereka. Sebuah strategi nasional perlu secara eksplisit mengakui dan mengartikulasikan peran HMI dan pembuat kebijakan dapat belajar dari pengalaman negara lain.

Demikian juga Indonesia visi untuk mencapai Universal health coverage, bukanlah hal yang mudah. Pemerintah dapat bermitra dengan HMI untuk mencakupi sektor sektor informal yang tidak mudah di jangkau oleh pemerintah. Pemerintah dapat mempertimbangkan HMI sebagai sumber daya untuk inovasi dan pembelajaran, dan melanjutkan kemitraan dengan entitas yang dapat membawa ide-ide, keuntungan, efisiensi, dan pengalaman.

 

SESI 2: Implikasi dari perubahan bentuk imigrasi untuk mencakup asuransi kesehatan anak?
Paula Song (Ohio State University. Health Services Management and Policy)


Paper ini mencoba melihat cakupan asuransi kesehatan untuk anak dari keluarga imigran di Amerika Serikat. Dilatarbelakangi oleh tujuan penelitian kebijakan kesehatan AS yang sangat memeprtimbangkan cakupan asuransi kesehatan untuk anak-anak, meskipun kesenjangan yang signifikan dalam cakupan ada di antara anak-anak dalam keluarga imigran. Meskipun ACA memperluas cakupan asuransi kesehatan untuk orang dewasa dan anak-anak, tetapi gagal untuk mengatasi asuransi untuk imigran. Semakin kompleks, dalam kebijakan kesehatan imigran adalah ketika komposisi campuran keluarga imigran, di mana anak-anak sering memiliki kewarganegaraan AS, sementara orang tua mereka tidak. Makalah ini membahas peran imigrasi dalam menutupi kesenjangan cakupan untuk anak-anak. Secara khusus, makalah ini bertujuan untuk:

  1. mengidentifikasi pangsa anak yang tidak diasuransikan yang tinggal di keluarga imigran,
  2. menunjukkan peran kewarganegaraan anak dalam memperoleh cakupan, dan
  3. menggunakan teknik dekomposisi untuk mengidentifikasi pengurangan batas atas di tingkat asuransi anak jika anak-anak ini mendapatkan kewarganegaraan melalui tindakan legislatif.

Studi desain yang dipergunakan model probit status asuransi menggunakan data dari 2008-2011 Survei Masyarakat Amerika (ACS). ACS merupakan sampel yang representatif dari semua anak di bawah usia 18. Ini mencakup 2,5 juta anak 2008-2011, termasuk lebih dari 600.000 anak-anak dengan orang tua imigran. Karena data Sensus Amerika Serikat tidak mengumpulkan informasi tentang status imigrasi (yaitu, hukum residensi), pendekatan dekomposisi Fairlie digunakan untuk mengungkapkan potensi penurunan tingkat diasuransikan untuk anak-anak dari memperluas kewarganegaraan kepada anak-anak yang tidak memiliki dokumen.

Hasilnya menunjukkan bahwa memiliki orangtua imigran merupakan ciri khas anak-anak yang tidak diasuransikan. Sementara anak-anak dalam keluarga imigran hanya 24,1% dari semua anak di Amerika Serikat, mereka terdiri hampir setengah (42%) dari semua anak yang tidak diasuransikan di Amerika Serikat. Anak-anak ini hidup dalam keluarga imigran dan memiliki setidaknya satu orangtua imigran, tetapi 69% dari anak-anak imigran yang tidak diasuransikan sudah memegang kewarganegaraan AS. Analisis dekomposisi menunjukkan bahwa kewarganegaraan orangtua menjelaskan perbedaan terbesar dalam tingkat yang tidak diasuransikan untuk anak-anak.

Anak-anak dengan orang tua imigran hampir setengah dari semua anak yang tidak diasuransikan di Amerika Serikat. Tingginya persentase anak-anak yang tidak diasuransikan di keluarga imigran bukan karena status imigrasi anak sejak 2/3 sudah warga AS. Jika imigran kewarganegaraan mendapatkan anak, sebagian besar anak-anak akan tetap diasuransikan kecuali status imigrasi orang tua mereka juga berubah. Jadi, sementara status imigrasi anak menentukan kelayakan mereka untuk Medicaid dan manfaat publik lainnya, orang tua harus bersedia untuk mendaftarkan anak.

Makalah ini menunjukkan bahwa reformasi imigrasi yang hanya memperpanjang kewarganegaraan kepada anak-anak akan memiliki manfaat sedikit dalam mengurangi jumlah anak yang tidak diasuransikan di Amerika Serikat. Anak-anak dalam keluarga imigran akan tetap proporsional tidak diasuransikan jika reformasi imigrasi tidak mencakup orang tua mereka dewasa.

Kasus asuransi untuk keluarga imigran tidak banyak muncul di Indonesia karena sedikit adanya imigran dari luar negeri yang memasuki Indonesia baik secara legal maupun illegal. Namun demikian metode penelitan dapat diterapkan untuk menelusuri pemanfaatan asuransi kesehatan pada kelompok marginal tertentu seperti kelompok masyarakat yang melakukan urbanisasi ke kota (seperti Jakarta) dan tidak memiliki identitas lengkap, maupun tidak teregristrasi di Jakarta, sehingga program-program pemerintah Jakarta seperti kartu sehat tidak dapat mencakup kebutuhan akan kesehatan dari kelompok ini.

Reportase sesi 10

Session Tittle:
Physician-patient interaction in the pharmaceutical market

Chair : Pedro Pita Barros (Nova School of Business and Economics)

 


 

Sesi ini merupakan kumpulan presentasi penelitian seputar interaksi antara pasien dengan dokter yang mungkin mempengaruhi perilaku peresepan obat.

Abstrak 1: What explains consumer loyaly in the pharmaceuticals market? An empirical analysis of factors assoicated with switching behavior
(Hanna Kosniken, Social Insurance Institution – Research Department)

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa beberapa pasien cenderung menggunakan obat yang sama walaupun harus membayar lebih tinggi untuk obat paten. Namun, tidak banyak penelitian yang menunjukkan faktor apa saja yang mempengaruhi fenomena ini.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) meneliti faktor sosioekonomik yang berhubungan dengan tingkat kesetiaan pasien, (2) melihat faktor yang mempengaruhi dokter dalam meresepkan obat generik atau paten, serta (3) menganalisa apakah pasien menunjukkan kecenderungan adanya pembelajaran yang mempengaruhi tingkat "kesetiaan" mereka.

Penelitian ini menunjukkan adanya beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kesetiaan pemakaian jenis obat antar pasien. Faktor ini antara lain adalah gender wanita, usia lanjut, dan tingginya tingkat pendapatan. Kecenderungan berganti jenis obat ditentukan oleh adanya kesempatan untuk mendapatkan uang kembali. Terdapat juga kecenderungan pemilihan obat tertentu di antara dokter, dan hal ini juga mempengaruhi keputusan pasien juga dalam pemilihan obat tersebut. Pasien juga menunjukkan adanya faktor pembelajaran dalam pemilihan obat.

Kesimpulannya adalah kesetiaan pelanggan dalam industri farmasi ditentukan oleh berbagai hal, termasuk jenis penyakit dan obatnya, dan juga oleh perilaku dokter serta karakteristik pasien.

 

Abstrak 2: Private experience and observational learning in pharmaceutical demand
(Tanja Saxell – Government Institute for Economic Research)

Penelitian ini bertujuaan untuk mengkuantifikasi pengalaman dokter dan preferensi masa lampau yang mempengaruhi penggunaan obat. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara keputusan peresepan obat dengan hubungan jangka lama pasien dengan dokter tersebut dimana ini berdampak terhadap lebih efisiennya peresepan obat serta mengurangi peresepan obat yang berlebihan.

 

Abstrak 3: Revisiting moral hazard in the market for presciption drugs: evidence from Finland
(Ismo Linnosmaa, National Institute for Health and Welfare)

Efek asuransi kesehatan terhadap penggunaan layanan kesehatan telah diteliti sejak lama. Asuransi kesehatan yang dimiliki oleh pasien juga dapat mempengaruhi keputusan pengobatan yang diambil oleh seorang dokter, apabila dokter tersebut bersifat manusiawi dan sangat mengutamakan kepentingan pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak asuransi sosial terhadap pilihan peresepan di Finlandia dengan menggunakan data klaim asuransi dari tahun 2005. Penelitian ini berfokus pada penyakit darah tinggi. Hasil penelitian menunjukkan 57.5% obat statin diresepkan dalam bentuk generik dan OOP untuk merk paten jauh lebih tinggi daripada merk generik.

 

 

Laporan Post-Congress iHEA

Laporan Post-Congress iHEA, 11-12 Juli 2013

International Meeting:
Global Network for Health Equity (GNHE)


Beberapa agenda post-congress iHEA dilangsungkan di Sydney tepat setelah konferensi tingkat dunia tersebut usai. Salah satu kegiatan yang diikuti oleh PKMK UGM adalah pertemuan sebuah jaringan global untuk health equity atau yang disebut sebagai Global Network for Health Equity (GNHE). Jaringan internasional ini merupakan gabungan tiga jaringan yang berfokus pada health equity, yaitu jaringan di kawasan Asia (Equitap), Amerika Latin (Lanet-EHS) serta di Afrika (SHIELD). Saat ini, GNHE didukung secara finansial oleh IDRC Kanada.

GNHE sendiri bertujuan untuk mengembangkan penelitian seputar kesetaraan dibidang kesehatan, termasuk keuangan kesehatan dan universal health coverage yang membutuhkan bukti kuat sebagai dasar pengambilan kebijakan. Jaringan ini juga bertujuan untuk mengembangkan kolaborasi antar kawasan di dunia dan untuk berbagi ilmu pengetahuan serta pengembangan kapasitas penelitian antar institusi.

15jul-3

Pertemuan ini membahas beberapa agenda penting, diantaranya:

  1. Penyusunan deklarasi GNHE mengenai agenda Universal Health Coverage (UHC).
  2. Penelitian bersama antar regional di dunia seputar health equity dan UHC.
  3. Penyusunan profil negara seputar health financing dan health equity.

Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan negara-negara di Asia, Afrika serta Amerika Latin. Negara-negara yang berkesempatan hadir dalam pertemuan ini adalah antara lain: Afrika Selatan, Kenya, Tanzania, dan Pantai Gading. Disusul Amerika Selatan: Costa Rica, Argentina, dan Peru. Kemudian Asia: Malaysia, Sri Lanka, Bangladesh, India, Nepal, Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia. Khusus dari Indonesia, diwakili oleh Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD serta dr. Tiara Marthias, MPH dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada.

Beberapa isu penting yang dapat dipetik dari pertemuan ini adalah bagaimana Indonesia dapat mempelajari secara langsung platform monitoring UHC yang telah lebih dulu diterapkan di negara lain. Jaringan ini sebagian besar terdiri dari negara-negara berkembang, sehingga pembelajaran UHC bisa lebih seimbang dan memberikan perbandingan yang tidak terlalu ekstrem. Kesempatan lain adalah akan diadakannya kolaborasi riset di dua bidang utama, yaitu proteksi pembiayaan kesehatan serta utilisasi kesehatan. Kolaborasi ini akan membawa ketiga kawasan dunia dalam sebuah penelitian yang memperbandingkan situasi negara-negara di ketiga kawasan tersebut. Dengan adanya kolaborasi ini, maka pembelajaran akan semakin lebih kaya dan berpotensi untuk memberikan bukti yang kuat dalam proses pembuatan kebijakan di bidang sistem kesehatan.

Satu kesempatan penting yang juga dapat dipergunakan oleh para peneliti di Indonesia yang sedang menempuh studi S2 atau S3 di bidang health equity adalah kesempatan fellowship yang ditawarkan oleh GNHE. Penawaran fellowship ini membuka kesempatan untuk melakukan riset di institusi-institusi yang tergabung dalam jaringan GNHE. Untuk mempelajari lebih lengkap mengenai fellowship ini, dapat dilihat pada link berikut:

http://gnhe.funsalud.org.mx/Documentos/GNHE%20Scholarships%20260213.pdf

Pleno Siang 3

Tuesday Plenary Session

"Health System Efficiency :
What Can Health Economists Contribute?


peter

Dalam sesi ini Professor. Peter C. Smith, Professor of Health Policy dari Imperail College Business School & Centre for Health Policy menyatakan bahwa membuat desain dan menentukan indikator kinerja bagi sistem kesehatan merupakan pekerjaan utama bagi pembuat kebijakan di seluruh dunia.

Salah satu bentuk desain kebijakan di bidang kesehatan misalnya pengeluaran untuk pelayanan kesehatan. Kebijakan pengeluaran kesehatan harus berfokus khusus kepada efisiensi sistem kesehatan.

Dalam konteks efisiensi tentu diperlukan indikator pelayanan kesehatan.
Di dalam kotak di samping ini ada berbagai indikator yang dapat menunjukkan efisiensi sistem kesehatan. Menarik bahwa indikator ini banyak berasal dari indikator-indikator klinik

 

Average Length of Stay

- Unit Cost
- Case Mix adjusted cost per episode of care
- Emergency department visits that could have
   been seen in invasive settings
- Duplicate medical tests
- Share of total expenditure spent on
   administration
- Labour hours per episode of care
- Share of health worker hours spent treating
   atients
- Day case surgery rates
- Pre-operative bed days
- Generic prescribing
- Sickness absence rates

Namun hingga saat ini belum ada kebijakan yang sesuai dan tepat untuk penggunaan secara efektif sumber daya kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dalam sistem kesehatan. Prof. Peter menyajikan kerangka dasar untuk menganalisis efisiensi dalam suatu sistem kesehatan, dan memberikan kritik untuk menilai upaya pengukuran efisiensi sistem kesehatan. Sejauh ini, sebagian besar pemangku kebijakan kesehatan hanya bisa berjanji untuk mempromosikan peningkatan efisiensi dalam sistem kesehatan. Hal ini perlu dipikirkan secara serius oleh ahli ekonomi kesehatan.

Dalam konteks posisi ekonomi kesehatan Professor. Peter Smith merujuk pada satu pola pikir lama yang dikembangkan oleh Professor. Alan Williams sekitar 30 tahun yang lalu di University of York. Pola pikir ini menggunakan diagram alir yang menyerupai saluran air sehingga dikenal sebagai "William's plumbing", seperti terlihat dalam diagram berikut ini :

rev

Kerangka kerja Williams ini memiliki banyak implikasi. Dalam seting kebijakan di sistem kesehatan, para pengambil kebijakan ingin tahu bagaimana sebaiknya perubahan di tingkat sistem dilakukan untuk meningkatkan efisiensi. Dalam hal ini, walaupun tidak ada bukti ekonomi para pengambil kebijakan tetap harus memutuskan, misal dengan memotong anggaran secara arbirtrari. Berbagai studi ekonomi penting, tetapi masih mencakup sebagian dari sistem kesehatan. Oleh karena itu penting bagi para peneliti ekonomi kesehatan untuk memikirkan implikasi kebijakan pada level sistem. Dengan demikian penelitian ekonomi kesehatan dapat meningkatkan relevansi dan mutu sistem kesehatan. Di masa depan disarankan adanya berbagai prioritas untuk penelitian ekonomi yang dapat memberikan informasi tepat bagi pengambil kebijakan untuk membuat suatu sistem kesehatan yang efisien.

Reportase sesi 13

 

Session Tittle: Health Utilizations

Tuesday, 15.45 to 17.00

 


Dalam sesi ini dipaparkan beberapa paper yang menarik, silahkan simak.

SESI 1: Mothers' Participation in Community Groups, Prenatal Care Utilization, and Infant Health.


Partisipasi seorang ibu dalam kelompok masyarakat dapat menjadi salah satu jalur yang mungkin bisa digunakan untuk meningkatkan pemanfaatan perawatan medis melalui akses ke informasi yang berhubungan dengan kesehatan, dan mempengaruhi pilihan dan produksi kesehatan individu.

Dalam konteks Indonesia, partisipasi ibu dalam masyarakat dapat dilihat dalam berbagai jenis kelompok masyarakat yang telah lama ada sebagai bentuk tradisi lokal. Sebagai contoh, partisipasi dalam kegiatan pelayanan kesehatan terpadu (Posyandu), pertemuan informal kaum perempuan (arisan), dan Program Peningkatan Kesejahteraan Keluarga (PKK). PKK ini merupakan bentuk pertemuan kaum wanita secara formal. Jenis partisipasi masyarakat terutama kaum ibu ini mencerminkan ada suatu bentuk kepercayaan atau kohesi yang kuat diantara anggota yang terlibat dalam kegiatan. Namun, hasil studi tentang hubungan antara partisipasi dalam kegiatan-kegiatan dengan kesehatan bayi baru sedikit yang mendapatkan perhatian dalam literatur. Hal ini juga terjadi di Indonesia dimana partisipasi dalam kelompok masyarakat merupakan salah satu jaringan yang kuat potensial yang terkait dengan akses pelayanan kesehatan.

Dalam tulisan ini dibahas suatu pertanyaan: Sejauh mana dampak partisipasi ibu dalam kelompok masyarakat ini di Indonesia, yang diterjemahkan sebagai pengaruh dalam hal pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu. Studi ini menggunakan data dari Indonesia Family Life Survey tahun 2000 dan 2007 (IFLS3 dan IFLS4). Dalam konteks hubungan antara partisipasi ibu dan kesehatan bayi, studi ini mempertimbangkan beberapa sumber potensial yang menyulitkan hubungan antara kedua indikator tersebut. Salah satu hasil menunjukkan adanya kemungkinan bahwa karakteristik ibu mempengaruhi partisipasi dan pemanfaatan kunjungan prenatal ibu dan kehamilan (dalam hal ini diukur dengan berat lahir). Misalnya, ibu yang berpartisipasi dalam kelompok masyarakat cenderung diuntungkan secara sosial ekonomi dan kondisi kesehatan, sedangkan kondisi ini juga akan dapat mempengaruhi berat badan ketika masa kehamilan, dan berat badan bayi lahir. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipasi ibu dalam arisan memiliki dampak yang paling signifikan terhadap pemanfaatan layanan perawatan prenatal dan peningkatan berat badan bayi lahir. Hasil ini mungkin menunjukkan bahwa kepercayaan dan berbagi pengetahuan kesehatan di Indonesia, dari partisipasi dalam arisan, penting untuk meningkatkan pemanfaatan layanan perawatan prenatal dan berat lahir dalam konteks kurangnya akses ke informasi kesehatan melalui jalur pemerintah.
 

Relevansi Untuk Indonesia

Suatu hasil yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut dimana posisi promosi kesehatan dilakukan dalam bentuk partisipasi informal masyarakat. Arisan ibu-ibu mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan pre-natal, kesehatan bayi dan balita. Selama ini program promosi untuk KIA selalu bertumpu kepada kebijakan pemerintah, seperti Posyandu, Pos Bidan Desa dan sebagainya. Sehingga hasil ini sangat menarik untuk di kaji lebih lanjut.

Penulis: Deni Harbianto

The underlying theory of the health production function explains health is outcome of choices, such as those related to individual behavior, nutrition, physical activities, and the utilization of medical care. A mother's participation in community groups may be one of possible pathways to increasing the utilization of medical care through access to health-related information, and influencing the choices and the production of individual health. In the Indonesian context, mothers' participation in the community can be seen in many types of community groups that have long standing local tradition. For example, participation in integrated health activities or posts (Posyandu), women's informal gatherings (arisan), and PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) a formal woman's gathering. These types of mothers' community participation may reflect trust or strong cohesion among members who are involved in these activities. However, the study of the relationship between participation in those activities and infant health has received little attention in the literature. It includes Indonesia where the participation in community groups is one of potential strong networks associated with the access of health services, health information and sharing knowledge. In this paper I investigate the question: Whether and to what extent mothers' participation in community groups in Indonesia translates into benefits in terms of the utilization of maternal health care services and the improvement of birth outcomes using data from Indonesia Family Life Survey year 2000 and 2007 (IFLS3 and IFLS4). In the context of the relationship between mothers' participation and infant health, I consider some potential sources of bias that complicate the relationship between those two. One possibility is that characteristics of mothers affect both the mothers' participation and utilization of prenatal visits and the pregnancy outcome (in this case measured by birth weight). For example, mothers who participate in the community groups tend to be advantaged (disadvantaged) in both socio-economic background and their health conditions and risks; meanwhile these conditions also may influence pregnancy, then birth weight. The second potential source of bias arises if there are unobserved community characteristics that are correlated with mothers' participation, prenatal visits and birth weight. To control for the first potential bias, I will investigate the factors that relate to mothers' participation in community groups. Secondly, I estimate the relationship between mothers' participation and outcome variables (prenatal visit and birth weight), while controlling for the factors that affect mothers' participation in the community groups. This estimation uses community fixed effect to control for community characteristics. The results demonstrate that mothers' participation in arisan has a significant impact on the utilization of prenatal care services and birth weight. These results may suggest that trust and sharing of health knowledge in Indonesia, from participation in arisan, is important for increasing the utilization of prenatal care services and birth weight in the context of a lack of access to health information through government channels.


 

The relationship between socio-economic status and child general practitioner visits in the first 12 months of life in the context of the Australian healthcare system
Presenter: Xanthe Golenko (Griffiith University. Centre for Applied Health Economics, School of Medicine)


Study di Australia telah menunjukkan bahwa orang-orang dari status sosial-ekonomi rendah memiliki tingkat jasa dokter umum (GP) yang lebih tinggi karena meraka memilkki risiko kesehatan yang lebih besar. Namun, konsultasi ke GP ini angkanya menjadi lebih sedikit ketika dibandingkan dengan orang-orang dengan status ekonomi yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan kesenjangan kebutuhan kesehatan. Dari studi juga menunjukkan bahwa pola ekonomi ini juga mengakibatkan kesenjangan dalam pelayanan kesehatan Anak. Penduduk dengan status kesehatan rendah cenderung menggunakan lebih besar ke pelayanan kesehatan Dokter Umum. Disini lain yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah bahwa pemanfaatan dokter umum oleh penduduk yang berstatus ekonomi rendah ini juga didorong oleh adanya asuransi kesehatan sosial

Hal lain juga menunjukkan bahwa pendidikan ibu menjadi prediktor terkuat dalam kunjungan ke dokter umum. Trend yang lain juga menunjukkan hubungan antara tingkat status ekonomi dan penyakit pada anak.

Kesimpulan: Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara kesehatan dan kekayaan sudah ada sejak 12 bulan pertama kehidupan, dengan anak-anak dari keluarga status ekonomi rendah lebih berisiko cedera dan penyakit dan memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk layanan GP.

Penemuan juga menunjukkan bahwa dengan menghapus biaya akses dapat diasumsikan bahwa akan semakin banyak penduduk/anak yang mengakses ke palayanan kesehatan, dan ini berlaku untuk masyarakat luas. Hambatan untuk mengakses selain biaya mungkin lebih relevan bagi anak-anak dari keluarga budaya yang beragam dan mereka yang tinggal di pedesaan dan daerah terpencil.
 

Relevansi untuk Indonesia

Sekali lagi, penelitian ini menunjukkan bahwa adanya sistem jaminan kesehatan oleh pemerintah, mampu mempengaruhi kenaikan yang positif dan signifikan bagi pemanfaatan pelayanan kesehatan khususnya ke dokter umum.

Penulis: Deni Harbianto

Introduction Previous studies in Australia have shown that people of lower socio-economic status (SES) have higher utilisation of general practitioner (GP) services due to greater health risks. However GP consultations are shorter compared to people of higher SES which results in unmet need and contributes to disparities in health outcomes. Few studies have been conducted in Australia which focus specifically on the first 12 months of life, resulting in a lack of knowledge around the level of bulk-billing and how this may affect child GP service utilisation. The purpose of this study is to examine the relationship between SES and child GP service use in the first 12 months of life in context of the Australian health care system. Methods This research draws on existing data collected from a prospective, longitudinal birth cohort study, Environments for Healthy Living (EFHL). Participants were recruited annually from three public hospitals between 2006 and 2010 resulting in a study sample of 1,202 mother and child dyads. A range of biological, socio-demographic and health-related information for both mother and child was collected at baseline and 12 months using self-completed questionnaires. Individual linked data for consenting participants was obtained from Medicare Australia which provides an accurate recount of all GP service use and costs for the child. Negative binomial regression was used to test the relationship between SES and child GP service use in the first 12 months of life and the effect of cost on this relationship, controlling for various social and demographic factors. Results Results demonstrated an inverse relationship between SES and child GP visits; as SES decreases the number of child GP visits increases. Maternal education and child gender were found to be the strongest predictors of child GP visits. Almost 70% of participants were bulk-billed for all consultation while the remaining 30% paid for at least one visit, with most paying less than $100 over the 12 month period. Bulk-billing was found to have little effect on the relationship between maternal education and child GP visits however it was significantly associated with SES. Trends also indicate a relationship between SES and child injury and illness. Conclusion Data from this study indicates that the relationship between health and wealth already exists in the first 12 months of life, with children from lower SES families more at risk of injury and illness and having greater need for GP services. Findings also suggest that removing cost improves equity of access however it cannot be assumed that this applies to the broader community. Barriers to access other than cost may be more relevant for children from culturally diverse families and those living in rural and remote locations. Findings from this study provide a better understanding of the patterns of GP service use and associated costs for children in their first 12 months of life. As such, this study furthers the understanding of SES in the early stages of the life-course and provides insights with regards to health policy and practice in Australia.

Socio-Economics and Health

Socio-Economics and Health

 

 


 

  Ringkasan Isi Sesi

Sesi ini membahas berbagai aspek sosial yang berada di pinggiran ilmu ekonomi kesehatan. Aspek sosial ini menyangkut berbagai hal terkait dengan Social Determinant dari kesehatan. Satu aspek sosial yang mempengaruhi kesehatan adalah aspek akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Dari 6 pembicara (abstrak terlampir) masalah akses dibahas oleh Trisnantoro dalam konteks sejarah. Pada intinya masyarakat yang berada di daerah remote kurang akses dibanding dengan di daerah non-remote yang dapat membahayakan tercapainya tujuan Universal Coverage. Akses geografis ini dapat memburuk apabila tidak ada perhatian pemerintah untuk melakukan penyeimbangan. Apabila diserahkan kepilihan hidup dokter maka akan sulit terjadi pemerataan. Dokter cenderung senang bekerja di daerah maju. Secara sosial kultural faktor dokter menjadi isu penting untuk keberhasilan universal coverage.

Sementara itu ada masalah akses budaya seperti yang ditulis oleh Rebecca Reeve mengenai lebih banyaknya suku Aborigin yang sakit di daerah non-remote NSW Australia karena masalah akses terhadap pelayanan primer. Aspek pendapatan bukan menjadi faktor penting untuk menerangkan mengapa ada kesenjangan diabetes antara kelompok Aborigin dan non-aborigin. Perbedaan dalam masalah kegemukan dan pendidikan yang merupakan proksi untuk akses terhadap pelayanan kesehatan dan perilaku baik karena pendidikan terlihat menjadi pendorong terjadinya kesenjangan tersebut. Laki-laki aborigin terlihat cenderung under-diagnosed karena kekurangan akses ke pelayanan kesehatan primer. Implikasinya adalah bahwa intervensi yang mengarah kekegemukan, latihan fisik, peningkatan pengetahuan dan akses ke pelayanan kesehatan primer akan menghasilkan manfaat untuk mengurangi diabetes. Hasil ini penting untuk pengambil kebijakan walupun masih diperlukan riset dengan data.

Karina Wibowo seorang mahasiswa PhD di Jerman yang berdarah Indonesia meneliti mengenai diskrimasi yang dirasakan oleh warga pendatang di Jerman. Disebutkan bahwa pendatang merasakan adanya diskriminasi dari sistem kesehatan di Jerman. Hal serupa dirasakan oleh orangtua walaupun merasa puas dengan pelayanan kesehatan. Terakhir orang tua dari etnis tertentu merasa kurang puas dan merasa didiskriminasi dalam pelayanan kesehatan. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam aspek sosial ada "sesuatu" yang dirasakan tidak berjalan baik dalam pelayanan kesehatan. "Sesuatu" ini menyangkut hal yang abstrak yang dalam penelitian ini berusaha diungkapkan.

Tiga pembicara lain membahas mengenai berbagai aspek sosial yang mempengaruhi asthma dan hipertensi, serta pengaruh kematian anak dalam fertilitas. John Gibson (University of Waikato. Faculty of Economics) membandingkan pendatang Tonga yang datang ke New Zealand melalui lotere dibandingkan dengan yang gagal mendapatkan di Tonga. Berbeda dengan harapan, hasilnya menunjukan bahwa migrasi dari Tonga ke New Zealand  menunjukkan perbaikan kinerja baru. Salah satu penyebab mengapa terjadi karena perubahan lingkungan social yang mengurangi merokok di kelompok migran laki-laki.  Kawan diyono dari Survei Meter meneliti mengenai hipertensi dan persamaan dan perbedaan antara situasi di Indonesia dengan hasil-hasil dari berbagai studi di negara lain.  Dengan penelitian ini diharapkan dapat membuat para pakar kesehatan masyarakat mengembangkan intervensi dan program yang spesifik untuk masyarakat   Indonesia pada umumnya dan kelompok-kelompok masyarakat . Marwân-al-Qays Bousmah dari Aix-Marseille School of Economics  Perancis meneliti mengenai hubungan antara kematian anak dan perilaku peningkatan fertilitas. Implikasi kebijakan adalah bersamaan dengan perbaikan status  kesehatan dan perkembangan kelangsungan hidup anak, kebijakan-kebijakan kesehatan yang  bertujuan untuk mengurangi kematian anak akan mempunyai dampak pada perilaku fertilitas. Kebijakan-kebijakan ini akan bersifat mendukung trasisi fertilitas secara sukarela dengan cepat di negara-negara Sub-Sahara Afrika, bersamaan dengan program keluarga berencana tradisional.

Penulis: Laksono Trisnantoro

Silahkan melihat abstraknya di bawah ini:

ABSTRAK 1: Can Indonesia improve socio-economic and geographic equity together? A historical analysis
Presenter: Laksono Trisnantoro (Gadjah Mada University. Faculty of Culture)


Background: In Indonesia, the effort for achieving universal coverage will have new momentum in 2014. However the past experience of Indonesian health service system shows that increasing the coverage of health protection scheme is not a simple policy. This research provides historical facts, which have influenced health equity in Indonesia and discuss a possible dilemma in reducing economic and geographical inequity at present and in the future. Method: Historical analysis. Results: As a direct response to the economic crisis in the late 1990's, financial protection for health care for the poor was set nationally in 1999. The protection policy aimed to reduce out of pocket spending by increasing central government funding targeting the poor. A steady growth of central government funding for health social security resulted in a relatively low incidence of catastrophic out of pocket health expenditure, which has declined over time. The financial protection program reduced financial barriers to access for poor households for both hospital and non-hospital services. However, alongside these positive impacts, the regional inequalities in access to services have not improved over time. There is regional inequity due to shortages and mal-distribution of inputs such as health facilities, medical specialist and trained nurses. Historical facts will be used to explain this situation. Indonesia has taken the route of market –based economies and is has not been a welfare state since the colonial era. Hospitals and health service providers are distributed based on market demands and cluster in the cities and regions with good economic development. Conclusion: The new Law faces a difficult challenge in terms of geographic inequity. The geographic problems have deep roots in Indonesian health system development. There is a possibility that the improvement of socio-economic equity may worsen the geographic inequity in Indonesia.


Key Terms: geographical inequity, universal coverage, and history of health service
Authors (2): Baha'uddin (GadjahMada University. Faculty of Culture) and Laksono Trisnantoro (Faculty of Medicine, GadjahMada University. Center for Health Service Management)

 

ABSTRAK 2: What factors drive the gap in diabetes rates between Aboriginal and non-Aboriginal people in non-remote New South Wales?
Presenter: Rebecca Reeve (University of Technology-Sydney. Centre for Health Economics Research and Evaluation)


Background and Objective: Despite established risk factors for type 2 diabetes in the general population, there is limited research on the size and significance of these risk factors in Australian Aboriginal populations, particularly in non-remote areas. In New South Wales (NSW), 95 per cent of the Aboriginal population live in non-remote areas. The objective of this study was to identify the factors underpinning the growing gap in diabetes rates between Aboriginal and non-Aboriginal people in NSW. The results indicate the most appropriate target areas for policy interventions, which can be used as indicators to monitor progress towards reducing the gap. Methods: Data from the 2004-05 National Health Survey (NHS) and National Aboriginal and Torres Strait Islander Health Survey (NATSIHS) were used to estimate the differences between Aboriginal and non-Aboriginal people in NSW in terms of self-reported diabetes rates and risk/prevention factors. Logistic regression models were used to investigate the contribution of each factor to predicting the probability of diabetes. The analysis was restricted to non-remote areas due to ABS restrictions on the use of geographic variables, which prevent the identification of remote areas by state. Results: In non-remote NSW, risk factors for diabetes are more prevalent in the Aboriginal sample and prevalence of diabetes is 2.5 to 4 times higher in Aboriginal compared to non-Aboriginal adults. The odds of (known) diabetes for Aboriginal and non-Aboriginal Australians, in non-remote locations, are significantly higher for older people, those with low levels of school education and those who are overweight or obese. After controlling for other risk and prevention factors, low income is only associated with increased risk of diabetes in the non-Aboriginal sample. In the Aboriginal sample, the odds of diabetes are significantly higher for people reporting high levels of psychological distress. Males only have higher odds of known diabetes in the non-Aboriginal sample. Conclusions: Income does not appear to be important in explaining the gap in rates of diabetes between Aboriginal and non-Aboriginal people living in non-remote NSW. Differences in BMI and education (a proxy for ability to access and act upon health knowledge) appear to be driving the gap in diabetes rates. Psychological distress may also contribute to increased risk of diabetes in the Aboriginal population. Aboriginal men may be more likely to be under-diagnosed due to lack of access to primary care services. Implications The evidence suggests that interventions targeting obesity, exercise, improving knowledge and access to primary care services will have the greatest potential benefit for reducing the diabetes gap. The results are useful for policy makers as they show that current strategies appear to be appropriately aligned with the evidence. However, further research using longitudinal data is required to determine whether the specific methods being used to achieve these targets are effective.


Biographical Details:
Rebecca Reeve is a team investigator on CHERE's NHMRC Capacity Building grant and is program manager of the CHERE's policy evaluation program of research. She also manages the cost-effectiveness study of Drug and Alcohol Consultation Liaison Services in NSW hospitals, commissioned by NSW Health. Rebecca has an Honours degree in Economics (2004) and a PhD in Economics (Macquarie University 2010). In 2011, she received a UTS Faculty of Business grant to investigate the factors underpinning the growing gap between Aboriginal and non-Aboriginal diabetes rates in New South Wales, which is the topic of her iHEA presentation.

Key Terms: Aboriginal, diabetes, risk factors, non-remote NSW
Authors (5):Rebecca Reeve (University of Technology, Sydney. Centre for Health Economics Research and Evaluation) , Jody Church (University of Technology, Sydney. Centre for Health Economics Research and Evaluation) , Marion Haas (University of Technology, Sydney. Centre for Health Economics Research and Evaluation) , Wylie Bradford (Macquarie University. Economics) and Rosalie Viney (University of Technology, Sydney. Centre for Health Economics Research and Evaluation)

 

ABSTRAK 3: Immigration and Respiratory Health: Experimental Evidence from a Migration Lottery
Presenter: John Gibson (University of Waikato. Economics)


 Theme: Application

Respiratory disorders such as asthma and chronic obstructive pulmonary disease (COPD) are the fourth leading cause of death worldwide. While asthma is a reversible inflammatory disorder of the airways, which especially affects children, COPD is non-reversible and especially affects the elderly. The main causes of COPD are smoking in rich countries and indoor cooking smoke in poor countries. There is debate about causes of asthma, which almost doubled in some rich countries over the past 25 years. In New Zealand, which is the context for this research, the burden of asthma and COPD is second only to cardiovascular diseases, in terms of disability-adjusted life years. New Zealand has one of the highest asthma rates in the world, with substantial ethnic inequality. Maori and Pacific children have higher prevalence and hospitalization rates for asthma than do children of other ethnic groups and the highest rate of increase in asthma over the last two decades was for Pacific Island children [ISAAC: International Study of Asthma and Allergies in Childhood]. The burden of respiratory illnesses for Maori and Pacific Islanders reflects higher smoking rates, poor housing with substantial overcrowding and possibly the unequal impacts of air pollution. Immigrants are of special significance in the literature on asthma since migration involves exposure to a new set of pollutants and allergens and also affects housing conditions, all which have possible links with asthma. This literature finds that the foreign-born arriving from countries with lower asthma prevalence experience a time-dependent increase in asthma symptoms. Comparisons between foreign-born and native-born survey respondents suffer from two potential problems: selection bias and reporting bias. Selection bias may mask the true extent of the migration-dependent increase in asthma if immigrants are more or less asthma-prone than non-migrants from their home country. Reporting bias may occur because of changes in access to health care with migration, with respondents only becoming aware of long-standing health disorders if they have improved access to health care after migrating. To overcome these problems, this paper uses a natural experiment, comparing successful and unsuccessful applicants to a migration lottery to experimentally estimate the impact of migration on self reported asthma and measured respiratory functioning. Approximately four years after migration we compare migrants who had entered New Zealand through a random ballot with unsuccessful participants in the same ballots living in the home country of Tonga. Contrary to expectations, the results show migration from Tonga to New Zealand to improve lung functioning, as measured by peak flow. The rate of moderate asthma indicated by peak flow as a percentage of the expected peak flow adjusted for age, gender and height, falls by between 10 to 20 percentage points. One possible cause of this improved respiratory health is a substantial decline in current smoking amongst immigrant males. This experimental evidence indicates that there is no inevitable decline in respiratory health following migration from a low-asthma to a high-asthma environment and raises questions about whether findings in the existing literature have been affected by self-selection and reporting biases.

Key Terms: Respiratory health, Immigration, Natural experiment
Authors (4): John Gibson (University of Waikato. Economics) , Steven Stillman (University of Otago. Economics) ,HalahinganoRohorua (University of Waikato. Economics) and David McKenzie (World Bank. Development Research Group)

 

ABSTRAK 4: Assessing Social Determinants as Predictors to Conversion to Hypertension: Evidence from the Indonesia Family Life Survey (IFLS)
Presenter: KawandiyonoSantoso (SurveyMETER)


Hypertension is a leading risk factor to global mortality. Though silent and chronic, it is not unpreventable. Designing preventive public health interventions should start with identifying characteristics associated with becoming hypertensive. Our research used the longitudinal Indonesia Family Life Survey (IFLS) to investigate the contribution of a full range of potential determinants (i.e., demographic, socio-economic, behavioral, psychological, and health systesms) known from research on other populations to be associated with hypertension. Using the IFLS, we tracked blood pressure measurements on a panel, nationally representative sample of 10,846 adults who in 1997 had normal blood pressure and who stated on interview they had never been told they have high blood pressure. Using blood pressure measurements and self-reports in 1997 and two subsequent survey rounds, we categorized each person as either having converted or not converted to high blood pressure by 2007. Twenty-nine percent of our sample converted to hypertensive status in that ten years period. Using information about individual and community characteristics from the IFLS 1997, we used logistic regression to determine which characteristics, observable prior to conversion to high blood pressure status, were associated with that conversion. We will report on results of this analysis, including gender, geographic and socio-economic differences in these predictors. These results will shed light on similarities and differences between Indonesia and results from studies in other countries, allowing public health professionals to tailor interventions and programs specific to the Indonesian context and to specific sub-populations within Indonesia.


Key Terms: social determinants, predictor, hypertension
Authors (2): KawandiyonoSantoso (SurveyMETER) and Jeffrey Sine (RTI International. Social Political Health Economic Research)

 

ABSTRAK 5: Evidence for a Non-Linear Effect of Child Mortality on Fertility Behaviors: Micro Data from a Senegalese Rural Community
Presenter: Marwân-al-QaysBousmah (Aix-Marseille University, CNRS & EHESS. GREQAM)


The present paper seeks to take the analysis of the relationship between child mortality and fertility behaviors one step further by highlighting a new link between these two variables. In particular, it reconciles the ongoing debate between the 'child survival hypothesis' and the 'replacement hypothesis', as both strategies can be prominent depending on the burden of child mortality. We use individual data collected quarterly within the Demographic Surveillance System of the rural community of Niakhar (Fatick, Senegal), which is Africa's oldest statistical observatory. We analyze the complete birth histories of 2884 women born between 1931 and 1962, which are typical count data. The determinants of fertility are investigated using a standard Poisson Regression Model. Several spécifications are estimated to emphasize the heterogeneous effects of child mortality on both total and net fertility. Among them, fractional polynomial transformations of the child mortality variable are used in order to capture the potential non-linear nature of the relationship. In line with other empirical studies,the global impact of child mortality on total and net fertility is found to be positive. More precisely, we find that women who have experienced at least one child death have a total fertility, which is 1.47 higher than women who have not. Such an increase is proved to be larger than the one needed to replace lost lives, as net fertility is also 1.12 higher. We further show that the response is non linear in the level and in the rate of child mortality, as the amplitude and the direction of the effect vary with the number of child losses. To our knowlegde, this is the first paper to provide evidence that the 'child survival hypothesis' and the 'replacement hypothesis' are not mutually exclusive. A precautionary demand for children is likely to arise for relatively low values of child mortality. However, when child deaths increase, a replacement mechanism prevails. Finally, for dramatic values of child mortality, the rise in total fertility does not fully compensate for child losses, so that net fertility falls. The results hold when we account for the effect of child mortality in level or in rate, and are robust to changes in econometric specifications. The main policy implication is that, along with health outcomes and child survival improvements, health policies aiming at reducing child mortality have additional desirable effects on fertility behaviors. These policies are likely to be supportive of a rapid and voluntary fertility transition in Sub Saharan Africa along with traditional family planning programs.


Authors (2): Marwân-al-QaysBousmah (Aix-Marseille University (Aix-Marseille School of Economics), CNRS & EHESS. GREQAM) and Mohammad Abu-Zaineh (INSERM? Aix-Marseille University (Aix-Marseille School of Economics). SESSTIM)

 

ABSTRAK 6: How satisfied are migrants and the elderly in the German health care? A case study on Germany of perceived racism and ageism in the German health care
Presenter: Karina Wibowo (Jacobs University & University of Bremen. Bremen International Graduate School of Social Sciences)


Our population is undergoing an inevitable phenomenon of aging due to the demographic transition. Such change makes it necessary to get more people to fill the job vacancies. As a result, an increasing number of workers need to be hired from abroad. Such influx of foreign population is a normal outcome of the demographic transition which could have been foreseen. However the society has not been prepared for such changes. As minority population increases, they are easily discriminated against, especially if the outcome of the population growth is not expected (Becker, 1975). The increase of the elderly is viewed negatively by younger population. They believe such increase changes their daily life due to the adaption politically and economically since the elderly are living on the costs of the younger population. (BMBF 2012, Schmähl). Immigrants are viewed in a similar way: according to the economical active population, immigrants come to the country to live on local social welfare, which is in the end supported by the taxes of the indigenous population. Thus elderly and immigrants are seen to be a burden to the economically active population, which is comprised of the younger German population. The stereotypes towards the elderly and immigrants can result in discrimination, which has been shown by a lot of studies. Simply put: „Elderly and immigrants are allowed but they are not welcome". Therefore this study concentrates on perceived racism and ageism in the German health care among Christian communities. Christian communities were chosen since racism in Germany often occurred due to discrimination against the Islamic religion (lit). Furthermore no migrants with a Turkish background were taken into account, since numerous studies have shown that they are discriminated against. Therefore this study focuses on migrant communities other than Turkish one (lit). The hypothesis, which were tested were following: 1. Patients with an ethnic background are less satisfied with the health care and feel discriminated. 2. The elderly is less satisfied with the health care and feels discriminated. 3. The Elderly with an ethnic background are least satisfied with the health care and feel most discriminated. Methods An online survey was prepared in order to investigate in the perceived discrimination of migrants and the elderly. This survey covered questions on physician- patient relationship (including trust towards the physician, satisfaction with the physician and the medical treatment), satisfaction with the hospital (including questions on waiting hours, access to health care), perceived health behavior (healthy lifestyle), perceived health status and discrimination (observed discrimination and perceived discrimination). Results The results show that migrants perceive discrimination in the German health care system. On the other hand, the elderly are satisfied with the health care system but they perceive some level of discrimination. Finally, the elderly with an ethnic background feel less satisfied and also perceive discrimination. As the demographic transition of the society is transitioning towards more elderly and elderly with an ethnic background the problem of discrimination in the health care has to be tackled.


Key Terms: racism, ageism, patient's care, discrimination
Author (1): Karina Wibowo (Jacobs University, University of Bremen. Bremen International Graduate School of Social Sciences)

Seminar Panel Selasa 9 Juli 2013

SEMINAR PANEL

Personalized Medicine, Orphan Disease Drugs
and the Future of Health Economics


Diskusi panel dibuka dengan pengantar dari Michel Drummond, Professor of Economics dari University of York.

capsulDiskusi ini membahas tentang perkembangan menarik dalam obat. Majalah Forbes memperkirakan akan ada obat seharga jutaan dolar setahun di pasar. Isu mengerucut tentang biaya dari Orphan Drugs dan perkembangan kedokteran personal memberikan alarm untuk anggaran kesehatan di dunia.

Ada banyak pertanyaan yang akan dibahas misal: apakah ada justifikasi untuk standar pengembangan Orphan Drugs; Apakah ditujukan hanya untuk special case? Bagaimana dengan beban asuransi untuk membayarnya? Apakah penyakit biasa seperti asma dapat secara sah dibagi lagi menjadi berbagai tingkat lain sehingga dapat disebut Orphan Drug? Apakah bisa personalized medicine menjadi orphan drug juga.

Catatan tentang apa yang disebut sebagai Orphan Drugs dan Personalized Medicine

What are orphan drugs?

An orphan drug is defined as a medicine, vaccine or in vivo diagnostic agent that is: intended to treat, prevent or diagnose a rare disease; ornot commercially viable to supply to treat, prevent or diagnose another disease or condition. Medicines need to be designated as orphan drugs by the TGA before an application to register an orphan drug on the Australian Register of Therapeutic Goods (ARTG) will be accepted

 

 

 

   What is Personalized Medicine?

As defined by the President's Council on Advisors on Science and Technology, "Personalized Medicine" refers to the tailoring of medical treatment to the individual characteristics of each patient...to classify individuals into subpopulations that differ in their susceptibility to a particular disease or their response to a specific treatment. Preventative or therapeutic interventions can then be concentrated on those who will benefit, sparing expense and side effects for those who will not.

Lihat lebih lanjut dapat membaca mengenai Personalized Medicine di http://www.personalizedmedicinecoalition.org 

Isu-isu ini dibahas oleh tiga pakar yaitu:

  1. Lou Garrison, Professor, School of Pharmacy, University of Washington: Seattle.
  2. Larry LyndAssociate Director of the Collaboration for Outcomes Research and Evaluation (CORE), University of British Columbia, Canada.
  3. Adrian Towse, Director, Office of Health Economics, United Kingdom

Lou Garrison menyatakan berdasarkan pengalaman termasuk bekerja di Roche, isu mengenai personal medicine dimulai misalnya dari genom, dan adanya berbagai tes dan solusi medik. Saat ini kita hitung mungkin sekitar 20 personalized product. Memang banyak hambatan dari perspektif Scientific, regulatory, reimburstment, dan evidence. Yang paling sulit adalah re-imburstment policy. Produk-produk ini tidak masuk ke pipeline massal. Hanya dipakai sedikit. Harga yang ditetapkan adalah diatas cost... bukan pada value atau nilainya. Pertanyaan yang paling penting adalah bagaimana resimburstment policy.

Larry Lind mendukung pernyataan Garrison. Pertanyaannya apakah Orphan drug akan dire-imburst atau tidak. Jika hanya menggunakan value orphan drug dengan standar yang sama dengan obat lain maka pasti hasilnya adalah tidak akan dire-imburst. Pertanyaan lebih lanjut mengenai obat Orphan yang mahal, apakah penghitungan harganya benar? Di Canada, ditunjukkan yang penting adalah willingness to pay.. Jadi mari kita bayar saja. Mengapa? Karena jumlah totalnya tidak banyak. Jadi dalam orphan drug perlu ada paradigma yang berbeda. Pertanyaannya sekali lagi apakah harganya benar. Apakah pricingnya jelas? Pendekatannya adalah bagaimana agar murah. Namun, jika terlalu banyak obat di pipeline akan menjadi berat nantinya di segi pembayar.

Adrian Towse: Yang dikawatirkan adalah adanya over investment. Bagaimana hasilnya. Saya lebih suka menyebut sebagai stratified medicine untuk personalized medicine. Penyakit-penyakit yang ada akan bisa terfragmentasi misal karena genetika. Ada kemungkinan obat akan menjadi banyak sekali. Kita harus lebih hati-hati. kita tidak tahu apakah masyarakat mampu membiayai berapa. Ini dapat menimbulkan kekacauan di peroduksi.

Dalam diskusi dengan para peserta memang terlihat bahwa isu Orphan Drug dan Personalized Medicine khas berada di negara maju yang sistem pembayarannya cukup besar. Disamping itu ada factor kekuatan penekan yang mendorong semakin banyaknya Orphan Drug. Dalam konteks negara sedang berkembang, Professor. Hasbullah Thabrany dari UI menyatakan bahwa harga Orphan Drug tidak akan terjangkau oleh negara-negara sedang berkembang. Terlalu mahal untuk dibayar oleh pihak asuransi kesehatan atau negara.

Pelapor: Laksono Trisnantoro

Kebijakan Tembakau dan Rokok

Mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Sambutan yang menggetarkan dari Prof. Emil Salim saat membuka Launching Peta Jalan Pengendalian Tembakau di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa upaya pengendalian tembakau sebagai bagian Esensial dari Sustainability growth development with equity guna menyongsong Bonus Demografi tahun 2020-2040. Video lengkapnya bisa disaksikan di Link Berikut ini:

 

Hidup tanpa rokok sudah lama digalakkan para aktivis kesehatan, sebut saja wilayah Minomartani dan kecamatan Kraton Yogyakarta. Dua wilayah ini, melalui tenaga kesehatan-kader kesehatan dan pemuka masyarakat bersama-sama menggerakkan warganya untuk hidup sehat tanpa rokok. Warga pun menyambut usulan ini dengan respon positif. Dalam pengembangan KTR, banyak ewuh pakewuh (sungkan-Red) yang mendukung kesuksesan program ini. Warga malu jika merokok di depan ketua RT/RW, malu merokok di tengah acara arisan misalnya. Disamping itu, IAKMI melalui Tobacco Control Support Center Indonesian Public Health Association (TCSC-IAKMI) turut mengawal serta mendukung upaya pembentukan KTR ini. KTR hanya salah satu upaya pengendalian tembakau di Indonesia, perlu upaya lain agar konsumsi tembakau dan paparan asapnya dapat dikurangi atau ditekan.

TCSC-IAKMI menerbitkan beberapa buku yang dapat diakses secara gratis. Silahkan simak seri pertamanya dibawah ini :

  Seri 1 : Perlindungan Terhadap Paparan Asap Rokok Orang Lain, Mengapa Perlu