Rangkuman kegiatan Hari Pertama
Rangkuman Fornas JKKI VIII Hari Pertama
Membuka Fornas hari kedua, Laksono Trisnantoro didampingi Faozi Kurniawan menyampaikan rangkuman kegiatan selama hari pertama berlangsung. Sebagai narasumber, Laksono menegaskan pada pertemuan pertama kemarin banyak menyampaikan hasil penelitian evaluasi JKN berdasarkan realist evaluation. Penelitian - penelitian tersebut yang harus digarisbawahi adalah yang memiliki prinsip - prinsip yang dipergunakan dalam evaluasi. Bukti yang dipergunakan merupakan bukti yang benar - benar bermutu. Dengan bukti yang bermutu maka rekomendasi yang disampaikan kepada pembuat kebijakan akan menjadi rekomendasi yang bermutu. Prinsip yang kedua adalah komunikasi riset yang lebih efektif.
Komunikasi ini merupakan proses advokasi peneliti kepada pengambil kebijakan. Hal tersebut merupakan seni yang harus dipelajari oleh analis kebijakan, karena dalam proses komunikasi ini analis harus bisa menjalin relasi yang tidak mengurangi independensi analis. Akan tetapi, faktor independensi juga tidak boleh menjadi penyekat antara peneliti dengan pengambil kebijakan. Prinsip ketiga adalah pembelajaran untuk riset yang lebih baik, pengembangan penelitian bisa mengacu kepada buku kebijakan “Evidence Syntheses for Health Policy and Systems: A Methods Guide”. Buku tersebut merupakan buku baru (terbit 2018) yang mungkin bisa dibedah untuk dijadikan sebagai referensi penelitian selanjutnya.
Dalam hal penelitian evaluasi ini, Laksono juga mengangkat mengenai independensi peneliti. Sumber pendanaan penelitian akan mempengaruhi independensi hasil penelitian. Mengingat pemberi dana memiliki kepentingan terhadap hasil penelitian yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat dari kontrak awal, ketika kontrak awal ada indikasi untuk sensor atau membatasi publikasi hasil penelitian, maka indikasi hasil penelitian akan kurang independen.
Dalam sesi diskusi, Dumilah menanggapi mengenai independensi peneliti ini. Independensi peneliti harus pintar diolah dengan rasa seni. Peneliti jangan menjaga jarak dengan pembuat kebijakan tapi juga jangan terlalu dekat. Independensi bersifat dinamis, fleksible sesuai dengan waktu.
materi dapat di akses pada link berikut
klik disini video
Konsep dan Metode Analis Kebijakan Kesehatan dalam Evaluasi JKN
Konsep dan Metode Analis Kebijakan Kesehatan dalam Evaluasi JKN
Dr. Dumilah Ayuningtyas, MARS (FKM UI), Gabriel Lele, PhD (Fisipol UGM), Shita Listyadewi (PKMK UGM)
Dumilah menyampaikan bahwa mengevaluasi kebijakan yang dampaknya luas kepada seluruh rakyat Indonesia memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Dalam evaluasi kebijakan, diharapkan tidak hanya muncul dialog, tetapi minimal terdapat pemahaman lebih baik oleh pengambil kebijakan terhadap kebijakan yang dievaluasi. Sebuah kebijakan bertujuan untuk menyelesaikan masalah, akan tetapi implementasinya belum tentu sesuai dengan tujuan awal yang dibuat. Dalam kasus evaluasi JKN, perlu dipahami siapa pengguna penelitian? Bagaimana kemudahan yang diperoleh dalam proses penelitian? Bagaimana kaidah etik evaluasi dan yang terpenting adalah asas kebermanfaatannya.
materi video
Gabriel Lele sebagai narasumber kedua menggebrak dengan menyampaikan bahwa pemerintah tidak pernah menghasilkan kebijakan yang terbaik. Suatu kebijakan akan berjalan jika beruntung, dan apabila kebijakan tidak bisa berjalan itu suatu hal yang normal atau wajar. Gabriel juga memaparkan bahwa evaluasi kebijakan ada dua jenis yakni “analysis of policy” dan “analysis for policy”. Evaluasi JKN ini lebih mendekati analysis of policy. Kegiatan analisis ini bisa menghasilkan rekomendasi berupa tetap menjalankan kebijakan, memodifikasi dan menjalankan kebijakan dan menghentikan kebijakan. Analisis kebijakan saat ini lebih cenderung melihat manusia sebatas angka-angka, untuk itu di dunia Barat berkembang emotional policy. Di akhir penjelasan Gabriel menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan terdiri atas Government Audit, People’s Audit, dan Social Audit.
materi video
Narasumber ketiga, Shita Listyadewi menyampaikan langkah - langkah apa saja yang harus dilakukan analis kebijakan ke depan. Evaluasi kebijakan harus tetap dilaksanakan sementara proses politik juga berjalan beriringan. Analisis kebijakan tidak akan dapat menggantikan proses politik. Analis kebijakan harus mampu menarik perhatian pengambil keputusan untuk menjadikannya sebagai dasar penyusunan kebijakan. Dalam proses analisis kebijakan, analis harus mampu mendefinisikan permasalahan dengan tepat karena setengah permasalahan akan selesai jika analis bisa mendefinisikannya.
materi video
Dalam sesi diskusi, ada hal menarik yang disampaikan Gabriel Lele. Dalam menyusun hasil analisis kebijakan kepada pengambil kebijakan, sebaiknya disampaikan dalam policy brief yang mampu mengkompilasi semua seluruh isi analisis kebijakan. Dalam policy brief juga sebaiknya dibuat sedramatis mungkin, bahkan jika perlu dalam kalimat awal sudah didramatisasi sehingga pengambil kebijakan tidak dapat tertidur lelap sebelum menyelesaikan permasalahan kebijakan yang dianalisis.
Reporter: Barkah Wahyu P
Analisis Kebijakan Berbasis Hasil Evaluasi JKN Tingkat Daerah
Analisis Kebijakan Berbasis Hasil Evaluasi JKN Tingkat Daerah
Panel 2 Forum Nasional VIII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (08/11/2018) membahas tentang analisis kebijakan berbasis hasil evaluasi JKN tingkat daerah kasus di D.I. Yogyakarta dan di Nusa Tenggara Timur. Sesi ini dipandu oleh moderator Dr. Diah Ayu Puspandari Apt. M.Kes, MBA dan diawali dengan topik pengantar tentang Pendekatan Analisis Kebijakan oleh Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc.,Ph.D. (Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM),
kemudian dilanjutkan dengan penyampaian hasil analisis kebijakan berbasis evaluasi JKN tingkat daerah oleh Tri Aktariyani S.H.,M.H. dan Relmbuss Biljers Fanda, MPH. Hasil analisis ini dibahas oleh 3 pembahas yaitu Riyadi Santoso (Ketua Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia), drg. Hunik Rimawati , M.Kes (Bidang Yankes Dinkes Kab. Kulon Progo) dan Dadan Suparjo Suharmawijaya (Ombudsman RI).
Materi paparan Prof. Laksono dapat disimak pada link berikut
klik disini video
Sebagai pengantar Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc.,Ph.D. menyampaikan bahwa analisis kebijakan diperlukan untuk mengetahui substansi kebijakan terkait informasi masalah yang ingin diselesaikan dan dampak yang muncul dari implementasi kebijakan, informasi kebijakan tersebut dapat dihasilkan dengan adanyan hubungan kerjasama antara pembuat kebijakan (policy maker) dan analis kebijakan (policy analyst).
Kemudian, dilanjutkan dengan pemaparan draf analisis kebijakan evaluasi JKN sementara di D.I.Yogyakarta oleh Tri Aktariyani S.H.,M.H. dan di Nusa Tenggara Timur oleh oleh Relmbuss Biljers Fanda, MPH dimana analisis fokus pada 3 topik temuan yaitu tata kelola, equity dan mutu pelayanan. Masalah utama yang ditemukan di daerah Yogyakarta yaitu pada titik “tata kelola” di mana pemerintah daerah Yogyakarta dan BPJS Kesehatan belum menjalin koordinasi yang baik sehingga berdampak pada banyak hal. Sedangkan, di NTT masalah utama yang ditemukan paling banyak yaitu pada topik temuan “equity” dimana pertumbuhan Rumah Sakit mencapai 4% di bawah rata-rata nasional, dan minimnya jumlah tenaga dokter.
Analisis kebijakan ini memunculkan proses identifikasi alternatif kebijakan yang disesuaikan dengan kriteria efektivitas, efisiensi, equity dan responsive dari masing-masing daerah. Dari identifkasi elternatif kebijakan masing-masing memiliki 3 alternatif kebijakan yaitu alternatif 1 tidak melakukan perubahan kebijakan, alternatif 2 melakukan perubahan dengan mengoptimalkan Perpres 82/2018 terkait mekanisme keterbukaan data BPJS Kesehatan, kemudian alternatif terakhir untuk daerah Yogyakarta yang menekankan pada masalah “tata kelola” yaitu adanya peninjauan kedudukan Hak dan Kewajiban BPJS Kesehatan dan Pemda dengan adanya MoU kerjasama sehingga implementasi kebijakan dapat berjalan efektif dari pusat ke daerah, sedangkan untuk NTT pada masalah “equity” yaitu optimalisasi skema pendanaan nasional untuk pemerataan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan dan pemilihan alternatif kebijakan juga disesuaikan dengan temuan masalah utama di daerah sebagai penentuan prioritas.
Menanggapi hasil paparan analisis kebijakan evaluasi JKN di daerah Yogyakarta dan NTT, Riyadi Santoso (Ketua Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia) menyebutkan bahwa analisis kebijakan membutuhkan evaluasi kebijakan afirmatif yaitu disesuaikan dan dipetakan berdasarkan kabupaten, kota dan provinsi, kerena tidak bisa disamaratakan. sehingga hasil evaluasi mampu memperbaiki implementasi kebijakan yang akan datang. Sebagai pelaku kebijakan drg. Hunik Rimawati , M.Kes (Bidang Yankes Dinkes Kab. Kulon Progo) menambahkan alternatif kebijakan tentang perlunya kebijakan terkait sistem rujukan berjenjang yang tidak disamakan pada semua program, serta pemberlakuan sanksi fraud yang tidak hanya untuk pemberi pelayanan kesehatan namun juga untuk BPJS Kesehatan khususnya terkait keterlambatan pencairan dana klaim.
Dadan Suparjo Suharmawijaya (Ombudsman RI) juga menambahkan bahwa konsep JKN BPJS sebenarnya adalah konsep yang mulia dan universal, namun karena kapasitasnya minim dan dihadapkan dengan kendala yang banyak sehingga diperlukan adanya kebijakan yang tidak bersifat tambal sulam serta memiliki sinergisitas dari lintas sector, selain itu “tata kelola” dalam pelayanan publik dapat dinilai dari beberapa hal yaitu transparasi pelayanan, kebijakan terkait SDM dan sistem, orientasi pelayanan publik. Kemudian juga dari sisi arah birokrasi pelayan publik, BPJS telah berada di arah birokrasi new public service yaitu pemberi layanan kesehatan terbaik pada masyarakat, namun memiliki banyak kendala dan sekarang birokrai publik mulai mengarah pada new public value, yaitu ada nilai yang diperjuangkan agar pelayanan diberikan merata, namun hal ini juga belum bisa dicapai. Dadan menyarankan bahwa analisis kebijakan evaluasi JKN Yogyakarta dan NTT bisa diperdalam, untuk menilai keluhan yang terlayani dan yang belum terlayani.
Dari topik diskusi ini, para narasumber menekankan bahwa evaluasi kebijakan yang sudah berjalan memerlukanan analisis kebijakan afirmatif berdasarkan daerah yang mencakup data mikro yaitu data kabupaten atau kota hingga makro yaitu data provinsi, selain itu juga perlu melihat banyak aspek baik dari segi kewenangan daerah, kesiapan daerah, serta cakupan supply dan demand dimana cakupan kepesertaan BPJS Kesehatan harus diimbangi dengan pemerataan pelayanan di seluruh daerah. Selain itu, diharapkan BPJS Kesehatan bisa berperan aktif dalam memberikan data yang transparan dan akuntabel.
Aulia Zahro Novitasari
Sesi Presentasi Oral
Sesi presentasi oral yang kedua dipandu oleh Shita Listyadewi, selaku Steering Committee Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ini terdapat lima presentan yang memaparkan hasil peneliti hasil penelitian yang dilakukan dengan berbagai pendekatan.
Analisis Pembiayaan Kesehatan Bersumber Anggaran Pemerintah Daerah di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2015 – 2017
Hasil penelitian ini disampaikan oleh Ch.Tuty Ernawati dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas. Tuty menyampaikan bahwa pembiayaan kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat masih rendah di bawah 5%. Hasil penelusuran permasalahan yang ditemukan antara lain pemanfaatan dokumen perencanaan yang belum optimal, anggaran kesehatan dari APBD dalam kurun waktu tiga tahun cenderung menurun, keterbatasan waktu dan pengaruh politik dalam penentuan prioritas serta kurangnya advokasi dan koordinasi. Sehingga Tuty menyarankan TAPD harus mengikuti jadwal pembahasan RKA OPD dan meningkatkan realisasi anggaran kesehatan secara bertahap.
Kajian Normatif Pemenuhan Kompensasi Kebutuhan Medik Era Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan
Hasil penelitian ini disampaikan oleh Tri Aktariyani sebagai akademisi dan praktisi hukum kesehatan. Seperti yang diketahui bahwa Indonesia masih menghadapi permasalahan pemerataan dan keterjangkauan upaya pelayanan kesehatan di era JKN. Menurut pasal 23 ayat (3) UU SJSN menyatakan bahwa terdapat kewajiban BPJS Kesehatan untuk memenuhi dana kompensasi bagi peserta dan fasilitas kesehatan yang belum memadai dalam memenuhi kebutuhan medik masyarakat sekitarnya. Namun berdasarkan kajian normatif, regulasi tersebut masih belum memadai. Sehingga dapat dilakukan upaya mengubah regulasi yang ada dengan menambahkan uraian batas waktu, tanggung jawab dan daftar wilayah yang masuk dalam zona daerah membutuhkan kompensasi oleh BPJS Kesehatan ke dalam Peraturan Pemerintah.Pemerintah Daerah dapat menetapkan sebuah kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah yang dilengkapi dengan Keputusan Daerah sebagai pelaksana untuk menjelaskan pelaksanaan kompensasi di daerah tersebut.
Perubahan Ekuitas Pemanfaatan Keluarga Berencana setelah Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia (Analisis Data Susenas tahun 2012-2016)
Hasil penelitian ini disampaikan Siti Khadijah Nasution, M.Kes. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi JKN berdasarkan indikator ekuitas, terutama dalam pelayanan KB. Contraceptive Prevalence Rate (CPR) dan Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih (MKET) merupakan indikator untuk mengevaluasi kemajuan ekuitas pemanfaatan KB. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa hingga 2016, program JKN tidak dapat meningkatkan CPR, namun meningkatkan cakupan MKET, meskipun sangat kecil. Ekuitas geografi dalam cakupan MKET belum tercapai, karena kemajuan di daerah pedesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan. Sehingga cakupan CPR dan MKET harus ditingkatkan melalui kesadaran masyarakat, memperbaiki sisi sarana dan prasarana program KB, meningkatkan koordinasi antara penyedia dan pemangku kepentingan program KB.
Policy Brief : Gugus Tugas Percepatan Perbaikan Gizi Masyarakat untuk Penyelamatan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan Penurunan Stunting
Hasil penelitian ini dipresentasikan oleh Nina Triana, Sp, MKM dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang. Nina mengangkat isu stunting karena 37.970 anak di Kabupaten Sumedang mengalami masalah gizi pendek/stunting pada 2013. Upaya intervensi masalah gizi harus dilakukan sejak 1000 HPK. Solusi efektif yang ditawarkan yaitu intervensi sensitif yang dapat memberikan kontribusi sebesar 70% terhadap keberhasilan penanggulangan masalah gizi masyarakat. Intervensi tersebut dikoordinir oleh gugus tugas percepatan perbaikan gizi masyarakat. Untuk itu, peneliti menyusun suatu policy brief yang memuat kesepakatan global sun movement, kebijakan nasional untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat, benang merah dengan SDGs, Intervensi sensitif untuk stunting dan overview singkat stunting.
Strategi Penanggulangan Tuberkulosis (TB): Mengapa Indonesia Menempati Urutan Kedua Penderita Tuberkulosis di Dunia?
Hasil penelitian ini disampaikan oleh Uciatul Adawiyah dari Universitas Negeri Malang. Penanggulangan TB terdapat dalam Permenkes No. 67 tahun 2016. Tujuan adanya regulasi tersebut untuk melindungi masyarakat dari penularan TB melalui peran serta masyarakat, antara lain membentuk dan mengembangkan warga peduli TB. Namun implementasinya belum optimal dan merata. Sehingga rekomendasi yang muncul yaitu adekuasi sumber daya yang terlibat dalam upaya penanggulangan TB dari lingkungan terkecil, meningkatkan peran tenaga kesmas dalam upaya promotif dan preventif, membentuk badan pengawas audit untuk melakukan survei lapangan ke daerah potensi penyebaran TB serta upaya pembentukan dan pengembangan warga peduli TB.
Di akhir sesi presentasi oral ini, John Langenbrunner dari BANTU-USAID membagikan pengalamannya ketika berkunjung ke Thailand. Terdapat dua hal menarik di Thailand terkait program penanggulangan TB yaitu adanya case manager yg mengawasi pengobatan pasien dan mekanisme pembayaran dan insentif yang mendukung. Apabila tidak ada pelaporan TB positif, maka tidak ada pembayaran dari asuransi. namun jika da laporan TB positif, maka case manager akan mendapat bonus. Sehingga, kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia terkait kontribusi BPJS Kesehatan dalam mekanisme pembayaran kasus TB.
Semua Materi presentasi dapat disimak pada link berikut
klik disini
Reporter : Afifah Nasyahta Dila (PKMK UGM)