SESI PEMBUKAAN
Pembukaan Forum Kebijakan Kesehatan VI
Para peneliti dan praktisi dari seluruh Indonesia berdatangan ke bumi Padang untuk Kebijakan Kesehatan Indonesia VI selama empat hari ke depan (24-27 Agustus 2015). Kelompok peneliti dan praktisi kesehatan ini akan membahas semua masalah dan pembelajaran mengenai kebijakan kesehatan di Indonesia. Tema yang diangkat mengenai Universal Health Coverage 2019: Manfaat, Kendala, dan Harapannya.
Laporan kegiatan disampaikan oleh Ketua Panitia Forum kebijakan kesehatan indonesia ke VI, Prof. Dr. dr. Hj. Rizanda Manchmud, M.Kes. Antusiasme peserta forum tahun ini sangat luar biasa, ada lebih dari 302 peserta dan 130 abstrak dari dalam dan luar Padang. Forum nasional tahun ini pertama kalinya digelar dengan webinar dengan 7 universitas sebagai co-host. Selama empat hari ke depan, kita berkumpul untuk berdiskusi dan mencari solusi untuk perbaikan program Jaminan Kesehatan Nasional dan kebijakan-kebijakan lainnya, bukan sebaliknya. Semoga kegiatan ini berbuah manfaat dan menambah luas jaringan seperti ranting-ranting pinus.
Pengantar rangkaian kegiatan disampaikan oleh koordinator Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI), Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD. Isi pengantar tersebut, antara lain: Selamat datang kepada seluruh peserta, tahun 2015 ini terlihat kemajuan pesat dari jaringan ini yang pertama kali terbentuk di tahun 2000. Bersyukurlah kita mendapat kesempatan untuk berkumpul membahas mengenai masalah-masalah dan pembelajaran di tahun kedua pelaksanaan JKN. Bukan hanya JKN yang dibahas dalam forum ini, para peserta dapat memilih pokja-pokja kebijakan yang ada yaitu: Pokja Kesehatan Ibu dan Anak, Pembiayaan Kesehatan, HIV/AIDS, Pendidikan SDM Kesehatan, Pelayanan Kesehatan, Gizi Masyarakat, Kesehatan Lingkungan, Penanggulangan Bencana, Mental Health, dan lainnya.
Sambutan sekaligus pembukaan disampaikan oleh Rektor Universitas Andalas, prof. DR. Werri Datta Taifur, SE, MA. Senang sekali Padang menjadi tuan rumah untuk forum ini. Ini memang masalah penting untuk dibahas secara nasional karena untuk mencapai kemajuan bangsa maka kesehatan adalah salah satu indikator yang harus diperhatikan, selain pendidikan. Pondasi kesehatan masyarakat harus kuat. Salah satu inisiatif negara kita adalah dengan menyelenggarakan universal health coverage. Dengan mengucap basmalah forum ini resmi dibuka.
- Terakhir, sambutan oleh Gubernur Sumatera Barat yang diwakili oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, dr. Rosnini Savitri, M.Kes. Dalam sambutannya, Rosnini menyampaikan sejumlah hal, antara lain dana untuk kesehatan Sumatera Barat sudah mencapai 16,8 % meski masih ada kabupaten/kota yang masih berkisar 4-5% tetapi ada juga kabupaten yang justru lebih tinggi hingga mencapai 18%. Ini menjadi tantangan kami memang, bagaimana meningkatkan pendanaan bidang kesehatan di Sumatera Barat. Forum ini sangat bermanfaat bagi Sumatera Barat, dilihat dari isu-isu kebijakan yang diangkat, diantaranya mengenai bencana dan HIV AIDS. Kami haturkan banyak terimakasih dan mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan dalam penyelenggaraan kegiatan ini.
Pembukaan Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia VI kali secara simbolis dibuka dengan pemukulan gong kecil oleh masing-masing perwakilan penyelenggara dan sponsor. Seluruh peserta, disambut di Bumi Minang dengan tarian penyambutan tamu: Tarian Pasambahan yang dibawakan oleh mahasiswa-mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Reporter: Madelina Ariani
Laporan Ketua Panitia FKKI VI Prof. DR. dr. Rizanda Machmud, M.Sc., Ph.D
|
video |
|
Pengantar Koordinator Jaringan prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, PhD
|
video |
|
Rektor Universitas Andalas Prof. DR. Werri Datta Taifur, SE, MA
|
video |
|
Sambutan dan pembukaan resmi dr. Rosnini Savitri, M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat
|
video |
Keynote speech
Keynote Speech
Sebagai Ketua JKKI, Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD memberikan pengantar pada seminar di hari pertama ini. Setidaknya ada dua topik yang dibahas pada pengantar tersebut, yang pertama mengenai apa manfaat dilakukannya monitoring kebijakan JKN dan yang kedua terkait dengan pemanfaatan teknologi untuk mengembangkan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia.
Sejak Kebijakan Pembiayaan Kesehatan Nasional yang disebut JKN diimplementasikan tahun 2014, Prof. Laksono melalui PKMK FK UGM melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan ini. Harapannya adalah untuk bisa mengawal pelaksanaannya, agar sesuai dengan amanah UU yaitu meningkatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Menyadari kurangnya sumber daya, Prof. Laksono mendorong berbagai Perguruan Tinggi lain untuk melakukan monev ini bersama-sama di wilayah masing-masing. Hasil monitoring yang dibahas dalam berbagai pertemuan bersama menunjukkan tujuan kebijakan belum sepenuhnya tercapai. Hal ini, menurut Prof. Laksono karena road map disusun pemerintah berdasarkan asumsi, sedangkan upaya untuk memenuhi asumsi tersebut – misalnya pemerataan fasilitas kesehatan dan kecukupan dana – belum terpenuhi. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya ketidakadilan geografis. Akhirnya kelompok yang mendapatkan manfaat paling besar dari kebijakan ini justru adalah masyarakat "non-PBI mandiri". Hasil monev ini akan digunakan untuk memberi masukan pada pembuat kebijakan untuk melakukan revisi, mulai dari tingkat UU sampai kebijakan teknis sesuai hasil temuan.
Saat ini implementasi JKN dan BPJS cenderung tersentralisasi padahal masalah di berbagai daerah berbeda-beda, yang membutuhkan pendekatan berbeda pula. Sebagai contoh, data dari kabtor-kantor cabang BPJS langsung dikirim ke pusat tanpa ada komunikasi dengan Pemda/Dinkes setempat. Akibatnya, kepala daerah tidak mengetahu berapa masyarakatnya yang menderita sakit tertentu, atau apa masalah penyakit terbanyak yang diderita warganya. Oleh karenanya, UGM mengajak perguruan tinggi lain untuk terus menerus melakukan monev, mendiseminasi hasilnya dan bersama-sama mengupayakan advokasi di tingkat daerah masing-masing hingga ke pusat. Untuk meningkatkan efektivitas ini, teknologi komunikasi jarak jauh dimanfaatkan semaksimal mungkin. Setiap pertemuan yang membahas mulai dari penyusunan proposal hingga diseminasi hasil-hasil penelitian dan advokasi dipaparkan melalui website, webinar hingga blended learning. Untuk itu, semua perguruan tinggi yang terlibat aktif juga harus menguasai teknologi ini dan memiliki infrastruktur yang mendukung. Seperti yang dilakukan pada Fornas di Padang ini yang secara langsung di-relay antara lain oleh Universitas Mulawarman, Universitas Nusa Cendana, Universitas Sam Ratulangi dan UGM. Harapannya, setiap perguruan tinggi akan memiliki kesempatan yang sama untuk berperan sebagai host/co-host pertemuan nasional, serta mengembangkan simpul-simpul penelitian kebijakan di daerah di seluruh Indonesia. Sayangnya, saat ini perguruan tinggi yang terlibat masih sedikit dan akses ke pertemuan ilmiah terbatas. Oleh karenanya, Prof. Laksono mengajak semua pihak untuk bergabung dan aktif di forum JKK ini dan menjalin hubungan komunikasi antar-anggota. Pada akhirnya, masyarakat pengguna ilmu dapat mengembangkan diri secara lebih murah.
materi presentasi video
Reporter: Putu Eka Andayani
PLENO 1
Reportase Pleno 1
Monitoring dan evaluasi kebijakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2015 menjadi topik pada sesi pleno pertama pada Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia VI. Sesi diawali dengan materi Dr. Sangguana Koamesah MKes. MMR (Universitas Nusa Cendana) tentang kondisi di NTT. Ketersediaan SDM kesehatan dan fasilitas kesehatan masih menjadi masalah utama di daerah. Dari total iuran peserta JKN yang sekitar 848 M, ada sekitar 351 M yang belum terpakai untuk pembiayaan peserta JKN. Sangguana menegaskan bahwa monitoring terpadu sangat berperan penting dalam mencapai UHC 2019.
Sebagai fasilitator dalam sesi ini, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. PhD kemudian mempersilakan Sukri Palutturi, SKM, M.Kes, MSc.PH., Ph.D, (Universitas Hasanuddin) untuk turut memaparkan hasil kajiannya. Beberapa aspek dalam penyelenggaraan program JKN dijelaskan secara detail, termasuk adanya adverse selection. Hal lain yang menarik yaitu kendala sistem rujukan dan pendaftaran. Temuan ini dilengkapi oleh hasil studi Denas Symond, MCN (Universitas Andalas) yang lebih menyoroti pemerataan di tengah ketersediaan SDM dan fasilitas kesehatan.
Pemaparan hasil landscape penelitian health financing dari USAID yang diwakili oleh Edhie S. Rahmat juga menekankan adanya kesenjangan antara normatif dan teoritis. Adapun tiga prioritas yang disampaikan beliau terkait dengan efek pembiayaan JKN di FKTP, dampak terhadap rujukan, dan peran BPJS Kesehatan sebagai purchaser. Menanggapi hal ini, dr. Suir Syam, M.Kes, MMR selaku anggota DPR Komisi IX menyatakan beberapa hal yang sedang menjadi perhatian, yaitu : dampak kebijakan kapitasi pada pemerataan SDM kesehatan, kesulitan dalam pendaftaran kepesertaan, perlu dikaji kembalinya mekanisme bayar denda atas keterlambatan iuran, dan masalah penjaminan bayi baru lahir.
Tanggapan dari BPJS Kesehatan yang diwakili oleh dr. Togar Siallagan menjelaskan bahwa tanggung jawab pemerintah dalam mendukung ketersediaan SDM dan fasilitas kesehatan juga perlu untuk dioptimalkan. Menurut dr. Rosnini, salah satu yang dapat dilakukan daerah yaitu melalui tim khusus untuk monev. Sukri menambahkan bahwa kesuksesan upaya tersebut juga tidak lepas dari SDM non kesehatan. Di lain sisi, menurut Dr. Sangguana bahwa perbedaan kapasitas fiskal perlu dipertimbangkan. Menurut Togar, dukungan sistem informasi sedang dikembangkan BPJS Kesehatan .
"Apakah sudah saatnya dilakukan evaluasi terhadap kebijakan JKN, apakah JKN diproyeksikan dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan?". Di sesi akhir, Prof. Laksono menyimpulkan beberapa hasil diskusi bahwa dua masalah utama JKN yaitu kendala yang bersifat operasional dan kendala yang bersifat konsepsual. Sesi pleno juga menjaring saran dan rekomendasi dari peserta, diantaranya : perlunya pelatihan coding, pentingnya regulasi dalam pengelolaan dana kapitasi, revitalisasi fungsi promotif dan preventif di FKTP, dan perbaikan sistem e-catalog dalam pengadaan obat.
Materi Presentasi
Dr. Sangguana Koamesah, M.Kes, MMR Universitas Nusa Cendana: Studi Kasus di NTT |
materi video |
|
Sukri Palutturi, SKM, M.Kes, MSc.PH., Ph.D., Universitas Hasanuddin Studi kasus di Sulawesi Selatan |
materi video |
|
Denas Symond, MCN Universitas Andalas Studi kasus di Sumatera Barat |
materi video |
|
Eddy S. Rahmat, USAID Pemaparan Hasil Landscape Penelitian Health Financing |
materi video |
|
Video Sesi Diskusi
part 1 part 2 part 3 part 4 part 5
Reportase : BES
PLENO 2
Reportase Pleno 2
Konsep Universal Health Coverage / Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia itu kurang tepat menurut Prof Ascobat. Karena saat ini konsep JKN masih berbentuk financial risk protection atau proteksi agar pasien tidak miskin setelah sakit. Bentuknya bagus tetapi berdasarkan pengalaman dari negara lain cara ini hanya akan membuat biaya kesehatan semakin mahal. Dalam satu tahun di Indonesia pasca penerapan JKN telah terjadi inflasi biaya kesehatan sebesar 13%. Jangan sampai indonesia seperti Amerika yang biaya kesehatannya sangat mahal.
Ibarat burung elang, satu sayapnya berbentuk proteksi finansial, tetapi sayap lainnya harus berupa health risk reduction atau pencegahan agar masyarakat tidak sakit, sehingga angka kesakitan menjadi berimbang, jumlah pasien sakit berkurang. Tanpa kedua sayap yang bekerja baik tentu burung elang tidak bisa terbang. Dua pilar lain adalah kelengkapan sarana prasarana dan pengawasan oleh kepala daerah dalam menjalankan Undang-undang 23 tahun 2014.
Keempat konsep tersebut tercantum dalam Sustainable Development Goal, JKN dan Undang-undang no 23 tahun 2014 mengatur tentang pemerintahan daerah, dimana terdapat urusan pemerintahan wajib yang harus diselenggarakan oleh semua daerah. Presiden dalam undang-undang ini ditampuk sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sesuai dengan UUD 45, yang memegang tanggung jawab penuh pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut, dibantu oleh menteri, termasuk pada urusan kesehatan.
Sektor Kesehatan menjadi urusan wajib daerah karena berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat setara dengan sektor pendidikan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, ketentraman, dan sosial. Sektor ini harus menjadi prioritas bagi daerah. Bagi daerah yang menolak pemenuhan pelayanan dasar ini maka terdapat affirmative policy bagi presiden untuk memberikan sanksi administrasi.
Dalam kaitannya dengan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional, dr. I Made Suwandi mengatakan bahwa kebijakan ini dapat digunakan untuk memaksa daerah melakukan kerjasama lintas kabupaten untuk memenuhi kesehatan masyarakat. Tentu kerjasama ini harus dikoordinasikan oleh gubernur sebagai pimpinan puncak sedangkan untuk kerjasama ksehatan lintas provinsi merupakan wewenang dari kemendagri.
Dalam undang-undang dikatakan bahwa untuk adanya sinergi yang baik antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian maka diperlukan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman pelaksanaan. Namun sayangnya pada beberapa sektor NSPK ini masih dalam tahap pembahasan.
Sebagai kesimpulan bahwa undang-undang 23 tahun 2014 telah menyajikan sebuah terobosan bagi kepala daerah untuk melakukan affirmativepolicy untuk perbaikan sektor kesehatan. Tetapi tetap harus ada kerjasama dengan berbagai pihak dengan agar finansial risk reduction bisa terbang bersama health risk reduction. Pencegahan selalu lebih baik dari pengobatan. -ty
Materi Presentasi
DR. I Made Suwandi, MSc UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Implikasi terhadap pembagian urusan pemerintahan bidang kesehatan. |
materi video |
|
Prof. Ascobat Gani UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Implikasi terhadap pencapaian Universal Health Coverage dan Sustainable Development Goals (SDGs) |
materi video |
|