Diskusi panel ke-4 ini membahas dua hal yaitu memposisikan puskesmas sebagai sentral dalam fasilitas kesehatan tingkat pertama dan majerial puskesmas yang harus berjalan. Selain itu, diskusi ini juga mengajak untuk jangan ada pembiaran terhadap peran puskesmas. Diskusi ini difasilitatori oleh Dr.dr Deni Sunjaya DESS dari Universitas Padjajaran dengan pembahas Prof.Dr. dr. Akmal Taher, Sp. U; dr. Adang Bahtiar, MPH, D.Sc (Ketua IAKMI Pusat) dan H. Andra Sjafril, SKM, M. Kes (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau).
Diskusi diawali dengan presentasi dari Prof. Dr. dr. Hj. Rizanda Machmud, M. Kes dari Universitas Andalas mengenai penguatan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan penguatan dinas kesehatan kabupaten/ kota dalam Pelayanan UKP dan UKM. Dalam paparannya, Rizanda menekankan tentang tugas puskemas yang harus dilakukan terkait dengan Permenkes No.75 tahun 2014. Puskesmas yang diharapkan berperan sebagai sentral akan memiliki kesulitan untuk menjalankan Permenkes No.75 tahun 2014 karena akan ada permasalahan di pelaporan dan pencatatannya. Untuk mengatasi hal ini memang sudah ada aplikasi PCare tetapi aplikasi ini tidak bisa mendistribusikan semua keperluan di Puskesmas. Presentasi kedua disampaikan oleh DR. dr. Mubasysyr Hasanbasri, MA dari Universitas Gadjah Mada mengenai apakah puskesmas sebagai lembaga pemerintah mampu menjalankan fungsi sebagai FKTP yang baik. Presentasi ini menyoroti tentang organisasi yang ada di puskesmas, khususnya manajerialnya. Manajerial ini perlu dilakukan untuk keperluan pengelolaan karena kerja di puskesmas tidak dapat dijalankan seorang diri. Meskipun demikian, sistem manajerial ini tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh Dinas Kesehatan.
Pembahasan mengenai kedua topik ini menjelaskan tentang kurangnya integrasi di puskesmas sehingga permasalahan di puskesmas sudah ada sebelum era JKN. Permasalahan ini masih ada hingga saat ini. Selain itu,menurut Prof. dr. Akmal Taher, Sp puskesmas memang enggan untuk mengatur manajerialnya sendiri karena pihak puskesmas tidak mau ribut di level bawah sehingga lebih baik level atas saja yang mengatur. Ide yang muncul disini adalah memilih tokoh di manajerial yang komprehensif sehingga dapat memberikan pelayanan yang baik. Pihak yang diharapkan untuk melakukan manajerial ini berasal dari lulusan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat dan bukan lagi dokter. Kendalanya adalah lulusan FKM tidak percaya diri menjalankan peran ini.
Untuk keikutsertaan pihak Dinas Kesehatan terhadap peran puskesmas dibahas oleh H. Andra Ajafril, SKM, M. Kes yang menjelaskan bahwa di Dinas Kesehatan Riau sudah diutamakan akreditasi dan manajemen puskesmas. Sayangnya, menurut Prof. Dr. dr. Hj. Rizanda Machmud, M.Kes hal tersebut belum terjadi di Padang. Umpan balik belum terjadi dari dinas kesehatan ke puskesmas. Sehingga bisa dikatakan bahwa keadaan puskesmas masih sulit di generalisasikan akibat dari otonomi daerah.
Materi Presentasi
Penguatan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan penguatan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam Pelayanan UKP dan UKM:
"Strategi Pemanfaatan Kenaikan Anggaran Kesehatan 5 % untuk Pencapaian Target UHC dan SDGs"
Pembicara dalam diskusi sesi pleno V yaitu Dr.drg. Theresia Ronny Andayani, MPH dan Prof. Syahfuddin Karimi. Sementara pembahasnya ialah dr. Adang Bahtiar, MPH, D.Sc, Sumiyati, Ak. M.FM, Dr. Gatot Soetono, MPH dan Dr. Artati Suryani, M.Kes. Pada diskusi pleno sesi V ini dibahas isu yang sedang hangat diperbincangkan saat ini terkait dengan rencana pemerintah menaikkan anggaran kesehatan sebesar 5% pada APBN tahun 2016. Pada saat ini, pengeluaran kesehatan publik untuk belanja kesehatan masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah berencana menaikkan anggaran sektor kesehatan sesuai dengan tuntutan undang-undang yaitu sebesar 5%. Pemerintah juga bertekad meningkatkan alokasi anggaran kesehatan bagi daerah menjadi 22 Trilyun, naik 7 kali lipat dibandingkan tahun 2014 sebesar 3 Trilyun.
Pertanyaan selanjutnya adalah dengan kenaikan sektor anggaran ini, bagaimana strategi Bappenas? Dalam paparannya drg. Theresia Ronny Andayani, MPH yang diwakili oleh staf menyampaikan pentingnya upaya meningkatkan kegiatan promotif dan preventif, menyediakan tenaga kesehatan, obat dan peralatan kesehatan yang memadai, mengembangkan penelitian dan pengembangan guna mendukung dalam pengambilan kebijakan berbasis bukti, serta peningkatan sistem informasi kesehatan. Selain itu, salah satu strategi yang tidak kalah pentingnya pelaksanaan sistem kontrak dan public private partnership untuk meningkatkan kemampuan penyerapan anggaran.
Profesor Syahfuddin, Ekonom Universitas Andalas menjelaskan bahwa ada tantangan yang luar biasa besar dengan kenaikan anggaran sektor kesehatan sebesar 5 % ini yaitu bagaimana penyerapan anggaran bisa maksimal. Sebagai contoh Kementerian Pendidikan yang mengalami kesulitan dalam penyerapan anggaran kesehatan 5%. Syahfuddin mengusulkan strategi yang harus dilakukan adalah asuransi bagi semua masyarakat, keterbukaan informasi tentang kualitas dan biaya pelayanan kesehatan serta melakukan perencanaan yang baik dengan melibatkan pengguna layanan kesehatan.
Terkait dengan strategi kenaikan anggaran sektor kesehatan, dr. Adang Bachtiar mengusulkan perlu adanya mobilisasi sumber daya manusia, utilisasi data epidemi untuk health intervention serta perbaikan tata kelola anggaran, efisiensi, dan akuntabilitas. Sementara itu, Sumiyati dari Kementerian keuangan menekankan pentingnya strategi perencanaan yang baik yang yang meliputi: review peraturan dan prosedur yang ada, penyediaan SDM yang proporsional antara medis dan pendukungnya, sistem remunerasi yang baik, monitoring dan evaluasi yang kuat,serta sistem yang baik dan komitmen. dr Artati juga setuju dan sependapat dengan apa yang disampaikan dengan Sumiyati bahwa strategi yang paling penting adalah perencanaan yang tepat dengan melibatkan pengguna layanan kesehatan.
Materi presentasi
Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH, Deputi Kesehatan dan Gizi Bappenas RI *)
Fraud berpotensi menurunkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan oleh dr. Hanevi Djasri, MARS, Hanevi adalah salah satu konsultan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM. Konsultan yang sehari-hari berkutat dengan mutu ini menjadi moderator pada acara Forum Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (FKKI) ke-6 di hotel Bumi Minang, Padang 25 Agustus 2015.
Forum ini menampilkan berbagai pembicara dan pembahas dari tingkat regulator, akademisi, pemberi pelayanan kesehatan dan regulator di tingkat wilayah. Paparan isu pertama tentang cukupkah Permenkes No. 36 Tahun 2015 mencegah fraud pada JKN oleh Prof. Dr. dr. Budi Sampurno SpPF. Ada tiga faktor yang menyebabkan fraud yakni motivasi, rasionalisasi, dan kesempatan. Permenkes yanng digagas oleh akademisi FK UGM ini telah mengandung unsur untuk menghilangkan penyebab fraud, mulai dari etika, remunerasi, bekerja menggunakan panduan klinis. Peraturan ini juga masih perlu didukung dengan peraturan lain di tingkat daerah.
KPK juga tidak tinggal diam terhadap ancaman fraud di layanan kesehatan. Dalam prsentasinya, Niken Ariati mengungkapkan bahwa KPK mempunyai fungsi pencegahan dan kewenangan di pasal 14. Kebjakan baru JKN berdampak masif. Pelaksanaan JKN ini ibarat kapal yang belum jadi tapi dipaksakan untuk berlayar, dibuktikan dengan keterlambatan Perpres 32 sehingga para pembaca bisa membayangkan hiruk pikuk penerapan JKN. Permenkes 36 dirasa telat keluar, yang seharusnya Permenkes ini keluar tahun 2014. Masalah fraud ini tentunya bisa diatasi dari akarnya, yakni dengan memasukkan kurikulum cara koding yang tepat dan benar pada fakultas kedokteran sehingga semua dokter mengetahui cara melakukan koding yang tepat.
Faktanya, fraud ini sudah lama terjadi. Sebelum JKN, fraud sudah mengancam sistem INA DRG. Dalam JKN ini, timbul konflik ideologi untuk merasionalkan pendapatan. dr. Donald Pardede, M.Kes mengungkapkan bahwa "Ketika masa transisi ini diperlukan pemahaman yang cukup, regulasi penting untuk memberikan definisi operasinal sehingga stakeholder bisa meng-alert fraud". Selain itu, yang paling penting adalah menumbuhkan budaya anti fraud. Upaya ini dapat dilakukan pelatihan dan disemenasi untuk pencegahan fraud.
dr. Arida Oetami, M.Kes, dan Dr. dr. C. H. Soejono, SpPd, K-Ger, MEpid, FACP, FINASIM sebagai pembahas menekankan bahwa perlunya sosialisai Permenkes No 36 Tahun 2015. Namun walaupun Permenkes ini belum tersosialisasi dengan baik, penyedia layanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP) dan di Fasilitas Kesehatan tingkat Rujukan lanjutan (FKRTL) tetap terus mendukung upaya pencegahan fraud dengan terus berinovasi mencegah fraud dengan cara mengambangkan klinik fraud, membuat sistem rujukan, membuat sarana pelaporan fraud, pelatihan dan edukasi tentang bahaya fraud, sosialisasi tentang deteksi, pencegahan dan penindakan fraud. Mari bahu membahu mebangun sistem pencegahan fraud di Indonesia. JKN Indonesia lebih baik dari Obama Care.
Materi presentasi
Prof. Dr. dr. Budi Sampurno SpPF, Universitas Indonesia Peraturan Menteri Kesehatan untuk mencegah Fraud: Apakah sudah cukup kuat?
Pemerintah Australia merasa terhormat karena bisa memberikan dukungan dalam konferensi seperti ini. Tentu pertemuan ini sangat penting, mengingat akan digelar UN Summit pada September 2015. Ini momentum yang penting sekali, mudah-mudahansemua negara akan meratifikasi sustainable development goals (SDG's). SDG's memiliki tujuan dan target yang ambisius, ada 17 goal dan 107 target. Ada 5 P yang mendasari lahirnya SDG's ini, antara lain people, planet, prosperity, peace, dan partnership.
People atau orang menjadi prioritas pertama, banyak yang khawatir saat Millenium Development Goals (MDG's) usai maka kesehatan tidak menjadi prioritas lagi. Sebelumnya, tiga target dari MDG's berfokus pada kesehatan. Meski nanti dalam SDG hanya ada satu tujuan untuk kesehatan, namun seyogyanya hal ini sudah disusun secara komprehensif, karena menyangkut kesehatan, nutrisi dan well being (kemakmuran) seseorang.
Tentu saja akan banyak tantangan karena ada target baru yang diperkenalkan. Beruntung, salah satu target SDG ialah mencapai Universal Health Coverage (UHC). Poin yang menarik yaitu UHC bukan hanya perlindungan finansial. Pastinya model yang diusung WHO yaitu UHC mengarah ke layanan yang diberikan dan perlindungan sosial. Seharusnya ada 5 dimensi dalam UHC, dua yang menjadi tambahan ialah kualitas layanan kesehatan yang diberikan dan cakupan/pemerataan layanan kesehatan. Ini merupakan tantangan besar untuk Indonesia dan negara ini sudah mengambil langkah penting di area terkait.
Dua langkah penting yang dimaksud ialah skreditasi puskesmas dan penetapan standar pelayanan minimum. Sayangnya, kita sering memikirkan sektor publik, namun banyak masyarakat yang memilih ke klinik swasta. Oleh karena itu, kita masih memiliki PR untuk mutu dari penyedia layanan swasta. Hal yang harus digarisbawahi ialah di dalam layanan kesehatan masyarakat, pencegahan lebih baik dari pengobatan. Hal ini senada dengan yang disampaikan Jusuf Kalla, "Saya tantang Anda semua untuk tidak menambah RS, tempat tidur dan faskes lainnya, pikirkan bagaimana caranya orang keluar dari RS". Pernyataan tersebut disampaikan wakil presiden saat Mukernas IAKMI beberapa tahun lalu di Kupang, NTT.
Saat ini menjadi kesempatan emas karena anggaran di bidang kesehatan akan ditingkatkan. Salah satu kunci besar untuk mampu memberikan layanan kesehatan yang baik karena ada kepemimpinan yang baik di politis dan birokrasi di tingkat kabupaten dan provinsi. Misalnya Frans Lebu Raya (Gubernur NTT) yang memiliki kepemimpinan politik yang kuat sehingga seluruh bupati mendukung Frans. Frans berhasil karena Bappeda, BPMD dan banyak lintas sektor pemerintah yang mengusung satu tujuan.
Di akhir keynote speech-nya, John sangat optimis, bibit kepemimpinan seperti itu maka Indonesia akan berlayar maju menuju tujuan yang ingin dicapai (wid).
Perencanaan UHC dalam Pembangunan Nasional untuk Mewujudkan Masyarakat Sehat Paripurna
Dra. Nina Sardjunani, MA
Sesi Menkes RI
Keynote Speech Menteri Kesehatan RI
Penguatan Sistem Kesehatan Untuk Mewujudkan Indonesia Sehat
Forum JKKI telah memasuki hari kedua, yang special dihari ini yaitu keynote speech menteri Kesehatan RI Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, Sp.M (K) hadir ditengah-tengah kami. Beliau memaparkan materi mengenai Penguatan Sistem Kesehatan Untuk Mewujudkan Indonesia Sehat.
Era Jaminan Kesehatan (JKN) yang sudah berlangsung selama 1,5 tahun, merupakan batu loncatan yang cukup besar. Sekitar 189 juta jiwa tertolong dalam hal kesehatan dalam era JKN ini. Banyak kendala yang dialami selama keberlangsungan perogram JKN. Ibu Nila memaparkan apapun program yang sudah berjalan kita selayaknya belajar menganalisa dan menutupi kekurangan, dan apabila ada kelebihan dari program tersebut, bisa dijadikan kebanggaan.
Biaya klaim yang dilakukan selama era JKN sebagian besar pada Rawan Inap . Penyakit jantung menduduki urutan pertama dengan klaim sebesar 3,5 Triliun. Kemudian disusul oleh Persalinan dengan klaim sebesar 2,3 Triliun. Selain rawat inap, klaim juga dilakukan pada rawat jalan. Penyakit gagal ginjal memiliki nilai klaim paling besar yaitu 1,7 Triliun, karena sebagian besar pasien melakukan Hemodialisa (HD) yang memerlukan dana cukup besar.
Perbedaan kasus rawat inap dan rawat jalan antara Penerima bantuan Iuran (PBI) dan non PBI, lebih banyak pada non PBI. Hal ini menjadi pertanyaan, apakah yang PBI ini belum mendapatkan informasi yang lengkap terkait layanan kesehatan yang mereka terima?. Dalam era JKN, dana yang ada masih mencukupi untuk pembiayaan kesehatan, tetapi belum dimanfaatkan dengan baik. Azas yang diberlakukan dalam JKN adalah azas gotong royong, dimana yang sakit dibantu oleh yang sehat dan yang tidak mampu dibantu oleh yang mampu. Hal ini mennjadi evaluasi untuk kita bersama.
Selanjutnya dibahas mengenai program MDGs yang telah berjalan cukup baik, Indonesia memiliki target optimal pencapaian MDGs di tahun 2015. Salah satu bidang yang sangat diutamakan Indonesia ialah kesehatan terutama masalah gizi dan kesehatan ibu-anak. Fokus pemerintah untuk memenuhi target MDGs dalam bidang ini ialah dengan menekan angka kematian ibu dan anak (AKI). Data dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 angka kematian ibu sebesar 359 per 100.000 kelahiran. Berbagai macam cara dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengurangi atau menekan angka kematian ibu. Seperti contoh yang dilakukan oleh Ibu Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) dan Dinas Kesehatan Surabaya membuat program "Ramah Posyandu". Dengan program tersebut berhasil menurunkan angka kematian ibu yang signifikan.
MDGs 4 dan 5 tidak hanya sebatas menekan angka kematian ibu dan anak. Tetapi bagaimana menciptakan generasi penerus yang bisa mensukseskan pembangunan kesehatan di Indonesia. Salah satu ancaman serius terhadap tujuan pembangunan kesehatan kita, khususnya kualitas generasi mendatang adalah stunting. Terlihat bahwa secara nasional rata-rata angka kejadian stunting pada balita kita adalah 37.2%. Dengan asumsi jika seorang ibu memiliki anak 5 maka 2 diantaranya akan stunting atau gangguan kognitif yang mengakibatkan IQ nya tidak akan mencapai standar. Menurut standar WHO, persentase ini termasuk kategori berat, dan untuk kita perlu memberikan perhatian yang lebih serius dalam upaya menurunkan angka kejadian stunting di negara kita. Untuk mengatasinya maka dimulai dengan perbaikan kesehatan dan mengubah mindset sejak usia remaja. Dengan berbagai program yang diberikan harapannya bisa mengurangi kejadian stunting di Indonesia.
Program Nawa cita yang dibuat oleh Presiden Republik Indonesia berprioritas pada pembangunan dimulai dari daerah perifer ke sentral. Begitupula pada sektor kesehatan, dengan program Nusantara Sehat yang berfokus untuk penguatan pelayanan kesehatan primer melalui pengiriman tenaga kesehatan ke daerah pinggiran dan daerah terpencil di Indonesia. Dimulai dari layanan Posyandu, Posbindu, Poskestren hingga Puskesmas. Hal ini tentunya berdampak pada peningkatan mutu pelayanan kesehtan ditingkat primer.
Untuk mewujudkan Indonesia sehat, Kementerian Kesehatan tidak bisa berjalan sendiri. Dalam hal ini tentunya kementerian kesehatan melakukan kerjasama dengan beberapa kementerian agar program-program yang ada bisa berjalan dengan baik. Dengan adanya kerjasama lintas kementrian diharapkan pembangunan kesehatan di Indonesia bisa lebih baik lagi.
Untung Suseno Sutarjo menyampaikan sejumlah hal menarik melalui Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia Keenam pada Selasa (25/8/2015). Tantangan pembangunan kesehatan ke depan yaitu pencapaian MDG'S atau SDG's dan implementasi JKN dengan meningkatkan pelayanan. MDG's akan menjadi SDG's, dan secara nasional sudah disusun strategi salah satunya melalui Indonesia Sehat yang diusung Jokowi (Nawacita). Situasi lain yang cukup penting ialah kepesertaan PBI yang akan meningkat dari 88,2 juta ke 92,4 juta untuk PBI (untuk bayi dan yang membutuhkan) pada tahun 2016. Selain itu, akan dilakukan penyesuaian anggaran Kemkes yang jumlahnya hanya 64,8 Trilyun, 25 Trilyun akan dialokasikan untuk JKN.
Sesi tanya jawab dalam sesi ini memunculkan beberapa pertanyaan. Edward dari Papua menanyakan untuk Mei 2016 akan ada peningkatan dana 5% untuk Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal yang ditakutkan ialah pola pikir yang berkembang di daerah dimana UHC sulit dicapai di daerah seperti Papua. Salah satunya, untuk JKN tidak ada biaya pendamping untuk staf Dinkes, sementara kartu Papua Sehat misalnya disertai dengan biaya sosialisasi dan biaya pendampingan.
Ariawati dari Dinkes Lampung menanyakan DAK non teknis terdiri dari DAK BOK dan akreditasi Puskesmas. Semua DAK Non teknis akan masuk ke Biro Keuangan, apakah tidak menambah panjangnya birokrasi?
Pertanyaan lain yang muncul ialah, apakah mungkin program UKM di Puskesmas dikontrakkan ke pihak ketiga?
Untung mencoba memaparkan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang baru (2016) berbeda dengan yang tahun sebelumnya. DAK model baru yang diturunkan ke Provinsi dibagi sesuai kriteria (juknis berjalan). Provinsi harus melihat kabupaten mana yang siap menerima DAK. Dana Alokasi Khusus (DAK) 2016 bisa diperoleh melalui proposal dari staf nakes yang akan melaksanakan kegiatan di daerah. Setelah DAK suatu daerah disetujui, maka akan ada penilai profesional yang menyeleksi daerah mana yang memungkinkan untuk menerima DAK. Jika tidak terserap, akan diberikan ke daerah lain.Khusus BPKP akan dikirim ke Papua untuk menilai kesiapan Papua dalam penerimaan DAK.
Untung menutup sesi dengan menjawab pertanyaan terkait kontrak. Dari DAK apa saja program yang bisa dikontrakkan? Namun, jika banyak program yang dikontrakkan, Dinkes jadi apa? Jika program dilakukan Puskesmas, maka Dinkes sebagai pengawas. Sementara provinsi mengawasi pelaksanaan program tersebut, misal daerah mana yang gunakan pajak rokok untuk membangun ruang merokok, tegas Untung.
FKKI Keenam resmi ditutup pada Selasa (25/8/2015) dengan pengumuman dari ketua panitia yaitu Prof. Rizanda Machmud bahwa FKKI berikutnya (2016) akan digelar di Makassar (wid).