FKTP
Kelompok Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Fasilitas kesehatan tingkat pertama merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan sistem kesehatan di negeri ini. Perannya menjadi sangat sentral di masyarakat dalam menciptakan masyarakat yang sehat dan mandiri. Bukan hanya upaya kuratif dan rehabilitatif yang terus dilakukan namun juga upaya promotif dan preventif juga harus terus didorong untuk dikesinambungkan.
Pada pembicara pertama di sesi ini oleh Mariati Rahmat, SKM., MPH memaparkan hasil penelitiannya yang dilaksanakan di Kab. Sinjai Pov. Sulawesi Selatan tentang peran Posbindu di Desa dalam pengendalian faktor resiko penyakit tidak menular dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahannya. Beliau memberikan penekanan bahwa ada penghematan anggaran yang jauh lebih murah pada proses intervensi di Posbindu daripada biaya yang mesti dikeluarkan setelah terpapar penyakit tidak menular.
Pembicara selanjutnya oleh Tri Astuti Sugiyatmi membahas tentang perlunya evaluasi kebijakan pemerintah tentang layanan puskesmas 24 jam di Kota Tarakan Prov. Kalimantan Utara. Di wilayah tersebut terdapat 3 dari 7 puskesmas yang telah memberikan layanan 24 jam dengan berbagai variasi. Layanan ini bukan hanya untuk UGD namun juga berlaku bagi poliklinik. Pelayanan 24 jam ini sangat menyita waktu para tenaga kesehatan ke program-program UKP sehingga upaya promotif dan preventif cenderung terabaikan. Dalam sesi diskusi tersampaikan bahwa kebijakan layanan puskesmas 24 jam ini lebih cocok di perkotaan namun dipertanyakan bagaimana sisi keadilannya di pedesaan.
dr. Suryani Yulianti, M.Kes melanjutkan topik tentang gambaran pelaksanaan pelayanan BPJS kesehatan di FKTP Kota Semarang Prov. Jawa Tengah. Pengumpulan data diambil melalui proses observasi dan wawancara terhadap 20 dokter dan 100 pasien yang sedang memeriksakan dirinya atau keluarganya di FKTP. Hasilnya menegaskan bahwa pelaksanaan BPJS kesehatan oleh FKTP sudah dilaksanakan secara komprehensive dan sesuai ketentuan serta dianggap memberikan manfaat baik bagi pasien maupun dokter pemberi layanan.
Pembicara terakhir oleh Budi Eko Siswoyo, SKM., MPH membahas tentang alokasi dan pemanfaatan dana kapitasi di puskesmas perawatan dan non perawatan di Kab. Ngada Prov. Nusa Tenggara Timur. Disampaikan bahwa alokasi kapitasi puskesmas perawatan lebih besar dari puskesmas non perawatan dengan rerata pemanfaatan jasa pelayanan sebesar 60% dan belanja modal justru menjadi biaya operasional paling tinggi. Studi ini menemukan adanya subsidi silang antar puskesmas dalam pemanfaatan dana kapitasi namun belum terlihat indikasi subsidi terbalik dalam pola utilisasi di puskesmas, hal ini memerlukan kajian lebih lanjut. Harapannya peningkatan dana kapitasi diiringi dengan tidak menurunnya anggaran kesehatan daerah dan dukungan regulasi dari daerah dalam perencanaan dan penganggaran sesuai kebutuhan.
list presentasi dan policy brief
Reportase: Surahmansah Said
JKN
Kelompok JKN
Selain terdapat pokja Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pada Forum Kebijakan Kesehatan Nasional (FKKI) VI tahun 2015 kali ini terdapat kelompok kerja yang berfokus pada pembiayaan kesehatan.Diskusi paralel pokja yang diselenggarakan sore di hari kedua ini (25 Agustus 2015) diisi oleh dua pemateri yang masing-masing memiliki topik spesifik.
Materi pertama adalah penelitian normatif terhadap Permenkes 11/ 2015 yang dinilai kurang sinergis dengan Permenkes 75/ 2014 dalam penggunaan bantuan operasional kesehatan (BOK) untuk kegiatan kesehatan gigi berbasis masyarakat. Penurunan capaian indikator status kesehatan gigi (Riskesdas 2007-2013) dinilai belum menjadi urgensi dalam pembiayaan kesehatan.Menurut beliau, adanya asas Lex Posterior Derogat Legi Priori secara hukum membuat peraturan lama secara otomatis tidak berlaku.
Sebagai pemateri kedua, Ibu Nuzulul Kusuma Putri (FKM Unair) menganalisis inefisiensi pengeluaran kesehatan keluarga mahasiswa di era JKN.Keengganan mahasiswa yang menjadi peserta JKN untuk pindah FKTP menunjukkan risiko out of pocket, sementara pihak universitas hanya menanggung biaya rawat jalan yang ditangani di klinik universitas. Salah satu alternatif solusi yang beliau sarankan adalah memperbaiki mekanisme portabilitas dalam program JKN.
Pada sesi diskusi, Bapak Deni dari Dinas Kesehatan Lima Puluh Kota menyatakan bahwa kurang optimalnya pembiayaan untuk kegiatan kesehatan gigi kemungkinan karena program ini dinilai kurang prioritas diantara program promosi dan pelayanan kesehatan dasar yang lainnya. Prof. Laksono juga menegaskan bahwa kesehatan gigi memang sangat erat kaitannya dengan perilaku kesehatan masing-masing individu. Peran advokasi, terutama PDGI sanngat penting dalam menyuarakan pentingnya dukungan pembiayaan pada program kesehatan gigi berbasis masyarakat. Sependapat dengan pendapat beliau, ibu Erna juga menambahkan bahwa adanya Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dapat menjadi wadah kelompok kerja untuk advokasi, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.
list presentasi dan policy brief
Reporter : BES
KIA
Kelompok Kesehatan Ibu dan Anak
Sesi paralel POKJA KIA ke-2 ini dimoderatori oleh Prof. DR. dr. Menkher Manjas SpB, SpBO, FICS dari Universitas Andalas. Di dalam sesi ini terdapat empat presentasi yang disampaikan, yaitu:
- Perluasan Kemitraan Menuju Pengembangan Kebijakan dan Program Kesehatan Berkeadilan oleh UNICEF yang diwakili Budi Setiawan.
Bahasan ini menyoroti tentang masalah Angka Kematian Anak (AKA) yang mengalami stagnasi cakupan intervensi. Hal ini disebabkan karena intervensi yang tidak menyasar kepada pihak yang membutuhkan. Intervensi yang dilakukan terbukti hanya berhasil sebesar 50% dan masih ada isyu yang tidak menjadi perhatian seperti indoor polusi. Permasalahan ini membuat UNICEF melakukan upaya perbaikan di level outcome. Level perubahan yang ditawarkan yaitu melalui dikembangkannya budaya penggunaan data yang masih belum banyak terjadi, akuntabilitas dalam hasilnya karena belum pernah ada kepala daerah yang dipecat karena AKB di daerahnya mengalami peningkatan, dan implementasi yang lebih ditingkatkan karena masih jarang adanya hasil implementasi antara stakeholder. Di dalam level perubahan ini diharapkan akademisi berpartisipasi untuk melaksanakan program dan melakukan evaluasinya. UNICEF juga melihat bahwa otonomi daerah yang sering disalahkan bisa dijadikan titik terang untuk dijadikan sebagai alat pembuatankebijakan di daerah. Keterlibatan akademisi untuk melakukan advokasi dan keterlibatan aktif pemangku kebijakan juga diperlukan disini. Maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah adanya dukungan pengembangan program yang dimulai dari evaluasi, penyederhanaan tujuan kebijakan yang kompleks agar mudah dipahami dan adanya promoteownership.
- Tata Kelola Kemitraan Bidan dan Dukun di Aceh Singkil oleh USAID yang diwakili Dr. Marcia Soumokil, MPH
Diawali dari fakta bahwa masyarakat lebih mempercayai dukun dibandingkan dengan bidan di Aceh Singkil. Selain itu, gap yang terjadi adalah asal bidan yang tidak berasal dari Aceh sehingga masyarakat sulit memahami penjelasan yang diberikan. Walaupun program ini memang sudah pernah diinisiasi oleh UNICEF dan Kemenkes tetapi program yang dilakukan oleh USAID ini terdapat perbedaan. Perbedaannya yaitu, USAID mendorong Peraturan Bupatisebagai payung hukum untuk persalinan aman. Kegiatan ini juga mengajak stakeholder lain, seperti camat dan kepala desa.Selain itu, juga didorong adanya sistem intensif yang kuat dan memadai. Hal ini dilakukan agar dukun mau terlibat secara aktif dan tidak kehilangan pekerjaannya. Intensif yang diberikan berasal dari desa dan bidan. Desa memberikan uang sebesar 50.000 per tahun yang diambil dari ADD dan bidan memberikan uang sebesar 50.000 untuk setiap kasus yang dirujuk oleh dukun yang diambil dari uang BPJSnya . Kegiatan kemitraan antara bidan dan dukung ini akan diawasi oleh komite kesehatan di kecamatan. Program ini pun memperlihatkan efek yang positif, yaitu tingkat kepercayaan antara bidan dan dukun meningkat, kerjasama dan pembagian tugas yang jelas, bidan cepat mengetahui kasus kehamilan baru, dan kesadaran masyarakat terhadap persalinan yang aman semakin tinggi. Satu hal yang menarik adalah angka kematian ibu yang meningkat. Hal ini diduga karena sistem yang berjalan membuat pelaporan datanya menjadi lebih bagus sehingga data yang dicatat menjadi lebih banyak dan akurasinya menjadi meningkat.
- Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Bidan dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Revolusi KIA di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh Elizabeth E. Wungouw
Permasalahan yang terjadi adalah munculnya PERGU No.42 tentang Revolusi KIA. Salah satu kegiatan di revolusi KIA ini adalah mengharuskan semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Hal ini menyebabkan perlu diketahuinya tingkat pengetahuan dan keterampilan bidan, khususnya bidan koordinator yang menjadi tumpuan dalam pelaksanaan persalinan ini. Penelitian ini dilakukan dengan memberikan pre test dan post test. Hasil dari penelitian ini adalah pengetahuan yang dimiliki mengalami peningkatan sedangkan keterampilan tidak mengalami perubahan yang berarti. Padahal hasil yang diharapkan adalah pengetahuan dan keterampilan bidan koordinator bisa meningkat sehingga bisa ditularkan pada bidan yang ada. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah adanya reevaluasi pengetahuan dan keterampilan bidan koordinator, perlu adanya pelatihan, dan regular seleksi, kriteria, dan penunjukkan bidan koordinator.
- Penguatan Sistem Monitoring Desentralisasi untuk Proyek Program Keluarga Berencana di Indonesia: Hasil dari Penilaian Awal oleh Tiara Marthias
Diawali dari permasalahan angka Contraceptive Prevalence Rate (CPR) yang tidak mengalami perubahan dan angka Total Fertility Rate (TFR) yang meningkat. Selain itu, ditambah dengan adanya sistem desentralisasi yang mempengaruhi sistem kerja BKKBN. Maka penelitian ini bertujuan untuk memperkuat sistem evaluasi dan monitoring program KB di era desentralisasi. Program ini akan dilaksanakan dari tahun 2015 – 2017 dan dilakukan di 4 provinsi yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan. Walaupun demikian, program di DKI Jakarta belum dapat dilaksanakan karena masih ada kendala dengan BKKBN Provinsi. Penelitian ini ingin melihat mengenai kualitas data, aksesibilitas data, penggunaan data, dan teknologi informasi. Hasil dari kajian ini menunjukkan kurangnya kesadaran akan keperluan akan data. Hal ini terlihat di level atas yang melakukan transaksi data jika ada permintaan terlebih dahulu.Selain itu, adanya perbedaan laporan data yang ditujukan kepada Kementerian dan BKKBN. Terdapat juga kendala yang dialami oleh pelaku pencatat dan pelapor program KB, seperti kader yang memiliki berbagai formulir yang harus diisi, adanya perbedaan defisini antara Kementerian Kesehatan dan BKKBN terhadap indikator padahal responden yang dicatat adalah sama, dan jumlah PLKB yang semakin berkurang. Penggunaan data yang dilakukan terhadap keperluan perencanaan, penganggaran dan advokasi pun masih terbatas. Untuk sistem informasi diketahui bahwa di puskesmas paling tidak terdapat 4 aplikasi yang harus di jalankan padahal data yang dimasukkan sama saja. Rekomendasi yang diberikan adalah perbaikan kualitas pencatatan dan pelaporan, peningkatan sistem koordinasi dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan pihak penggunaan data dan perlu adanya integrasi antar level.
list presentasi dan policy brief
Reporter: Theresia Pratiwi
Bencana
Pengembangan Kurikulum Bencana Kesehatan di Indonesia
Keterlibatan yang pertama Pokja Penanggulangan Bencana dalam Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia, dimanfaatkan oleh Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK UGM sebagai penyelenggara untuk menginisiasi terbentuknya forum perguruan tinggi kesehatan untuk penanggulangan bencana di Indonesia. Untuk itu, hari kedua ini khusus membahas mengenai kurikulum bencana kesehatan di FK dan FKM. FK diwakili oleh FK UGM dan FKM diwakili oleh FKM Universitas Andalas.
Bapak Adzka, menjelaskan mengenai perkembangan pembelajaran bencana untuk mahasiswa kesehatan masyarakat. Tema-tema perkuliahan yang dikembangkan didasarkan pada pentingnya keterlibatan tenaga kesehatan masyarakat dalam respon bencana. kedepannya, materi-materi perkuliahan ini akan dikembangkan menjadi sertifikasi bagi mahasiswa yang memungkinkan mereka mampu bekerja dalam ranah ini, begitu ungkap beliau harapannya.
Kemudian, paparan Ibu Bella sedikit menyinggung untuk perkembangan dan proses standarisasi kurikulum pendidikan bencana kesehatan di dunia. Pendidikan bencana di fakultas kedokteran belum terintegrasi selama empat tahun pembelajaran, dikembangkan secara elektif, dan masih dibangun berdasarkan pendapat umum dan pengalaman. Beliau memaparkan mengenai proses pembelajaran manajemen bencana kesehatan di FK UGM.
Sesi diskusi, memang pada umumnya masing-masing fakultas menganggap materi yang diberikan dianggap penting dan kadang juga didasarkan pada pengalaman bencana di daerah. Ini tantangan, bagaimana akhirnya kurikulum ini bisa menjadi standard. Selain itu, bagaimana juga mahasiswa kesehatan ini dapat menangkap mengenai pembelajaran ini, perlu kita mendapat masukan dari penanggulangan bencana kesehatan salama ini, misalnya bagaimana melaksanakan kegiatan dengan tenaga medis yang sedikit. Begitu juga dengan kesiapsiagaan, harapannya dari pendidikan bencana di perguruan tinggi kesehatan ini dapat meningkatkan kesiapsiagaan calon tenaga kesehatan kita.
Sesi selanjutnya adalah presentasi oral. Dua peserta dari FK UGM dan FK Brawijaya. Menarik presentasi dari FK UGM mengenai penelitian kesiapsiagaan daerah di sector kesehatan untuk menghadapi bencana di Aceh Timur. Presentasi kedua mengenai kurikulum bencana di pendidikan kedokteran mengenai bencana. Masukkan untuk keduanya disampaikan oleh audiens adalah mengenai pengukuran dan pendidikan kebencanaan juga yang melihatkan masyarakat.
Kelas ini ditutup dengan rekomendasi dari seluruh pihak untuk kedepannya membentuk forum atau kelompok bencana kesehatan baik dari sisi pengembangan kurikulumnya dan dari masyarakat praktis yang membutuhkan informasi kebencanaan kesehatan di instansi masing-masing.
Selamat berjumpa kembali di kelas Pokja Penanggulangan Bencana tahun 2016 di Makassar.
list presentasi dan policy brief
Reporter: Madelina Ariani
HIV/AIDS
Kelompok HIV / AIDS
Pembicara pertama memulai penelitiannya ketika melihat adanya fenomena ODHA yang belum mau memulai terapi ARV meski jumlah CD4 sudah memenuhi syarat. Penelitian yang dilakukan di RS.Labuang Baji kota Makassar memberikan hasil bahwa keputusan untuk tidak memulai terapi lebih disebabkan oleh rasa takut akan efek samping. Sebagai kota besar di bagian timur di Indonesia, Makassar juga menanggung risiko akan besarnya peluang peredaran narkotika. Sudirman Nasir melakukan sebuat studi etnografi pada pecandu narkotika suntik di slum area kota ini. Dengan melihat aspek social capital dari kelompok ini, ditemukan bahwa unemploymentmenjadi sebuah konteks sosial bagi sebagian besar pengguna narkotika yang menjadikan mereka berhubungan dengan kegiatan yang ilegal. Selain itu unsur masculinity atau konsep rewa pada suku bugis makassar juga menjadi faktor anak laki-laki untuk membutikan kelaki‐lakiannya dengan cara yang berisiko. Laju inisiasi dari 'penggunaan' menuju 'ketergantungan' menjadi lebih cepat di kalangan pengguna narkotika laki-laki.
Interaksi dengan sesama penganggur, pengguna narkotika dan juga melakukan perilaku berisiko yakni menggunakan jarum suntik bergantian, menimbulkan hambatan tersendiri bagi kelompok ini untuk keluar dari masalah narkotika.
Penularan HIV melalui transmisi seksual juga menjadi faktor cukup tinggi dalam kontribusinya meningkatkan angka kasus. Tingginya kasus IMS di Mataram menuntut kreatifitas dinas kesehatan dalam menentukan strategi penanggulangannya. Program yang lebih banyak menyasar pada WPS langsung menjadikan keberadaan WPS tidak langsung tidak menjadi perhatian. Studi pada kelompok wanita penjaja seks tidak langsung di kota ini menunjukkan bahwa rendahnya konsistensi penggunaan kondom dan jumlah pelanggan yang dilayani berkontribusi terhadap tingginya kasus infeksi menular seksual. Dari 66 responden yang diteliti, 12% berstatus menikah. Ini bisa menjadi situasi yang demikian pelik ketika kemudian ditularkan kepada pasangannya. Kejadian IMS pada perempuan juga menjadi faktor risiko bagi kegagalan kehamilan bahkan kemandulan.
Meskipun kasus HIV semakin berkembang dalan segi jumlah, namun program penanggulangannya juga mengalami kemajuan yang sangat baik. Salah satunya adalah adanya program kolaborasi TB-‐HIV. BKPM Semarang yang memberikan layanan bagi pengobatan TB juga aktif melakukan pemeriksaan HIV pada pasiennya. Keberadaan petugas menelan obat (PMO) bagi pasien TB diharapkan agar PMO juga memberikan dukungan bagi ODHA untuk patuh menjalani terapi antiretroviral. Tetapi pada prakteknya kegagalan dalam terapi ARV (ketidak patuhan) justru terjadi pada ODHA yang memiliki PMO. Hal ini dikarenakan PMO biasanya hanya aktif dan memberikan dukungan optimal ketika pasien berada pada tahap awal pengobatannya saja.
Strategi lain dalam upaya penanggulangan HIV dilakukan pada salah satu rumah tahanan di Jakarta. Minimnya tenaga kesehatan maupun tenaga rutan dalam hal perawatan tahanan menjadikan kondisi tahanan semakin memburuk. Hal ini terutama pada mereka yang mengalami gangguan kesehatan dan membutuhkan pertolongan dalam melakukan perawatan diri (higiene perorangan) sehari‐hari. Rumah tahanan ini kemudian melakukan pelatihan kepada 12 tamping (tahanan pendamping) agar dapat melakukan perawatan kepada tahanan. Ketrampilan yang diberikan meliputi perawatan higiene hingga perawatan bagi jenazah. Rutan ini juga melibatkan spesialis jiwa dan psikolog untuk menumbuhkan kesadaran akan kepedulian kepada sesama tahanan dan memberikan penguatan selama mereka menjadi tamping.
Keberlanjutan program penanggulangan HIV sangatlah ditunjang dengan sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan juga peduli terhadap masalah ini. Khusus di layanan kesehatan yang banyak melakukan kegiatan perawatan,dukungan dan pengobatan (PDP), mengalami penambahan beban kerja tanpa diikuti dengan tersedianya insentif. Kota Medan mengimplementasi program ini dan menemukan bahwa aspek kepedulian dan kerelawanan dari petugas sangat menunjang kemajuan program penaggulangan HIV di Medan. Meskipun masih ada beberapa yang mendapatkan insentif dari global fund, namun isu akan berakhirnya pendanaan dari GF tidak mengurangi kepedulian mereka. SDM dari lembaga non pemerintah yakni LSM juga turut berperan aktif baik dalam upaya promotif maupun rehabilitatif, seperti dukungan sebaya. Menjadi bagian dari mereka yang terdampak HIV, menjadikan motivasi dan peran SDM dari kelompok LSM lebih baik daripada lembaga lainnya.
list presentasi