Proses Pengambilan Kebijakan

Modul 1

Modul Proses Pengambilan Kebijakan

Periode pelatihan: 1-29 November 2015

Shita Dewi dan Laksono Trisnantoro
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.

 PENGANTAR

Latihan tentang pengambil kebijakan ini dimulai dengan pemahaman mengenai Proses Pengambilan Kebijakan. Mengapa? Dalam hal ini para peserta perlu untuk meyakini dirinya sendiri bahwa proses pembelajaran ini akan masuk ke kenyataan yaitu mempelajari ilmu kebijakan yang berasal bukan dari disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat. Dengan demikian modul ini mencoba mengajak para peserta untuk memahami proses pengambilan kebijakan dengan dasar teori ilmu kebijakan yang diaplikasikan di sector kesehatan. Pembahasan aplikasi ini akan dilakukan dengan diskusi virtual dimana para peserta di minta untuk mengaplikasikan apa yang ada di lapangan dengan konsep yang ada.

  TUJUAN

Memberi gambaran mengenai konsep terkait proses pengambilan kebijakan

  MATERI

Proses kebijakan adalah proses yang meliputi kegiatan perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Dalam hal ini kita khususnya membahas kebijakan publik, yaitu kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk kepentingan public. Proses kebijakan melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain: para politisi, berbagai institusi pemerintah, para pengambil keputusan, kelompok kepentingan dan pihak-pihak lain.

Untuk memahami proses kebijakan, kita perlu memahami berbagai konsep dasar terkait proses kebijakan, penentuan agenda kebijakan dan perumusan kebijakan.

1. Berbagai Model Proses Kebijakan

Terdapat berbagai macam model proses kebijakan. Pada kesempatan ini, kita akan membahas hanya tiga model.

Pertama, model rasional. Model rasional menekankan bahwa proses kebijakan merupakan proses yang rasional dan dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki cara berpikir yang rasional. Menurut model ini, proses kebijakan meliputi tahap-tahapan tertentu dan berjalan seperti sebuah siklus. Para aktornya dapat secara jelas melihat tujuan dari kebijakan dan cara mencapai tujuan tersebut. Sejak tahun 1950an, konsep ini telah berkembang dan menghasilkan berbagai variasi, namun memiliki esensi yang sama (Laswell, H.D., The Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis, University of Maryland Press: 1956; Jenkins, W.I., Policy Analysis. A Political and Organisational Perspective, Martin Robertson: 1978).

Apabila dielaborasi, maka proses kebijakan akan dimulai dari adanya masalah yang teridentifikasi masuk ke dalam agenda kebijakan (atau, agenda setting). Kemudian setelah informasi yang diperlukan terkumpul, ditemulan berbagai pilihan dan alternative kebijakan, sehingga dapat disusun sebuah kebijakan (policy formulation). Kemudian diambil keputusan mengenai rancangan kebijakan yang paling efisien dan efektif dan diputuskan sebagai suatu kebijakan yang memiliki kekuatan hukum (decision making). Hasilnya adalah sebuah kebijakan yang hampir ideal dan optimal. Setelah ini kebijakan dijalankan (policy implementation) dan dievaluasi (monitoring & evaluation), apabila ditemukan masalah-masalah baru, masalah tersebut akan masuk menjadi agenda kebijakan dan memulai siklus ini kembali.

pk-1

Namun kenyataannya, tidak semua kebijakan mengalami proses yang rasional seperti ini. Dalam kenyataannya, proses kebijakan merupakan proses yang rumit dan kompleks karena dipengaruhi oleh tarik-menarik antara berbagai kepentingan dan berbagai aktor, dipengaruhi pula oleh latar belakang pengalaman implementasi kebijakan terkait atau kebijakan sebelumnya, di'arah'kan oleh berbagai 'suara' kelompok kepentingan, dan biasanya memasuki ranah politik kepentingan.

pk-1

Maka muncul model kedua yaitu Incremental Model. Menurut model ini, proses pencarian informasi yang diperlukan berlangsung terbatas, tidak seluruhnya sistematis, dan dikendalikan oleh terlalu banyak pemain. Kadang cara mencapai tujuan tidak dapat terlihat nyata. Terkadang pilihan dan alternatif kebijakan yang tersedia hanya bisa dinilai dengan cara melihat sejauh mana manfaat kebijakan terdistribusi. Lebih lagi, kebijakan yang dipilih seringkali adalah kebijakan yang mendukung kelompok peserta dari proses ini, dan kurang mempertimbangkan pihak lain yang kebetulan tidak terlibat dalam proses ini. Hasilnya, kebijakan seringkali tidak optimal dan harus diperbaiki terus menerus, sedikit demi sedikit (Lindblom, C.E., The Science of Muddling Through, Public Administration Review 19 (2), p. 79-88).

Konsep ini semakin berkembang dalam model ketiga, yaitu model "tong sampah" (Garbage Can). Model ini melihat bahwa suatu kebijakan dapat dipicu dari tiga arah, yaitu dari masalah (problem stream), kebijakan sebelumnya atau kebijakan terkait (policy stream) atau dari kepentingan politis (political stream). Ketiga aliran ini dapat saja tercampur dan seringkali tidak terduga arahnya. Akibatnya, baik masalah, para aktornya mau pun solusi yang diperkirakan dapat berubah-ubah dengan cepat. (Cohen, M., March, J., and Olsen, J., A Garbage Can Model of Organizational Choice, Administrative Science Quarterly 17, 1972, p. 1-25; Kingdon, J.W., Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins College Publisher: 1983). Akhirnya, sebuah kebijakan bisa saja diambil karena dimotivasi oleh hal-hal lain, yaitu:

  1. Decision by Oversight: kebijakan dibuat for the sake of making deci¬sion tanpa peduli apakah menyelesaikan masalah atau tidak.
  2. Decision by Flight: keputusan tidak dibuat sampai masalahnya pergi meninggalkan pilihan yang ada.
  3. Decision by Resolution: masalah akan diselesaikan secara ad-hoc.

pk-1

Jadi, menurut model ini, kebijakan seringkali tidak menyentuh esensi permasalahan. Para pengambil keputusan harus segera pindah ke 'penyelesaian' masalah berikutnya.

2. Agenda setting

Namun, sebelum kebijakan dapat dirumuskan dan diadopsi, masalah harus bersaing untuk mendapat ruang dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan ada di berbagai level, termasuk agenda sistem politik, agenda lembaga legislatif dan presiden, dan agenda birokrasi. Aktor kunci yang menentukan pengaturan agenda termasuk think tank, kelompok kepentingan, media, dan pejabat pemerintah.

Ada dua model utama dalam melihat agenda kebijakan, yaitu model 'teknokratis' dan model 'politik'. Model teknokratis menjelaskan perubahan kebijakan sebagai hasil dari para pengambil keputusan yang mengubah preferensi mereka dan beradaptasi dengan kondisi baru. Sesuai siklus kebijakan, mereka belajar dari pengalaman yang ditunjukkan oleh hasil evaluasi kebijakan. Inovasi kebijakan, jika ada, adalah produk dari pembuatan kebijakan di mana kebijakan dipandang sebagai hipotesis, atau teori, dan pelaksanaan atau implementasi kebijakan adalah sebagai pengujian dari teori atau hipotesis tersebut. Sementara, model politik, pada dasarnya berusaha untuk menjelaskan penyusunan kebijakan sebagai akibat dari perubahan dalam konfigurasi kepentingan yang dominan.

Meskipun demikian, fakta bahwa suatu masalah harus masuk menjadi agenda kebijakan, menegaskan kepada kita bahwa ada 'jendela kebijakan' dan 'kesempatan untuk tindakan' (Kingdon, 1983), dan tidak selalu berarti bahwa hanya itu permasalahan yang ada di lapangan. Dalam analisis kebijakan, "masalah" merupakan konstruksi analitik, namun dalam politik "masalah" adalah konstruksi politik. Dalam analisis kebijakan, konstruk atau masalah yang teridentifikasi adalah produk dari suatu hasil analisis. Dalam politik apa yang diakui atau disahkan sebagai "masalah" adalah produk dari proses politik. Oleh karena itu, walau pun ada banyak masalah di lapangan, namun tidak seluruhnya masuk ke dalam agenda kebijakan.

Bagaimana cara masalah diangkat ke dalam agenda kebijakan? Ada berbagai cara. Pertama, masalah tersebut harus dirasakan secara luas sebagai situasi yang tidak memenuhi harapan publik. Dengan cara ini, masalah paling tidak masuk ke dalam agenda masyarakat (public agenda). Masalah bisa bergerak menjadi sorotan publik dan dipaksa ke dalam agenda kebijakan dengan besarnya jumlah perhatian dan kemarahan publik. Media dapat sangat efektif dalam hal ini (agenda building). Sebaliknya, media juga dapat menjaga masalah dari agenda kebijakan dengan memberikan kesan bahwa masalah tidak memerlukan resolusi melalui proses kebijakan (agenda cutting). Oleh karena itu, masalah juga bisa masuk melalui dorongan kelompok kepentingan dan para gatekeepers yang menentukan agenda mass media (Rogers, E. M., & Dearing, J. W., Agenda-setting research: Where has it been? Where is it going?, Communication Yearbook, 11, 1988, p. 555-594). Selain itu, suatu peristiwa penting dapat bertindak sebagai pemicu kebijakan yang segera mendorong masalah masuk ke dalam agenda kebijakan. Dalam bidang kesehatan, misalnya kejadian bencana atau wabah.

pk-4

Namun, agenda setting hanyalah sebuah 'entry point'. Sebuah isu tetap harus menarik perhatian para pengambil keputusan (atau, setidaknya salah satu institusi pemerintah) untuk dapat masuk ke dalam proses kebijakan publik. Perlu disadari bahwa tidak semua 'agenda publik' dan 'agenda media' akan masuk ke dalam siklus kebijakan dan kemudian menjadi rumusan kebijakan, sampai akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang terlegitimasi. Agenda kebijakan pun memiliki keterbatasan waktu. Seringkali, item-item di dalam agenda bergeser dengan cepat dan digantikan oleh isu-isu lain yang lebih mendesak terutama di saat krisis.

3. Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan adalah pengembangan kebijakan yang efektif dan dapat diterima untuk mengatasi masalah apa yang telah ditempatkan dalam agenda kebijakan.

Perhatikan bahwa ada dua bagian definisi ini:

  • Formulasi efektif, berarti bahwa kebijakan yang diusulkan dianggap sebagai solusi yang valid, efisien, dan dapat diterapkan. Jika kebijakan ini dilihat sebagai tidak efektif atau tidak bisa dijalankan dalam prakteknya, maka tidak ada alasan yang sah untuk mengusulkan rumusan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, terdapat berbagai alternatif kebijakan yang diusulkan. Ini adalah fase analisis dari perumusan kebijakan.
  • Formulasi diterima berarti bahwa arah kebijakan yang diusulkan kemungkinan akan disahkan oleh pengambil keputusan yang sah, biasanya melalui suara mayoritas dalam proses tawar-menawar. Artinya, kebijakan itu harus layak secara politis. Jika kebijakan kemungkinan akan ditolak oleh pengambil keputusan, mungkin tidak praktis untuk menyarankan kebijakan tersebut. Ini adalah fase politik perumusan kebijakan.

Seperti telah disebut sebelumnya, proses perumusan kebijakan harus melalui fase analisis. Rancangan kebijakan dan berbagai pilihan alternative kebijakan harus dianalisis untuk menemukan kebijakan yang paling valid untuk mengatasi masalah, efisien dan dapat dipraktekkan di dunia nyata. Beberapa model analisis dalam rumusan kebijakan, misalnya:

  1. Analisis Biaya-Manfaat
  2. Model multiobjectives
  3. Analisis Keputusan (decision analysis)
  4. Analisis Sistem (system analysis)
  5. Operation research
  6. Nominal group technique

Pada kesempatan ini, kami memberikan salah satu bahan bacaan terkait analisis sistem yang menjelaskan bagaimana kebijakan disusun dengan melihat ke lingkungan internal dan lingkungan eksternal dari suatu masalah. Namun itu hanyalah salah satu bagian saja dari proses rumusan kebijakan, karena ada fase selanjutnya yaitu fase politis. Pejabat yang terpilih atau ditunjuk secara politis bertanggungjawab kepada publik untuk menyusun kebijakan yang baik dan efektif, namun tidak selalu memiliki kemampuan analitis untuk melakukan hal tersebut.

Para perencana kebijakan memang diharapkan dapat memberikan kontribusi teknis mengenai cara, perilaku, biaya, strategi implementasi, dan konsekuensi dari kebijakan, baik atau buruk. Namun, para ahli dan analis teknis tidak bertanggung jawab langsung kepada publik. Keputusan untuk melakukan trade-off, prioritas nilai, dan beban efek keseluruhan pada akhirnya tetap harus diambil oleh para pengambil keputusan yang, secara teori, akuntabel terhadap masyarakat dalam sistem perwakilan di pemerintahan kita. Hanya dengan adanya otorisasi dari para pengambil keputusan inilah sebuah kebijakan dapat memiliki wewenang dan kekuatan hukum.

Oleh karena itu kita perlu memahami pula proses perundangan yang ada di negara kita. Artinya, proses institusional dan proses politis apa yang harus dilalui agar sebuah usulan kebijakan dapat akhirnya resmi menjadi suatu kebijakan. Hanya dengan memahami proses perundangan ini maka kita dapat mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan dan siapa pengambil keputusan. Hanya dengan cara ini kita mengenali beberapa 'entry point' ke dalam area kebijakan. Ingatlah bahwa tidak semua area kebijakan merupakan area yang terbuka untuk publik. Seringkali area ini merupakan area tertutup atau hanya dapat dimasuki dengan adanya 'undangan' dari para pengambil keputusan. Di bawah ini kami memberikan beberapa bahan bacaan berbagai mekanisme penyusunan perundangan yang dapat dipelajari lebih lanjut.

Sebagai penutup, penting untuk kembali memijakkan kaki ke dunia nyata. Pengambilan keputusan di dunia nyata seringkali dibatasi oleh setidaknya dua hal ini:

Bounded rationality — pengambil keputusan memiliki keterbatasan dalam hal sejauh mana mereka berperilaku rasional.

Satisficing — pengambil keputusan dapat saja mengambil usulan pertama yang memenuhi kriteria-kriteria minimum tertentu.

Akibatnya, pengambilan keputusan seringkali dipengaruhi oleh berbagai bias, misalnya hanya dapat melihat satu dimensi ketidakpastian, memberikan bobot yang terlalu besar terhadap infomasi yang tersedia, dan mengabaikan the law of randomness.

  Diskusi

Anda diharapkan masuk ke website www.kebijakankesehatanindonesia.net untuk melakukan diskusi virtual atau menggunakan mailinglist masyarakat praktisi untuk menyampaikan pendapat.

Diskusi akan dilakukan bertahap dengan cara virtual.

 

  Tugas Akhir modul

  1. Bagaimana cara Anda mengangkat masalah yang Anda pilih untuk masuk ke dalam agenda kebijakan?
  2. Identifikasi pada level apa kebijakan yang Anda ingin ubah/usulkan: UU? PP? Peraturan Menteri? Peraturan Daerah?
  3. Deskripsikan proses perundangan yang harus dilalui oleh usulan kebijakan yang Anda usullkan tersebut.

Tugas harap dikirimkan ke fasilitator paling lambat pada tanggal 9 November 2015 kepada Angelina Yusridar / Hendriana Anggi melalui email This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.


  Bacaan lebih lanjut:

 

 

jadwal pgf

TIME

Day 1: 14 SEPTEMBER 2015

VENUE

0800

Arrival and registration of participants

Lobby, Main Auditorium
Education Block, UKMMC

0900

Welcoming address
Prof. Dato’ Dr. Syed Mohamed Aljunid - Chairman

Organizing Committee, 9th Postgraduate Forum

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

0910

Welcoming speech and official launching of Forum
Prof. Datuk Dr. Noor Azlan bin Ghazali - Vice Chansellor

Universiti Kebangsaan Malaysia

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

0930

Plenary 1

Complex vs. Simple additional payment designs to health personnel to attain equity and efficiency of public health sector in Thailand

Prof. Dr. Supasit Pannarunothai, Naresuan University

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1030

Refreshment & Press Conference

Foyer
Education Block, UKMMC

1100

Plenary 2

Provider Payment Mechanism Change After The Implementation Of Universal Coverage Policy In Indonesia

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, Universitas Gadjah Mada

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1200

Poster Presentation

Gallery, in front of the Auditorium

1300

Lunch

Foyer
Education Block, UKMMC

1400

Special lecture

Challenges in Commercialization of Research Outputs of Local Universities

Prof. Dr. Raha binti Abdul Rahim

Director of Higher Education Planning Excellence, Department of Higher Education Malaysia

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1500

Symposium

Provider Payment Reforms in Developing Countries: Impact on Pharmaceutical Industries

Ms. Michaela Dinboeck - Novartis Corporation (Malaysia) Sdn. Bhd

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1630

Refreshment
END OF DAY 1

Foyer
Education Block, UKMMC

2000-2200

GALA DINNER

Banquet Hall, International Youth Center, Kuala Lumpur

 

Day 2: 15 SEPTEMBER 2015

 

0830

Arrival and registration of participants

Lobby, Main Auditorium

Education Block, UKMMC

0900

Keynote address

Postgraduate training in public health – current and future needs

Datuk Dr. Lokman Hakim bin Sulaiman
Deputy Director General of Health (Public Health)

Ministry of Health, Malaysia

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1000

Refreshment

Foyer
Education Block, UKMMC

1030

Free paper presentation
2 concurrent sessions

Main Auditorium & Preclinical Building UKMMC

1300

Lunch

Foyer
Education Block, UKMMC

1400

Plenary 3

Designing and Implementing Provider Payment Reform in Social Health Insurance: Theory vs. Practice

Prof. Dato’ Dr. Syed Mohamed Aljunid

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1500

Panel discussion

Getting your research output published

Malaysia: Dr. Nor Azlin Mohd Nordin
Indonesia: Dr. Mubasysyir Hasanbasri
Thailand: Dr. Pudtan Phanthunane

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

1630

Prize-giving ceremony

Closing remarks
Refreshment

Main Auditorium
Education Block, UKMMC

Reportase: Pembukaan Postgraduate Forum

The 6th Postgraduate Forum on Health System and Policy 2015

"Provider Payment Reforms in SEA: Impact and Lessons Learned"

VENUE : Universiti Kebangsaan Malaysia Medical Center (UKMMC)
14 – 15 September 2015

HARI I   |   HARI II

Pembukaan

Reportase: Pembukaan

Hari Pertama, 14 September 2015
Reporter: Tiara Marthias, MPH

pgf-2

Pada tahun 2015 ini, PGF diselenggarakan oleh International Center for Casemix and Clinical Coding, Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan diawali oleh Ketua Panitia Prof. Dato' Syed Mohamed Aljunid dan diikuti dengan pembukaan resmi oleh Prof. Datuk Dr. Noor Azlan bin Ghazali selaku Vice Chancellor UKM.

Tahun ini, PGF mengangkat topik Mekanisme Pembayaran Provider di Asia Tenggara: Dampak dan Pembelajaran. Topik ini sangat relevan dengan perkembangan terbaru di bidang pembiayaan kesehatan, terutama di Indonesia. Hal ini tampak dari dua presentasi khusus yang diberikan oleh Prof. Dr. Supasit Pannarunothai (Naresuan University) serta Prof. dr. Laksono Trisnantoro (FK Universitas Gadjah Mada), dimana berbagai tantangan di sistem pembiayaan kesehatan dalam rangka mencapai Universal Health Coverage (UHC) menjadi isu yang penting baik di Thailand maupun Indonesia.

Thailand sendiri yang telah memulai program UHC sejak tahun 1990-an, saat ini tengah membahas pola pembayaran provider kesehatan. Pada awal 1990-an, Thailand memberlakukan sistem insentif untuk menjaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya hanya praktik di sektor publik dan tidak melakukan dual practice. Insentif lainnya termasuk tambahan penghasilan bagi tenaga kesehatan yang mau memberikan layanan kesehatan di luar jam kerja/sore hari. Namun, kebijakan ini memiliki moral hazard tersendiri, dimana tampak adanya peningkatan penundaan layanan menjadi sore hari agar insentif tenaga kesehatan bertambah. Insentif lain yang diberlakukan pada tahun 2000-an adalah insentif khusus untuk tenaga kesehatan di daerah pedesaan. Insentif ini digantikan dengan pay for performance yang diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih efektif dan efisien dalam pembiayaannya. Namun, berbagai perkembangan kebijakan ini memiliki berbagai sisi positif maupun negatif, termasuk berdampak terhadap kesetaraan (inequity) dan juga capaian layanan kesehatan.

Program JKN merupakan gerakan yang ambisius dan akan menjadi sistem single-pool terbesar di dunia pada tahun 2019 mendatang. Untuk itu, implementasi JKN ini membutuhkan masukan yang riil dan perbaikan terus-menerus agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Presentasi dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro sendiri menggambarkan sejumlah temuan awal dari implementasi program JKN di Indonesia termasuk kekhawatiran terhadap program ini dalam sistem reimbursement dan detil kebijakan yang ada saat ini. Sistem reimbursement saat ini misalnya, menerapkan open ended reimbursement, dimana rumahsakit dapat mengajukan klaim tanpa batas atas. Di lain sisi, besaran kapitasi per populasi telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan. Di level layanan primer, peraturan teknis dan detil belum banyak dikeluarkan, sehingga para penyedia layanan tidak memahami secara komprehensif tatacara penggunaan dana di sistem baru ini.

Berbagai hasil studi di bidang UHC ini sangat menarik untuk dibagi dalam forum ini, terutama dalam konteks bagaimana pembelajaran dapat terjadi di skala global dan secara langsung tersampaikan antar sesama akademisi dan juga praktisi di bidang kesehatan (TM).

 

 

Hari ke II PGF

The 6th Postgraduate Forum on Health System and Policy 2015

"Provider Payment Reforms in SEA: Impact and Lessons Learned"

VENUE : Universiti Kebangsaan Malaysia Medical Center (UKMMC)
14 – 15 September 2015

HARI I   |   HARI II

Keynote Address

Postgraduate Training in public health – current and future needs

Oleh: Datuk Dr. Lokman Hakim bin Sulaiman-Deputy Director General of Health, Ministry of Health, Malaysia.

Fakta yang terjadi saat ini, terdapat perubahan skenario. Kemudian, interaksi human-animal, emergency-re emergency infection disease threats. Adanya harapan hidup yang meningkat. Perubahan lingkungan dan manusia dalam menginduksi perubahan iklim. Public health harus melanjutkan dengan melakuakan penguatan dan membuat strategi baru. Terdapat banyak isu penyakit karena perjalanan, perdagangan dan cross border.

Malaysia memiliki skenario untuk bidang kesehatan mereka yaitu menyelesaikan masalah kesehatan dengan memperluas program public health. Seperti dalam pengaksesan primary health care. Malaysia selalu memastikan kesehatan dalam setiap tahap kehidupan. Sebagai contoh dalam penanganan diabetes dan dalam penanganan NCD's. Sehingga dalam sebuah surat kabar pernah menyebutkan "Malaysia has one of the best healthcare system in the world.. Malaysia health care system hailed...Malaysia health care world class"

 

 

Ringkasan Hasil Workshop FKKI 26 Agustus 2015

Ringkasan Hasil Workshop

Penggunaan Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan Untuk Mengantisipasi Kenaikan Anggaran Sektor Kesehatan Menjadi 5%

dalam Forum Nasional 6 Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Diselenggarakan oleh
Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dan Universitas Andalas,
Rabu, 26 Agustus 2015

  PENGANTAR

Pada hari ke-3 Forum Nasional 6 Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (tanggal 26 Agustus 2015) telah diselenggarakan Workshop "Penggunaan Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan untuk Mengantisipasi Kenaikan Anggaran Sektor Kesehatan Menjadi 5%" di Padang. Tujuan Workshop ini untuk:

  1. Membahas makna sistem kontrak;
  2. Membahas aplikasi sistem kontrak di program Pencegahan HIV AIDS, Penurunan Kematian Ibu dan Bayi, serta Monitoring Mutu pelayanan kesehatan JKN;
  3. Membahas konsep Implementation Research dan Policy Brief dalam kebijakan sistem kontrak.

Workshop mengenai sistem kontrak ini dibagi menjadi 4 kelompok:

  1. Penyusunan Policy Brief untuk sistem Kontrak di pelayanan kesehatan Indonesia, termasuk di kebijakan JKN dan Dana BOK;
  2. Kebijakan Penurunan Kematian Ibu dan Bayi, dan pengalaman menggunakan Sistem Kontrak;
  3. Kebijakan Pencegahan dan Pengendalian HIV-AIDS dan situasi sistem kontrak saat ini;
  4. Sistem Kontrak, Policy Brief dan Implementation Research.


  HASIL YANG DIPEROLEH

Pada Hari ke-1 dan ke-2 Forum Nasional 6 Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, isu kontrak sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan penyerapan kenaikan anggaran menjadi 5% tahun 2016, sudah mulai digulirkan. Secara umum, isu ini ditanggapi positif oleh Bappenas, Kementerian Keuangan, para praktisi dan akademisi. Pihak Kemenkes sendiri tidak menolak, tapi juga belum menerima sepenuhnya. "Kita lihat dulu nanti ..." kata Sekretaris Jendral Kemenkes saat menyampaikan materinya di Hari ke-2.

Berangkat dari situasi demikian, isu kontrak tersebut kemudian diperdalam dan dibahas dalam Workshop di Hari ke-3. Hasilnya antara lain:

  • Implementasi penggunaan system kontrak di sector kesehatan (pemerintah) yang menggunakan APBN dan APBD, hingga saat ini masih terbatas dalam lingkup pengadaan barang dan pembangunan sarana-prasarana. Sistem kontrak untuk program kesehatan belum dikembangkan.
  • Di lain pihak, donor agency sudah biasa memanfaatkan system kontrak untuk program yang dilaksanakannya (seperti dalam Kesehatan Ibu-Anak dan HIV/AIDS). Tidak semua berjalan baik, tetapi secara umum banyak kisah sukses dari system kontrak tersebut.

Kendala klasik untuk penggunaan system kontrak ini secara luas adalah:

  • Aspek pemahaman dan dukungan politis
    • Belum semua pemangku kepentingan menerima solusi penggunaan system kontrak di sector kesehatan
  • Aspek regulasi:
    • ketentuan pengadaan barang dan jasa yang mengharuskan peserta lelang memiliki badan hukum. Dalam hal ini, provider seperti RS akan sulit mengikuti lelang.
    • Ketentuan penganggaran yang tidak multiyears. Dalam hal ini, dikhawatirkan pelayanan provider pemenang kontrak akan terhenti di awal tahun hingga kontrak diperbarui. Jika ini menyangkut pelayanan kegawatdaruratan, maka akan sangat berisiko.
    • Ketentuan penganggaran yang menyulitkan untuk kontrak "paket program." Sistem kontrak program belum biasa dilakukan sehingga belum tersedia "peluang-peluang" mata anggaran untuk itu.
  • Aspek manajemen:
    • Kemampuan pemegang program untuk mengelola system kontrak masih terbatas terutama dalam perencanaaan dan monev kontrak.
  • Aspek provider:
    • Jumlah provider masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan "pasarnya" belum dibuka. Jika kebijakannya sudah ada, maka calon provider akan bermunculan dengan sendirinya.
    • Kemampuan provider yang ada dalam mengelola kontrak masih terbatas.


  HARAPAN KE DEPAN

Penggunaan system kontrak di sector kesehatan dapat diterima luas dan diimplementasikan. Tidak hanya di lingkup kuratif, tetapi juga preventif, promotif, dan rehabilitative.


STRATEGI DAN AGENDA FORUM MASYARAKAT PRAKTISI APLIKASI SISTEM KONTRAK DI SEKTOR KESEHATAN

Terkait dengan kendala yang teridentifikasi dalam Workshop, Forum Masyarakat Praktisi Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan akan mengembangkan Strategi dan Agenda sbb:

  • Aspek pemahaman dan dukungan politis
    • Terus mengaktifkan forum diskusi baik via web kebijakankesehatanindonesia.net atau melalui metode lainnya.
  • Aspek regulasi:
    • Melakukan advokasi melalui policy brief, workshop, seminar, hingga advokasi langsung
  • Aspek manajemen:
    • Melakukan pelatihan dan pendampingan bagi pemegang program untuk mengelola system kontrak melalui workshop, pelatihan, blended learning.
  • Aspek provider:
    • Melakukan sosialisasi dan forum diskusi untuk menumbuhkan minat calon provider.
    • Melakukan pelatihan dan pendampingan bagi calon provider untuk mengelola kontrak melalui workshop, pelatihan, blended learning

 

TOR Evaluasi Uji-coba Penggunaan Sistem Telekomunikasi untuk Co-Host FKKI 6

TOR Evaluasi
Uji-coba Penggunaan Sistem Telekomunikasi
untuk Co-Host Forum ke 6 Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Diselenggarakan oleh:
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Didukung oleh
Knowledge Sector initiative

Jakarta, 22 dan 23 September 2015

TOR Kegiatan

 I. PENDAHULUAN

Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) merupakan jaringan informal yang sudah berusia 6 tahun. Kegiatan saat ini terutama menyelenggarakan:

  1. Pertemuan nasional setiap tahun untuk membahas berbagai kebijakan nasional;
  2. Berbagai pertemuan ilmiah;
  3. Penelitian bersama antara perguruan tinggi dalam kebijakan kesehatan;
  4. Pelatihan bersama dalam Metode Riset Kebijakan;
  5. Penggunaan website www.kebijakankesehatanindonesia.net 

Kegiatan pertemuan ilmiah dalam jaringan saat ini, termasuk forum nasional dikerjakan sebagian besar menggunakan tatap muka. Keadaan ini menyebabkan minimnya pertukaran informasi dan pengetahuan antar anggota. Kegiatan terbatas di kota-kota besar yang sulit diakses oleh anggota JKKI yang berada di kota-kota propinsi dan kabupaten kecil. Akibatnya pengembangan ilmu pengetahuan, kurang merata walaupun saat ini website kebijakan kesehatan sudah mulai berfungsi walaupun masih belum maksimal.

Dalam hal ini kebutuhan untuk penyebaran ilmu dan penguatan anggota JKKI di berbagai propinsi perlu dikembangkan terus. Mengapa?
Dalam sistem kesehatan yang terdesentralisasi di Indonesia, kebutuhan untuk melakukan pengembangan pengetahuan di segala bidang terutama di bidang kebijakan semakin besar. Sebagai gambaran berbagai kebijakan kesehatan yang dilakukan di tingkat nasional dan daerah perlu untuk dapat disebarluaskan hingga ke pelosok wilayah di Indonesia. Di sisi lain berbagai kegiatan skala nasional menjadi penting bagi akademisi / peneliti untuk mengembangkan diri.

Latar belakang tersebut di atas mendorong perlunya program pengembangan Jaringan Kebijakan Kesehatan berbasis Telekomunikasi di Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Kedokteran. Kegiatan ini mempunyai sasaran kelompok yaitu universitas yang mengembangkan penelitian kebijakan kesehatan.

1.1 Tujuan

Ada beberapa tujuan yaitu:

  1. Mendukung masyarakat /akademisi di daerah untuk dapat mengikuti program – program di luar daerah terutama dalam hal diseminasi hasil penelitian kebijakan kesehatan
  2. Memberikan kesempatan kepada para peminat kebijakan kesehatan di daerah yang jauh dari pusat pengembangan ilmu dengan mengikuti berbagai pertemuan secara online, sekaligus menjadi penyelenggara untuk daerah yang bersangkutan.
  3. Mengembangkan simpul – simpul pengembangan penelitian kebijakan di perguruan tinggi kesehatan di seluruh propinsi di Indonesia dengan cara memperkuat tata-kelola.

1.2 Sasaran Kegiatan

Perguruan Tinggi yang tergabung dalam JKKI dan menjadi pelaku dalam sistem Telekomunikasi ini akan mampu:

  1. Menjadi penyelenggara di daerah (Co-Host) berbagai pertemuan nasional dengan cara merelay dan mengelola kegiatan untuk daerahnya;
  2. Menjadi penyelenggara kegiatan ilmiah diperguruan tinggi masing dimana kegiatan dapat dinikmati secara langsung oleh perguruan tinggi lain secara live melalui Webinar (menjadi pusat kegiatan ilmiah dalam jaringan).
  3. Menjadi lembaga pendidikan yang aktif memberikan masukan di web www.kebijakankesehatanindonesia.net 

1.3 Bagan Ilustrasi Pengembangan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesiaberbasis Telekomunikasi

Kegiatan yang telah dilakukan adalah melatih system teknis dan system bisnis setiap mitra.

PKMK UGM melatih beberapa PT untuk siap menjadi Co-Host Forum Nasional JKKI di Universitas Andalas. serta menyelenggarakan kegiatan Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia VI secara satelit (online) di masing – masing wilayah. Pelatihan meliputi system Teknis dan Bisnis.

gb1-8sept

Pelatihan system teknis mencakup:

  • Pemahaman mengenai Webinar
  • Pemahman mengenai system audio visual
  • Pemahaman internet

dan berbagai hal teknis lain sesuai dengan konfigurasi sistem

Pengembangan proses Bisnis .

  1. Universitas/lembaga mitra melakukan pemasaran dan pengumuman ke seluruh pihak yang mungkin tertarik untuk mengikuti kegiatan;
  2. Universitas / lembaga yang terlibat mengenakan biaya sebesar Rp. 500.000,- kepada peserta yang hadir di pertemuan di wilayahnya untuk mengikuti FKKI secara online. Untuk mahasiswa, biayanya adalah Rp 250.000,
  3. Biaya tersebut terbagi menjadi:
    • 50% menjadi hak penyelenggara. Dana ini dipergunakan untuk konsumsi dan berbagai kebutuhan penyelenggaraan.
    • 50% menjadi hak JKKI sebagai biaya ujian, pembuatan sertifikat, dan pengiriman.

Peserta akan diuji di bulan September dengan ujian jarak-jauh dan waktu sesuai pilihan peserta, berdasarkan kesiapannya. Setelah lulus ujian, peserta akan dikirimi sertifikat. Sertifikat setara dengan SKP berbagai Profesi.

1.4 Sasaran Pelatihan

Peserta pengembangan terdiri dari tim pengelola unit penelitian / lembaga pendidikan kesehatan yang ada di perguruan tinggi masing-masing. Tim terdiri dari:

  • Dosen
  • Tenaga IT di PT masing-masing
  • Sekretaris/Manajer Program yang akan mengelola kegiatan.

Untuk program jangka pendek, ada 6 Perguruan Tinggi yang sudah terpilih.

  TUJUAN KEGIATAN EVALUASI

  1. Melakukan Evaluasi Uji-Coba dalam Forum Nasional 6 JKKI;
  2. Melakukan penguatan SIstem Bisnis Co-Host dan Aspek Teknis Jaringan;
  3. Menyusun kegiatan di tahun 2015 dan 2016 untuk penguatan Simpul-Simpul Jaringan;
  4. Merencanakan kegiatan di tahun 2016 dengan perluasan keanggotaan ke seluruh Propinsi yang ada di Indonesia.


  ACARA

3.1 Pra Pertemuan Tatap muka:

Sebelum tatap muka akan dilakukan persiapan meliputi:

  1. Pengumpulan Data Laporan Teknis meliputi:
    • Kemampuan Teknis SDM
    • Fasilitas Audio-Visual
    • Band-with Internet
    • Fasilitas fisik berupa Studio atau ruangan pertemuan yang baik
  2. Pengumpulan Data Laporan Sistem Bisnis dan Manajemen Program
    • Laporan pendapatan dan pengeluaran
    • Pengguna dan Potensi pengguna di masa depan
    • Sistem Pemasaran setiap Simpul
    • Insentif ekonomi untuk pengembangan.
    • Pengorganisasian dan ketersediaan SDM.
  3. Diskusi-diskusi melalui webinar

3.2. Pertemuan Tatap Muka:

Waktu

Agenda

Keterangan

Selasa, 22 September 2015

11.00-12.00 

Registrasi dan makan siang

 

13.00-13.45 

Presentasi Laporan Kegiatan di 7 Lokasi Relay Webinar FKKI

Presentasi Awal:

Sistem Teknis dan Aspek Manajemen Business Jaringan Teknologi dalam Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia.

13.45-15.30 

Pembahasan Masalah Teknis Program dan Masalah Manajemen Kegiatan & Keuangan

 
15.30-17.00 

Kegiatan dan Diskusi mengikuti Jaringan Epidemiologi Nasional (webinar) :

Tantangan pengembangan layanan primer dikaitkan dengan peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer dalam Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

dalam sesi Forum JEN dengan Surabaya(webinar relay di 7 titik) 

17.00-19.00 

ISHOMA

Makan Malam di siapkan

19.00-19.30 

Diskusi Perencanaan Kegiatan untuk Mengatasi Masalah Teknis

 
19.30-21.00 

Diskusi Perencanaan Kegiatan untuk Memperkuat Manajemen

 
21.00-21.30 

Penutup Hari 1

 

Rabu, 23 September 2015

08.00-10.00 

Penyusunan Agenda Kegiatan di tahun 2015 di Perguruan Tinggi Anggota JKKI, meliputi :

  1. Uji coba Seminar Bulanan di tahun 2015
  2. Pelatihan Teknis
    • pengembangan kemampuan konsultan di daerah untuk mendukung perencanaan
    • pengembangan kapasitas dinas kesehatan

    • pengembangan kapasitas manajemen RS

Pembicara :
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

materi

Pembahas:

  1. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI *)
  2. Kepala Biro Perencanaan Kementerian Kesehatan RI *)
  3. Kepala Biro Perencanaan, Organisasi dan Tata Laksana Kementerian PPN/Bappenas RI *)
  4. Ketua Adinkes *)
  5. Ketua ARSADA *)

Moderator : Dr. dr. Deni K. Sunjaya, DESS

10.00-10.30 

Coffee Break

 
10.30-12.00 

Kemampuan Perguruan Tinggi : Penyusunan Agenda Kegiatan untuk tahun 2016, meliputi :

  1. Post Graduate Forum in Health Policy and System 3-4 Maret 2016
  2. Forum JKKI Nasional ke-7 di Makassar
  3. Diskusi Rutin Nasional mengenai Kebijakan Kesehatan setiap bulan sekali
  4. Seminar Nasional oleh para anggota Jaringan
  5. Pelatihan berbasis web untuk manajemen lembaga penelitian di Perguruan Tinggi

Pembahasan bersama :

Penyusunan RKAT Perguruan Tinggi di tahun 2016 untuk mendukung kegiatan ini.

 
12.00-13.00 

Makan Siang dan check out

 
13.00-15.00 

Penyusunan Proceeding pertemuan JKKI di Padang dan Policy Brief dengan HSS Project beserta bedah buku Policy Brief

*) Ada kemungkinan mengembangkan Procedding di daerah – daerah.

Prof. Dr. dr. Rizanda Mahmud, M.Sc.

AIPHSS

Moderator : Dr. Dumilah Ayuningtyas, MARS

 
15.00-15.30 

What Next dan Penutup

Prof. Laksono Trisnantoro, M.sc, PhD 

 

IV. HASIL YANG DIHARAPKAN

  1. Dokumen Laporan Evaluasi Pelaksanaan Co-Host pada Forum Nasional ke 6 Jaringan Kebijakan Kesheatan di Padang, yang meliputi:
    1. Aspek Teknis
    2. Aspek Bisnis.
  2. Dokumen Rencana Operasional di tahun 2015 dan 2016.

V. PESERTA

  1. 6 Perguruan Tinggi Mitra Co – Host yaitu :
    1. FKM Universitas Andalas Padang
    2. FKM Universitas Mulawarman Samarinda
    3. FKM Universitas Nusa Cendana Kupang
    4. FKM Univeristas Hasanuddin Makassar
    5. FKM Universitas Sam Ratulangi Manado
    6. FKM Universitas Jember, Jember
  2. Anggota KSI lain yang berminat
  3. Kementerian PPN/ Bappenas
  4. Kementerian Kesehatan
  5. BKKBN
  6. Dinas Kesehatan Propinsi
  7. Dinas Kesehatan Kabupaten

VI. TEMPAT

Hotel Santika
Jl. Hayam Wuruk No. 125, Jakarta Pusat
Telepon : (021) 2600818

VII. ANGGARAN KEGIATAN

Masing – masing mitra co – host (6 universitas) akan mendapatkan fasilitas transportasi ekonomi (pp) dari kota asal ke Jakarta, perdiem selama 3 hari (atau sesuai tiket tanpa melebihi waktu pelaksanaan acara), akomodasi twin sharing di Hotel Santika Hayam Wuruk selama 2 malam. Pendanaan universitas ini berlaku untuk satu orang.

Sedangkan untuk mitra KSI akan mendapatkan transport lokal di Jakarta. Pendanaan kegiatan ini didukung oleh Knowledge Sector Initiative.

Pendanaan untuk Kementerian Kesehatan, Kementerian PPN/Bappenas, BKKBN, dan Dinas Kesehatan Propinsi /Kota setempat diharapkan berasal dari instansi masing – masing.

  VIII. Keterangan lainnya

Keterangan lebih lengkap dan konfirmasi dapat menghubungi :
Sdri. Angelina Yusridar / Sdr. Wisnu Firmansyah
Telp : 08111498442 / 081215182789
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. / This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

 

 

 

Ringkasan Hasil Forum Nasional ke 6 Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

  Pengantar

Pada tanggal 24 dan 25 Agustus 2016 telah berlangsung Forum Nasional ke 6 Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Tema tahun ini adalah "Upaya Pencapaian Universal Health Coverage 2019: Kendala, Manfaat, dan Harapannya". Tujuan Forum Nasional ke 6 untuk:

  • Membahas perkembangan isu-isu strategis kebijakan kesehatan selama dua tahun pelaksanaan JKN
  • Membahas reformasi pembiayaan kesehatan dan sistem kesehatan di Indonesia dalam mencapai UHC 2019
  • Meningkatkan kapasitas penelitian oleh perguruan tinggi/pusat penelitiaan dan peneliti dalam penelitian kebijakan kesehatan
  • Meningkatkan kapasitas peneliti dalam mendiseminasikan hasil penelitian dan menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah lokal dan nasional

  Hasil yang diperoleh

Kebijakan JKN telah berlangsung hampir 2 tahun. Hasil monitoring berbagai penelitian di Forum Nasional ke 6 menunjukkan bahwa:

  • JKN bermanfaat bagi jutaan manusia Indonesia yang "beruntung" mendapatkan akses. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum memperoleh akses pelayanan yang baik karena masalah akses geografis dan budaya. Manfaat terbesar dinikmati terutama masyarakat perkotaan dan yang mempunyai dana untuk transportasi, akomodasi, serta akses budaya. Dalam pemanfaatan dana JKN yang masuk BPJS, ditengarai adanya salah sasaran subsidi APBN dimana dana tidak terpakai PBI dipergunakan oleh masyarakat yang mampu membayar (non PBI mandiri). Hal ini memicu perdebatan secara etika dan hukum.
  • Masalah-masalah pelaksanaan kebijakan JKN dapat dikelompokkan menjadi dua hal besar yaitu: (1) bersumber dari pelaksanaan operasional, dan (2) adanya masalah konsepsual. Masalah konsepsual dianalisis berdasarkan kekurangan regulasi dalam berbagai tingkat, mulai dari UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri terkait sampai ke berbagai kebijakan di daerah. Salah satu penyebab masalah adalah kebijakan JKN sbeagai sebuah reformasi pembiayaan kesehatan dijalankan tanpa rancangan utuh dengan reformasi lainnya (dalam SDM, pengorganisasian sistem kesehatan, pembayaran, sampai ke promosi kesehatan).
  • Masalah operasional dan konsepsual saling berhubungan. Salah satu contohnya adalah sebuah masalah konsepsual adalah mengenai tata hubungan antara BPJS dengan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan. Sampai saat ini, UU SJSN dan UU BPJS tidak jelas dalam menentukan lembaga mana yang menjadi operator pembiayaan dan mana yang menjadi lembaga regulator. Akibatnya pelaksanaan di lapangan menjadi buruk karena masalah konsepsual ini, termasuk problem penetapan sistem kapitasi.

  Harapan ke Depan

Kebijakan JKN diharapkan lebih bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia, termasuk di daerah yang masih sulit akses. Manfaat diharapkan tidak hanya kuratif, namun juga termasuk pelayanan preventif dan promotif.

  Strategi dan agenda kegiatan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia.

JKKI perlu mempunyai strategi bersama di tingkat nasional, dan mempunyai strategi serupa di daerah-daerah. Dalam proses kebijakan, pada tahun 2015 Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia masih melakukan monitoring. Di tahun 2016, walaupun perjalanan JKN belum sampai ke tahun ke-5 (2019), sudah saatnya diperlukan evaluasi kebijakan JKN. Mengapa diperlukan?

  • Dalam monitoring tahun ke-2 terlihat adanya titik-titik awal berbagai penyimpangan dari arah tujuan JKN yang tertulis dalam UU SJSN (2004) dan UU BPJS (2011). Titik-titik awal penyimpangan ini terutama dalam kriteria pemerataan yang terkait dengan Pancasila dan prinsip bernegara di UUD 1945 yang menyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  • Titik awal di kebijakan perlu segera dianalisis, apakah berasal dari kekeliruan pengambilan kebijakan ataukah lebih banyak berasal dari masalah pelaksanaan.
  • Evaluasi kebijakan jangan sampai terlambat. Jika menunggu sampai dengan tahun 2019, dikhawatirkan tidak sempat untuk memperbaiki kebijakan yang ada.

Apa evaluasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia? Ada berbagai hal, termasuk di dalamnya:

  • Melakukan identifikasi kekurangan aturan melalui berbagai studi dan kasus yang terjadi di daerah dan pusat;
  • Melakukan evaluasi dengan cara mengkaji pasal-pasal "bermasalah" di UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan turunannya, Peraturan Presiden, Menteri, Peraturan BPJS, dan sebagainya. Disebut "bermasalah" karena dapat menghambat pencapaian tujuan SJSN;
  • Melakukan advokasi ke pengambil kebijakan. Bentuk-bentuk advokasi, antara lain berbagai pertemuan ilmiah untuk menyajikan hasil penelitian, lobby semacam komunikasi yang berisikan berbagai usulan amandemen pasal-pasal dalam berbagai kebijakan, serta ada kemungkinan melakukan Yudisial Review ke Mahkamah Konstitusi apabila diperlukan.

  Pelatihan Kapasitas Anggota JKKI

Untuk mendukung kegiatan yang akan datang, sebagaimana telah dibahas dalam Forum Nasional ke-6, akan ada berbagai kegiatan lanjutan untuk meningkatkan; (1) kapasitas penelitian oleh perguruan tinggi/pusat penelitiaan dan peneliti dalam evaluasi kebijakan; dan (2) kapasitas peneliti dalam mendiseminasikan hasil penelitian dan menyampaikan rekomendasi kepada seluruh stakeholder kebijakan kesehatan daerah dan nasional. Kegiatan akan dilakukan dengan pendekatan Blended Learning di web berikut ( www.kebijakankesehatanindonesia.net )

Oleh: Prof. Laksono Trisnantoro

 

Sektor Kesehatan: Setelah 70 Tahun Indonesia Merdeka

Laksono Trisnantoro, Guru Besar Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 21 Agustus 2015

Tahun 2015, atau 70 tahun setelah Indonesia merdeka, status kesehatan masyarakat ternyata masih belum menggembirakan. Meskipun Pemerintah Indonesia-dalam hal ini Kementerian Kesehatan-telah berusaha keras, angka kematian ibu dan bayi masih tinggi, bahkan di daerah-daerah perkotaan yang mempunyai fasilitas dan tenaga kesehatan cukup.

Masyarakat yang mengidap tuberkulosis (TB) masih bertambah. Pengidap HIV/AIDS juga terus meningkat. Lebih memprihatinkan lagi, kondisi ini seiring dengan meningkatnya jumlah penyakit tidak menular, seperti diabetes, kanker, serta jantung. Anak-anak dan ibu hamil dengan gizi buruk, juga yang terlalu gemuk, masih banyak ditemui. Pengendalian pemakaian tembakau masih belum berjalan baik. Seolah semua usaha jalan di tempat.

Sebenarnya ada pelbagai kemajuan yang patut diapresiasi. Di sisi perlindungan untuk kesehatan masyarakat, misalnya, sudah ada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Kesehatan Daerah. Jumlah rumah sakit, tenaga kesehatan, dan dokter juga meningkat meskipun belum merata. Daerah-daerah dengan kondisi geografis sulit, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Barat, memang masih jauh tertinggal.

Sebaliknya, masyarakat yang mampu memilih masih belum puas dengan mutu pelayanan kesehatan. Masih banyak pasien Indonesia yang berobat ke negara lain. Sementara akses masyarakat miskin di sejumlah daerah sulit masih menjadi masalah besar. Sesungguhnya apa yang kurang dalam sistem kesehatan di negara yang sudah merdeka 70 tahun ini?

Negara kesejahteraan

Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, para pendiri bangsa telah menulis di UUD 1945 yang menyatakan Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Fakir miskin ditanggung negara, termasuk urusan kesehatan. Akan tetapi, yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Jepang bukanlah sistem kesehatan yang bertujuan melindungi masyarakat dari sakit, khususnya mereka yang miskin.

Pada masa penjajahan, sistem kesehatan dibangun terutama untuk kepentingan penjajah melindungi aparat pemerintah serta karyawan perusahaan besar dari risiko sakit. Akibatnya, setelah Indonesia merdeka, amanah UUD 1945 tidak mudah dijalankan, terutama dalam pembiayaan sektor kesehatan.

Dalam pelayanan kesehatan untuk perorangan, setelah kemerdekaan, RS-RS milik gereja kehilangan sumber dana bantuan kemanusiaan dari Eropa. Maka, RS-RS keagamaan harus mencari dana dari pasien karena pemerintah tidak mempunyai dana cukup untuk pelayanan kesehatan. Masyarakatlah yang harus membayar, termasuk yang miskin. Masyarakat miskin hanya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis jika mampu membuktikan diri sebagai orang miskin, tidak mampu untuk mendapat pelayanan gratis. Terjadilah mekanisme pasar di pelayanan kesehatan.

Sistem pasar terus berlangsung sampai Orde Baru. RS swasta diperbolehkan menjadi lembaga berbentuk PT (mencari untung). Berbagai perkembangan ini membentuk sifat sektor pelayanan kesehatan perorangan yang semakin dipengaruhi oleh hukum pasar yang celakanya tidak ada pengawasan.

Muncul efek samping di situasi ini, misalnya adanya semacam kartel yang membatasi jumlah spesialis. Akibatnya, jumlah dokter spesialis dan subspesialis menjadi sangat kurang.

Desentralisasi

Tahun 1999, setelah krisis moneter dan reformasi politik di Indonesia, sektor kesehatan Indonesia juga mengalami desentralisasi. Sayangnya, hal ini dilakukan secara setengah hati. Kondisi ini bisa dilihat dari bertambahnya APBN pemerintah pusat selama 10 tahun terakhir, dengan pembiayaan kesehatan dilakukan oleh pusat kembali (resentralisasi).

Daerah-daerah, termasuk yang mampu, tidak memberikan anggaran cukup untuk sektor kesehatan. Dalam kasus program penurunan kematian ibu dan bayi, dana program masih bergantung pada APBN. Kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat menjadi identik dengan program Kementerian Kesehatan ataupun dinas kesehatan di daerah. Pemerintah merencanakan, melakukan, dan menilai sendiri kegiatan-kegiatan seperti imunisasi, pemberantasan nyamuk, sampai promosi kesehatan. Akibatnya, tidak ada sistem monitoring dan pengendalian secara independen. Peran masyarakat dan LSM masih terbatas dalam program kesehatan masyarakat. Dampak lanjutannya, pemerintah pusat kesulitan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang seharusnya dilakukan pemerintah kabupaten dan provinsi.

Pada tahun 1999, reformasi politik menetapkan pemerintah sebagai sumber dana masyarakat miskin melalui program Social Safety-Net, yang diteruskan dengan Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan saat ini JKN. Kebijakan ini mengakhiri periode mekanisme pasar yang sangat kuat.

Meski demikian, kebijakan pembiayaan untuk pelayanan perorangan ini tidak dapat mengangkat status kesehatan masyarakat. Selama 10 tahun terakhir, berbagai indikator kesehatan masyarakat, seperti angka kematian ibu dan bayi, demikian juga dengan penderita TB, masih belum dapat dikendalikan. Di sejumlah kota besar, jumlah kematian ibu meningkat seiring dengan peningkatan anggaran untuk jaminan kesehatan.

Transparansi data kurang

Kebijakan JKN dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pengelola merupakan hal yang bertujuan baik. Akan tetapi, saat ini, hal itu sulit dinilai karena transparansi data belum baik.

Data penggunaan sarana kesehatan primer dan rujukan langsung dikirim ke kantor pusat BPJS tanpa ada analisis di daerah. Akibatnya, pemerintah kabupaten/kota/provinsi tidak dapat membuat perencanaan kesehatan dengan baik, khususnya untuk pencegahan penyakit.

Pelaksanaan kebijakan desentralisasi menjadi semakin tidak jelas di sektor kesehatan. Di JKN diduga terjadi salah sasaran dalam pemberian subsidi. Dana penerima bantuan iuran (PBI) masih sisa di sejumlah daerah, khususnya di kawasan yang berakses buruk. Dana ini kemudian dipergunakan untuk mendanai peserta BPJS di tempat lain yang merugi.

Di sisi lain, program kesehatan masyarakat ternyata juga belum baik dijalankan. Kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat identik dengan program Kementerian Kesehatan ataupun dinas kesehatan di daerah.

Pemerintah merencanakan, melakukan, dan menilai sendiri kegiatan-kegiatan seperti imunisasi, pemberantasan nyamuk, sampai promosi kesehatan. Akibatnya, tidak ada sistem monitoring dan pengendalian independen. Peran masyarakat dan LSM masih terbatas dalam program kesehatan masyarakat.

Kementerian-kementerian terkait kesehatan, seperti Kementerian Pekerjaan Umum atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tidak terkoordinasi selama bertahun-tahun. Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan terbatas menjadi pelaku pelayanan dengan dana pemerintah.

Fungsi pengawasan lembaga pelayanan pemerintah dan swasta serta penyusun kebijakan terabaikan. Dalam konteks kematian ibu, apabila sistem kontrol mutu pelayanan rujukan ibu dan mutu pelayanan rumah sakit dilakukan dengan baik, penurunan angka kematian ibu dapat dipercepat.

Apa yang perlu dilakukan

Sebagai refleksi 70 tahun perkembangan sistem kesehatan, ada beberapa hal kunci untuk dilakukan.

Pertama, kebijakan pembiayaan JKN perlu ditingkatkan lewat transparansi, efisiensi, dan pemerataan. Jangan sampai subsidi bagi masyarakat miskin (PBI) salah sasaran dan terjadi inefisiensi.

Kedua, diperlukan kerja sama pemerintah dan swasta. Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat, perlu kerja sama antara Kementerian Kesehatan atau dinas kesehatan dan swasta melalui sistem kontrak.

Ketiga, perlu koordinasi lebih erat antara Kementerian Kesehatan dan kementerian lain atau dinas kesehatan dan dinas terkait kesehatan di daerah dalam konteks desentralisasi.

Keempat, perlu reorientasi pendidikan tenaga kesehatan. Dengan skema LSM dan swasta sebagai kontraktor, lulusan fakultas kesehatan masyarakat tidak harus menjadi PNS. Pola-pola kartel dalam pendidikan spesialis dan subspesialis harus dihilangkan.

Kelima, promosi kesehatan perlu ditingkatkan agar masyarakat sadar bahwa kesehatan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga masyarakat.

 

{jcomments on}