Untuk memicu diskusi Tahap II ini, saya menyampaikan sedikit pengantar dengan judul:
Best Practice Sistem Kontrak dalam Program Sister Hospital NTT Program Sister Hospital NTT dimulai pertengahan 2010 akan segera berakhir di tahun 2015 ini. Dalam perkembangannya, tercatat 10 Rumah Sakit besar di luar NTT pernah dan atau masih terlibat dalam program tersebut. Dalam perspektif model kontrak yang baru pertama kali dilakukan di Indonesia, berjalannya sistem kontrak tersebut selama lebih 5 tahun merupakan sesuatu yang luar biasa. Pendekatan yang dilakukan adalah kontrak 2 level. Level 1: donor agency (dalam hal ini AIPMNH) mengontrak rumah sakit besar. Level 2: rumah sakit besar tersebut kemudian "mengontrak" tim tenaga kesehatan (terdiri dari dokter spesialis/residen senior kebidanan, kesehatan anak, dan anastesiologi, serta paramedis terkait PONEK). Dengan demikian, secara konseptual pendekatan kontrak yang diterapkan adalah "institution-based contracting" untuk level 1, dan "team-based contracting" untuk level 2. Sebagai perbandingan, pendekatan kontrak yang biasa dilakukan saat ini adalah "individual-based contracting" atau "team-based contracting" tapi tidak dalam payung "institution-based contracting." Satu faktor penentu yang penting dalam program tersebut adalah dimungkinkannya mekanisme penunjukan langsung (tanpa lewat lelang terbuka) dalam menentukan provider (dalam hal ini rumah sakit besar). Hal ini dimungkinkan karena pihak AIPMNH atau AusAID (kini DFAT) memiliki aturan tersendiri dalam masalah ini.
Dari perspektif best practice, peluang tersebut memberikan sumbangan penting bagi pengalaman implementasi model kontrak inovatif di Indonesia. Selengkapnya dapat disimak di web: www.mutukia-ntt.net
Proses Diskusi
Dwi Handono
Bapak/Ibu Masyarakat Praktisi Kontrak di Sektor Kesehatan,
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, memfasilitasi Indonesia HealthCare Forum (INDO-HCF) yang bekerjasama dengan Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO) menyelenggarakan Relay Webinar INDO-HealthCare Forum Panel Discussion 2 – 2015: Membedah Pengaruh JKN Terhadap Program UKM Khususnya Program KIA Di Puskesmas. Kegiatan tersebut akan diselenggarakan pada:
Hari, Tanggal : Rabu, 29 Juli 2015 Pukul : 10.00 – 13.00 wib Tempat : Ruang Teater, Gedung Perpustakaan Lantai 2 Fakultas Kedokteran UGM
salam Dwi Handono Sulistyo
Dwi Handono
Pada tanggal 26 Agustus 2015, di Padang, dalam rangkaian kegiatan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke-6, diselenggarakan Workshop "Penggunaan Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan untuk Mengantisipasi Kenaikan Anggaran Sektor Kesehatan Menjadi 5%" Kegiatan Workshop ini sangat terkait dengan fokus kajian kita selama ini. Untuk itu, kami berharap Bapak/Ibu dapat terus mengikuti perkembangannya.
Pada tanggal 26 Agustus 2015, dalam Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke-6 di Padang Hari ke-3, telah diselenggarakan Workshop Penggunaan Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan Untuk Mengantisipasi Kenaikan Anggaran Sektor Kesehatan Menjadi 5%. Dalam workshop tersebut, selain membahas teori dasar, juga berbagai pengalaman aplikasi sistem kontrak yang telah dilakukan selama ini, serta bagaimana prospek dan tindak lanjutnya. Workshop ini terbagi ke dalam sesi pleno dan sesi perkelompok (ada 4 kelompok).
Dalam workshop tersebut terungkap bahwa praktik kontrak tersebut sudah biasa dilakukan oleh donor agency terhadap LSM atau lembaga swasta lainnya. Hal ini berbeda di sector pemerintah yang masih membatasi kontrak untuk pengadaan barang dan pembangunan fisik. Dalam hal ini, dapat teridentifikasi berbagai kendala yang dikelompokkan ke dalam 4 aspek yaitu: (1) aspek pemahaman dan dukungan politis; (2) aspek regulasi; (3) aspek manajemen; dan (4) aspek provider. Silakan simak paparan Resume Hasil Workshop pada link berikut. asd
Asalamualaikum.Wr.Wb Yth. Pak Dwi dan rekan2 Saya pribadi sangat sependapat dengan upaya penguatan pelayanan kesehatan melalui sistem kontrak ini, menurut pangamatan saya dan bersumber dari beberapa referensi menunjukan bahwa untuk kondisi negara kita saat ini contracting-out lebih tepat dilaksanakan di daerah terpencil (rural/remote area) atau daerah miskin, sedangkan penguatan contracting-in lebih tepat dilakukan didaerah perkotaan (urban). Memang contracting-out biayanya lebih besar,namun apabila didukung oleh pemerintah serta niat untuk menyelesaikan masalah kesehatan apa salahnya?..kan tujuan negara untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya yang tercermin dalam UUD 1945. Sedangkan penguatan contracting-in sangat tepat dilakukan dikota karena tercukupinya SDM dan sarana dan prasarana yang telah dimiliki oleh pemerintah, diikuti dengan penetapan spesifik klien yang ingin dilayani, kejelasan kontrak kerja, reward dan punisment dan proses rekrutmen yang adil dan profesional. Namun yang paling penting dari kedua jenis kontrak itu adalah monitoring / supervisi dan penegakan perjanjian kontrak serta payung hukum yang mendukung pelaksanaannya.
Susilaningsih
Setelah saya baca refferensi ttg contracting out terutama masalah maternal. memang sudah saatnya dilakukan sitem ini Tetapi untuk costing.memang lebih tinggi.karena ada komponen jasa.jadi selain SPM ,perencanaan yg tepat dan penyiapan provider harus disiapkan dinkes propinsi atau dinkes kabupaten. Terima kasih.
Budi Perdana
Menurut pengamatan saya, penerapan sistem kontrak di sektor kesehatan adalah masalah 'when' karena cepat atau lambat pasti akan menuju kesana. Tahun 2016, anggaran kesehatan meningkat drastis termasuk juga DAK Kesehatan yang rencananya meningkat 3 kali lipat dari 2015.
Apa yang perlu kita siapkan? Kita perlu bersama menyusun road map utk pelaksanaan sistem kontrak. Bisa dimulai dari SPM (Standar Pelayanan Minimum) sebagai indikator pelayanan minimum yang harus disediakan oleh Kab/Kota (saat ini SPM baru sedang dalam proses finalisasi di Kemendagri). Dari 16 indikator Kab/Kota kita mapping kegiatan apa yang bisa dikontrakkan, dan setelah itu kita mapping juga resource di Kab/Kota yang bisa dikontrak untuk melaksanakan kegiatan tsb. Perlu juga dilakukan sertifikasi pada pihak ketiga sebagai pelaksana kegiatan, sertifikasi dikeluarkan oleh Dinkes.
Bila kita sdh siap dengan road map, mungkin bisa dilakukan pembicaraan dengan Biro Perencanaan Kemkes untuk membuatnya sebagai pilot project dengan dana DAK. Selanjutnya, dari input yang didapat pada piloting, bisa dilakukan penyempurnaan dan diimplementasikan pada tingkat nasional.
Happy to discuss, salam Budi Perdana, Biro Perencanaan dan Anggaran Kemkess
Hilmi SR
Yth Pak Dwi dan rekan2, Terimakasih banyak undangannya untuk berpartisipasi di CoP ini.
Jika mengacu pada resume hasil workshop yang sudah dilakukan sebelumnya, sepertinya yang menjadi prioritas adalah menumbuhkan willingness pemerintah terlebih dahulu terhadap opsi kontrak. Perlu banyak diskusi, workshop, dan pertemuan-pertemuan untuk meng-goal-kan tujuan pertama ini. Selain meyakinkan pihak pemerintah, kita juga bisa bersama-sama mengidentifikasi kekhawatiran2 pemerintah yang menjadi hambatan bisa dilaksanakannya mekanisme ini.
Akan sangat baik jika dari PKMK bisa mencetuskan ide2 penelitian dan kajian yang diperlukan kepada anggota CoP, untuk memperkuat argumentasi perlunya sistem kontrak dalam setting pembangunan kesehatan saat ini. Anggota CoP bisa menindaklanjuti masing2 (atau secara terorganisir) dengan melakukan kajian menggunakan sumber daya masing2.
Terimakasih banyak. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
Ringkasan Diskusi Tahap I tersebut adalah sebagai berikut:
Gagasan Prof Laksono untuk menerapkan kontrak di sektor kesehatan, secara umum dapat diterima oleh semua pihak baik dari kalangan akademisi, konsultan, NGO, maupun pengambil kebijakan di dinas kesehatan. Argumentasinya mulai dari aspek teoritis, evidence-based, analisis kemampuan absorbsi anggaran, potensi yang dimiliki NGO, dan lain-lain.
Kendala yang masih ditemui antara lain
peraturan kebijakan yang belum mendukung sistem kontrak diterapkan untuk program kesehatan (saat ini, sistem kontrak baru diterapkan untuk "belanja modal");
NGO terutama NGO keagamaan memiliki potensi sebagai calon mitra tetapi belum dioptimalkan potensinya baik melalui pendataan, pelatihan, pendampingan, dan pemberdayaan atau kesempatan untuk menjadi provider.
Peluang penerapan sistem kontrak ini terbuka luas karena sudah diakomodir dalam Pasal 11 RPP tentang SPM.
Mengacu kepada kebijakan Rencana Penggunaan Kenaikan Anggaran Kementerian Kesehatan RI Tahun 2016, peluang implementasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan sangat terbuka di level provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini dimungkinkan karena alokasi DAK Kesehatan & Keluarga Berencana tahun 2016 meningkat menjadi Rp. 19,6 T (Catatan: tahun 2015 hanya Rp. 6,8 T). Dana DAK Kesehatan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan non fisik. Dalam BOK misalnya bisa untuk kegiatan outreach (ANC, KB, Neonatal, Bayi, Program penanggulangan ATM, Penanggulangan Gizi Buruk, Penyediaan Air Bersih).
Kegiatan outreach ini bisa kurang optimal dilaksanakan akibat terbatasnya jumlah SDM dan tingginya beban kerja di puskesmas. Meskipun Kementerian Kesehatan tahun 2016 berencana untuk meningkatkan jumlah penugasan tim ke daerah dan penugasan khusus 5 jenis tenaga preventif dan promotif, tetapi tentu belum cukup untuk mengatasi kendala yang ada dan belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah. Dalam hal ini, daerah tentu lebih tahu kebutuhannya. Dengan alokasi DAK yang lebih besar (belum lagi dari APBD "murni"), peluang untuk melakukan inovasi (termasuk contracting out) sangat dimungkinkan.
Untuk dapat "menangkap" peluang tersebut, IAKMI telah didorong untuk mempersiapkan diri sebagai calon provider dalam Forum Ilmiah Tahunan IAKMI di Bandung 22-23 Oktober 2015 yang lalu. Selain IAKMI, diharapkan LSM dan organisasi nirlaba lainnya berpotensi untuk itu.
Berangkat dari konteks demikian, tema Diskusi Tahap IV Masyarakat Praktisi (CoP) Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan adalah "Bagaimana kesiapan calon provider untuk menjadi pelaksana kontrak, dan apa yang harus dilakukan oleh calon provider untuk itu?"
Salam, Dwi Handono Sulistyo (Moderator)
Proses Diskusi:
Sugeng Riyadi
Contracting out suatu hal yang sangat mungkin dilakukan. terlebih banyak sekali sdm terdidik bidang kesehatan yang susah sekali mencari pekerjaan sesuai dengan kaidah profesinya. disatu sisi pemerintah belum mampu dan mau membuka lowongan pekerjaan. ini momentum lowongan terbuka terhadap profesi bidang kesehatan.
Selama tiga dekade terakhir, banyak negara Amerika Latin dan Karibia (LAC) telah mengakui bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan mengambil langkah strategis atas pengakuan itu. Negara-negara tersebut telah mengubah Undang-Undang untuk menjamin hak kesehatan warganya. Sebagian besar telah meratifikasi konvensi internasional dengan menetapkan dengan mengimplementasikan secara terus-menerus dan adil bahwa hak kesehatan merupakan kewajiban negara.
Berdasarkan ketentuan baru yang terus diperluas ini, muncul tuntutan yang terus berkembang, sehingga sistem kesehatan tumbuh responsif untuk memberikan pelayanan yang terjangkau dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Atas dasar inilah, negara telah menerapkan kebijakan dan program yang bertujuan untuk mencapai cakupan kesehatan universal (UHC) yaitu, memastikan bahwa semua orang/masyarakat dapat memperoleh pelayanan yang mereka butuhkan tanpa kesulitan keuangan.
Setelah hampir seperempat abad berpengalaman dengan reformasi untuk memajukan UHC di LAC, ini saat yang tepat untuk mengambil suatu bukti kemajuan yang dibuat dalam rangka meningkatkan kesehatan dan akses masyarakat ke pelayanan kesehatan.
Saat ini merupakan waktu yang tepat karena bersamaan dengan momentum global untuk mencapai UHC, yang baru-baru ini dipercepat dengan publikasi dari laporan WHO untuk Sistem Pembiayaan Kesehatan: Jalan Menuju Universal Coverage (WHO 2010). Laporan ini diadopsi tahun 2011 dari resolusi World Health Assembly (WHA64.9).
Pada tahun 2012, Sidang Umum PBB mendorong negara-negara anggota untuk mengejar transisi kepada cakupan universal yang merekomendasikan bahwa UHC dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam agenda pembangunan pasca-2015. Pada tahun 2014, para anggota Organisasi Kesehatan Pan Amerika (PAHO) menyatakan dengan suara bulat untuk menyetujui sebuah resolusi yang menerapkan Strategi terhadap Akses Universal untuk Kesehatan dan UHC, ( A / 67 / L.36) (PAHO 2014). Bank Dunia juga menjadikan UHC sebagai bagian misi integral untuk menghilangkan angka kemiskinan pada tahun 2030 dan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Selengkapnya silahkan klik link berikut
Dalam web ini, telah terbentuk Masyarakat Praktisi (Community of Practice) tentang Sistem Kontrak di pelayanan kesehatan.
Tujuan (misi) Masyarakat Praktisi ini adalah:
Membahas mengenai konsep sistem kontrak dan kerjasaman dengan sektor swasta dalam sektor kesehatan;
Membahas pengalaman-pengalaman (best & bad practices) di Indonesia dan dunia dalam melakukan sistem kontrak di pelayanan kesehatan;
Mendorong tersusunnya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengggunakan kerjasama sama dengan lembaga swsata atau antar lembaga untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat;
Mendorong penggunaan konsep sistem kontrak di lembaga anggota CoP untuk meningkatkan kinerja lembaga.
Siapa anggota CoP ini?
Pimpinan dan Staf Pemerintah Pusat-Kementerian Kesehatan/Pemerintah Propinsi/Pemerintah Kabupaten yang terkait dengan opsi sistem kontrak;
Pimpinan LSM atau perusahaan yang bergerak dalam pelayanan kesehatan;
Peneliti dan akademisi;
Pengelola lembaga-lembaga donor.
dan semua pihak yang mempunyai minat dalam aplikasi sistem kontrak di pelayanan kesehatan.
Keanggotaan Masyarakat Praktisi ini bersifat terbuka. Namun bagi anda yang ingin mendapatkan alert melalui WA atau e-mail harap mendaftar sebagai anggota aktif. klik untuk Pendaftaran
Kegiatan Masyarakat Praktis ini akan dilakukan bertahun-tahun, seiring dengan perkembangan aplikasi system kontrak di sektor kesehatan. Dalam kegiatan jangka pendek ada diskusi yang dibagi dalam beberapa periode. Silahkan klik pada bagian Arsip Diskusi disertai pula dengan pertemuan-pertemuan ilmiah tatap muka dan Policy Brief yang dihasilkan. Disamping itu pengelola web juga menyediakan berbagai referensi utuk sistem kontrak yang dapat di klik pada tab perpustakaan.
Melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), penekanan untuk kegiatan promotif dan preventif di puskesmas tergambar jelas. Dana BOK ini diarahkan untuk meningkatkan kinerja Puskesmas melalui upaya kesehatan promotif dan preventif dalam mendukung pelayanan kesehatan di luar gedung.
Untuk itu, dana BOK dapat digunakan untuk membayar 1 (satu) orang per puskesmas tenaga kontrak Promosi Kesehatan yang kontraknya ditetapkan melalui SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang mengacu pada peraturan yang berlaku. Adapun Ketentuan Khusus terkait dengan tenaga kontrak promoter kesehatan dan rincian kegiatan yang harus dilakukan juga tertera dalam Petunjuk Teknis tersebut.
Ketentuan khusus terkait dengan tenaga kontrak promoter kesehatan adalah:
Berpendidikan minimal D3 Kesehatan jurusan/ peminatan Kesehatan Masyarakat diutamakan jurusan/peminatan Promosi Kesehatan/Ilmu Perilaku, dengan pengalaman kerja minimal 1 tahun di bidangnya.
Diberikan honor minimal sesuai upah minimum di Kabupaten/Kota yang berlaku dengan target kinerja bulanan yang ditetapkan secara tertulis oleh Kepala Puskesmas (output based performance).
Diberikan hak/fasilitas yang setara dengan staf puskesmas lainnya termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Lama kontrak maksimal 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai ketersediaan anggaran dan capaian target kinerjanya.
Saat ini pelaksanaan anggaran sudah memasuki Triwulan II di tahun 2016. Tentunya sudah cukup banyak cerita sukses atau sebaliknya terkait implementasi kontrak tenaga promkes tersebut.
Berangkat dari konteks demikian, tema Diskusi Tahun 2016 Tahap I dari Masyarakat Praktisi (CoP) Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan adalah "bagaimana realisasi awal implementasi kontrak tenaga promkes dengan dana BOK?"
Dalam web ini, telah terbentuk Masyarakat Praktisi (Community of Practice) tentang Sistem Kontrak di pelayanan kesehatan.
Tujuan (misi) Masyarakat Praktisi ini adalah:
Membahas mengenai konsep sistem kontrak dan kerjasaman dengan sektor swasta dalam sektor kesehatan;
Membahas pengalaman-pengalaman (best & bad practices) di Indonesia dan dunia dalam melakukan sistem kontrak di pelayanan kesehatan;
Mendorong tersusunnya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengggunakan kerjasama sama dengan lembaga swsata atau antar lembaga untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat;
Mendorong penggunaan konsep sistem kontrak di lembaga anggota CoP untuk meningkatkan kinerja lembaga.
Siapa anggota CoP ini?
Pimpinan dan Staf Pemerintah Pusat-Kementerian Kesehatan/Pemerintah Propinsi/Pemerintah Kabupaten yang terkait dengan opsi sistem kontrak;
Pimpinan LSM atau perusahaan yang bergerak dalam pelayanan kesehatan;
Peneliti dan akademisi;
Pengelola lembaga-lembaga donor.
dan semua pihak yang mempunyai minat dalam aplikasi sistem kontrak di pelayanan kesehatan.
Keanggotaan Masyarakat Praktisi ini bersifat terbuka. Namun bagi anda yang ingin mendapatkan alert melalui WA atau e-mail harap mendaftar sebagai anggota aktif. klik untuk Pendaftaran
Kegiatan Masyarakat Praktis ini akan dilakukan bertahun-tahun, seiring dengan perkembangan aplikasi system kontrak di sektor kesehatan. Dalam kegiatan jangka pendek ada diskusi yang dibagi dalam beberapa periode. Silahkan klik pada bagian Arsip Diskusi disertai pula dengan pertemuan-pertemuan ilmiah tatap muka dan Policy Brief yang dihasilkan. Disamping itu pengelola web juga menyediakan berbagai referensi utuk sistem kontrak yang dapat di klik pada tab perpustakaan.
Referensi Terkait Isu Kontrak di Sektor Kesehatan.
Ameli, O., and Newbrander, W. (2008). Contracting for health services: effects of utilization and quality on the costs of the Basic Package of Health Services in Afghanistan. Bulletin of the World Health Organization. [Online] 86(12). p.920-928. Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/86/12/08-053108.pdf?ua=1
Bath, R., Maheshwari, S., and Saha, S. (2007). Contracting-out of reproductive and child health (RCH) services through mother NGO scheme in India: experiences and implications. [pdf] Available at: http://www.iimahd.ernet.in/publications/data/2007-01-05_rbhat.pdf
Baqui, A.H., Rosecrans, A.M., Williams, E.K., Agrawal, P.K., Ahmed, S., Darmstadt, G.L., Kumar, V., Kiran, U., Panwar, D., Ahuja, R.C., Srivastava, V.K., Black, R.E., and Santosham, M. (2008). NGO facilitation of a government community-based maternal and neonatal health programme in rural India: improvements in equity. Health Policy and Planning. [Online] 23. p.234-243. Available from: http://heapol.oxfordjournals.org/content/23/4/234.full.pdf+html
Cockcroft, A., Khan, A., Ansari, N.M., Omer, K., Hamel, C., and Andersson, N. (2011). Does contracting of health care in Afghanistan work? Public and service-users' perceptions and experience. BMC Health Services Research. [Online] 11(Suppl 2). p.511. Available from: http://www.biomedcentral.com/1472-6963/11/S2/S11
Connor, C. (2000). Contracting non-governmental organizations for HIV/AIDS: Brazil case study. Special Initiative Report No. 30. [pdf] Available at: http://www.abtassociates.com/reports/sir30fin.pdf
Cristia, J. P., Evans, W. N., and Kim, B. (2012). Improving the health coverage of the rural poor: does contracting out medical mobile teams work? Discussion Paper Series No. 1203. [pdf] Available at: http://econ.korea.ac.kr/~ri/WorkingPapers/w1203.pdf
Heard, A., Awasthi, M.K., Ali, J., Shukla, N., and Forsberg, B.C. (2011). Predicting performance in contracting basic health care to NGOs: experience from large-scale contracting in Uttar Pradesh, India. Health Policy and Planning. [Online] 26. p.113-119. Available from: http://heapol.oxfordjournals.org/content/26/suppl_1/i13.full.pdf+html
Liu, X., Hotchkiss, D.R., and Bose, S. (2008). The effectiveness of contracting-out primary health care services in developing countries: a review of the evidence. Health Policy and Planning. [Online] 23. p.1-13. Available from: http://heapol.oxfordjournals.org/content/23/1/1.full.pdf+html
Loevinshon, B., and Harding, A. (2004). Contracting for the delivery of community health services: a review of global experience. [pdf] Available at: http://www-wds.worldbank.org/
Lönnroth, K., Uplekar, M., and Blanc, L. (2006). Hard gains through soft contracts: productive engagement of private providers in tuberculosis control. Bulletin of the World Health Organization. [Online] 84(11). p.876-883. Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/84/11/06-029983.pdf
Nigenda, G.H., and Gonzalěz, L.M. (2009). Contracting private sector providers for public health services in Jalisco, Mexico: perspectives of system actors. Human Resources for Health. [Online] 7(79). Available from: http://www.human-resources-health.com/content/pdf/1478-4491-7-79.pdf
Randive, B., Chaturvedi, S., and Mistry, N. (2012). Contracting in specialists for emergency obstetric care – Does it work in rural India? BMC Health Service Research. [Online] 12(485). Available from: http://www.biomedcentral.com/1472-6963/12/485
Siddiqi, S., Masud, T. I., and Sabri, B. (2006). Contracting but not without caution: experience with outsourcing of health services in countries in the Eastern Mediterranean Region. Bulletin of the World Health Organization. [Online] 84(11). p.867-875. Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/84/11/06-033027.pdf
World Health Assembly. (2003). The role of contractual arrangements in improving health systems' performance. Resolution of the World Health Assembly, Fifty-sixth World Health Assembly, WHA56.25. [pdf] Available at: http://www.who.int/contracting/resolution_en.pdf
World Health Organization. (2005). Application of contracting in health systems: Key messages. Technical Brief for Policy-Makers Number 4. [pdf] Available at: http://www.who.int/contracting/pb_number_4_en.pdf
Zurn, P., and Adams, O. (2004). A framework for purchasing health care labor. [pdf] Available at: [Accessed 23 December 2008]. http://siteresources.worldbank.org/
PENGANTAR DISKUSI TAHAP IV
Mengacu kepada kebijakan Rencana Penggunaan Kenaikan Anggaran Kementerian Kesehatan RI Tahun 2016, peluang implementasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan sangat terbuka di level provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini dimungkinkan karena alokasi DAK Kesehatan & Keluarga Berencana tahun 2016 meningkat menjadi Rp. 19,6 T (Catatan: tahun 2015 hanya Rp. 6,8 T). Dana DAK Kesehatan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan non fisik. Dalam BOK misalnya bisa untuk kegiatan outreach (ANC, KB, Neonatal, Bayi, Program penanggulangan ATM, Penanggulangan Gizi Buruk, Penyediaan Air Bersih).
Kegiatan outreach ini bisa kurang optimal dilaksanakan akibat terbatasnya jumlah SDM dan tingginya beban kerja di puskesmas. Meskipun Kementerian Kesehatan tahun 2016 berencana untuk meningkatkan jumlah penugasan tim ke daerah dan penugasan khusus 5 jenis tenaga preventif dan promotif, tetapi tentu belum cukup untuk mengatasi kendala yang ada dan belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah. Dalam hal ini, daerah tentu lebih tahu kebutuhannya. Dengan alokasi DAK yang lebih besar (belum lagi dari APBD "murni"), peluang untuk melakukan inovasi (termasuk contracting out) sangat dimungkinkan.
Untuk dapat "menangkap" peluang tersebut, IAKMI telah didorong untuk mempersiapkan diri sebagai calon provider dalam Forum Ilmiah Tahunan IAKMI di Bandung 22-23 Oktober 2015 yang lalu. Selain IAKMI, diharapkan LSM dan organisasi nirlaba lainnya berpotensi untuk itu.
Berangkat dari konteks demikian, tema Diskusi Tahap IV Masyarakat Praktisi (CoP) Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan adalah "Bagaimana kesiapan calon provider untuk menjadi pelaksana kontrak, dan apa yang harus dilakukan oleh calon provider untuk itu?"
INDONESIA HEALTHCARE FORUM (INDO HCF) PANEL DISCUSSION
Laporan : Edna Novitasari
Mengangkat topik "Membedah Pengaruh JKN terhadap Program UKM di Puskesmas", Indonesia Healthcare Forum Panel Discussion digelar Kamis siang (28/5/2015) di Gedung Granadi Jakarta. Diprakarsai oleh Indonesia Healthcare Forum (Indo HCF) bekerjasama dengan Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO), serta PKMK FK UGM (siaran live melalui webinar). diskusi panel kali ini menghadirkan sejumlah pembicara di bidang kesehatan masyarakat baik dari kalangan praktisi, akademisi, hingga pembuat kebijakan.
Dalam pidatonya Chairman IndoHCF, Rufi I. Susanto menjelaskan bahwa IndoHCF ini merupakan bentuk dari Corporate Social Responsibility (CSR) 8 perusahaan penyedia alat kesehatan di Indonesia, yang concern pada edukasi dan perbaikan sektor kesehatan di Indonesia. Harapannya, dari forum-forum diskusi seperti ini akan dihasilkan rekomendasi-rekomendasi yang berguna bagi perbaikan kebijakan di sektor kesehatan.
Sementara itu, keynote speaker IndoHCF Panel Discussion kali ini, dr. Anung Sugihantono, M.Kes selaku Dirjen Bina Gizi dan KIA Kementrian Kesehatan RI mengakui bahwa sebagai tumpuan kesehatan wilayah, puskesmas belum maksimal dalam fungsinya terutama di era JKN ini. Ada beberapa komponen yang belum siap secara pembiayaan, seperti di sektor Promosi Kesehatan (Promkes). Ironisnya anggaran nasional yang dialokasikan untuk puskesmas cukup besar. Bahkan yang cukup memprihatinkan, belum semua tenaga kesehatan di puskesmas memahami secara utuh dan menyeluruh tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) dari puskesmas sendiri sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama, yang memiliki pertanggungjawaban kewilayahan.
Menyambung materi dari keynote speaker, Ascobat Gani dari IKKESINDO mencoba menyajikan potret puskesmas sebagai faskes tingkat pertama yang dibebani banyak tugas dan tanggungjawab sebagai tumpuan kesehatan wilayahnya. Sedangkan menurut Gani ada dua malapetaka yang membuat puskesmas makin bergeser dari tanggungjawab kewilayahannya, yakni krisis multidimensi di tahun 1998, serta euforia otonomi sampai ke kabupaten sejak tahun 2000. Di era JKN sekarang ini, pergeseran semakin jelas terlihat sehingga puskesmas semakin berlomba dengan klinik pengobatan untuk mendapatkan pasien.
Sedangkan dari perspektif Social Determinant of Health, Laksono Trisnantoro selaku Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM mencoba menawarkan dua inovasi untuk menyiasati makin tergesernya program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) di era JKN oleh puskesmas yang sudah banyak tersita waktu dan tenaganya untuk fungsi Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Pertama dengan membagi tupoksi UKM dengan lembaga lain baik di jajaran pengambil kebijakan hingga organisasi masyarakat. Misalnya untuk sektor promosi kesehatan bisa menggandeng Dinas Pendidikan atau LSM yang bergerak di bidang terkait. Inovasi kedua yakni dengan sistem kontrak atau meng-kontrak-kan program UKM ke sektor swasta. Menurut Laksono, diakui atau tidak , banyak program yang dijalankan sendiri oleh pemerintah dan tidak menggandeng pihak swasta sehingga kurang maksimal hasilnya.
Program Jaminan Kesehatan Nasional/ SJSN bidang kesehatan yang telah bergulir sejak 1 January 2014 merupakan salah satu program nasional yang secara bertahap diharapkan seluruh penduduk Indonesia akan memperolah Jaminan Kesehatan pada tahun 2019 yang kita sebut sebagai Universal Health Coverage (Jaminan menyeluruh). Dalam implementasinya di pelayanan primer maka pada saat ini yang menjadi pelaksana sebagian besar adalah Puskesmas dalam pola pembiayaan Kapitasi dan Non-Kapitasi. Dana Kapitasi/ Non-kapitasi yang diterima Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama, dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional upaya kesehatan perorangan.
Sesuai Permenkes RI No. 75 tahun 2014 Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Sesuai pasal 35 & 36 Permenkes RI No. 75 tahun 2014, UKM dan UKP harus dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan. UKM tingkat pertama meliputi UKM esensial (Promkes, Kesling, KAI dan IKB, Gizi, Pencegahan dan pengendalian penyakit) dan UKM pengembangan (upaya yang sifatnya inovatif dan / bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan sesuai prioritas masalah pelayanan dan potensi sumber daya di wilayah kerjanya. UKP di tingkat pertama (Puskesmas) dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, pelayanan gawat darurat, pelayanan satu hari (one day care), home care, dan/ rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional dan standard pelayanan (pasal 27 Permenkes tahun 2014).
Dihadapkan kepada kondisi tersebut di atas dimana Puskesmas mempunyai tugas/ tanggungjawab yang kompleks dan berat tetapi di sisi lain pada umumnya SDM Tenaga Kesehatan terbatas, maka dengan beban pelayanan peserta JKN yang pada umumnya relatif berat maka pada diskusi panel & webinar ini akan melakukan kajian/ analisa sejauh mana pengaruhnya terhadap program UKM yang pada umumnya anggaranya relatif kecil dan dalam jangka panjang sangat menentukan tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat.
Diskusi panel ini akan diikuti oleh para pakar khususnya di bidang kesehatan masyarakat, akademisi, praktisi, komunitas media, serta stakeholder lainnya. Serta melalui web seminar (webinar) yang akan diikuti secara langsung (online) oleh para akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, maupun berbagai kelompok peserta yang mendaftar sebagai peserta webinar.
TUJUAN KEGIATAN
Tujuan umum Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh program JKN di Puskesmas terhadap program UKM (risk & benefit), sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.
Tujuan khusus Untuk memperoleh gambaran pengaruh program JKN di Puskesmas terhadap program UKM :
Dalam perspektif Puskesmas sebagai Pembina Kesehatan Wilayah (Comprehensive Health Financing viability, affordability, dan sustainability JKN dengan penguatan Public Health).
Dalam Perspektif Social Determinant of Health (SDoH).
Dalam Perspektif : Kapasitasi profesi kesmas di era JKN.
Dalam mendukung/ menunjang rencana penelitian tentang : "KAJIAN PENGARUH PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) TERHADAP PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK (KIA)".
Peserta Kegiatan dibagi menjadi 2 (dua) :
Peserta Diskusi Panel :
Unsur Pemerintah (Kemenkes RI, DJSN, BPJS Kesehatan, dll)
Assosiasi Profesi terkait
Akademisi
Pakar dan Praktisi di bidang JKN dan Kesehatan Masyarakat
Media Cetak maupun elektronik
Unsur Swasta dan perorangan lainnya
Peserta diskusi Panel yang mengikuti acara baik di Gedung Granadi ataupun UGM dibatasi hingga 50 peserta.
Peserta Webinar (Dikoordinir oleh PMPK UGM)
Akademisi dari perbagai perguruan tinggi di Indonesia
Para pakar/praktisi/ kelompok masyarakat lainnya/ individu
Mahasiswa
SUMBER DANA
Seluruh Anggaran didanai oleh INDO HCF (INDONESIA HEALTHCARE FORUM)
RENCANA KEGIATAN
Kegiatan akan dilaksanakan pada : Hari& Tanggal : Kamis, 28 Mei 2015 Waktu : 10:00 – 13:00 WIB Tempat : Gedung Granadi (S2 MMR FK UGM), lantai 10 sayap utara Jalan HR Rasuna Said Blok X-1 Kav. 8-9, Jakarta Selatan
WAKTU/ JAM
KEGIATAN
NARA SUMBER
9:00 – 10:00
Pendaftaran
Panitia
10:00 – 10:05
10:05 – 10:10
Pembukaan MC
Sambutan dari INDO HCF dan IKKESINDO
Laporan Ketua Panitia INDO HCF
DR. dr. Supriyantoro, Sp.P. MARS
(Ketua Umum IKKESINDO)
10:10 – 10:30
Keynote Speech Dirjen GKIA KEMENKES
dr. Anung Sugihantono, M.Kes
(Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA)
10:30 – 11:30
Presentasi dipimpin oleh Moderator
Dalam perspektif Puskesmas sebagai Pembina Kesehatan Wilayah (Comprehensive Health Financing viability, affordability, dan sustainability JKN dengan penguatan Public Health)
Dalam Perspektif Social Determinant of Health (SDoH)
Dalam Perspektif : Kapasitasi profesi kesmas di era JKN
Dalam mendukung/ menunjang rencana penelitian tentang : “Kajian Pengaruh Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Terhadap Program Kesehatan Ibu dan anak (KIA)”.
Moderator : DR. dr. Supriyantoro, Sp.P. MARS
Prof. Ascobat Gani, MPH, DrPH
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc,Ph.D
Dr. dr. Trihono, MSc
11:30 – 13:00
Sesi Diskusi
13:00 – 13:30
Makan Siang
INFORMASI
Kartika Indrawaty Indonesia HealthCare Forum Wisma 76 Lt. 17, Jl. Letjen S. Parman Kav. 76, Slipi – Jakarta 11410 Phone : +62 21 2567 8989 Mobile : +62 85959 488436 Fax : +62 21 53661038 Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. Website : http://indohcf.com