oleh: Laksono Trisnantoro
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK)
Fakultas Kedokteran UGM
Pengantar
Tahun 2014 merupakan tahun terpilihnya Jokowi sebagai Presiden. Mengawali masa kepresidenannya, Jokowi mempunyai tujuan yang disebut sebagai Nawacita sebagai berikut:
- C1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara
- C2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya
- C3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan
- C4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
- C5. Meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia
- C6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
- C7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
- C8. Melakukan revolusi karakter bangsa
- C9. Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial indonesia
Outlook kebijakan kesehatan tahun 2015 tentunya tidak lepas dari pengaruh Presiden Jokowi. Dalam konteks ini Nawacita merupakan dokumen politik pemerintahan Presiden Jokowi yang mempunyai ideologi. Dalam spectrum ideologi Nawacita mempunyai dasar sosialisme dan peran negara yang besar (welfare-state). Nawacita ketiga, yang menyatakan pembangunan dari pinggiran Indonesia menunjukkan keberpihakan Presiden Jokowi pada manusia-manusia Indonesia di pinggiran, di daerah-daerah dan desa-desa. Dimensi pemerataan antar sosial ekonomi dan antar wilayah menjadi isu penting Nawacita.
Kenyataan di tahun 2014
Ideologi ini perlu dibahas dalam situasi perkembangan sistem pembiayaan kesehatan yang sangat mempengaruhi situasi sektor kesehatan Indonesia pada tahun 2014. Pertanyaan ideologis yang sering dikemukakan adalah:
Siapa yang mendapat manfaat terbanyak dari penambahan pembiayaan kesehatan Indonesia di tahun 2014?
- masyarakat kaya atau miskin
- masyarakat di Jawa atau luar Jawa
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab secara sederhana melalui gambar di bawah ini yang menunjukkan sistem pembiayaan kesehatan.
Seperti diketahui sejak 1 Januari 2014, dana kesehatan di APBN secara praktis terbagi 2: ke Kemenkes dan ke BPJS. BPJS juga mendapat dana dari pembayaran premium peserta ex PT Askes, PT Jamsostek, dan tenaga kerja berbayar, serta Non-PBI Mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah). (Lihat Gambar di atas).
Apa yang terjadi dengan dana APBN yang tetap di Kemenkes di tahun 2014?
Di tahun 2014 anggaran Kemenkes sangat sedikit. Setelah dikurangi dana PBI yang masuk ke BPPS, Kemenkes tidak banyak mempunyai dana untuk pengembangan atau perbaikan keseimbangan antar wilayah. Pada tahun 2014, tidak banyak kegiatan yang didanai oleh Kemenkes untuk menyeimbangkan fasilitas kesehatan di Indonesia. Di sisi supply kesehatan: Penambahan jumlah RS dan TT RS lebih cepat di Jawa. Penambahan SDM spesialis belum signifikan yang mampu mengejar ketertinggalan. Secara keseluruhan selama 3 tahun terakhir, setelah dikurangi dengan dana BPJS, praktis dana Kemenkes tidak bertambah secara signifikan.
Apa yang terjadi dengan dana APBN kesehatan yang ke BPJS?
Sampai bulan November 2014, ada data (dari BPJS) yang membandingkan antara PBPU (non PBI Mandiri) dengan non PBPU. Data sangat kontras sebagai berikut:
- Kelompok PBPU (non PBI Mandiri)
- Jumlah peserta Non-PBI Mandiri atau yang disebut sebagai Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) berjumlah sangat besar. Per November jumlah PBPU (Non-PBI Mandiri) berjumlah 7.036.200 jiwa. Yang telah memanfaatkan pelayanan kesehatan sebanyak 1.6 juta jiwa (sekitar 23 %) dengan penyerapan biaya Rp 7.9 Triliun.
- Rata-rata jumlah iuran yang dibayar oleh PBPU perjiwa perbulan sebesar Rp 27.062. Sementara itu biaya pelayanan kesehatan perjiwa sebesar Rp 282. 139,-
- Klaim rasio untuk peserta PBPU adalah 1.380%,
- Kelompok non PBPU
- Peserta non-PBPU jumlahnya 123.6 juta jiwa. Kelompok ini memanfaatkan pelayanan kesehatan sebanyak 5.4 jiwa (kurang dari 4%). Menyerap biaya sebesar Rp 17.4 T.
- Rata-rata jumlah iuran yang dibayar oleh non-PBPU perjiwa perbulan sebesar Rp 27.478. Sementara itu biaya pelayanan kesehatan perjiwa sebesar Rp 21.977,-
- Perbandingan rasio klaim untuk non-PBPU rata-rata 88%.
Telihat dari data tersebut terjadi komposisi dimana banyak peserta (PBPU) non-PBI Mandiri yang sakit dan mempunyai risiko tinggi sakit. Mereka cenderung tidak miskin, tinggal di kota besar, dan menghabiskan dana besar. Sementara itu: Peserta PBI, mencerminkan struktur yang normal (ada yang sakit dan ada yang sehat). Peserta PBI merupakan kelompok miskin namun banyak gagal memanfaatkan JKN karena berbagai faktor termasuk sedikitnya fasilitas kesehatan dan SDM Kesehatan di berbagai daerah.
Dengan data Rasio Klaim PBPU yang tinggi, adanya adverse Selection menunjukkan benefit (Rp) digunakan banyak oleh Non PBI Mandiri. Walaupun data klaim per wilayah belum ada saat ini, data di atas memperkuat dugaan terjadinya subsidi terbalik. Kebijakan JKN mengharapkan peserta Non-PBI Mandiri mensubsidi masyarakat miskin, namun yang terjadi kebalikannya. Masyarakat di daerah pinggiran Indonesia, tidak dapat memanfaatkan paket manfaat BPJS, sementara di Jawa dan kota-kota besar memanfaatkan dengan baik. Hal ini berlawanan dengan Nawacita. Dapat disimpulkan bahwa aliran pembiayaan kesehatan di tahun 2014 menunjukkan arah yang berlawanan dengan prinsip pemerataan. Pertanyaan pentingnya apakah hal ini akan terus terjadi di tahun 2015?
Bagaimana kemungkinan di tahun 2015?
- Penambahan dana untuk kesehatan apakah akan meningkat di tahun 2015?
Ada hal penting terjadi di tahun 2014. Presiden Jokowi telah menaikkan harga BBM. Tindakan ini membuka ruang fiscal di APBN untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang masuk dalam kaidah tanggung jawab Negara (welfare-state). Pundi-pundi APBN membesar. Pertanyaan penting untuk ditahun 2015 adalah: Bagaimana menyalurkan dana APBN? Apakah semakin banyak melalui BPJS ataukah juga semakin banyak ke Kemenkes.
Di penghujung tahun 2014 Menteri Keuangan menyatakan bahwa ada penambahan ruang fiscal sebesar 230 Triliun. Sebagian besar memang akan dipergunakan untuk infrastruktur. Yang menjadi pertanyaan disini apakah sektor kesehatan akan mendapat tambahan dana. Sampai sekarang anggaran kesehatan di APBN masih kurang dari 3%, Tanpa ada penambahan, maka persentase di atas akan semakin menurun.
Pertanyaan di tahun 2015: Apakah revenue collection untuk kesehatan semakin meningkat atau menurun? Hal ini perlu dilihat di anggaran tahun 2015.
- Menjadi pertanyaan di tahun 2015 apakah dana APBN untuk Kemenkes (bukan yang ke BPJS) juga meningkat? Jika meningkat, pertanyaannya akan digunakan untuk apa?
APBN untuk PBI ke BPJS mungkin meningkat karena kenaikan premi, pertambahan jumlah peserta yang ditanggung, dengan dukungan ruang fiscal yang membesar. Pertayaan penting di tahun 2015: Apakah anggaran Kemenkes akan meningkat?
Pertanyaan ini menunjukkan secara teoritis, apakah dana dari kantong APBN akan di pool kan ke BPJS ataukah juga ke Kemenkes dengan jumlah yang besar. Saat ini memang masih ada 2 pool besar dana APBN. Yang menjadi pertanyaan: apa tugas masing-masing pool.
Saat ini diketahui BPJS membayarkan ke pemberi pelayanan, dan tidak mempunyai tugas untuk melakukan investasi sarana dan fasilitas kesehatan. Pool di BPJS ini dapat membuat pembiayaan menjadi tidak merata. Jika dana hanya diberikan ke BPJS maka daerah yang mempunyai banyak fasilitas kesehatan rujukan dan primer akan mendapat terbanyak. Kesempatan untuk menyeimbangkan faskes dan SDM antar wilayah akan berkurang.
- Di tahun 2015: dana yang masuk dari Non-PBI Mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah, PBPU) ada kemungkinan tetap tidak cukup.
Dalam hal ini, ada kemungkinan karena prinsip single pool terjadi penggunaan dana PBI untuk peserta PBPU (non PBI mandiri). Rancangan kebijakan BPJS yang single pool mengakibatkan kemungkinan terpakainya dana PBI untuk peserta yang bukan PBI.
Pertanyaan menarik di tahun 2015: Apakah hal ini akan menjadi masalah hukum?
Mengapa dapat menjadi masalah hukum?
- APBN yang masuk ke PBI dilakukan berdasarkan nama dan alamat (by name and by address).
- Apabila dipakai untuk pasien yang berasal dari Non-PBI Mandiri berarti menyalahi aturan.
Logika ini dapat ditolak oleh pendapat yang menyatakan bahwa dengan dijadikan one-pool maka merupakan hak BPJS untuk mengelola keuangannya.
Adanya risiko digunakannya dana PBI untuk peserta Non-PBI Mandiri disebabkan kesalahan kebijakan pada saat penyusunan UU SJSN dan BPJS serta berbagai regulasi di bawahnya. Penggunaan single-pool tanpa ada larangan subsidi antar peserta dapat menjadikan JKN menjadi lebih menguntungkan Non-PBI-Mandiri. Pertanyaan menarik: apakah di tahun 2015 isu single-pool ini akan terus diperhatikan ataukan tidak.
- Apakah di tahun 2015 akan ada atau tidak ada perbaikan sisi supply kesehatan (faskes dan SDM) secara signifikan di berbagai daerah yang kekurangan fasiltas kesehatan dan tenaga kesehatan?
Dikawatirkan jika perbaikan supply pelayanan kesehatan tidak dilakukan oleh pemerintah maka dana PBI yang masuk ke BPJS tidak sampai ke masyarakat PBI yang membutuhkan karena masalah akses. Penggunaan fasilitas kesehatan untuk peserta PBI akan tetap rendah.
Dalam diagram diatas terlihat bahwa pemberian dana dari BPJS ke pelayanan primer dan rujukan (purchasing) sangat ditentukan oleh jumlah dan jenis faskes serta SDM kesehatan yang dimiliki. Dalam hal ini jika faskes dan SDM tidak ditambah oleh anggaran Kemenkes atau Pemerintah Daerah (yang mempunyai kemampuan fiscal), maka ketidak seimbangan akan terus terjadi.
Sementara itu dana dari masyarakat langsung dalam bentuk Modal dapat masuk ke Pelayanan Primer dan Pelayanan Rujukan sehingga terjadi penambahan jenis faskes dan SDM kesehatan di tempat-tempat yang baik seperti Jawa. Hal ini sudah terjadi selama 3 tahun terakhir ini. Jika trend ini dibiarkan maka dana BPJS akan semakin terpakai di Jawa dan kota-kota besar. Keadaan semakin buruk apabila di tahun 2015, potensi fraud semakin tidak terdeteksi dan fraud menjadi tidak terkendali.
- Di tahun 2015: Apa risiko untuk dana kesehatan jika penggunaan fasilitas kesehatan oleh peserta Non-PBI Mandiri (PBPU) terjadi terus?
- Dana APBN dapat semakin terpakai untuk BPJS khususnya yang non-PBI Mandiri, yang berada di kota-kota besar, dan mudah akses ke pelayanan kesehatan;
- Prinsip portabilitas dan Coordination of Benefit (COB) dengan asuransi kesehatan swasta juga akan menambah pemakaian dana BPJS untuk masyarakat menengah dan atas (mampu);
- Dana yang masuk ke BPJS (dana kesehatan dari APBN) dapat mendesak dana yang seharusnya masuk ke Kemenkes untuk investasi dan pelayanan promotif dan preventif.
Tanpa perubahan kebijakan, dikawatirkan ketidak merataan pelayanan kesehatan akan semakin meningkat di tahun 2015. Apa arti secara politis? Nawacita gagal dijalankan. Beberapa butir Nawacita yang mungkin gagal terlaksana di tahun 2015 dalam pembangunan sektor kesehatan:
C1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara
C3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan
C4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
C5. Meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia
Menghadapi tantangan tidak meratanya pelayanan kesehatan di tahun 2015, perlu diantisipasi beberapa usaha penting:
- Analisis Data klaim 2015: Perlu segara dianalisis penyebaran pasien BPJS di kelas RS; dan penggunaan rasio klaim. Diharapkan ada analis pemerataan antar wilayah. Jika data klaim per propinsi disajikan maka akan ada kemungkinan adanya bukti pemburukan ketimpangan geografis (antar wilayah). Disamping itu perlu dilakukan analisis penggunaan dana yang masuk antar peserta BPJS. Apakah benar dana PBI dipergunakan untuk kelompok lain, karena klaim rasio kelompok PBPU (non-PBI mandiri) sudah melewati 1300 perseb. Diharapkan analisis data dapat dilakukan di bulan Januari 2015.
- Kebijakan BPJS dan JKN perlu dikaji secara rinci, mulai dari UU sampai dengan peraturan operasional. Di tahun 2014, sudah terlihat pelaksanaan kebijakan JKN dan operasional BPJS cenderung berlawanan dengan Nawacita. Pembangunan kesehatan di daerah pinggiran Indonesia kesulitan mendapatkan dana kesehatan. Ada kemungkinan terjadi kesalahan dalam penyusunan kebijakan JKN dan lembaga BPJS yang menerapkan konsep single pool dalam pembiayaan jaminan.
- Kemenkes dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota yang mampu harus merencanakan berbagai belanja investasi untuk infrastruktur kesehatan dan pengembangan SDM kesehatan. Tantangan di tahun 2015: Bagaimana Kemenkes mampu menarik dana dari APBN. Apa tujuan dana tersebut? Apakah untuk biaya modal (investasi) ataukah operasional saja? Untuk itu perlu melihat sasaran jangka pendek dan panjang;
Secara jangka pendek:
-
- Kemenkes dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota adalah lembaga yang bertugas untuk menyediakan fasilitas kesehatan primer dan rujukan, serta SDM. Oleh karena itu diperlukan dana modal (investasi) dan operasonal untuk menyeimbangkan pelayanan kesehatan primer dan rujukan antar wilayah secara cepat.
- Diperlukan dana cepat untuk pengiriman tenaga-tenaga kesehatan secara team dalam pelayanan primer dan rujukan di berbagai daerah pinggiran Indonesia, sesuai pernyataan Nawacita. Pengiriman tenaga ini merupakan Quick Wins yang dapat dilihat segera. Dalam konteks pengembangan RS-RS Swasta seperti Siloam di Kupang, program ini menjadi sangat penting. Tanpa ada program Quick Wins, Kemenkes terlihat lambat dalam mengatasi ketidak adilan antar wilayah.
Secara jangka panjang:
-
- Kemenkes perlu menekankan mengenai tindakan Preventif dan Promotif. Efek keberhasilan tindakan ini tidak instant, tapi jangka panjang.
- Kemenkes terus merencanakan dan negosiasi untuk biaya modal (dana investasi) secara berkelanjutan di tahun 2015 – 2019 agar keseimbangan antara daerah terpencil/KTI dengan Jawa dan daerah Indonesia barat dapat semakin dikurangi.
Kaleidoskop Kebijakan Kesehatan Indonesia 2014
Tahun ini, puluhan kebijakan di sektor kesehatan disahkan dan diundangkan. Selain kebijakan yang disahkan, website www.kebijakankesehatanindonesia.net juga mencatat sejumlah seminar, workshop serta konferensi penting seputar kebijakan kesehatan. Beberapa diantaranya terkait era ekonomi kesehatan, monitoring JKN, pemerataan tenaga kesehatan di daerah tertinggal, pencegahan fraud, dan lain-lain. Simak catatan penting tersebut melalui kaleidoskop Kebijakan Kesehatan Indonesia dibawah ini.