Kemiskinan Pasca - MDGs
Tidak lebih dari 2 tahun lagi Pembangunan Abad Milenium (MDGs) yang dicanangkan PBB tahun 2000, akan berakhir. Saat MDGs berakhir tahun 2015, bangsa Indonesia dalam waktu 30 tahun berikutnya genap berusia satu abad kemerdekaannya. Seluruh potensi bangsa perlu disiapkan untuk menyongsong satu abad kemerdekaan itu dengan rasa syukur dan kesiapan yang paripurna. Namun, beberapa waktu lalu kabinet telah mengadakan sidang dan diduga beberapa target MDGs masih memerlukan kerja keras agar tercapai.
Andaikan kerja keras itu menghasilkan pencapaian target yang disepakati, kita perlu kerja lebih keras lagi menempatkan Indonesia pada posisi strategis sebagai negara besar yang merdeka selama 100 tahun. Keadaan kesehatan bangsa masih belum ideal, tingkat kematian ibu dan anak masih sekitar 15 kali lebih buruk dibandingkan dengan keadaan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Infrastruktur dan pemeliharaan kebersihan lingkungan yang luas masih terbelakang, rawan sebagai sarang atau media penularan berbagai penyakit.
Lihat pula, kemunduran gerakan keluarga berencana (KB) selama 13 tahun belum pasti dapat direhabilitasi dan sasaran tahun 2015 hampir pasti meleset. Akibatnya, tingkat kelahiran akan masih tinggi dan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memakan kembali keberhasilan pertumbuhan ekonomi sosial bangsa.
Dalam bidang pendidikan, disparitas antar-daerah masih menganga, bahkan kursus-kursus ketrampilan yang seharusnya dilaksanakan secara terpadu dengan usaha penciptaan lapangan kerja untuk anak muda putus sekolah dan anak muda di tingkat SMP dan SMA belum pasti dilaksanakan. Kurikulum baru yang diperkenalkan bukan segera disambut persiapan yang matang oleh berbagai kalangan, sehingga dalam 2 tahun ini, belum tentu bangsa Indonesia siap mengejar target MDGs 2015 dalam pengentasan kemiskinan, karena cita-cita yang terkandung dalam kurikulum itu belum tentu diikuti oleh berbagai instansi secara terpadu. Karena itu, bidang pendidikan dengan promis pemberian ketrampilan hidup secara terpadu kepada generasi muda belum tentu memberi sumbangan pada upaya pengentasan kemiskinan secara bermakna.
Andaikan kebersamaan di tahun 2013 dan 2014 tidak terganggu oleh kesibukan politik pemilu, sebenarnya anak-anak muda di tahun 2015, sebagai tahun akhir MDGs, melalui Kurikulum Baru 2013, disertai keterpaduan berbagai instansi dari pusat sampai daerah, bisa mengangkat anak-anak muda putus sekolah atau anak-anak muda lulusan SMP dan SMA melalui ketrampilan kerja, dapat menjadikan anak-anak muda Indonesia pelopor pelaksanaan ekonomi biru, memanfaatkan kearifan dan sumber daya lokal untuk menciptakan jutaan lapangan kerja bagi generasi muda Indonesia dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.
Bagi Indonesia setelah MDGs, kiranya tidak perlu harus mengubah segalanya. Ada beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki. Pertama, sifat charitas dari beberapa program perlu diluruskan dan hanya semata-mata ditujukan kepada keluarga sangat miskin yang betul-betul tidak mampu mengikuti proses pemberdayaan karena alasan yang jelas. Andaikan masih bisa mengikuti proses pemberdayaan, mereka perlu diyakinkan bahwa dukungan yang bersifat charity haruslah menjadi pengungkit untuk modal kerja menjadi manusia yang mandiri. Karena itu, pemberian yang bersifat charitas murni harus sangat terbatas dan dilakukan secara terbuka oleh masyarakat luas dalam konteks pemberdayaan yang berlaku secara inklusif.
Perubahan sikap itu harus diikuti dengan pemetaan yang akurat di setiap desa dan dukuh, dan upaya itu dilakukan melalui pos pemberdayaan keluarga (posdaya) di setiap dukuh agar masyarakat dapat diikutsertakan secara inklusif dan tidak sekadar menjadi penonton. Kehidupan gotong-royong antar-keluarga dalam masyarakat disegarkan kembali dengan menugasi keluarga yang lebih mampu mengampu keluarga kurang mampu sebagai upaya preventif sekaligus mengembangkan budaya sehat, pintar dan bekerja keras di bidang wirausaha mikro dan kecil, kalau perlu dalam bentuk magang dengan penuh kasih sayang. Upaya gotong-royong dijadikan komoditas informasi yang digelar dengan penuh kebanggaan di berbagai media massa sehingga menular kepada khalayak yang lebih luas.
Pemerintah memberi dukungan dengan niat dan kerja serta bukti nyata bahwa partisipasi masyarakat, sekecil apa pun, mendapat penghargaan dan didorong di segala tingkatan. Apalagi, kalau partisipasi itu bersifat preventif dengan mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat, terutama keluarga miskin secara inklusif. Penghargaan pemerintah memberi semangat partisipasi tinggi dan sekaligus mendekatkan birokrat dan para pemimpin makin dekat dengan rakyat. Dorongan itu akan meningkatkan volume anggaran yang disediakan dalam APBN, APBD provinsi dan kabupaten/kota secara berlipat karena masyarakat akan menyumbang kalau pemerintah dapat menjadi fasilitator yang makin dicintai rakyat.
Sasaran yang dipertajam dan diketahui rakyat banyak harus menghasilkan simpati dan sekaligus diberikan dukungan fasilitasi yang memadai. Fasilitasi itu bukan hanya dalam bentuk pembuatan jalan yang memudahkan rakyat mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan, pasar dan daerah-daerah padat penduduk lainnya, tetapi juga fasilitas birokrasi yang memihak.
Penduduk miskin yang sedang dan akan membuka usaha sebaiknya mendapat kemudahan perizinan usaha atau fasilitasi perbankan dengan keringanan agunan untuk pinjaman atau keringanan bunga usaha mikro dan kecil. Ada baiknya lembaga-lembaga pemerintah memberikan pendampingan petugas untuk merapikan administrasi usaha mikro dan kecil, sehingga syarat administrasi perbankan, terpenuhi. ***
Penulis adalah mantan Menko Kesra dan Taskin. Adv
(sumber: www.suarakarya-online.com)