Jakarta – Jelang diberlakukannya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan 1 Januari 2012 mendatang, diperkirakan bakal terjadi lonjakan jumlah pasien karena semua orang bisa berobat gratis.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Dr. Chazali H Situmorang, Apt, MSc, dalam diskusi 'Transformasi BPJS, sampai di mana?' bersama Forum Wartawan Kesra (Forwara), Selasa di Jakarta. (aby)
"Untuk mengantisipasi lonjakan pasien, sementara kapasitas sarana kesehatan terbatas, pemerintah harus segera mendekati pihak swasta agar berinvestasi dan membangun berbagai fasilitas kesehatan," ujar Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Dr. Chazali H Situmorang, Apt, MSc, dalam diskusi 'Transformasi BPJS, sampai di mana?' bersama Forum Wartawan Kesra (Forwara), Selasa (31/7) di Jakarta.
Menurut Chazali, meski Kementerian Kesehatan tidak bisa mengatur rumah sakit swasta, namun BPJS dapat bekerjasama dengan semua jenis rumah sakit, baik swasta maupun milik negara.
"Undang-undang menyatakan, rumah sakit manapun harus menyediakan layanan komprehensif, mulai dari promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif," ujarnya.
Chazali mengatakan, dengan dana terbatas, pemerintah tidak akan bisa mengantisipasi lonjakan ini. "Puskesmas kita terbatas, kalau mau dipaksakan, tetap saja anggaran pemerintah terbatas. Saya dengar tahun 2013 anggaran untuk fasilitas kesehatan hanya akan ditambah Rp1 triliun, berarti sangat terbatas," urainya.
Chazali mengatakan pemerintah harus meyakinkan pihak swasta untuk membangun rumah sakit di tempat-tempat yang disetujui pemerintah. Pihak swasta diberi kemudahan perijinan. Asal jangan membangun RS di Ibukota Jakarta karena sudah kelebihan supply.
Dia mengatakan pihak swasta harus dibuat tertarik berinvestasi, karenanya pemerintah harus mempermudah semua perijinan. "Pemda harus sediakan lahan, sediakan sumber daya manusianya, kirim dokter-dokter ke sana," katanya lagi.
Menurut Chazali dengan pertimbangan menarik investor swasta pula maka diharapkan iuran jaminan kesehatan sebesar Rp27.000, jauh lebih besar dibanding iuran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang hanya Rp6.500 per orang per bulan.
Chazali memperkirakan, pada Januari 2013 sebanyak 130 juta rakyat Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan yang mencakup semua jenis penyakit seumur hidup. Diharapkan di tahun 2019 semua rakyat Indonesia sudah menjadi anggota BPJS.
Chazali mengatakan, jika disepakati iuran jamkes sebesar Rp27.000 ribu maka diperkirakan dalam satu tahun Indonesia akan mendapat dana kesehatan sebesar Rp31 triliun.
"Angka Rp31 triliun itu relatif tidak besar dibanding sekitar Rp1400 triliun APBN saat ini. Apalagi jika mempertimbangkan aspek kesehatan sebagai investasi kemajuan bangsa," kata Chazali.
Menurutnya, program kesehatan tidak hanya aspek kuratif, tetapi juga promotif dan preventif. Karenanya, pelaksanaan program jaminan kesehatan akan tergantung pada kesediaan pemerintah untuk mengucurkan dana ini. "Jangan melihat orang miskin sebagai beban. Jika ingin mereka membayar, jadikan mereka aset masa depan bangsa agar tidak miskin lagi," tegasnya.
Pelaksanaan jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan sejauh ini dinilai Chazali tidak terlalu menghadapi masalah. Karenanya, ia yakin pada 2014 BPJS Kesehatan bisa langsung 'berlari'.
Drg. Moeryono Aladin, menambahkan, meski ini wajib, masyarakat mampu boleh saja mengikuti jaminan kesehatan lain. Di sini lah letak sistem gotong royong BPJS Kesehatan.
"Iurannya wajib bagi semua masyarakat, tapi bagi masyarakat mampu yang tidak mau menerima manfaat dari BPJS Kesehatan, ya diperbolehkan," ujarnya.
Ia memastikan, pengelolaan BPJS Kesehatan tidak akan dikuasai asing. Sebagai amanat UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS, maka pihak-pihak asing tidak ada celah untuk menguasai BPJS ini.
"Lain lagi ceritanya kalau masyarakat ingin menggunakan asuransi komersial milik asing," tambahnya.
Jika BPJS Kesehatan tidak ada masalah pada 2014, lain halnya dengan BPJS Ketenagakerjaan. Variabel permasalahan di ketenagakerjaan lebih kompleks dibandingkan kesehatan, dengan empat program dan skema yang berbeda.
"Sejauh ini masih terus dibahas mengenai porsi iuran yang dibayarkan antara pemberi kerja dan pekerja," tambah Chazali.
Dalam program Jamsostek selama ini yang membayar iuran adalah pemberi kerja. Namun, ini sebesarnya dana dari pekerja. Cuma soal teknis administrasi dan secara akuntansi saja.
Menjelang 2015, satu hal yang paling mendesak dalam Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yakni jaminan pensiun. "Ini tidak boleh ditunda karena akan ada lost opportunity, padahal ada sekitar 120 juta orang angkatan kerja di Indonesia. (poskotanews.com)