Reportase Hari Kedua Sesi Pagi

Kamis, 8 November 2018

Rangkuman kegiatan Hari Pertama

Rangkuman Fornas JKKI VIII Hari Pertama

rangviii

Membuka Fornas hari kedua, Laksono Trisnantoro didampingi Faozi Kurniawan menyampaikan rangkuman kegiatan selama hari pertama berlangsung. Sebagai narasumber, Laksono menegaskan pada pertemuan pertama kemarin banyak menyampaikan hasil penelitian evaluasi JKN berdasarkan realist evaluation. Penelitian - penelitian tersebut yang harus digarisbawahi adalah yang memiliki prinsip - prinsip yang dipergunakan dalam evaluasi. Bukti yang dipergunakan merupakan bukti yang benar - benar bermutu. Dengan bukti yang bermutu maka rekomendasi yang disampaikan kepada pembuat kebijakan akan menjadi rekomendasi yang bermutu. Prinsip yang kedua adalah komunikasi riset yang lebih efektif.

Komunikasi ini merupakan proses advokasi peneliti kepada pengambil kebijakan. Hal tersebut merupakan seni yang harus dipelajari oleh analis kebijakan, karena dalam proses komunikasi ini analis harus bisa menjalin relasi yang tidak mengurangi independensi analis. Akan tetapi, faktor independensi juga tidak boleh menjadi penyekat antara peneliti dengan pengambil kebijakan. Prinsip ketiga adalah pembelajaran untuk riset yang lebih baik, pengembangan penelitian bisa mengacu kepada buku kebijakan “Evidence Syntheses for Health Policy and Systems: A Methods Guide”. Buku tersebut merupakan buku baru (terbit 2018) yang mungkin bisa dibedah untuk dijadikan sebagai referensi penelitian selanjutnya.

Dalam hal penelitian evaluasi ini, Laksono juga mengangkat mengenai independensi peneliti. Sumber pendanaan penelitian akan mempengaruhi independensi hasil penelitian. Mengingat pemberi dana memiliki kepentingan terhadap hasil penelitian yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat dari kontrak awal, ketika kontrak awal ada indikasi untuk sensor atau membatasi publikasi hasil penelitian, maka indikasi hasil penelitian akan kurang independen.

Dalam sesi diskusi, Dumilah menanggapi mengenai independensi peneliti ini. Independensi peneliti harus pintar diolah dengan rasa seni. Peneliti jangan menjaga jarak dengan pembuat kebijakan tapi juga jangan terlalu dekat. Independensi bersifat dinamis, fleksible sesuai dengan waktu.

materi dapat di akses pada link berikut

  klik disini   video

 

Link Terkait:

 {jcomments on}

 

Reportase South-East Asia Biennal Conference On Population And Health 2018

8 November 2018

sesi 1

Opening Ceremony

PKMK - Malang. Pembukaan South-East Asia Biennal Conference on Population and Health dimulai dengan sambutan oleh Professor Saseendan Pallikadavath dari PB Center, University of Portsmouth United Kingdom. Professor Saseendan menyampaikan gambaran mengenai populasi di Asia Tenggara, dimana Indonesia memiliki jumlah penduduk terbanyak yaitu 263 juta dan Brunnei Darussalam dengan jumlah populasi yang paling sedikit yaitu kurang dari satu juta penduduk. Beberapa permasalahan terkait kependudukan di Asia Tenggara adalah: bonus demografi di beberapa negara termasuk Indonesia, meningkatnya populasi orang tua atau ageing population beserta permasalahannya. Saat ini persentasi populasi penduduk berusia lebih dari 65 tahun tertinggi di Asia Tenggara ada di Singapura yaitu 12% sedangkan di Indonesia terdapat 5.3% dari populasi yang ada. Saseendan juga membahas sekilas mengenai kondisi penyakit yang mempengaruhu kualitas hidup suatu negara seperti Non-Communicable Diseases. Oleh karena itu, konferensi ini dipandang sangat penting untuk membahas tentang isu - isu terkait kesehatan populasi di Asia Tenggara.

Prof. Dr. Ir Nuhfil Hanani AR., MS., Rektor Universitas Brawijaya menyampaikan selamat datang dan mengungkapkan kebanggaannya terhadap Universitas Brawijaya Malang sebagai tuan rumah dari konferensi berbasis Internasional ini. Nuhfil berharap kerja sama antar institusi, baik itu institusi pemerintah maupun pendidikan. Sambutan berikutnya diberikan oleh Paul Smith OBE, Director British Council, Indonesia yang menyatakan bahwa tujuan dari konferensi ini untuk membawa dampak bagi pertumbuhan sosial dan ekonomi bangsa, dimana masing - masing negara bisa saling belajar satu sama lain. Selanjutnya secara resmi, konferensi ini dibuka oleh Kepala BKKBN Indonesia, Dr. Sigit Priohutomo, MPH. Dalam sambutannya, Sigit mengungkapkan konferensi ini diharapkan dapat menciptakan diskusi serta solusi pemecahan masalah kependudukan dan kesehatan di Asia Tenggara.

“Kegiatan ini berfungsi sebagai sarana diskusi, kolaborasi dan kerja sama para akademisi dan praktisi yang mengkaji isu - isu kependudukan dan kesehatan termasuk di dalamnya isu mengenai bonus demografi, keluarga berencana, perkawinan dan keluarga, lansia, migrasi, penyakit akibat gaya hidup serta pembiayaan kesehatan,” tutur Sigit. Selanjutnya secara simbolis diadakan pemukulan gong tanda konferensi resmi dimulai.

Konferensi berskala internasional ini dihadiri oleh 200 orang dari dalam dan luar negeri. Terdapat 9 sesi yang dibagi menjadi beberapa kelas dan dilaksanakan selama 2 hari ini. Sesi - sesi tersebut adalah: Family Planning, Fertility and Population Dividend, Population Ageing, Family, Marriage and Divorce, Population and Development, National and International Migration, Lifestyle, Diseases and Mortality, Maternal, Adolescent and Child Health dan Health System and Health Financing.

 

 

Reporter: Sandra Frans (PKMK UGM)

Link Terkait

Reportase South-East Asia Biennal Conference On Population And Health 2018

9 November 2018

sesi 1

Lifestyle Diseases and Mortality

seab 1

Hari kedua South - East Asia Biennale Conference on Population and Health 9 November 2018 dimulai pada pukul 08:30 WIB. Sesi ini akan membahas tentang penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup dan kematian. Sesi ini dipimpin oleh Professor Djoko Wahono Soeatmadji, SpPD., KEMD dari Universitas Brawijaya. Ada tiga hasil penelitian yang memaparkan hasil penelitian mereka. Pertama dari Department of Public Health, Faculty of Medicine, University of Miyazaki, Japan. Judul penelitian adalah Community Social Capital and Suicide Mortality in Miyazaki, Japan, an evaluation of temporal changes. Ditemukan bahwa social cohesion berasosiasi dengan suicide rates untuk laki-laki namun tidak untuk perempuan. Hanya saja, alasan perbedaan pengaruh dari sosial kapital pada kejadian bunuh diri didasarkan pada perbedaan gender masih belum jelas. Sebuah hipotesa yang mungkin adalah perbedaan dari peran gender secara tradisional di Jepang yang mempengaruhi social cohesion dan kejadian bunuh diri. Secara tradisional, mayoritas laki - laki Jepang bekerja di luar yang menyebabkan tekanan secara psikologis yang mana mengharapkan mereka untuk menyeimbangkan hubungan sosial antara lingkungan komunitas dan pekerjaan. Studi ini mengambil kesimpulan bahwa mortalitas bunuh diri dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi yang mana telah berubah sepanjang tahun. Partisipasi sosial dari kaum orang tua akan berpengaruh baik terhadap penurunan kejadian bunuh diri di Jepang.

Presentasi berikutnya adalah dari Universitas Gadjah Mada mengenai Emotional Response of Dietary Reccomendation in Patients with Type 2 Diabetes. Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif yang mengeksplor kendala utama pasien diabetes dalam menjalankan rekomendasi diet. Penelitian ini menyatakan faktor emosi merupakan faktor kunci dalam membahas diet pasien. Pasien sering kali merasa tertekan dengan sikap dari keluarga yang tidak sensitif terhadap perasaan pasien. Oleh karena itu, dalam memberikan rekomendasi diet, penting bagi tenaga kesehatan untuk mengingatkan keluarga pasien agar menciptakan suasana yang positif sebagai daya dukung pasien untuk mengubah gaya hidup dan pola makan. Presentasi terakhir dibawakan oleh presenter dari Universitas Brawijaya yang membawakan penelitian dengan judul: The Effect of Learning Tabletop DIsaster Exercise (TDE) To Improve Knowledge Among Nursing Students for Disaster Emergency Response. Latar belakang penelitian ini adalah keadaan dimana Indonesia disebutkan sebagai supermarket untuk bencana baik itu bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan juga bencana buatan manusia seperti kecelakaan transportasi, kerusuhan dan teror. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan dari semua orang termasuk juga mahasiswa keperawatan mengenai hal ini. Penelitian ini menganalisa efek pembelajaran TDE untuk menyediakan manajemen respon penanggulangan bencana. Dengan pendekatan quasy experimental, peneliti membandingkan antara grup yang diberi pembelajaran TDE dan grup yang diberi modul standar. Ditemukan bahwa terdapat perbedaan dari pengetahuan tentang penanganan bencana dengan grup pembelajaran TDE menunjukan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu, memperkenalkan TDE bisa direkomendasikan untuk meningkatkan kesiagaan mahasiswa tenaga kesehatan dalam menghadapi bencana.

 

Reporter: Sandra Frans (PKMK UGM)

Link Terkait

 

Reportase Post Forum Nasional VIII

Jumat, 9 November 2018

Workshop Desain Analisis Kebijakan dan Agenda Advokasi

Workshop Desain Analisis Kebijakan dan Agenda Advokasi

gabviii

Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) mengadakan workshop desain analis kebijakan dan agenda advokasi yang merupakan rangkaian acara setelah Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia kedelapan di Yogyakarta. Acara ini diselenggarakan pada 9 November 2018 dengan total 25 peserta berlatar belakang mahasiswa, tenaga pendidik, kementerian kesehatan, Ombudsman, dan dinas kesehatan. Pembicara pada pelatihan ini adalah Dr. Phil. Gabriel Lele, M.Si (Fisipol UGM) dan Dr. Dumillah Ayuningtyas, MARS (FKM UI) serta dimoderatori oleh M. Faozi Kurniawan (PKMK FK-KMK UGM).

Sebagai moderator dan fasilitator, M. Faozi Kurniawan menjelaskan pentingnya sektor kesehatan memahami konsep desain analis kebijakan dan agenda advokasi. Faozi menambahkan, peneliti dengan disiplin ilmu kebijakan masih sedikit yang mendalami konsep analis kebijakan. Terkadang peneliti kebijakan kesehatan terperangkap dalam perbedaan analisis kebijakan dan riset kebijakan. Selain itu, peneliti PKMK FK-KMK UGM ini mengemukakan, lembaga penelitiannya dan beberapa institusi pendidikan saat ini sedang melaksanakan penelitian evaluasi kebijakan JKN pada level nasional dan daerah. Oleh karena itu, konsep desain analisis kebijakan dan advokasi perlu dipelajari dengan mendalam untuk menghasilkan output penelitian yang menjadi daya ungkit positif bagi kualitas kebijakan kesehatan, khususnya kebijakan JKN. Faozi kembali menjelaskan, kegiatan ini diimplementasikan melalui praktik langsung bagaimana membuat analisis kebijakan dari kerangka ilmu politik dan kebijakan kesehatan.

Pada sesi pertama, Dr. Phil. Gabriel Lele, M.Si yang merupakan Dosen Fisipol UGM memaparkan tentang analisis dampak dan risiko kebijakan. Gabriel mengawali, terkadang peneliti dan akademisi memang sering terjebak dalam perbedaan mendasar pada riset kebijakan dan analisis kebijakan secara definitif serta implementatif. Gabriel menjelaskan kembali, sifat analisis kebijakan yakni menguak sebabakibat kebijakan dan mengkritik nilai kebijakan. Tanpa dua elemen ini, dokumen analisis ini hanya dapat dinilai sebagai riset kebijakan. Esensi nilai analis kebijakan adalah bagaimana pembuat dokumen analis tersebut mampu membuat aktor kebijakan mempertimbangkan kebijakannya tersebut memiliki sesuatu yang perlu diperbaiki atau diubah namun tidak keluar dari konteks pada inti kebijakan. Selain itu, dia menambahkan, analis kebijakan juga perlu menjelaskan tentang poin positif dan negatif dari hasil analisis kebijakan yang diberikan kepada aktor kebijakan.

Sesi ini dilanjutkan dengan diskusi yang banyak memaparkan tentang konsep analisis kebijakan secara konseptual serta pengalaman akademisi dalam membuat dokumen analisis kebijakan. Hal yang menarik, Gabriel menerangkan tentang konsep teknokrat dan politisi pada kursi pemerintahan yang memiliki peran sebagai aktor kebijakan kunci. Dia menjelaskan proporsi teknokrat, ahli kredibel bidang tertentu pada pemerintahan, yang menjadi aktor kebijakan dan vokal masih sangat sedikit “gaungnya”. Ini merupakan tantangan utama bagaimana analis kebijakan mengarahkan hasil analisisnya kepada aktor kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas kebijakan.

Pembicara selanjutnya, Dr. Dumillah Ayuningtyas, MARS (FKM UI), menjelaskan konsep analisis kebijakan kesehatan. Praktisi kebijakan kesehatan ini memaparkan bahwa lahirnya analisis kebijakan berawal dari sebuah kebijakan muncul sebagai respons terhadap kepentingan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat untuk memberikan solusi dari suatu permasalahan kebijakan. Analisis kebijakan kesehatan diperlukan karena kebijakan kesehatan memiliki implikasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang perlu dikaji berdasarkan efektivitasnya. Ini dikarenakan, kebijakan yang tidak berkualitas akan menghasilkan program yang tidak efektif, pemborosan sumber daya, dan menciptakan masalah baru yang lebih kompleks. Dumillah kembali menjelaskan, setiap tahap pengembangan kebijakan (agenda setting hingga evaluasi kebijakan) memiliki ruang untuk memberikan umpan balik kepada aktor kebijakan. Sesi ini lebih banyak memaparkan tentang teori kebijakan dan pentingnya data bagi analis kebijakan. Pada sesi ini, peserta diminta menjelaskan kebijakan yang perlu dianalisis dan dioptimalkan. Selanjutnya, pemateri akan menjelaskan konsep instrumen kajian dan analisis kebijakan.

  materi


Instrumen Kajian dan Analisis Kebijakan

pfnviii

Workshop desain analisis kebijakan dan agenda advokasi forum nasional JKKI VIII sesi kedua dilanjutkan dengan penyampaian materi dan arahan terkait instrumen kajian dan analisis kebijakan oleh Dr. Dumilah Ayuningtyas, MARS (FKM UI). Dumilah menyampaikan bahwa instrumen utama dari analisis kebijakan adalah sang “analis” sendiri dimana analis melakukan expert judgement berbasis data dan berbasis intuisi. Sehingga analis harus menajamkan kemampuan diri dalam proses memahami masalah, mengkaji, memformulasi, mengevaluasi dan mengambil keputusan berdasarkan data. Di sesi ini, Dumilah juga menjelaskan perbedaan dari riset kebijakan dan analisis kebijakan sehingga memunculkan diskusi yang aktif dari para peserta terkait refleksi proyek yang telah mereka lakukan, apakah merupakan riset kebijakan atau analisis kebijakan. Studi kebijakan dan analisis kebijakan memang memiliki perbedaan namun pada prosesnya saling melengkapi, Dumilah menjelaskan bahwa riset kebijakan tujuannya untuk mengembangkan keilmuan dan melihat dampak dari kebijakan yang dilakukan yang bersumber dari data primer, temuan, informasi baru dan hasil uji statistik atau hipotesis dimana output dari riset ini digunakan sebagai sumber data analisis kebijakan. Jika hanya berupa riset kebijakan tanpa dianalisis maka akan terdapat “jarak” antara data hasil dengan pemanfaatannya pada para stakeholder. Disinilah fungsi analisis kebijakan yaitu “mensintesis, mengintegrasi dan mengkontekstualisasi” data hasil riset kebijakan yang sudah tersedia disusun menjadi “rekomendasi kebijakan” untuk mengubah atau memperbaiki kebijakan.

Selanjutnya Dumilah juga mengajak peserta untuk berdiskusi keterkaitan antara analisis kebijakan dan evaluasi, analisis kebijakan bisa digunakan untuk mengevaluasi suatu kebijakan yang bisa dilakukan mulai dari diterbitkannya hasil kebijakan (policy output) hingga dampak dari kebijakan (policy outcome) dan juga pengaruh dari kebijakan (policy impact) dimana ukuran evaluasi kebijakan meliputi enam dimensi yaitu efektivitas, efisiensi, ketepatan menjawab masalah, ekuitas, responsivitas dan ketepatgunaan. Hasil diskusi menekankan pada pemahaman terhadap perbedaan penggunaan riset kebijakan dan analisis kebijakan, proses perencanaan instrumen analisis kebijakan dan diskusi terhadap topic - topik kebijakan yang dianalisis, bagaimana langkah analisisnya dan output-nya. Dumilah menggarisbawahi sebuah kebijakan bersifat multidimensi sehingga tim analis seharusnya berasal dari disiplin ilmu yang berbeda, karena proses analisis menekankan pada expert judgement by good intuition yang berdasarkan temuan hasil data empirik, dengan ketajaman pengembangan kesimpulan dan menghasilkan rekomendasi.

  materi

Kerangka Kerja dan Agenda Advokasi Kebijakan

Sesi terakhir dari workshop desain analisis kebijakan dan agenda advokasi Forum Nasional JKKI VIII membahas tentang kerangka kerja dan agenda advokasi kebijakan, pada awal sesi ini Dr. Dumilah Ayuningtyas, MARS (FKM UI) selaku pemateri membuka paparan dengan membacakan puisi yang berisikan pesan - pesan advokasi dari berbagai sudut pandang baik itu dari masyarakat sebagai pengguna kebijakan, hingga pemerintah sebagai pemangku kebijakan, dari puisi tersebut Dumilah menjelaskan bahwa pesan advokasi bisa dikemas dalam berbagai media. Advokasi merupakan langkah lanjutan untuk menjembatani rekomendasi kebijakan yang telah dihasilkan agar dapat tersampaikan pada pemangku kebijakan. Dalam memilih isu strategis untuk advokasi harus memperhatikan aspek aktualitas, penting dan mendesak, serta memiliki derajat tertinggi akan ketidakterpenuhan. Dumilah juga menekankan advokasi adalah tentang bagaimana hasil analisis kebijakan yang berupa rekomendasi “dibawa dan didesakkan” pada pemangku kebijakan agar terjadi sebuah perubahan yang dilakukan dengan strategi proaktif seperti lobby, kampanye, public hearing maupun pada pembuat kebijakan dan strategi reaktif seperti demonstrasi. Rekomendasi kebijakan yang dibawa ke pemangku kebijakan dibuat dalam bentuk policy brief dimana di dalamnya terdapat pesan yang dikemas secara ringkas, tidak hanya berupa angka namun mengandung pesan emosional yang disesuaikan dengan kepentingan dari masing - masing pemangku kebijakan.
Advokasi tidak bisa berdiri sendiri, perlu adanya koalisi yang tediri dari berbagai aktor kebijakan seperti politikus, pegawai negeri, jurnalis, akademisi dan kelompok lainnya dimana setiap koalisi ini menginterpretasikan data dengan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan kebijakan. Dalam sesi diskusi juga dibahas tentang success story dari peserta workshop terkait proses advokasi, bagaimana agar advokasi dapat diiimplementasikan yaitu tergantung dari skill advokator dalam memilih strategi advokasi, memilih media advokasi, menyampaikan pesan advokasi agar mencapai awareness dan acceptance dari pemangku kebijakan serta kemampuan membangun jejaring media, karena advokasi memiliki unsur seni atau art of advocacy. Workshop ini diakhiri dengan penyampaian dari Dumilah bahwa advokasi adalah bridging yang mengubungkan jarak hasil analisis dengan pemanfaatan oleh pemangku kebijakan, dan policy brief adalah toolkit atau media advokasi serta tugas advokator adalah mengatur keberimbangan jarak antara hasil dan pemanfaatan, oleh karena itu sebelum melakukan advokasi perlu untuk melakukan stakeholder mapping.

Reporter: Aulia Zahro Novitasari dan Nopryan Ekadinata (PKMK FK-KMK UGM)

 

 

Link Terkait:

 

{jcomments on}

Reportase Hari Kedua Sesi Siang

Kamis, 8 November 2018

Keynote Speech Desain Advokasi Kebijakan Kesehatan


Sesi Keynote Speech Desain Advokasi Kebijakan Kesehatan

sauw

Shita Listya Dewi, PhD sebagai moderator membuka sesi Keynote Speech tentang desain Advokasi Kebijakan kesehatan dengan mengundang Assoc. Prof Sauwakon Ratanawijitrasin, PhD, dari Mahidol University. Prof Saukawon menyampaikan bahwa untuk menuju Universal Health Coverage (UHC) memerlukan waktu yang lama. Skema UHC tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan jumlah peserta, namun dampak dari skema tersebut harus menjamin bahwa penduduk yang sakit/sehat mendapatkan layanan kesehatan ketika diperlukan. Kebijakan UHC memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan kemampuan fiskal negara, dimana ketika suatu negara memiliki kemampuan ekonomi yang baik maka negara tersebut dapat mengembangkan paket manfaat. Kita harus melihat sejarah tentang UHC yang menjelaskan dimana Jerman memerlukan waktu hampir seratus tahun dan baru dapat mengembangkan paket manfaat yang diberikan. Jerman telah memiliki kemampuan ekonomi yang baik sehingga dapat melakukan perluasan manfaat dan menghitung cut cost “nilai ambang batas untuk penjaminan”.

Mandat kebijakan pemerintah yang kuat sangat mempengaruhi pencapaian UHC, seperti di Thailand, Thaksin Sinawatra (perdana menteri saat itu) memiliki kekuasaan yang sangat besar dan UHC dapat berhasil dicapai pada 2002. Pemimpin yang kuat ini berhasil membuat percepatan UHC di berbagai daerah di Thailand, bahkan pemimpin daerah berkomitmen untuk mencapai target UHC sebelum waktu yang ditentukan. Namun pencapaian tersebut memang tidak mudah dan beberapa ekspektasi keberhasilan tidak terpenuhi dalam kebijakan-kebijakan tersebut. Kebijakan UHC/JKN ini adalah kebijakan publik yang mendapatkan tekanan dari berbagai kepentingan dan wewenang. Prof Sauwakon mengilustrasikan seorang pria yang berdiri di perempatan jalan dan banyak mobil yang lewat, pria tersebut adalah kebijakan publik.

Faktor politik menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan publik sehingga diperlukan advokasi kebijakan yang cukup terencana, Advokasi kebijakan membutuhkan keahlian untuk mengindentifikasi pemangku kepentingan maupun aktor politik dari masing-masing kebijakan yang disasar. Advokasi kebijakan yang dijalankan harus berdasarkan desain advokasi dan tidak boleh secara kebetulan. Advokasi kebijakan harus dilakukan suatu jaringan karena tidak bisa hanya dilakukan oleh satu orang saja.

Materi Keynotes dapat di akses pada link berikut

  klik disini   video

Reporter: Relmbus Biljers (PKMK UGM)

 

Link Terkait:

 {jcomments on}

 

Reportase Forum Nasional JKKI VIII Hari Pertama

Rabu, 7 November 2018

fornas s0

Pengantar Forum Nasional & Hasil Sementara Monev Kebijakan JKN 2018 Tingkat Nasional

Pengantar Forum Nasional JKKI VIII

Pada Fornas Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) VIII, Shita Listyadewi, selaku Steering Committee, menyampaikan tahun ini telah dilaksanakan penelitian di 7 daerah dan pada hari ini akan ditampilkan hasil penelitian tersebut. Hal ini dilakukan karena penggunaan bukti yang bermutu dapat digunakan untuk komunikasi riset kebijakan yang bermutu dan efektif, sehingga pembelanjaan untuk riset kebijakan yang lebih baik.

Fornas JKKI VII mengangkat tema “Apakah Kebijakan JKN akan mencapai sasaran di peta jalan?” dengan fokus pembahasan 8 sasaran peta jalan JKN 2012 - 2019. Penting untuk diketahui, apakah kebijakan JKN akan mencapai sasaran di peta jalan dan apakah hasil penelitian mampu memberikan kontribusi terhadap jalannya kebijakan JKN?

Materi pengantar forum nasional dapat di simak pada link berikut

  klik disini

Fornas JKKI VIII pada hari pertama membahas hasil sementara monev JKN dan hari kedua akan membahas analisis kebijakan. Ke depan atau pada 2019 akan dirancang advokasi pada mitra, stakeholder dan media, analisis kebijakan, peningkatan kapasitas untuk advokasi dan melaksanakan advokasi kebijakan dan monitoringnya. Diharapkan setelah kegiatan ini, ada pengembangan kapasitas untuk pengembangan pengetahuan dan bisa hasil penelitian bisa memberikan rekomendasi terhadap kebijakan JKN.

fornas s1

Hasil Sementara Monitoring Evaluasi Kebijakan JKN 2018 Tingkat Nasional

Sebagai pengantar pertemuan, Prof Laksono menyampaikan hasil sementara monitoring evaluasi kebijakan JKN 2018 tingkat nasional. Hasil sementara ini merupakan draft awal hasil penelitian dengan menggunakan metode realist evaluation yang nantinya akan dibahas menggunakan analisis of policy dan analisis for policy. Prof Laksono menyatakan saat ini kita berada di tahun kelima analisis kebijakan, secara alamiah diperlukan proses evaluasi kebijakan setelah 5 tahun. UU SJSN dan UU BPJS disahkan dalam tekanan publik sehingga tidak bisa dikatakan UU tersebut sempurna. Di Vietnam telah dilakukan rerevisi UU setelah 4 tahun sehingga hal tersebut merupakan kewajaran.

Metode penelitian yang digunakan adalah realist evaluation. Ini adalah pendekatan realism. Pendekatan ini menjelaskan bagaimana pendekatan yang sangat kompleks ini bisa dilihat secara realistis. Realist evaluation dapat menjawab pertanyaan apakah programnya baik, efektif dalam kondisi apa, dan untuk siapa, dalam konteks apa serta bagaimana proses pencapaian keberhasilan bisa berjalan. Realist evaluation juga akan mampu menjawab outcome yang ditimbulkan dari perubahan JKN nantinya.

Target dalam peta jalan JKN dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu tata kelola,  pencapaian dan equity, serta kepuasan dan mutu. Hasil sementara monev menunjukkan ada masalah dalam prinsip tata kelola JKN. Beberapa masalah tersebut, diantaranya defisit JKN setiap tahun, regulasi yang begitu banyak namun masih saling silang dan menimbulkan banyak konflik. Selain itu, data masih sangat sulit diakses oleh Kementerian Kesehatan dan DJSN. Hal ini menunjukkan ada fragmentasi tata layanan kesehatan. Akibatnya, sulit dilakukan perencanaan hingga ke tingkat daerah karena perbedaan sistem antara pemerintah dengan BPJS Kesehatan. Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang JKN kemudian disahkan untuk mengurangi fragmentasi ini.

Masalah lain yang timbul adalah keberadaan fasilitas kesehatan yang sangat berbeda. Pertumbuhan rumah sakit dan jumlah dokter didominasi di Jawa. Dari segi mutu layanan, indikator pelayanan belum tercapai dengan baik. Kepuasan layanan pun belum mampu mencapai target dan masih belum diketahui apakah capaian kepuasan ini akan meningkat pada 2018.

Sebagai bentuk tindak lanjut, nantinya data akan terus ditambah dengan melibatkan semua provinsi dan dianalisis menggunakan realist evaluation. Monev kebijakan akan terus dilakukan untuk melihat apakah kebijakan ini berhasil atau belum. Advokasi bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta organisasi terkait yang akan dikerjakan pada Februari - Oktober 2019. Ini merupakan langkah awal dari proses panjang untuk mencapai analisis kebijakan.

Paparan Prof. Laksono dapat disimak pada link berikut

  klik disini

Selanjutnya hasil sementara monitoring evaluasi kebijakan JKN dibahas bersama dalam sesi pembahasan. Pembahas pertama adalah drg. Usman Sumantri, MSc selaku Dewan Jaminan Sosial Nasional melalui relay webinar. drg. Usman menyampaikan hasil penelitian bisa dijadikan masukan dalam 5 tahun peta jalan JKN. Dilihat dari sisi kepesertaan, JKN sudah cukup memadai dilihat dari capaian per tahun. Pada 2014 hingga 2017, capaian target kepesertaan sudah meningkat, namun 2018 capaian ini mulai melambat. Hal ini bukan persoalan BPJS semata melainkan menjadi persoalan bersama. drg Usman juga menambahkan BPJS JKN relatif lebih baik dibandingkan jaminan kesehatan yang diterapkan di Korea Selatan yang sudah puluhan tahun menerapkan JKN. Dari segi infrastruktur provider, kita masih terlalu mengandalkan puskesmas. Selain itu, sistem pembayaran kapitasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sehingga perlu reformasi sistem pembayaran provider.

Pembahas selanjutnya adalah dr. Andi Afdal Abdullah, MBA, AAK selaku Depdir Risbang BPJS Kesehatan Pusat. dr. Andi menyatakan UU merupakan kesepakatan sehingga nanti jika ingin menyasar ke UU harus mencermati kebijakan lain yang terkait. Kajian tentang Health Financing BPJS dan mekanisme single pool dan multipool juga perlu diperdalam, apa kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem jika diimplementasikan di lapangan. Terkait dengan data, dr Andi mengatakan selama ini data yang diminta ke BPJS Kesehatan adalah data mentah. Hal ini akan sangat sulit sehingga biasanya data yang diberikan berupa dummy table. Nantinya BPJS akan memberikan akses data guna keperluan pendidikan dan penelitian. Terkait kebijakan, dr Andi menyatakan tidak mungkin BPJS mengelola segala sesuatu sendiri sehingga membutuhkan banyak pihak untuk melaksanakan kebijakan.

Pembahasan kemudian dilanjutkan oleh Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, PhD, selaku Rektor Universitas Trisakti. Prof Ali Gufron mengatakan isi hasil monitoring evaluasi yang disusun oleh tim peneliti bertentangan dengan BPJS dan yang disampaikan Kementerian Kesehatan. Prof Ali Gufron menambahkan hal ini terjadi karena pendekatan evaluasi yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan dengan tim peneliti berbeda. Evaluasi yang sudah dilakukan tim peneliti berbasis pada apa saja yang ada di WHO. WHO menggunakan 4 pendekatan evaluasi, yaitu kualitas, kepuasan, sustainabilitas dan equity. Hal ini menyebabkan ada perbedaan hasil monitoring evaluasi kebijakan JKN.

Pembahas terakhir adalah Dr. Taufik Hidayat, MM, AAK selaku Ketua Umum PAMJAKI. Secara singkat, Dr. Taufik menjelaskan peran DJSN yang cukup besar untuk memperkuat sistem jaminan kesehatan. Universal Health Coverage tidak bisa bicara hanya mencakup sekian orang saja, tapi juga seluruh fasilitas pelayanan. Ke depan juga perlu ada strategi untuk memperkecil defiasi/pembayaran out of pocket di masyarakat.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi oleh Dr. drg. Yulita Hendrartini, MKes, AAK selaku moderator. Diskusi berlangsung dengan antusiasme tinggi peserta, baik secara langsung maupun melalui relay webinar. Sesi diskusi membahas beberapa hal, terkait konteks budaya dalam prinsip tata kelola, pembiayaan kapitasi dan rujukan berjenjang, kelanjutan roadmap pasca 2019, dampak JKN terhadap pendidikan dokter dan dokter spesialis serta monitoring evaluasi oleh DJSN. Sebagai penutup, Prof Laksono menambahkan UU tetap menjadi objek yang harus dievaluasi, termasuk kaitannya dengan sistem single pool dan multipool yang terlah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, evaluasi kebijakan JKN membutuhkan pandangan independen untuk menemukan ide-ide terbuka dan solusi yang tepat guna memecahkan masalah yang ada.

Reporter: Yuditha Nindya

 

Link Terkait:

{jcomments on}

Laporan Penutup 5th Global Symposium on Health System Research

Secara keseluruhan, kongres ini menunjukkan semakin berkembangnya penerapan ilmu kebijakan dan pemikiran sistem di sektor kesehatan. Ketika membahas pemikiran sistem ini, pelaku utama di masyarakat dan juga pelayanan swasta semakin mendapat perhatian. Masalah pemerataan juga semakin diperhatikan karena universal health coverage bukan hanya terkait dengan pendanaan saja, melainkan juga menyangkut banyak hal. Salah satu hal yang dirisaukan oleh berbagai pembicara adalah ketika faktor politik mempengaruhi terlalu banyak. Politik di sini dapat mencakup berbagai aspek, misalnya terkait penetapan anggaran, birokrasi, kelompok yang mendapatkan manfaat, serta di pelaku kesehatan. Aspek politik ini jika tidak dikelola secara baik dapat membawa sistem kesehatan menjadi sulit berkembang. Situasi ini juga terjadi di Indonesia dimana saat ini situasi sistem kesehatan terdorong oleh pengaruh politik praktis terkait dengan pemilihan presiden dan anggota DPR sehingga ada risiko aspek - aspek teknis menjadi sulit dikelola.

 LINK TERKAIT