Blended Learning Untuk Penulisan Policy Brief

blpolicybrief

11 – 25 November 2016

  Latar Belakang

Anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia telah menghasilkan penelitian berkualitas tinggi untuk mendukung pembangunan kesehatan di daerah mereka masing-masing. Walau pun penelitian selalu bernilai bagi peneliti, namun akhir-akhir ini nilai penelitian semakin memiliki arti penting mengingat peran politisnya terhadap berbagai pihak, seperti pembuat kebijakan, media, organisasi non-pemerintah (LSM) dan mitra pemerintah dalam pembangunan (developing partners). Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mempresentasikan penelitian yang bersifat spefisik untuk dua jenis pembaca yang berbeda: pembaca yang memahami secara teknis, mau pun pembaca yang awam.

Policy brief adalah salah satu cara yang paling efektif bagi peneliti untuk menyampaikan secara ringkas laporan penelitiannya kepada berbagai jenis khalayak. Policy brief ditujukan untuk menyajikan temuan penelitian ke sasaran pemirsa tertentu, disesuaikan untuk pembaca yang memiliki pemahaman teknis atau tidak, menguraikan lesson learned dari penelitian tersebut, dan kemudian menerjemahkannya ke dalam analisis atau rekomendasi kebijakan.

Pelatihan ini dimaksudkan untuk membantu para peneliti memahami apa policy brief yang efektif itu, bagaimana cara menyaring intisari dari saran hasil penelitian, dan apa yang pembaca anggap sebagai policy brief yang baik. Di akhir pelatihan, penghargaan akan diberikan untuk "Policy Brief Paling Berpotensi".

  Tujuan pelatihan

Tujuan utama dari Blended Learning ini adalah sebagai berikut:

  • Untuk menjelaskan bagaimana cara menulis sebuah policy brief yang efektif
  • Untuk meningkatkan pemahaman tentang hubungan antara penelitian dan kebijakan berbasis bukti dan berbagi best-practice
  • Untuk membangun kapasitas dan keterampilan dalam mengkomunikasikan penelitian untuk memaksimalkan dampak dan adopsi saran hasil penelitian
  • Untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang proses kebijakan, serta peran policy brief dalam proses tersebut
  • Untuk meningkatkan pemahaman tentang peran media dalam mengkomunikasikan penelitian, agar dapat berpikir lebih strategis tentang taktik media masa di masa depan
  • Untuk dapat menghasilkan Policy Brief untuk setiap proyek penelitian, dan menghasilkan setidak satu policy brief pada akhir pelatihan

Pada akhirnya, pelatihan ini membuat para peserta dapat menghasilkan policy brief yang efektif. Hal ini, pada gilirannya, akan meningkatkan kontribusi dan, sedapat mungkin, meningkatkan relevansi penelitian untuk pembuatan kebijakan.

  Sasaran

Peserta yang menjadisasaranadalahpenelitimudadan/atau junior dariinstitusipenelitiandanpendidikan, khususnyaanggotaJaringanKebijakanKesehatan Indonesia

  Kriteria Peserta

Peserta harus merupakan seorang peneliti, terafiliasi dengan lembaga universitas atau penelitian, dan harus memiliki ringkasan proyek penelitian yang mereka telah dilakukan. Ringkasan tersebut harus merupakan dokumen yang berdiri sendiri, mampu dibaca secara mandiri, berfokus pada satu topic, dan mengandung implikasi dan saran kebijakan.

  Disain kegiatan

Pelatihan akan disampaikan sebagai Blended Learning.

Pada tahap 1, kami akan memberikan on-line module yang berisi dari bahan bacaan dan tugas. Peserta kemudian diberi waktu untuk menyelesaikan tugas mereka dan menyerahkannya kepada fasilitator.

Padatahap 2, kami akan melakukan webinar untuk memberikan umpan balik terhadap tugas mereka dan sesi tanya-jawab dengan peserta

Padatahap 3, kami akan memberikan on-line module yang memberikan tugas terakhir berupa penulisan policy brief.

Padafase 4, peserta diberikan waktu untuk merevisi dan menyelesaikan policy brief mereka secara independen, dan kemudian mengirimkannya kefasilitator.

Padafase 5, fasilitator akan memberikan penghargaan bagi policy brief paling potensial. Penilaian dan pemilihan pemenang menggunakan metode blind panel review yang termasuk beranggotakan ahli teknis dalam topik penelitian tsb. Peserta akan mendapatkan sertifikat.

 

  Diseminasi

Semua policy brief akan diterbitkan dalam www.kebijakankesehatanindonesia.net sebagai bagian dari produk jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia.

Biaya: Rp. 500.000,-untuk 3 peserta (kelompok)

 

Informasi dan pendaftaran

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2
Jl. Farmako, Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax.(0274) 549425 (hunting)
E-mail: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net  

 

 

Reportase Fung Leadership Summit 2016

Oleh:
Shita Listya Dewi, Konsultan Senior PKMK FK UGM menghadiri pertemuan dengan dana dari INDO HEALTH CARE (IHF) FORUM.

Reportase Hari 1

Jumat, 23 September 2016

Acara ini merupakan pertemuan yang mengundang berbagai ahli terkemuka dan praktisi yang berpengalaman dalam pelayanan kesehatan global.

Is Innovation and Leadership enough to address health care challenges (Dr. Richard Carmona)

Richard CarmonaAda paradoks yang menonjol saat ini dengan adanya inovasi dalam pelayanan kesehatan namun di sisi lain peningkatan biaya kesehatan yang tinggi. Tingkat kemiskinan meningkat dan faktor-faktor social determinant menjadi semakin menonjol. Berbagai inovasi dalam teknologi kesehatan membuat pelayanan kesehatan dapat lebih efisien tetapi apakah hal ini berarti pelayanan kesehatan menjadi lebih affordable dan lebih accessible?

Pembicara menceritakan pengalaman pribadinya yang berasal dari keluarga sederhana dan perjalanan karirnya hingga akhirnya menjadi Surgeon General ke-17. Richard menyimpulkan bahwa konteks dan social determinant memang memainkan peran penting dan bisa menjadi tantangan besar, tetapi dapat pula menjadi driving force yang kuat.

Pengalaman di AS menunjukkan bahwa biaya kesehatan yang tinggi di AS (mencapai 19% dari GDP) hamper 75%nya terpakai untuk pelayanan curatives khususnya chronic disease. Ada dua faktor penyebab utama yaitu obesitas dan tembakau. Oleh karena itu, program Richard terfokus pada lima hal, yaitu preventif, preparedness, disparitas kesehatan, health literacy dan cultural competency. Pelajaran paling penting yang ditekankan adalah perubahan dan inovasi apa pun yang kita upayakan tidak akan bertahan apabila tidak ada engagement dengan publik, dan bahwa knowledge apapun yang dibangun dari pengalaman dan kemajuan teknologi tidak akan diterima apabila kita terlalu cepat mengabaikan faktor kultur di masyarakat.

Penekanannya pada kegiatan preventif adalah harga mutlak karena tanpanya alokasi kesehatan akan terus terserap ke penanganan masalah penyakit kronis yang sebenarnya bisa dicegah. Healthcare tidak lagi tepat digunakan karena yang kita lakukan sampai saat ini adalah disease care. Oleh karena itu, pendekatan kesehatan masyarakat seharusnya embedded dalam setiap profesi kesehatan termasuk pharmacist, misalnya, yang memiliki kontak tertinggi dengan pasien dan masyarakat.

Sepanjang sesi, Richard berkali-kali menekankan bahwa kepemimpinan dan inovasi tidak akan cukup untuk menangani tantangan global pelayanan kesehatan. Namun, hal yang jauh lebih utama adalah kembali kepada diri kita sendiri, motivasi dan dorongan terbesar kita untuk berada di sektor ini, yaitu rasa kemanusiaan. Bahwa di balik berbagai perbedaan latar belakang, agama, suku, ras, pandangan politik dan keahlian akademik yang kita punyai, kita semua adalah manusia yang diberi kehormatan untuk membantu manusia lainnya dan bahwa di dalam kata pelayanan kesehatan, kata kuncinya adalah "pelayanan".

Panel discussion

Leadership and Innovation in Asian Public Healthcare

Sesi ini merupakan sesi panel dengan 4 pembicara yang membayangkan skenario kesehatan masyarakat di Asia untuk 20 tahun ke depan. Kerangka skenarionya adalah:

  • Apa pre-determined driving forces yang akan membentuk arah kesmas masa depan, khususnya terkait:
    • Perubahan demografi dengan semakin besarnya populasi yang menua
    • Pertumbuhan middle class yang merupakan faktor pendorong yang positif
    • Ada perkembangan teknologi
  • Ada faktor ketidakpastian yang besar
    • Apa yang tidak kita ketahui, dan bagaimana kita beradaptasi terhadap hal tersebut?

Topik yang akan dibahas:

  • Bagaimana sistem kesehatan kita akan bereaksi terhadap faktor dan tantangan di atas?
  • Dalam bidang apa saja kepemimpinan dan inovasi akan membawa perubahan yang berdampak?

  Pembicara 1: Prof. Rifat Atun (Harvard)

Rifat AtunTantangan demografis, epidemiologi yang mengikutinya, dan tumbuhnya kelas menengah akan menciptakan permintaan yang lebih tinggi terhadap pelayanan yang lebih baik namun lebih efisien, karena keterbatasan kemampuan fiskal dan daya saing. Dengan adanya teknologi maka diperlukan penyebaran pengetahuan secara lebih baik dan juga kemampuan untuk menganalisis big data.

Higher burden disertai peningkatan demand dan ekspektasi akan meningkatkan pertumbuhan biaya kesehatan sehingga kemampuan mempertahankan UHC akan menjadi sangat penting.

Jadi dengan adanya perubahan konteks dan perubahan lanskap kesehatan, apakah sistem yang kita gunakan masih akan tetap sama seperti puluhan tahun lalu?
Transitioning health systems for multimorbidity (Atun, Lancet 2015) : 20% dari masyarakat memiliki kondisi yang menyerap 80% dari sumberdaya kesehatan. Dengan masih tingginya OOP dalam beberapa sistem kesehatan adalah makin tingginya beban biaya kesehatan yang ditanggung. Dampak jangka panjang dari perkembangan penyakit kronis akan menurunkan produktivitas, sehingga dalam waktu dekat pertumbuhan biaya kesehatan akan jauh melampaui pertumbuhan ekonomi.

Lalu, apa solusinya?

  • Dari sisi kebijakan adalah perlunya stewardship dari pemerintah untuk menciptakan enabling environment untuk berinovasi.
  • Dari sisi kebijakan adalah perlunya menekan OOP dengan menciptakan sistem perlindungan sosial yang disertai oleh strategic purchasing dan benchmarking kinerja
  • Dari sisi penyediaan diperlukan kerjasama dengan sektor swasta sebagai bagian dari struktural pluralism.

Ada perubahan mendasar yang harus disusun:
Awalnya fokus secara struktural: pembayaran harus tidak lagi sekedar mengikuti struktur i.e. FKTP dan RS. Pada masanya ada transisi menuju fokus pada fungsi: fee for service atau DRG. Namun hal ini harus bergeser lagi yang pada akhirnya menciptakan pembayaran yang berfokus pada outcomes dan value. Jadi tidak lagi membiayai penyakit tetapi membiayai outcomes kesehatan
Syaratnya:

  • Harus bisa mengoptimiasi biaya dan outcomes
  • Shared risk dan reward
  • Shared accountability

Dalam penyediaan pelayanan: harus membentuk organisasi yang hybrid: organisasi yang lebih fleksibel untuk merespon secara cepat perubahan dan kebutuhan, atau melakukan PPP, serta berpikir untuk menyediakan jaringan kerjasama.
Key success factor-nya; transparansi, akuntabilitas, dan penciptaan value dalam hal mengubah current practices, konsultasi dengan stakeholders dan berkompetisi secara sehat.

  Pembicara 2: John Eu Li Wong (Singapore)

John Eu Li WongPerbaikan tidak bisa dilakukan sendirian oleh pemerintah, dan tidak bisa sendirian oleh pihak non pemerintah, tetapi harus bersama-sama.

Jadi, beberapa kata kunci dari perubahan mendasar adalah bahwa perubahan yang diupayakan harus bersifat 'enabling' dan harus terintegrasi. Sistem yang dibentuk harus bersifat end-to-end dan memikirkan pelayanan pada semua titik pelayanan. Berbagai pihak dan aktor dalam sistem kesehatan telah berkembang sangat maju namun sayangnya mereka bertindak dalam 'silo', sangat ahli dalam bidangnya, tetapi terpisah dari pihak lain, dan tidak membangun sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, semangat yang dibawa dalam diskusi bukan lagi "saya" versus "Anda" tetapi harus menjadi "Kita".

Tidak pula melupakan bahwa ada faktor social determinants yang tidak bisa diabaikan, oleh karena itu apabila perubahan yang kita coba bawa tidak melibatkan masyakarat, tidak engaging, maka apa pun yang kita lakukan akan sekedar menjadi di atas kertas.

Sistem kesehatan kita juga masih memiliki berbagai ketidakpastian, misalnya perkembangan penyakit menular yang telah menjadi drug resistant, perubahan iklim yang juga memunculkan risiko-risiko penyakit di daerah-daerah yang sebelumnya tidak terjangkit, dan sebagainya.

  Pembicara 3: Ascobat Gani (Indonesia)

Biaya kesehatan yang tinggi menjadi trend global. Di AS, misalnya proporsi yang tertinggi dari pembiayaan adalah biaya RS, dokter dan obat. BPJS di Indonesia mengalami defisit sebesar 2014: 3.3T, 2015: 5.85T dan 2016 diperkirakan 7.4T , sebagian besar uang pergi ke Intensive care (23.9%) dan ke Primary care (20.3%)

Ada 4 strategi yang diajukan:

  • Memperkuat kegiatan preventif yaitu dengan merevitalisasi KB, meningkatkan kegiatan screening untuk diabetes, hipertensi dan kanker, memperbaiki akses ke air bersih, sanitasi, dan imunisasi. Hal-hal ini adalah public goods sehingga pemerintah harus menggunakan dana dari pajak (bukan yang dialokasikan ke JKN) untuk mebiayai hal-hal ini.
  • Menciptakan pelayanan kesehatan yang akuntabel dengan membuat health technology assessment, pembayaran melalui DRGs, memperkuat FKTP melalui pembiayaan kapitasi, dan mengupayakan manajemen yang lebih 'hijau' untuk mengurangi waste di faskes
  • Mengurangi faktor risiko dengan mengubah perilaku. Di Indonesia, misalnya tembakau masih menjadi faktor risiko yang belum bisa ditangani. Walau pun perubahan perilaku merupakan pendekatan yang menjadi rumus baku, tetapi mungkin perlu dikombinasi dengan mekanisme harga.
  • Kebijakan yang berpihak pada kesehatan, misalnya untuk meregulasi dan surveillance terhadap hazardous substance, perlindungan lingkungan dan keselamatan lalu lintas

Perlindungan finansial bisa melindungi dari risiko finansial, namun risiko kesehatan harus diatasi melalui pendekatan kesehatan masyarakat.

  Pembicara 4: Teodora Herbosa (Filipina)

Teodora HerbosaHal terpenting dalam pembahasan masalah kesehatan adalah mempertimbangkan konteksnya.
Menggunakan kerangka 'control knobs' (Marc Roberts, et al, 2004), dan menggunakan dana sin tax HB5727 yang menaikkan dana kesehatan dari 1.9% menjadi 4.7%, Filipina berhasil melakukan berbagai reformasi. Kerjasama dengan swasta juga dilakukan, misalnya pelatihan health leadership dan governance untuk para pimpinan daerah (yang dibiayai oleh dana yayasan filantropi), dan ini berdampak besar terhadap penurunan angka kematian di daerah.

Selama ini Filipina menggunakan data 2 atau 3 tahun lalu untuk merencanakan kebijakan regulasi atau pembiayaan. Dengan melakukan reformasi TI, pemerintah berhasil mendapatkan informasi yang lebih akurat dan updated untuk membuat perencanaan yang lebih baik.
Dalam bidang manajemen bencana, inovasi yang dilakukan adalah reformasi dalam system supply dan logistik sehingga penanganan bencana di daerah (ingat bahwa Filipina merupakan Negara kepulauan) menjadi jauh lebih cepat dan responsive.

Tomorrow's Healthcare: Better Quality, More Affordable and More Accessible (Prof. Victor Dzao)

Victor DzaoPembicara menyampaikan beberapa reformasi dalam sistem kesehatan di AS. Victor menyoroti segitiga pelayanan kesehatan: Access-Quality-Affordable, dan mayoritas negara biasanya dapat mengatasi satu atau dua aspek dalam segitiga ini, tetapi hampir tidak ada yang dapat mengatasi ketiganya pada saat yang bersamaan. Beliau mengajukan preposisi bahwa yang diperlukan adalah beberapa transisi:

 

  • Dari penanganan penyakit menjadi mengupayakan kesehatan dan wellness
  • Dari pelayanan yang terfragmentasi menjadi pelayanan dan sistem yang terintegrasi
  • Dari pelayanan berbasis rumah sakit ke pelayanan berbasis masyarakat

Reformasi yang dilakukan di AS adalah dengan menggunakan mekanisme pembayaran untuk mengubah perilaku untuk menghasilkan transisi yang dibutuhkan, fokusnya adalah value-based payment, melakukan alignment dan memastikan akuntabilitas untuk sharing incentives and sharing risk.
Kunci lain dari transisi untuk menuju layanan kesehatan yang lebih affordable, accessible dan berkualitas adalah dengan menggunakan inovasi: product innovation, process innovation, business models innovation dan organizational innovation

 

 

{jcomments on}

Webinar CoP Telekomunikasi: Penguatan Kemampuan Telekonferens

PKMK-Yogya. Webinar CoP Telekomunikasi kembali dilaksanakan pada Selasa (19/7/2016) pukul 10.00-12.00 Wib dari Gedung Granadi, MMR Jakarta. Acara ini disiarkan langsung dan pembicara kali ini dari dua lokasi berbeda, yaitu Jakarta dan Yogyakarta. Mereka ialah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (dari Jakarta) serta Lilik Haryanto (Staf Teknologi Komunikasi PKMK FK UGM) dan Ir. Sarwestu Widyawan, MPH (konsultan PKMK FK UGM). Dua pembicara terakhir memaparkan materi dari studio PKMK di Yogyakarta. Prof. Laksono menyoroti peran besar telekonferens untuk masing-masing persatuan atau asosiasi, salah satunya mempermudah komunikasi langsung (jarak jauh). Diskusi kali ini mengusung tema 'Penguatan Kemampuan Telekonferens'. Telekonferens seperti yang dilakukan kali ini merupakan media komunikasi bagi para anggota, mitra dan calon peserta yang tertarik atau ingin mengetahui Community of Practice (CoP) atau Masyarakat Praktisi Pengembangan Kemampuan Telekonferens, informasi mengenai kelompok ini dapat di klik disini

Peserta yang hadir dalam webinar hari ini (19/7/2016) antara lain dari institusi RS, dinas kesehatan, dan asosiasi profesi kesehatan yang terkait. Salah satu asosiasi yang memiliki visi menggunakan telekonferens untuk rapat dan meng-update informasi kepada seluruh anggota ialah Majelis Syuro Upaya Kesehatan Islami Seluruh Indonesia (MUKISI). Asosiasi ini beranggotakan 200-an orang, maka telekonferens bisa menjadi solusi jika banyak anggota yang tidak bisa hadir langsung untuk acara-acara yang diselenggarakan MUKISI. Basis untuk mengarsip banyaknya rekaman telekonferens ialah dengan meng-upload hasil rekaman ke website khusus. Prof. Laksono kemudian membagi pengalaman dalam pengembangan website kanalpengetahuan.fk.ugm.ac.id. Ada banyak pilihan menu pembelajaran dalam website ini, salah satunya Continuing Education. Dalam pembelajaran jarak jauh, telekonferens ini membantu dalam penghematan biaya serta pembelajaran yang fleksibel dan real time, ungkap Ir. Sarwestu Widyawan, MPH. Kelebihan dari arsip pembelajaran jarak jauh yang disiarkan melalui telekonferens dan didokumentasikan ialah pembelajaran bisa diulang kapan saja, asal ada koneksi internet yang mencukupi.

Kemudian, Lilik Haryanto selaku staf TI PKMK FK UGM yang sudah sering menyelenggarakan webinar dan menghadapi banyak troubleshooting (kendala dan pemecahan masalah seputar pelaksanaan webinar) memaparkan sejumlah hal menarik. Dalam webinar, kendala yang paling sering dihadapi ialah suara yang tidak terdengar dengan baik, maka solusinya harus melihat Control Panel Audio yang ada di tampilan webinar. Apakah input dan output audio sudah benar dalam setting-annya. Namun, kendala audio ini bisa juga terjadi karena koneksi yang menurun atau kurang baik, tegas Lilik.

Peserta dari RS Hermina Bekasi menanyakan, jika sebagai peserta apakah perlu download software webinar ini? Lilik menyatakan, panitia atau pihak yang menjadi admin webinar akan membagi atau menyebarkan link ke seluruh mitra dan calon peserta. Calon peserta bisa langsung klik link yang dikirim, lalu ikuti seluruh langkah yang diminta software webinar. Maka, secara otomatis software webinar akan ter-install di laptop/PC calon peserta. Namun, jika kita menggunakan smartphone, maka kita harus men-download webinar dari Play Store atau App Store yang tersedia di smartphone masing-masing.

Di akhir sesi, Prof. Laksono menegaskan, telekonferens akan mempermudah komunikasi antar RS (atau dengan jejaringnya) dan asosiasi dalam rapat, seminar bahkan dalam telemedicine (Wid).

 

Agenda Kegiatan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia - Semester 2

A. Pelatihan

Blended Learning Mengenai Penulisan Policy Brief.
(11 – 25 November 2016). Biaya: Rp 500.000,- per 3 orang.

selengkapnya


Pelatihan Pengembangan Sistem Telekonferensi. (Juli - september 2017) Biaya: Rp.600.000 per orang. 

selengkapnya

 

B. Seminar Nasional: (Dapat diikuti melalui system Relay).

Monitoring Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Apakah sudah dapat memberikan prediksi untuk pencapaian UHC di tahun 2019? (Yogyakarta, Oktober 2017)

selengkapnya

Seminar Nasional bersama IAKMI mengenai Implementation Research.
2 November 2016 di Makassar.

selengkapnya

 

C. Workshop Internasional

Partnership for Universal Health Coverage : Hong Kong, November 2017 (tentative). Bekerjasamadengan Asian Network in Health System Strengthening.

 

D. Peningkatan kemampuan Penelitian dan Konsultasi:

Pelatihan calon fasilitator pendamping penyusunan sinkronisasi RPJMN-RPJMD Sub bidang kesehatan
dan gizi masyarakat

klik disini

Community of Practice Riset Implementasi JKN

klik disini

Penelitian Implementation Research tentang Kebijakan Jaminan Kesehatan di FKTP
Januari – Juni 2017

 

E. Diskusi-diskusi dan Kuliah Tamu melalui Web

Dilakukan secara rutin dengan berbagai topik.

  • Membahas Artikel Kebijakan terbaru di Jurnal
  • Bedah Buku
  • Topik hangat dalam Kebijakan Kesehatan.
  • Dan berbagai hal lainnya.

Catatan 1:

Para anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dapat merencanakan kegiatan lainnya. Kegiatan yang dikerjakan akan dipublikasikan di www.kebijakankesehatanindonesia.net  Kegiatan dapat bersifat tatap muka ataupun jarak-jauh. Publikasi yang akan dibantu oleh Jaringan Kebijakan Kesehatan adalah:

  1. Memasang pada banner di web mengenai kegiatan yang akan datang.
  2. Memberikan alert untuk sekitar 5000 pembaca berbagai web kebijakan.
  3. Menampilkan hasil kegiatan di web.


  Informasi lebih lanjut:

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2
Jl. Farmako, Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax.(0274) 549425 (hunting)
E-mail: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

 



 

 

Seminar Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan

TOR Kegiatan

Kerangka Acuan
Seminar Sinkronisasi RPJMD-RPJMN
Sub-Bidang Kesehatan

Yogyakarta, Jumat 17 Juni 2016

  LATAR BELAKANG

Setelah pemilukada serentak 9 Desember 2015 di 264 daerah, kepala daerah terpilih dilantik pada 17 Februari 2016. Menurut Permendagri No. 54 Tahun 2010 Pasal 75 ayat (1), Bupati/Walikota harus menyampaikan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD kabupaten/kota paling lama 5 (bulan) setelah dilantik. Dengan kata lain, rancangan Perda tersebut harus sudah disampaikan paling lambat tanggal 17 Juli 2016. Rancangan Perda tersebut, menurut Pasal 76 Permendagri No. 54 Tahun 2010, harus sudah ditetapkan paling lambat 6 bulan setelah Bupati/Walikota dilantik atau tanggal 17 Agustus 2016.

Paralel dengan itu, semua SKPD harus menyusun Rencana Strategis (Renstra). Menurut Pasal 97 ayat (7) Permendagri No. 54 Tahun 2010, rancangan akhir SKPD harus sudah disahkan dengan keputusan kepala daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah Perda tentang RPJMD ditetapkan (atau tanggal 17 September 2016). Selanjutnya menurut Permendagri No. 54 Tahun 2010 Pasal 97 ayat (8), penetapan Renstra SKPD oleh kepala SKPD paling lama 7 (tujuh) hari setelah Renstra SKPD disahkan oleh kepala daerah (atau tanggal 24 September 2016).

Berbeda dengan sebelumnya, dalam penyusunan RPJMD dan Renstra SKPD kali ini sangat ditekankan keselarasan dan sinkronisasi yaitu antara RPJMD dengan RPJMN (dalam hal ini RPJMN Sub Bidang Kesehatan), dan antara Renstra SKPD dengan RPJMD Bidang Kesehatan. Keselarasan dan sinkronisasi ini penting untuk menjaga semangat NKRI dan menjamin keselarasan dan sinkronisasi rencana pembangunan dari pusat hingga ke daerah.

Dalam konteks demikian, Bappenas yang didukung oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM dan AIPHSS, telah menyusun Modul Sinkronisasi RPJMD – RPJMN Sub Bidang Kesehatan. Modul ini dikembangkan dalam format hardcopy dan versi online, yang dilengkapi dengan Modul Pembelajaran dan Buku Kerja untuk memudahkan upaya sinkronisasi yang diharapkan. Dengan kebijakan "money follow programs" yang ditekankan Presiden Joko Widodo, sinkronisasi tersebut akan menjadi "jembatan" untuk memastikan disalurkannya dana APBN ke daerah dan sinergisnya program yang akan dilakukan.

Berdasarkan latar belakang demikian, upaya sosialisasi Modul Sinkronisasi ini dianggap penting karena bisa membantu tugas kepala daerah yang baru saja dilantik. Untuk itu, PKMK FK UGM bermaksud menyelenggarakan Seminar dan Workshop Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan.

  TUJUAN

  1. Memahami RPJMN 2015-2019 dan kaitannya dengan kebijakan sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan
  2. Memahami konsep dan tahap-tahap sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan
  3. Memahami metode pembelajaran Modul Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan
  4. Mengetahui pendekatan sinkronisasi Renstra SKPD-RPJMD.
  5. Menyepakati tindak lanjut hasil Seminar.

  NARASUMBER

  • Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D (Kasbdit Kesehatan Masyarakat)- Bappenas
  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
  • DR. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes
  • Moh. Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH

  PESERTA

  • Bappeda Provinsi, Kabupaten/Kota dari daerah yang mengikuti pemilukada 9 Desember 2015
  • Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dari daerah yang mengikuti pemilukada 9 Desember 2015
  • Dosen
  • Konsultan
  • Mahasiswa S2/S3

  WAKTU DAN TEMPAT

  • Waktu: Tanggal 17 Juni 2016, jam 08.30 – 11.30 WIB
  • Tempat: Ruang Theater , Gedung Perpustakaan lantai 2, Fakultas Kedokteran UGM

  AGENDA

Jam

Materi

Nara Sumber

Moderator

Metode

08.00 – 08.30

Registrasi Peserta

Panitia

   

08.30 – 09.00

Pembukaan dan Pengantar Seminar/Workshop

video

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

MC

 

09.00 – 09.45

RPJMN dan Kebijakan Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan

video

Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D (Kasubdit Kesehatan Masyarakat-Bappenas RI

materi

Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

Ceramah Tanya Jawab

09.45 – 11.15

Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan; dan Sinkronisasi Renstra SKPD dengan RPJMD

video

DR. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes

materi

Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

Seminar

Metode Pembelajaran Modul Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan, dan Contoh Aplikasinya

diskusi

Moh. Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH

11.15 – 11.30

Rencana Tindak Lanjut dan Penutup

video

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

   


PEMBIAYAAN

Seminar ini tidak dipungut biaya.

PENUTUP

Demikian Kerangka Acuan ini disusun sebagai dasar pelaksanaan kegiatan. Dalam implementasinya, sangat terbuka untuk dilakukan penyesuaian sesuai perkembangan dan kebutuhan.

 

 

 

Reportase Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era MEA

Yogyakarta - PKMK FK UGM menyelenggarakan pertemuan diskusi kedua dari Seri Seminar Perhimpunan Profesi pada Sabtu, 20 Februari 2016. Diskusi ini mengangkat tema Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Para pembicara dan pembahas dari bagian PPSDM Kementerian Kesehatan, PKMK, POGI, KKI, IDI, dan PAPDI hadirdalam seminar ini.

Dalam konteks MEA ini ada potensi konflik antara Ikatan Profesi dengan keinginan masyarakat. Masyarakat ingin lebih banyak dokter agar akses lebih baik. Sementara itu ada kemungkinan Ikatan Profesi berusaha menahan masuknya dokter asing. Bermula dari kekhawatiran inilah kemudian seminar ini diselenggarakan.

Diskusi dimulai dengan presentasi dari dr. Asjikin Iman H. Dachlan, MHA, Kepala Pusrengun PPSDM Kementerian Kesehatan dan Dr. dr. Andreasta Meiala, M.Kes dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Dr. Asjikin menjelaskan mengenai beberapa regulasi dan kesepakatan yang telah diatur dalam rangka MEA, sedangkan dr. Andreas mengemukakan beberapa data mengenai kondisi lapangan tenaga kesehatan di beberapa negara. Terdapat kesimpulan bahwa negara-negara ASEAN saat ini masih memproteksi tenaga kesehatan Warga Negara Asing dan bersepakat untuk hanya saling bertukar teknologi informasi. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang sangat diminati untuk kerja dokter spesialis dari asing, membangun Rumah Sakit dan mengekspor pasien ke luar negeri. Meski sudah terdapat beberapa regulasi yang mengatur, namun Indonesia masih memiliki soft door policy sehingga dibutuhkan strategi yang lebih matang dalam menghadapi MEA, apakah strategi bertahan atau penetrasi ke luar negeri, atau untuk menambah supply tenaga kesehatan yang kurang. Terutama adanya klausul bahwa jika aturan lokal tidak sesuai dengan aturan internasional, seperti adanya ketimpangan rasio tenaga kesehatan, maka aturan pelarangan masuknya tenaga kesehatan asing dapat ditembus.

Setelah presentasi, dilanjutkan dengan diskusi bersama para pembahas yaitu DR. dr. Kiki Lukman, M(Med)Sc, Sp.B.KBD, FCSI (Wakil ketua MKKI) sebagai perwakilan IDI Pusat, Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) (Ketua Divisi Pendidikan KK) dari Konsil kedokteran indonesia, dr. Nurdadi Saleh, SpOG dari POGI Pusat , dan DR. dr. Zulkifli Amin, SPPD-KP dari Kolegium PAPDI. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini membahas bahwa perhimpunan profesi tidak sepenuhnya menolak MEA, sebaliknya beberapa perhimpunan profesi telah menyiapkan banyak hal dalam persiapan menghadapi MEA. Selain itu, para perhimpunan profesi menginginkan disusunnya suatu regulasi tentang masuknya tenaga kesehatan asing dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia agar mendapatkan pelayanan yang benar, termasuk juga melindungi dokter-dokternya, jangan sampai dokter Indonesia justru tidak bisa mencari lapangan pekerjaandi tanah air sendiri. Diperlukan pula penelitian lebih lanjut tentang distribusi

Dokter serta akar masalah lambat dan kurangnya layanan kesehatan, apakah dari alat yang rusak atau penganggaran dana kesehatan yang kurang. Pada akhirnya diperlukan terobosan baru dari pihak perhimpunan profesi, kementerian kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, dan berbagai pihak yang terkait untuk mengatasi masalah ketimpangan distribusi dokter dan dokter spesialis-subspesialis agar tidak menjadi justifikasi bagi masuknya dokter asing ke Indonesia.

Sebagai ringkasan dan kesimpulan, posisi IDI dan KKI tidak sepenuhnya menolak MEA. Ke depan, diperlukan kemampuan diplomasi yang baik untuk melindungi kepentingan masyarakat Indonesia dan anggota perhimpunan profesi. Jangan sampai IDI menjadi public enemy karena tidak pandai berdiplomasi. Selain itu, dibutuhkan pula data yang lebih detail tentang spesialis dan sub-spesialis serta menjadikan residen sebagai pekerja dokter yang sedang magang melalui academic health system yang lebih baik. Dengan kemampuan menyusun strategi persiapan yang lebih matang dalam menghadapi MEA, diharapkan kita dapat menjadikan MEA sebagai peluang untuk memperbaiki status kesehatan di Indonesia, bukan sebagai ancaman.

Reporter: Noor Afif Mahmudah

{jcomments on}

Reportase Seminar Peran IDI & Perhimpunan Profesi dalam Memperjuangkan Hak Residen dan Fellow dalam Proses Pendidikan

Yogyakarta – Jum'at, 4 Maret 2016 Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan UGM bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran UGM telah menyelenggarakan Seminar Perhimpunan Profesi Diskusi yang ke-3 dengan judul "Peran IDI dan dan Perhimpunan Profesi dalam memperjuangkan hak residen dan fellow dalam proses pendidikan" di Ruang Theater, Gedung Perpustakaan FK UGM. Seminar ini terdiri dari dua sesi dan mendatangkan berbagai pembicara serta pembahas dari AIPKI, ARSPI, PERSI, IDI, IKABI, Direktur RSUP dr. Sardjito, dan Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan.

  Pengantar

Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Annual Scientific Meeting FK UGM 2016 dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Board PKMK UGM. Acara ini terselenggara atas kerja sama PKMK FK UGM dan Roche. Laksono mengutarakan tujuan dari seminar ini untuk membahas kemajuan proses pemenuhan hak residen dan fellow sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran; membahas peranan IDI dan Perhimpunan Dokter Ahli dalam pemenuhan hak residen dan fellow; serta membahas bentuk gabungan antara university-based dengan hospital-based training untuk residen dan fellow dalam Academic Health System.

  Sesi I - Pembicara

Sesi pertama membahas mengenai apakah residen dan fellow merupakan dokter yang bekerja dalam pendidikan ataukah seorang siswa? Apakah ada kemajuan dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran?. Sesi ini diawali dengan presentasi oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. Laksono memaparkan tentang setelah 2 tahun UU Pendidikan Kedokteran disahkan, masih tampak sistem pendidikan kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan berjalan secara terpisah. Diperlukan adanya integrasi antara duasistem tersebut untuk mencapai pelayanan kesehatan yang lebih baik. Ditekankan pula bahwa residen dan fellow bukan siswa biasa dan tidak dapat dipisahkan dengan SDM kesehatan lain di Rumah Sakit, dimana mereka juga memiliki hak sebagai perkerja seperti hak mendapatkan insentif, serta hak untuk beristirahat. Dukungan dari perhimpunan profesi seperti IDI sangat dibutuhkan dalam reformasi ini.

  Sesi I – Pembahasan Tahap ke-1

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pertama oleh beberapa pembahas yaitu Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., Sp.OG(K) sebagai perwakilan ketua AIPKI dari Pokja Spesialis dan Subspesialis, Prof. dr. H. Abdul Khadir, Ph.D., Sp.THT/KL(K)., MARS selaku Ketua 1 ARSPI yang juga menjabat sebagai Direktur RS Dharmais, serta dr. Kuntjoro A. Purjanto, MMR sebagai ketua PERSI.

Pada sesi pembahasan tahap ini, Prof. dr. Ova Emilia mendukung reformasi ini dan mengusulkan misi dari reformasi adalah untuk meningkatkan bentuk tanggung jawab residen dari pendidikan tidak hanya dari pencapaian segi kompetensi saja, namun juga meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan. Pihak ARSPI juga sangat mendukung dan menyatakan bahwa ke depannya harus ada reformasi serta diharapkan adanya penguatan Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan melalui Academic Health System. Beliau juga menegaskan kembali tentang tiga hak residen yang harus dipenuhi berdasarkan UU Dikdok, yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk mendapatkan insentif, dan hak untuk mendapatkan istirahat. Ketua PERSI mengutarakan bahwa PERSI menunggu aplikasi rundown serta roadmap yang jelas dari reformasi ini, agar bersifat akuntabel dan jelas jalan eksekusinya. Selain itu, dibutuhkan pula pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tahu dan bisa memenuhi keadilan dan pemerataan kesehatan di seluruh Indonesia. Hal ini dapat terwujud jika adanya komitmen yang kuat dari semua pihak terkait.

Setelah pembahasan kemudian terdapat diskusi yang sangat menarik antara pembahas dengan peserta seminar. Salah satu peserta, dr. Endro Basuki, Sp. BS dari RSUP dr. Sardjito menyatakan bahwa residen harus dimanusiakan. Target utama adalah bagaimana residen selesai masa pendidikan dengan selamat, serta yang paling mudah selain pemberian insentif adalah residen tidak perlu membayar biaya PPDS karena sudah dibiayai oleh pemerintah atau instansi lain. Dari sesi ini dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak setuju bahwa residen perlu mendapatkan haknya, dan detail operasional tentang pemenuhan hak ini perlu dibicarakan lebih lanjut.

  Sesi I – Pembahasan tahap ke-2

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tahap ke-2. Prof. DR. Dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) selaku Ketua MKKI – IDI menyatakan bahwa IDI perlu memprioritaskan status residen di Rumah Sakit sebagai apa, kemudian sumber alokasi dana insentif dari mana, serta dilaksanakan dalam jumlah yang memadai. IDI berharap bahwa ada dukungan dari pemerintah untuk dapat mencapai tujuan ini.

Ketua IKABI Pusat, yakni dr. R. Suhartono, Sp.BT-KV menekankan perlunya kesamaan persepsi tentang residen dari pihak fakultas, perhimpunan profesi, dan kementerian kesehatan (Kemenkes). Selain itu dalam penerimaan residen, harus disesuaikan dengan kebutuhan dari Kemenkes sehingga terdapat kesesuaian antara jumlah residen yang diterima oleh universitas dan kebutuhan di Rumah Sakit.

dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS sebagai kepala pusat pendidikan SDM Kesehatan mengutarakan tentang adanya pembentukan perencanaan yang disusun bersama oleh dinas kesehatan kabupaten di mana kini sedang konsolidasi peta kebutuhan SDM tenaga kesehatan selama 5 tahun mendatang. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan ini tidak hanya diperlukan di RS Pemerintah saja, namun juga RS Swasta.

Pada diskusi pembahasan tahap ini diutarakan beberapa pendapat, seperti harapan bahwa dosen klinis dari residen perlu dimanusiakan juga agar mendapatkan porsi yang sesuai. Suara dan aspirasi dari Persatuan Dokter Dosen Klinis (PERDOKDI) juga diharapkan untuk turut didengar dalam penyusunan PP dari UU Dikdok. Ditekankan pula perlu diciptakan iklim yang sehat dan kondusif tidak hanya untuk residen, namun juga untuk dokter senior. Sembari menanti penyusunan PP, pihak-pihak yang bersangkutan juga mempersiapkan yang dibutuhkan sehingga ketika PP telah jadi bisa langsung dieksekusi.

  Sesi II – Pembicara

Pada sesi kedua dilakukan pembahasan mengenai Harapan di masa mendatang tentang skenario Academic Health System di Indonesia berdasarkan PP RS Pendidikan dan harapan untuk badan PPSDM Kementerian Kesehatan. Pembicara sesi ini yaitu Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, Dipl. PH sebagai ketua minat MMR FK UGM menyampaikan hasil data kajian pemberian insentif yang dilakukan di RSUP dr. Sardjito, RSUD dr. Moewardi, dan RSUP dr. Cipto Mangunkusumo.

Di Era JKN peningkatan jumlah pasien yang tidak diikuti oleh jumlah DPJP menyebabkan adanya pembagian beban kerja yang "dibungkus" oleh pendidikan. Dalam pembagian beban ini sudahkah ada pembagian beban kerja, kompensasi, dan keadilan yang jelas antara DPJP dan residen?
Dari hasil riset didapatkan bahwa ada beberapa bentuk pembagian insentif dari Rumah Sakit, namun dengan dasar acuan yang tidak jelas dan memiliki aturan masing-masing yang tergantung pada: status residen, regulasi yang mendukung, dan manajemen RS. Melalui riset, didapatkan pula bahwa residen sudah masuk dalam siklus manajemen, namun yang belum ada adalah sistem reward dan punishment bagi residen. Selain itu data jumlah residen, fellow, dan data kapasitas RS Pendidikan serta data dosen pendidik untuk pendidikan spesialis dan sub-spesialis masih sulit untuk ditemukan.

Prof. Laksono sebagai moderator menambahkan tentang Academic Health System di mana Fakultas Kedokteran sebagai pihak pengelola residen sehingga tetap dikenakan biaya SPP, namun yang membayar bukan pihak residen pribadi namun RS, Pemerintah daerah, atau kelompok tertentu yang membayar. Selain itu penetapan RS Pendidikan dan jejaring tidak bisa asal namun sesuai kebutuhan. Jika RS tidak membutuhkan adanya residen atau fellow, maka tidak perlu menjadi RS Pendidikan. Ijazah dan sistem kontrol mutu pendidikan yang mengeluarkan tetap universitas karena kondisi yang sulit keluar dari UU Sisdiknas.

  Sesi II – Pembahas

Pembahasan sesi ke-2 kali ini diisi oleh dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS (Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan), Prof. DR. dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) (Ketua MKKI – IDI), dan dr. M. Syafak Hanung, Sp.A (Direktur Utama RSUP dr. Sardjito). Melalui pembahasan kali ini didapatkan fakta bahwa data mengenai residen yang melalui tugas belajar di Pusat Pendidikan SDM Kesehatan dapat diakses jika perlu. Ketua MKKI juga menyampaikan bahwa data-data di perhimpunan profesi juga ada dan tengah dirapikan, serta diharapkan minggu depan sudah dapat dirilis. Sedangkan dr. Syafak menyampaikan bahwa di RSUP dr. Sardjito telah membentuk tim ad hoc untuk membicarakan tentang bagaimana sistem pendidikan residen dapat diatur dengan lebih baik agar dapat memenuhi hak dan kewajiban dari residen terhadap RS Pendidikan.
Dari diskusi pada sesi ini diungkapkan bahwa semua pihak telah sepakat bahwa residen itu juga termasuk pekerja pelayanan kesehatan sehingga hak insentif dan jam istirahat harus diperjuangkan. Tentang jam istirahat, ada kaidah kesehatan kerja yang seharusnya diimplementasikan pada residen yang tidak menghambat residen untuk meraih target kompetensi.

  Penutup dan Kesimpulan

Seminar yang berjalan selama kurang lebih 6 jam ini ditutup dengan dukungan penuh dan kesepakatan dari semua pihak baik dari Perhimpunan profesi, RS Pendidikan, Fakultas Kedokteran, dan Kementerian Kesehatan tentang residen dan fellow juga termasuk tenaga medis RS sehingga harus dipenuhi hak dan kewajibannya. Langkah ini jangan hanya berhenti di PP saja, namun juga harus sampai teknis operasionalnya. Ke depannya akan dibentuk tim yang membahas teknik operasional dari berbagai stakeholder. IDI menyatakan siap untuk menjadi anggota tim. RSUP dr. Sardjito juga sedang menyiapkan tim ad hoc untuk teknis operasional ini. Kemenkes bersedia menjadi inisiator dan bekerjasama dengan Kemenristek dikti. Serta Kemenkes berencana akan mengumpulkan dan melibatkan kolegium serta RS Pendidikan untuk dokter spesialis dan subspesialis. Dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak bertekad untuk terus menjalankan amanat UU dan siap untuk memfasilitasi proses ini.

Oleh: Noor Afif Mahmudah dan M. Ali Rosadi

 

Hasil Pertemuan II: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas

back

Hasil Pertemuan II:

Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas

Yogyakarta, 18 Februari 2016

LATAR BELAKANG

Kebijakan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kegiatan promotif-preventif di puskesmas tahun 2016 ini tercermin dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Hal ini merupakan tonggak penting karena akhirnya keberpihakan pada kegiatan promotif-preventif bisa tercermin dalam alokasi anggaran yang jelas dan relatif besar.

Dalam konteks demikian, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini diselenggarakan dalam 2 (dua) kali. Seminar ke-1 telah dilakukan pada Kamis 11 Februari 2016, sedangakan Seminar ke-2 dengan tema: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas juga telah diselenggarakan pada Kamis 18 Februari 2016. Resume hasilnya disampaikan dalam laporan singkat ini.

RESUME

  1. Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan sebagai acuan kegiatan promosi kesehatan mulai dari level provinsi, kabupaten/kota, hingga ke puskesmas. Dasar pemikirannya antara lain:
    • Jangka Waktu 5 Tahun. Seperti halnya RPJMD dan Rencana Strategis, Grand Design Promosi Kesehatan memiliki jangka waktu 5 tahun. Hal ini menguntungkan karena kegiatan promosi kesehatan yang bertujuan mengubah perilaku sulit dilihat hasilnya dalam satu tahun atau jangka pendek. Dengan adanya Grand Design, ada acuan (dan diharapkan jaminan) untuk mengimplementasikan strategi promosi kesehatan secara berkesinambungan (minimal 5 tahun) agar perubahan perilaku dapat terjadi.
    • Fokus Perubahan Perilaku terkait Masalah Kesehatan Prioritas. Grand Design Promosi Kesehatan sejalan dengan Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota karena harus mengacu pada masalah kesehatan prioritas yang ada dan dirumuskan dalam Renstra. Dengan demikian, posisi Grand Design Promosi Kesehatan adalah "penjabaran" Renstra di bidang promosi kesehatan dengan focus perubahan perilaku terkait masalah kesehatan prioritas.
      Catatan: Masalah Kesehatan Prioritas adalah 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK), Sanitasi Terpadu Berbasis Masyarakat (STBM), Posbindu, ATM (AIDS, TB, Malaria), dan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS).
    • Integrasi Kegiatan di Semua Level. Grand Design di daerah dikembangkan di level provinsi kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan penyusunan rencana kerja kegiatan promosi kesehatan di puskesmas. Dengan prinsip integrasi seperti ini, kegiatan promosi kesehatan dapat lebih fokus untuk mendukung upaya mengatasi masalah kesehatan prioritas di suatu wilayah khususnya terkait perubahan perilakunya.
    • Pendekatan Akademis dan Praktis. Grand Design disusun dengan mengacu pada sistematika yang dianjurkan dalam teori. Meskipun demikian, penyusunan Grand Design tidak terlalu teoritis. Untuk itu kombinasi dengan pendekatan praktis juga dilakukan agar Grand Design yang dihasilkan lebih membumi.
    • Fokus pada Program Nyata. Kegiatan promosi kesehatan selama ini seringkali dianggap "abstrak." Salah satu penyebabnya adalah upaya tersebut tidak dijabarkan dalam "bahasa program" yang jelas indikatornya dan dapat dihitung biayanya. Grand Design Promosi Kesehatan ini berfokus pada program nyata untuk menghindari ketidakjelasan (abstrak) tersebut.
    • Dimensi Upaya Promosi Kesehatan Terintegrasi dengan BOK. Secara operasional, Grand Design dijabarkan ke dalam program yang mencakup empat dimensi yaitu KIE, Pemberdayaan Masyarakat, Advokasi, dan Kemitraan dengan sasaran Rumah Tangga, Pelayanan Kesehatan, Sekolah, Tempat Kerja, dan Tempat Umum. Keempat dimensi tersebut sudah tersedia "menunya" dalam Juknis BOK dari Kementerian Kesehatan. Dengan demikian, penganggaran implementasi Grand Design ini di level puskesmas tidak menjadi masalah.
    • Terbuka Inovasi dalam Implementasi di Level Lokal. Posisi Grand Design ini berada di level "meso" (antara makro dengan mikro). Dalam penjabarannya di level mikro (puskesmas) sangat terbuka peluang untuk melakukan inovasi baik teknologi maupun pendekatannya sesuai kebutuhan setempat. Adanya Grand Design untuk memastikan agar semua kegiatan promosi kesehatan dapat terfokus dan terintegrasi di semua level.
  2. Dari aspek kebutuhan SDM, dalam penyusunan Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan Tim Tenaga Ahli (minimal S2 Promosi Kesehatan). Di sisi lain, untuk implementasi di level puskesmas, dibutuhkan tenaga promoter kesehatan. Dalam Juknis BOK, puskesmas dapat mengontrak tenaga promoter kesehatan. Namun, yang belum jelas adalah sumber anggarannya untuk mengontrak tenaga ahli tersebut.
  3. Secara teknis, bagaimana menyusun (how to) Grand Design agar dapat direplikasi di semua daerah, masih harus dibahas lebih lanjut.

 

{jcomments on}