Reportase: Penyusunan proposal dengan menggunakan Realist Evaluation

Agenda ini merupakan salah satu langkah awal yang dilakukan oleh PKMK FK UGM dan perguruan tinggi mitra untuk melaksanakan mekanisme evaluasi pada kebijakan di era Jaminan Kesehatan Nasional. Agenda evaluasi JKN 2018 ini dilaksanakan di FK UGM pada tanggal 8 Februari 2018 dan disampaikan melalui webinar. Agenda ini dibuka langsung oleh Prof. Laksono Trisnantoro MSc PhD dan dilanjutkan pemaparan materi tentang Realistic Evaluation oleh dr. Tiara Marthias, MPH selaku peneliti dan konsultan dari PKMK FK UGM. Secara garis besar, sesi ini menyampaikan pentingnya pelaksanaan evaluasi pada kebijakan sistem JKN melalui pendekatan Realistic Evaluation. Program ini diikuti langsung oleh peneliti, mahasiswa, praktisi dan mitra perguruan tinggi PKMK UGM.

Pada sesi awal, Prof. Laksono Trisnantoro MSc PhD menyampaikan bahwa saat ini diperlukan adanya langkah konkret dalam perbaikan kebijakan di era JKN yang berjalan masih belum optimal. Langkah strategis yang dapat dilaksanakan adalah melakukan penelitian evaluatif terhadap program JKN dengan pendekatan realist evaluation. Saat ini merupakan langkah yang tepat dalam merumuskan penelitian yang dimaksudkan untuk menjadi masukkan pagi Pemerintah atau policy maker di tahun politik. Hal ini menjadi dasar tentang urgensi dalam menjawab momen yang krusial dengan penelitian evaluatif strategis dalam upaya perbaikan kualitas sistem JKN. Prof Laksono Trisnantoro memaparkan bahwa agenda ini merupakan program brainstorming pada lembaga partner atau Universitas mitra untuk membangun perumusan penelitian kebijakan melalui realist evaluaion. Di lain sisi, agenda ini menjadi momen untuk pemaparan pemanfaatan teori realist evaluation pada perguruan tinggi mitra untuk merumuskan penelitian evaluasi kebijakan JKN. Selain itu Prof Laksono Trisantoro MSc PhD menyampaikan bahwa program ini dapat disinkronkan dengan peningkatan kapasitas lembaga partner dalam program analis kebijakan yang dapat disupervisi oleh Lembaga Administrasi Negara.

Sesi kedua dilanjutkan dengan pemaparan teori Realist Evaluation oleh dr. Tiara Marthias, MPH. Realist evaluation merupakan pendekatan evaluatif yang praktis dalam menjawab kompleksitas sistem kebijakan khususnya dalam frame kebijakan kesehatan indonesia di era JKN. Secara sederhana, realist evaluation dapat menjawab evaluasi program dengan lebih mendalam. Hal tersebut dapat menjelaskan secara detail tentang apa program yang efektif, untuk siapa, dalam koteks apa hingga bagaimana program tersebut berjalan. Konsep realist evaluation dikembangkan melalui konfigurasi context, mechanism dan outcome (C-M-O). Context menjelaskan tentang aspek karakteristik populasi, jenis organisasi, SDM hingga kultur. Sedangkan pada mechanism, aspek ini lebih memaparkan tentang proses yang muncul akibat interaksi program yang spesifik. Pada outcome, aspek yang dikaji yakni mengenai perubahan yang terjadi akibat interaksi antara context dan mechanism. Sehingga, dengan konfigurasi C-M-O, realist evaluation dapat menjelaskan dengan mendalam tentang program apa yang belum optimal, kepada kelompok sosial apa, kondisi dan pola proses. Oleh karena itu, relist evaluation memiliki keunggulan dalam menangkap kesimpulan evaluatif pada suatu program dengan lebih rinci.

Agenda evaluasi JKN sesi ini menyepakati beberapa aspek. Hal tersebut diantaranya, PKMK UGM dan perguruan tinggi partner menyepakati tentang perumusan penelitian mengenai evalusai kebijakan JKN melalui relist evaluation. Di sisi lain, agenda tersebut akan disinkronkan dan dioptimalkan melalui program peningkatan kapasitas SDM lembaga dan perguruan tinggi untuk dilatih menjadi Analis Kebijakan sesuai dengan modul dari lembaga Administrasi Negara dan KSI. Prof. Laksono Trisnantoro MSc PHD menyimpulkan bahwa ini merupakan momentum tepat dalam mengevaluasi kebijakan JKN di tiap daerah melalui realist evaluation yang dikembangkan langsung oleh perguruan tinggi di daerah. Area evaluasi kebijakan pada program JKN memiliki scope yang sangat luas untuk diteliti sebagai upaya perbaikan program kebijakan JKN yang lebih baik.

Reporter Nopryan Ekadinata

{jcomments on}

 

Global Burden of Diseases & Target Cakupan Kesehatan Semesta (UHC)

Reportase: Policy Dialogue

Acara ini dibuka oleh Dr. Agustinus Prasetyantoko selaku Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Agustinus menekankan pentingnya kegiatan semacam ini diadakan oleh akademisi, mengingat peran akademisi sebagai pendukung para pengambil kebijakan khususnya dalam menyediakan bukti ilmiah.

Selanjutnya pembicara utama dalam acara ini, dr. Nafsiah Mboi, MPH, Sp.A, memaparkan tentang konsep Global Burden of Diseases (GBD) dan potensi pemanfaatannya. Burden of Diseases (BoD) pertama kali diperkenalkan oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada 1990. Institusi ini berkedudukan di Seattle, Amerika Serikat. Pembicara merupakan salah satu anggota dewan IHME. Pada 1997, konsep Disability-Adjusted Life Year (DALY) diperkenalkan sebagai suatu tolok ukur yang bisa digunakan untuk menggambarkan status kesehatan. Prinsipnya, semakin besar DALY maka semakin buruk status kesehatannya.

Awalnya hanya 107 penyakit yang termasuk di dalam studi GBD, kemudian seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan maka pada2016 terdapat 333 penyakit yang termasuk ke dalam studi ini di lebih dari 135 negara di seluruh dunia. Indonesia termasuk salah satu dari 2500 kolaborator yang ada di seluruh dunia. BOD sangat bermanfaat untuk perencanaan kesehatan, diantaranya untuk: identifikasi kebutuhan; menentukan skala prioritas; menentukan besaran investasi yang diperlukan; evaluasi dampak kebijakan kesehatan; dan untuk menilai akses kesehatan perorangan dan indeks kualitas.

GBD telah memberikan banyak manfaat bagi Indonesia, khususnya terkait perencanaan program kesehatan. Terjadi perubahan yang besar terkait BoD di Indonesia selama 10 tahun pada periode 2005 hingga 2016. Penyebab utama kematian di Indonesia akibat diabetes meningkat hingga 21%. Kontributor utama untuk DALY dari diabetes meningkat tajam dari ranking 9 ke 6 dengan proporsi peningkatan sebesar 62,6%. Jika kita hubungkan dengan program JKN khususnya asuransi kesehatan sosial (BPJS Kesehatan), maka BoD ini sejalan dengan beban pembiayaan BPJS Kesehatan yang sangat besar akibat 4 penyakit katastropik (Jantung, Kanker, Gagal ginjal dan Stroke). Diabetes merupakan pintu masuk dari 4 penyakit katastropik ini.

Pembicara kedua adalah Assoc. Prof. Dinna Wisnu, PhD dari Atma Jaya Insitute of Public Policy. Dinnamenyampaikan terdapat tiga pilar sistem jaminan sosial nasional, yaitu: asuransi; bantuan sosial; uang dari pemberi kerja atau pribadi. Saat ini terdapat tantangan yang besar bagi BPJS Kesehatan selaku single payer dalam sistem asuransi sosial kesehatan di Indonesia. Beberapa diantaranya: potensi kehilangan waktu produktif akibat menggunakan layanan BPJS Kesehatan; proporsi out of pocket masih tinggi; keterbatasan alokasi dana untuk upaya kesehatan masyarakat; dan tidak ada insentif bagi peserta yang tidak menggunakan fasilitas rawat inap BPJS Kesehatan.

Hal yang menarik dalam sesi diskusi kali ini adalah masih terjebaknya para panelis dan peserta diskusi dalam pengertian bahwa target cakupan UHC adalah sama dengan target kepesertaan BPJS Kesehatan. Sehingga BoD yang tinggi dari penyakit-penyakit katastropik di Indonesia masih menjadi tanggung jawab BPJS Kesehatan semata. Ada pernyataan dari salah satu peserta yang bisa dibawa sebagai pesan bagi kita semua, yaitu, mengingat BoD di Indonesia sudah bergeser ke arah penyakit-penyakit tidak menular maka untuk mencapai target cakupan kesehatan semesta (UHC) di Indonesia kita harus mendorong pemerintah agar tidak hanya mengalokasikan perhatian dan anggaran bagi BPJS Kesehatan, tetapi juga memberikan perhatian dan alokasi anggaran yang besar bagi upaya kesehatan masyarakat sebagai ujung tombak program promosi kesehatan dan pencegahan primer penyakit di Indonesia.

Oleh: John Prawira

 

Reportase Outlook Sistem Kesehatan 2018

30 1

Seperti yang diketahui bersama bahwa JKN melalui UU SJSN (2004) dan UU BPJS (2011) telah mendorong peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan di tingkat pusat dan berpengaruh pada peningkatan alokasi dana di daerah. Prof Laksono memberikan pengantar yang menekankan bahwa saat ini daerah menerima dana dari banyak sumber dana yang masih dikelola secara terpisah dan menyebabkan fragmentasi sistem kesehatan di daerah. Pengelolaan data di daerah juga mengalami fragmentasi di tengah sistem BPJS yang sentralistik dan sistem Kemenkes yang desentralisasi. Menurut beliau, kondisi inilah yang menyebabkan perencanaan kesehatan di daerah tidak dapat sepenuhnya berbasis data yang mengakomodir kebutuhan program JKN dan program kesehatan lainnya. Bukan hanya hubungan Pemda dan kantor BPJSK setempat yang tidak jelas, namun Prof. Laksono juga menekankan bahwa peran Pemda/ Dinkes dalam layanan primer di era JKN juga masih tidak mempunyai pola. Adanya Inpres No. 8/ 2017 menjadi kesempatan untuk mengatasi fragmentasi ini, namun instruksi ini berlaku sampai dengan akhir Desember 2018. Menurut beliau, sejauh mana pelaksanaan Inpres No. 8/ 2017 ini juga patut untuk dimonitoring dan evaluasi.

30 2Salah satu instruksi dalam Inpres No. 8/ 2017 adalah BPJS Kesehatan menyediakan data JKN ke Menteri Kesehatan secara berkala. Namun data seperti apa dan sejauh mana kabupaten dapat mengakses kebutuhan data tersebut? bahkan saat ini belum dapat teranalisis sejauh mana dana JKN telah berkontribusi terhadap peningkatan derajat kesehatan di daerah. Hal inilah yang juga ditekankan kembali oleh ibu Murni (Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar, Dinkes Kulon Progo). Ibu Murni menyampaikan bahwa sulitnya data JKN diakses oleh daerah memang terjadi adanya, termasuk data kesepertaan dan data layanan yang diterima peserta JKN. Dengan kondisi seperti ini, apakah mungkin Pemda/ Dinkes dapat menggunakan data BPJS untuk perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program kesehatan?

Melalui webinar, Bapak Yulianto (Kepala Dinkes Provinsi Jawa Tengah) juga menegaskan terjadinya pemanfaatan anggaran kesehatan di daerah yang masih tumpang tindih. Tim perencanaaan di daerah masih tergantung dari data dari pemegang program kesehatan dan belum dapat mengakses data JKN dari BPJS Kesehatan. Sementara, menurut beliau bahwa data BPJS kesehatan juga sangat dibutuhkan untuk mengukur dampak JKN terhadap capaian indikator kesehatan dan SPM di daerah.

Menurut tim Dinkes Provinsi Jawa Tengah, adanya bridging sistem p-care dan SIMPUS sebenarnya dapat menjembatani kebutuhan data JKN untuk perencanaan program kesehatan di daerah. Walaupun demikian, sistem ini masih berlaku di FKTP milik Pemerintah dan belum merangkul fasilitas kesehatan swasta di daerah. Mewakili sektor swasta, salah satu peserta di Granadi juga menyampaikan bahwa regulasi saat ini belum menjelaskan kewenangan dan kewajiban faskes swasta dalam optimalisasi program JKN, termasuk dalam pengelolaan data JKN.

Prof. Laksono kembali mengingatkan bahwa pada tahun 2016, Bapak Presiden Jokowi pernah menyampaikan perlunya pembagian tugas yang jelas antara pusat, daerah, dan BPJS Kesehatan. Beberapa tindak lanjut pembagian tugas tersebut telah tertuang dalam Inpres No. 8/ 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN. Pertanyaan penting yang disampaikan oleh Prof Laksono adalah apakah Inpres ini dapat mempercepat/ membantu pencapaian delapan sasaran utama program JKN? Menurut beliau, salah satu kuncinya adalah data BPJS Kesehatan yang dapat diakses oleh daerah untuk dipergunakan sebagai pengembangan program kesehatan. Data tersebut sebenarnya juga dapat membantu menjadi pertimbangan dalam menyusun strategi menyeimbangkan ketersediaan sarana prasarana dan SDMK.

30 3Bapak Citra dari Kedeputian Bidang Riset dan Pengembangan, BPJS Kesehatan Pusat menjelaskan bahwa salah satu ukuran untuk beroperasinya BPJS Kesehatan dengan baik adalah hasil audit yang menyatakan predikat WTP. Terkait target kepesertaan, sampai saat ini memang masih menjadi PR besar bagi BPJS Kesehatan. Menanggapi isu pengelolaan data, beliau menyampaikan bahwa saat ini BPJS Kesehatan telah memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi yang dapat melayani pihak eksternal terkait kebutuhan data. Penyediaan data dashboard dari BPJS Kesehatan telah diberikan kepada P2JK dan akan menjadi masukan bagi BPJS Kesehatan untuk mengembangkan dashboard di level daerah yang dapat dipergunakan stakeholder di kab/ kota. Sebagai wakil dari tim PPJK Kemenkes Bidang Jaminan Kesehatan,

Bapak Doni berharap adanya Inpres No. 8/ 2017 dapat semakin mendorong semangat gotong royong untuk mengoptimalkan pelaksanaan program JKN. Kolaborasi antar pihak inilah yang dibutuhkan untuk mencapai kedelapan sasaran utama program JKN. Saat ini DJSN, TNP2K, P2JK, dan lintas kementerian sudah mulai mengolah data bersama-sama di ruang khusus yang telah disediakan oleh BPJS Kesehatan.

Diskusi terjadi sangat menarik saat membahas data mana saja yang dibutuhkan oleh daerah dan data mana saja yang mungkin dapat diperoleh atau bahkan tidak akan didapatkan dari BPJS Kesehatan. Inpres No. 8/ 2017 menginstruksikan Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mengambil keputusan dan melaksanaan program untuk mendukung pelaksanaan JKN. Bagaimana daerah dapat mendukung program JKN tanpa ada dukungan data yang dapat dianalisis oleh masing-masing Pemda?

{jcomments on}

 

Reportase Webinar Expert Meeting: “Strategi Penguatan Pelayanan Primer untuk Mendukung Sustainabilitas JKN"

indohcf27jan

Untuk mengawali expert meeting kali ini, materi pertama yang disampaikan oleh Prof. Ascobat Gani membahas tentang strategi komprehensif dalam penguatan pelayanan kesehatan primer untuk mendukung sustainabilitas JKN. Peningkatan defisit pembiayaan JKN setiap tahun dapat direduksi dengan intervensi UKM (promotif & preventif). Menurut Ascobat, tantangan pembiayaan kesehatan dan JKN yaitu cost inflation, aging populatin (peningkatan Penyakit degeneratif), perilaku provider dan peserta sehingga terjadi over utilization, dan faktor eksternal lainnya. Pengendalian biaya dapat dilakukan dengan memperkuat pelayanan kesehatan primer (puskesmas) terutama risk reduction dan FKTP (puskesmas & klinik non-spesialis) terutama dalam hal financial protection & health insurance. Namun, peran UKP pada puskesmas tidak boleh dihilangkan karena berlawanan dengan pasal 47 UU 36 Tahun 2009 maupun konsep akademik, serta dapat menghilangkan legitimasi BPJS untuk menerima dana PBI, disamping itu intervensi UKM & UKP harus komprehensif. Kebijakan afirmatif untuk puskesmas terpencil berupa “Nusantara Sehat” (SDM), pengiriman obat program dari pusat, penyaluran BOK langsung ke puskesmas harus lebih dapat dioptimalkan dengan mempertimbangkan sektor swasta; baik dalam menyusun tupoksi standar, kelembagaan, standarisasi pelayanan, akreditasi, dan lain-lain.

Prof. Laksono menegaskan bahwa kendala yang terjadi saat ini yaitu fragmentasi sistem yankes (makro), pengelolaan sistem insentif BPJS tidak jelas (meso), konflik dokter layanan primer (mikro). Fragmentasi dalam bentuk dua jalur sistem pendanaan yang tidak dikelola secara bersama yaitu sistem yankes/Kemenkes (UU kesehatan, UU RS, terdesentralisasi) dan sistem jamkes/BPJS (UU SJSN, UU BPJS), yang berakibat data BPJS dan dinkes tertama daerah tidak tersinkronisasi, strategic purchasing tidak bejalan baik, tidak adanya pemantaun gatekeeper, sistem tidak efektif, serta pemerataan yankes terabaikan. Sistem pembayaran individu di tingkat fasilitas belum berbasis pada kinerja, BPJS juga tidak memiliki pengaruh dalam menentukan besaran pendapatan nakes, sehingga terjadi ketimpangan pendapatan nakes dan double contract, serta ketidaksesuaian insentif dengan beban kerja. Konflik mengenai penyelenggaraan DLP terjadi di kalangan IDI, Kemenkes, Kemenristekdikri, dan berbagai pihak lain, akibatnya Indonesia kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan klinis dokter di layanan primer dalam era JKN. Menurut Laksono, solusi untuk mengoptimalkan peran pelayanan primer untuk sustainabilitas JKN adalah menghilangkan fragmentasi (jangka pendek: INPRES 8/2017, jangka panjang: revisi UU), menyesuaikan pendapatan dokter & nakes dengan kinerja FKTP (penyesuaian tarif kapitasi dengan adjuster, analisis isu double contract, kebijakan matching grand, BPJS mengetahui nominal pendapatan nakes yang berasal dari kapitasi), melaksanakan DLP & penelitian monitoring kerja.

Untuk menghadapi tantangan pelayanan kesehatan dalam era JKN, maka FKTP berperan penting dalam mewujudkan paradigma sehat melalui upaya promotif, preventif, dan screenning. Menurut Saraswati, FKTP sebagai gatekeeper (penapis rujukan) harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan dan tata laksana penyakit di FKTP serta berbasis pada kompetensi SDM (klinis dan manajerial). Penguatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia agar sesuai dengan kompetensi faskes dapat dicapai dengan program peningkatan akses (distribusi FKTP & peserta, ketersediaan obat, pemenuhan sarana-prasarana, regionalisasi sistem rujukan, dan pemenuhan SDM) dan mutu (akreditasi puskesmas & RS, pemanfaatan TI, kompetensi SDM) faskes melalui sistem informasi dan regulasi yang tepat. Pemanfaatan TI dapat berupa pelaksanaan SISRUTE, telemedicine, pendaftaran online, SIRANAP, RME, Flying Health Care.

Dari perspektif penatalaksanaan tenaga kesehatan, Usman Sumantri menyatakan bahwa puskesmas sebagai andalan utama FKTP yang menyebar di Indonesia memiliki standar sarana-prasarana yang berbeda-beda dikarenakan geografis yang luas, daerah pemekaran, dan keterbatasan kemampuan (anggaran dan komitmen) pemerintah pusat maupun daerah. Kendala dalam pemenuhan nakes: penyediaan nakes (jumlah, mutu, distribusi, infrastruktur), regulasi, kurangnya partisipasi Pemda, tingginya biaya operasional khususnya di daerah dengan geografis sulit. Pada daerah dengan peserta yang padat dan nakes memadai, FKTP hendaknya diarahkan pada klinik sedangkan puskesmas bertahap fokus ke UKM. Untuk persebaran nakes maka perlu dipetakan kebutuhan & formasi FKTP serta dokter per daerah dan redistribusi peserta, serta pendayagunaan nakes di DPTK.

Reporter: Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

 

Mencegah Fragmentasi Sistem Kesehatan di era JKN dengan penggunaan data yang lebih baik: Apakah Inpres No. 8/ 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN dapat terlaksana?

Kerangka Acuan Kegiatan

Outlook Sistem Kesehatan 2018

Mencegah Fragmentasi Sistem Kesehatan di era JKN dengan penggunaan data yang lebih baik: Apakah Inpres No. 8/ 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN dapat terlaksana?

pendahuluan  Latar Belakang

Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia dari tahun 2014 - 2017 telah banyak menyajikan berbagai bentuk keberhasilan dan kegagalan implementasi di daerah. Namun yang patut disyukuri adanya reformasi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. JKN melalui UU SJSN tahun 2004 dan UU BPJS tahun 2011 telah mendorong peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan di tingkat pusat dan berpengaruh pada peningkatan alokasi dana di daerah. UU Kesehatan tahun 2009 yang mengamanatkan alokasi dana kesehatan sebesar 5% dari APBN di Pemerintah Pusat telah terjadi pada tahun 2016 dan tahun 2017. Salah satu alokasi terbesar adalah untuk membiayai Penerima Bantuan Iuran (PBI) peserta JKN demi amanat UU 1945 tentang keadilan sosial. Tidak hanya itu alokasi dari Kemenkes juga diberikan kepada daerah untuk membiayai program – program fisik dan non fisik melalui dana alokasi khusus (DAK).

Sebagai hasil peningkatan pembiayaan kesehatan, pemerintah Kabupaten/ Kota dan masyarakatnya menerima sumber dana kesehatan dari berbagai sumber yaitu dari:

  1. Kemkeu (APBN) yaitu dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH),
  2. Kementerian Kesehatan yaitu dana alokasi khusus (DAK Fisik dan DAK Non Fisik),
  3. BPJS Kesehatan berupa dana penggantian klaim, dana kapitasi , dan dana non kapitasi, serta dana masyarakat.

Semua dana ini disalurkan kepada daerah dengan tujuan yang sama yaitu meningkatkan status kesehatan masyarakat. Di samping itu, pemerintah Kabupaten/ Kota dan Provinsi menerima dana untuk kesehatan dari Penerimaan Asli Daerah (PAD).

Fragmentasi Sistem Kesehatan

0 jan18Ada hal menarik tentang sistem kesehatan. Akibat banyaknya sumber dana, terjadi fragmentasi sistem kesehatan di daerah. Beberapa hal yang menjadi penyebab fragmentasi, diantaranya:

  • Adanya dua jalur besar dalam sistem pendanaan kesehatan yang tidak dikelola secara bersama. Jalur pertama menggunakan UU Kesehatan, UU Pemerintah Daerah, dan UU Rumah Sakit; sedangkan jalur kedua menggunakan UU SJSN dan UU BPJS.
  • Data keuangan kegiatan pelayanan kesehatan yang dipergunakan oleh BPJS Kesehatan tidak dapat dianalisis di daerah; di level provinsi, kabupaten/ kota, dan kecamatan. Sifat manajemen data adalah sentralistik.
  • Adanya sistem perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban pembiayaan kesehatan di daerah yang desentralistik.
  • Tidak berjalannya perencanaan, monitoring dan evaluasi secara bersama antara aparat kesehatan dengan BPJS. Pembagian peran pun tidak jelas

Sebagai catatan: Perencanaan dan penganggaran di daerah melalui mekanisme APBD yang diawali dengan tahap analisis masalah, program, sasaran, target, dan kerangka pendanaan. Tanpa ada data BPJS dalam proses perencanaan di daerah maka terjadi potensi in-efektivitas dan in-efisiensi perencanaan kesehatan. Walaupun secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar, prinsip Good Governance tidak dijalankan dengan baik dalam kebijakan JKN. Dalam hal ini tidak ada tranparansi dan akuntabilitas berbagai keputusan dalam JKN yang sebenarnya dapat diperoleh dari data BPJSK. Akibatnya partisipasi berbagai stakeholder menjadi berkurang yang pada akhirnya akan berimplikasi pada fragmentasi sistem kesehatan yang dapat merugikan masyarakat.

Bagaimana prospek keterbukaan data BPJS di tahun 2018? Apakah Inpres no 8/2017 akan membantu?

Sistem yang dianut oleh BPJS dalam penggunaan data sampai tahun ke empat pelaksanaan masih belum sesuai dengan UU tentang informasi publik. UU No 14/ 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan menjadi sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya yang berakibat pada kepentingan publik.

  • setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik (Pasal 2)
  • menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik (Pasal 3)

Sistem data BPJS yang sentralistik mengakibatkan data tidak dapat diakses masyarakat bahkan pemerintah di daerah. Hal ini perlu diperbaiki.

Presiden menyadari adanya masalah dalam JKN sehingga menerbitkan sebuah instruksi. Melalui Inpres No. 8/ 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN; Presiden telah menginstruksikan beberapa Kementerian, Jaksa Agung, Direksi BPJS Kesehatan, Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka menjamin keberlangsungan dan peningkatan kualitas pelayanan bagi peserta JKN. Instruksi ini berlaku sampai dengan akhir Desember 2018. Salahsatunya adalah mengenai penggunaan data BPJS dan peran pemerintah daerah dalam JKN. Adanya Inpres ini menjadi salahsatu harapan akan terjadinya penggunaan data BPJS di daerah untuk penguatan perencanaan kesehatan.

Latar belakang di atas menjadi isu utama yang akan dibahas dalam Seminar Outlook Pembiayaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM.

agendajkki16  TUJUAN

  • Membahas kemungkinan penggunaan data BPJS oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasi dampak negatif fragmentasi sistem kesehatan.
  • Mendiskusikan berbagai keputusan yang diharapkan terjadi dengan penguatan sistem perencanaan di daerah yang menggunakan data secara komprehensif;
  • Melihat kemungkinan pelaksanaan Inpres no 8/2017 di tahun 2018 sebagai sebuah Outlook.

audio streaming WAKTU & TEMPAT

Waktu     : Selasa, 30 Januari 2018
Pukul      : 12.00 – 15.00 WIB
Tempat   : Granadi, Jakarta


downloadd thumb medium80   PESERTA

  1. Kementerian PPN/ Bappenas, Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
  2. Kementerian Kesehatan, Sekretariat Jenderal
  3. Kementerian Kesehatan, Biro Perencanaan dan Anggaran
  4. Kementerian Kesehatan, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan
  5. Kementerian Sosial, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial
  6. Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran
  7. Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Keuangan Daerah
  8. Badan Pusat Statistik, Deputi Bidang Statistik Sosial
  9. Kantor Staf Presiden
  10. Komisi IX DPR RI
  11. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Deputi Riset dan Pengembangan
  12. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Direktur Teknologi dan Informasi
  13. Universitas Indonesia, Prof dr. Ascobat Ghani,
  14. CHEPS
  15. USAID Indonesia
  16. UNICEF Indonesia
  17. UNFPA Indonesia
  18. World Bank Indonesia
  19. WHO Indonesia
  20. PKMK FKKMK UGM


l5  JADWAL KEGIATAN

Selasa, 30 Januari 2018
Jam Kegiatan

12.00 – 12.30

12.30 – 12.35

Makan siang

Pembukaan oleh moderator

12.35 – 13.00

Pengantar Outlook Sistem Kesehatan 2018:

“Mencegah Fragmentasi sistem Kesehatan dengan penggunaan data yang lebih baik”

Narasumber: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

materi   inpres no. 8

13.00 – 14.30

Pembahasan dalam konteks Inpres 8/2017:

Sesi 1: Pembahasan dalam perspektif daerah:

materi

  • Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah - Dr. Yulianto Prabowo, MKes (Melalui Webinar)
  • Murni Astuti seksi pelayanan kesehatan dasar Dinkes Kulon Progo

Sesi 2: Pembahasan dalam perspektif pusat

materi

  • PPJK Kemenkes Bidang Jaminan kesehatan drg. Doni Arianto, MKM
  • dr. Dwi Martiningsih (deputi direksi bidang riset dan pengembangan)
14.30 – 15.00 Diskusi
15.30 – 15.50 Kesimpulan
15.50 – 16.00 Penutup

REPORTASE


101212  KONTAK PERSON

Pendaftaran dapat dilakukan dengan menghubungi
Maria Lelyana Adelheid : 081329760006
mail : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.  atau This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

 

Tema Bulan ke-3: Sistem Kontrak dalam Program Nusantara Sehat, Studi Kasus di Kabupaten Asmat

KERANGKA ACUAN

Rangkaian Webinar dan Seminar
Masyarakat Praktisi (Community of Practice) Aplikasi Sistem Kontrak dalam Sektor Kesehatan

Jumat, 19 Januari 2018

Tema Bulan ke-3: Sistem Kontrak dalam Program Nusantara Sehat, Studi Kasus di Kabupaten Asmat

 

PENDAHULUAN

Sejak di-launching pada 2014 dan dimulai pada 2015, Program Nusantara Sehat telah mencapai berbagai keberhasilan. Hasil evaluasi 2 tahun pertama pelaksanaan program yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI misalmya, menunjukkan bahwa tim Nusantara Sehat mampu menjadi agent of change, membuat pelayanan puskesmas lebih baik di dalam maupun di luar gedung, dan menjadikan kinerja puskesmas secara keseluruhan lebih baik.

Program Nusantara Sehat dilakukan guna meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dengan kriteria terpencil atau sangat terpencil terutama di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK). Mulai 2017, program ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga.

Dari aspek sistem kontrak SDM Kesehatan, selama perjalanannya telah terjadi perubahan pendekatan. Awalnya, pendekatan kontrak yang diterapkan adalah kontrak berbasis tim (team-based contracting) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2015. Selanjutnya, pada tahun 2017, selain pendekatan kontrak berbasis tim juga dilakukan kontrak individu berdasarkan Permenkes No. 16 Tahun 2017. Yang menarik, baik kontrak berbasis tim maupun kontrak individu, semua diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan RI.

Terlepas dari berbagai keberhasilan yang telah dicapai, Program Nusantara Sehat tidak terlepas dari berbagai masalah. Setidaknya ada 3 agenda yang bisa diidentifikasi dan akan dibahas dalam rangkaian kegiatan webinar dan seminar ini yaitu: (a) permasalahan kecemburuan yang ditimbulkan di daerah terkait besaran insentif, fasilitas, dan perhatian pemerintah pusat; (b) rendahnya minat dokter umum untuk mengikuti program tersebut; dan (c) permasalahan dari pendekatan kontrak yang diterapkan dengan rentang kendali yang terlalu luas.

Rangkaian webinar dan seminar ini bertujuan untuk membahas berbagai kendala tersebut dan mencoba mencari solusi agar program Nusantara Sehat ini bisa lebih baik. Rangkaian kegiatan ini merupakan salah satu agenda dari Masyarakat Praktis (Community of Practice) Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan yang digagas sejak 2-3 tahun yang lalu.

Dalam beberapa waktu terakhir, dunia kesehatan di Indonesia dikejutkan dengan munculnya “bencana kesehatan”(istilah yang digunakan Kompas) di Kabupaten Asmat dengan banyaknya balita yang kurang gizi, menderita penyakit, dan akhirnya meninggal dunia. Salah satu penyebabnya adalah kurang tersedianya atau kurang meratanya distribusi tenaga kesehatan di pelosok Kabupaten Asmat.

Dengan konteks aktual demikian, webinar bulan ke-3 ini akan mengangkat isu tersebut dalam perspektif Sistem Kontrak dalam Program Nusantara Sehat untuk menjangkau daerah sulit seperti Kabupaten Asmat, sekaligus untuk mencari solusinya. Dalam perspektif tersebut, mungkinkah Program Nusantara Sehat diserahkan kepada pihak ketiga yang terpercaya sehingga bencana kesehatan seperti di Asmat tidak terulang lagi?

TUJUAN

Seminar dan Webinar bulan ke-3 ini bertujuan:

  1. Mendiskusikan penyebab terjadinya bencana kesehatan di Kabupaten Asmat
  2. Mendiskusikan sistem kontrak yang diterapkan dalam Program Nusantara Sehat, dan mencari solusinya.
  3. Mendiskusikan peluang organisasi profesi seperti IAKMI untuk menjadi pihak ketiga dalam Program Nusantara Sehat di daerah sulit.

NARASUMBER

  • Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan Kemenkes RI
  • IAKMI
  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

PESERTA

  • Peserta individu atau berkelompok, baik hadir langsung maupun melalui webinar.
  • Peserta berasal dari:
    • Kemenkes RI
    • Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang menjadi sasaran program Nusantara Sehat
    • Donor Agency
    • IAKMI
    • JKKI
    • FKM
    • FK
    • Poltekkes
    • Stikes
    • LSM Kesehatan
    • Yayasan keagamaan
    • Lembaga konsultasi kesehatan.
    • CoP Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan
    • Peminat lainnya


WAKTU DAN TEMPAT

  • Hari: Jumat 19 Januari 2018; Jam 09.00 – 11.00 WIB.
  • Tempat: Kampus FK UGM

METODE

Webinar, dan seminar.
Kegiatan ini dapat diakses melalui webinar:

Registration URL: https://attendee.gotowebinar.com/register/3908545420620260609 
Webinar ID: 684-493-987

AGENDA

Bulan III : Jumat 19 Januari 2018
Tema     : Sistem Kontrak dalam Program Nusantara Sehat (Studi Kasus di Kabupaten Asmat)

Waktu Materi Nara Sumber
09.00 – 11.00

Webinar Bulan III:
Pembukaan / Pengantar Kegiatan

Prof. Laksono Trisnantoro
Moderator: Dwi Handono Sulistyo

Talk show:

Sistem Kontrak Program Nusantara Sehat: Studi Kasus di Kab. Asmat

Materi

  • Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan Kemenkes
  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
  • IAKMI Pusat

Moderator: Dwi Handono Sulistyo

Penutup Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

 

PENDAFTARAN

Peserta yang berminat dapat mendaftar ke:

Maria Adelheid Lelyana
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
HP: 08132970006

 

 

EXPERT MEETING Strategi Penguatan Pelayanan Primer Untuk Mendukung Sustainabilitas Program JKN

EXPERT MEETING

Strategi Penguatan Pelayanan Primer Untuk Mendukung Sustainabilitas Program JKN

 

  Latar Belakang

Beban biaya kesehatan yang diselenggarakan melalui program JKN dari tahun ke tahun semakin besar bahkan ketidakseimbangan (gap) antara penerimaan iuran dengan biaya pelayanan peserta BPJS Kesehatan cenderung meningkat. Pada 2014 defisit anggaran mencapai Rp 3,3 triliun, bertambah menjadi Rp 5,7 triliun 2015 dan Rp9,7 triliun pada 2016. Pada semester pertama 2017, defisit BPJS Kesehatan telah mencapai Rp 5,8 triliun dan diperkirakan akan bertambah menjadi sekitar Rp 9 triliun pada akhir tahun. Bila kondisi ini tidak segera diatasi maka peningkatan beban kuratif tersebut akan berdampak tidak tercapainya sustainabilitas program JKN.

Untuk mengatasi hal tersebut antara lain perlu dilakukan kajian secara komprehensif seluruh mata rantai pelayanan kesehatan mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif baik dalam lingkup Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) maupun Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Salah satu aspek penting dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah adanya keseimbangan antara upaya promotif/preventif dan kuratif/rehabilitatif.

Sistem pembayaran secara kapitasi yang saat ini dilaksanakan di tingkat fasilitas kesehatan primer, yang semula diharapkan akan meningkatkan upaya promotif/preventif di masyarakat, masih ada kecenderungan mengedepankan aspek upaya kuratif.

Dihadapkan pada kondisi tersebut di atas muncul beberapa isu penting terkait dengan pelayanan primer dalam hubungannya dengan sustainabilitas program JKN sebagai berikut:

  • Data menunjukan bahwa tingkat severity masyarakat pada umumnya 70% - 80% di tingkat severity I dan II yang seharusnya sebagian besar diantaranya dapat ditangani di tingkat pelayanan primer, namun dirujuk ke rumah sakit sehingga berdampak kepada tingginya biaya pelayanan kesehatan.
  • Tingkat rujukan dari pelayanan primer ke rumah sakit yang masih relatif tinggi antara lain disebabkan oleh:
    • terbatasnya kemampuan sarana prasarana pelayanan primer;
    • belum optimalnya tingkat kompetensi tenaga medis untuk mencapai 155 kompetensi dokter layanan primer;
    • sikap masyarakat yang masih cenderung memilih berobat/dirujuk ke rumah sakit/dokter spesialis.
    • Dengan makin tingginya tingkat pelayanan peserta BPJS Kesehatan di pelayanan primer (khususnya puskesmas) maka beban pelayanan kuratif semakin tinggi dan dikhawatirkan kurang optimalnya pelaksanaan program promotif/preventif di kesehatan masyarakat.
    • Sejauh mana pemanfaatan dan optimalisasi anggaran untuk program UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) di pelayanan primer berdampak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
    • Analisa biaya tentang pengaruh penguatan pelayanan primer terhadap penurunan beban biaya pelayanan kesehatan

Dengan adanya berbagai isu penting di atas khususnya yang terkait dengan strategi penguatan pelayanan primer untuk mendukung sustanabilitas JKN, maka diperlukan kajian yang mendalam dan strategis untuk mencari solusi yang melibatkan seluruh stakeholders kesehatan. Forum expert meeting/temu pakar yang diselenggarakan oleh IndoHCF ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi dalam penguatan pelayanan primer di Indonesia.

  Tujuan

  1. Melakukan identifikasi terhadap berbagai permasalahan aspek pelayanan kesehatan primerdalam kaitan sustanibilitas program JKN
  2. Mencari solusi strategis tentang peran pelayanan primer dalam meningkatkan sustainabilitas program JKN

Keluaran

Rekomendasi tentang upaya yang perlu dilakukan oleh para stakeholder dalam upaya penguatan pelayanan primer untuk mendukung sustainabilitas JKN.

Peserta Kegiatan

Temu pakar ini diikuti oleh para pakar dan stakeholder dari masing-masing bidang, di antaranya:

  1. Regulator
  2. Akademisi
  3. Jajaran Dinas Kesehatan & penyelenggara pelayanan primer
  4. Asosiasi Kesehatan Masyarakat, Pelayanan Primer, Profesi
  5. Praktisi dan pemerhati kesehatan khususnya tentang pelayanan primer
  6. Stakeholders pelayanan primer lainnya yang terkait.

  Tempat & Waktu

Hari / tanggal : Sabtu / 27 Januari 2018
Waktu            : 08.00 – 13.00
Tempat          : Djakarta Room, Raffles Hotel Jakarta, lantai 2, Ciputra World 1,
                       Jalan Prof. Dr. Satrio Kav 3 - 5, Jakarta Selatan

 

  Agenda Kegiatan

Reportase kegiatan

08.00 – 09.00      Registrasi & snack
09.00 – 09.10 Sambutan Ketua Umum IndoHCF
09.10 – 09.20 Sambutan President-Core Markets PT IDS Medical Systems Indonesia
09.20 – 09.50 Sambutan dan Pembukaan Menteri Kesehatan RI
09.50 – 10.00

Peluncuran buku: Harapan, Kenyataan dan Solusi JKN

50 Karya Inovasi Kesehatan Terbaik pada IndoHCF Innovation Awards I-2017

10.00 – 10.20

Keynote:

Kebijakan Pemerintah Dalam Penguatan Pelayanan Primer Untuk Mendukung Sustainabilitas Program JKN

Oleh: dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes – Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI

10.20 – 10.30

SESI PANELIS

Strategi Penguatan Fasyankes Primer Dalam Upaya Kendali Mutu dan Biaya

Oleh: dr. Bambang Wibowo Sp.OG(K), MARS – Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI

10.30 – 10.40

Kendala & Solusi Dalam Upaya Optimalisasi Peran Pelayanan Primer Untuk Mendukung Sustainabilitas Program JKN

Oleh: Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD

10.40 – 10.50

Kajian Komprehensif dan Strategi Alternative Dalam Penguatan Pelayanan Primer Untuk Mendukung Sustainabilitas Program JKN

Oleh: Prof. Dr. Ascobat Gani MPH, Dr.PH

10.50 – 13.00 Diskusi , Rangkuman Hasil Diskusi & Rekomendasi
13.00 – selesai Makan siang

 

 

 

 

Refleksi Kebijakan Kesehatan Tahun 2017: Apakah Fragmentasi Sistem Kesehatan Bertambah?

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM

Refleksi Kebijakan Kesehatan Tahun 2017:
Apakah Fragmentasi Sistem Kesehatan Bertambah?

fotokale17

Setelah merenungkan berbagai hal dan perkembangan yang terjadi pada tahun 2017, ada pemikiran mendalam (refleksi) mengenai fragmentasi di sistem kesehatan. Kasus yang diamati pada awal 2017 mengenai implementasi JKN menyimpulkan ada 2 jalur dalam sistem kesehatan yang kurang “berkomunikasi”. Silahkan klik untuk membaca slide sesi 1: Perkembangan situasi di tahun 2017.
Dua jalur tersebut adalah yang mengikuti Kelompok UU pertama di sektor jaminan kesehatan yang tersentralisasi (UU SJSN dan UU BPJS), dan Kelompok kedua yang mengikuti UU Pemerintahan daerah dan berbagai UU di sektor kesehatan yang menggunakan prinsip desentralisasi.

sisipanrefleksi

  Apa yang Terjadi?

Dua jalur UU ini menjadi asal dari fragmentasi sistem kesehatan. Penyebab utama fragmentasi di lapangan adalah terpisahnya penggunaan data untuk keputusan di 2 jalur tesebut. Data yang ada di BPJS dikelola secara sentralistik dengan tidak dilakukan analisis bersama otoritas kesehatan di level kecamatan, kabupaten, propinsi, dan nasional. Dengan demikian keputusan-keputusan di sektor kesehatan di pemerintah pusat dan propinsi/kabupaten selama 4 tahun ini tidak menggunakan data BPJS. Kasus yang dibahas dalam Refleksi ini adalah pelayanan TB, dan pelayanan RS.

  1. Di program TB, tersedia sistem pengelolaan program di level Kabupaten/Kota. Akan tetapi sistem yang mempunyai tenaga ahli TB ini ini tidak dimanfaatkan oleh BPJS untuk meningkatkan efisiensi pelayanan. Pengelola TB tidak dapat mengakses ke BPJS yang seharusnya bisa dianalisis. Pada tahun keempat, pengelola TB semakin sulit mengukur efisiensi dan akuntabilitas program TB. Silahkan klik untuk membaca analisis detilnya, Materi sesi 2: Fragmentasi pelayanan TB

  2. Di dalam sektor RS, pemerintah daerah tidak mempunyai gambaran mengenai penggunaan dana klaim untuk respons. Pembangunan rumah sakit dan pelayanan yang cenderung ada di Jawa tanpa ada dana kompensasi. Bagaimana dampak terhadap klaim INA-CBG?. Di dalam konteks RS, tidak ada transparansi mengenai mengapa terjadi defisit di BPJS. Penyebab defisit selama 4 tahun ini tidak pernah dibahas dengan jelas. Analisis ini sebenarnya menyangkut peran Pemda dalam mengurangi defisit dan peningkatan efisiensi. Silahkan klik untuk analisis detilnya, Materi sesi 3: Fragmentasi di pelayanan Rumah sakit

  Apa Akibatnya?

Terjadi fragmentasi sistem kesehatan antara jalur BPJS dan jalur sistem kesehatan. Akibatnya fragmentasi ini menghambat tercapainya tujuan sistem kesehatan dalam hal pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan. Dua kasus yang dibahas hanya merupakan contoh. Masih banyak kasus yang dapat dibahas antara lain pelayanan penyakit jantung, pelayanan kanker, sampai ke pelayanan hemodialiasis.

  Apa yang Menarik dari Aspek Hukum?

Situasi penggunaan data yang terpisah ini ternyata dibenarkan oleh UU di masing-masing jalur. Pasal-pasal dalam UU SJSN dan UU BPJS tidak ada yang dilanggar oleh cara penggunaan data BPJS saat ini. Selama 4 tahun pertama (2014- 2017) BPJS tidak mempunyai kesalahan dalam hal penggunaan data dari perspektif UU SJSN dan UU BPJS. Hal ini juga terkait dengan fakta bahwa UU SJSN dan UU BPJS menyatakan bahwa BPJS bertanggung-jawab langsung ke Presiden, sehingga tidak perlu ada kewajiban menyerahkan data ke Kementerian Kesehatan. Baru pada akhir tahun 2017, ada Inpres mengenai penyerahan data secara berkala ke Kementerian Kesehatan.

  Prinsip Apa yang Dilanggar dalam Fragmentasi Ini?

Walaupun secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar, prinsip Good Governance tidak dijalankan dengan baik dalam kebijakan JKN. Dalam hal ini tidak ada tranparansi dan akuntabilitas berbagai keputusan dalam JKN yang sebenarnya dapat diperoleh dari data BPJS. Akibatnya partisipasi berbagai stakeholder berkurang dalam membuat keputusan penting untuk mengatasi defisit BPJS . Salah satu contoh, keahlian dari para pakar TB dan sistem pelayanan TB dapat dipergunakan untuk mengurangi cost pelayanan TB yang dibayar oleh BPJS. Contoh partisipasi lain, andaikata data BPJS dapat dianalisis, provinsi dan kabupaten yang membelanjakan dana BPJS lebih besar dari penerimaan BPJS, perlu untuk share kekurangannya. Tarif premi PBI yang dibayar pemerintah daerah dapat bervariasi sesuai dengan ketersediaan fasilitas kesehatan sehingga pemimpin daerah di tempat yang sulit aktif membayar premi.

  Apa yang Sebaiknya Dilakukan Di Masa Depan?

Situasi fragmentasi sistem kesehatan seperti ini tidak dapat dibiarkan terus menerus. Data BPJS (termasuk data keuangan) perlu dianalisis di berbagai level pemerintahan untuk dasar membuat keputusan untuk mengatasi berbagai permasalahan pelaksanaan JKN, keuangan BPJS, pemerataan, dan mutu pelayanan kesehatan. Dalam jangka pendek berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2017, data BPJS diharapkan dapat diserahkan ke Kementerian Kesehatan secara berkala. Berbasis data yang ada, diharapkan Kemenkes dapat membuat keputusan yang lebih baik. Di samping itu diharapkan dengan kekuatan UU Pemerintah daerah, seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota dapat akses ke data BPJS.

Dalam jangka panjang, setelah pemilihan umum 2019, diharapkan ada revisi UU SJSN dan UU BPJS agar lebih cocok dengan UU Pemerintahan Daerah dan berbagai UU yang ada di sektor kesehatan. Sifat sentralistik dari UU SJSN dan UU BPJS perlu disesuaikan dengan kebijakan desentralisasi kesehatan yang telah mewarnai sektor kesehatan di Indonesia.

Bahan lengkap Kaleidoskop dan Refleksi Kebijakan Kesehatan tahun 2017 dapat di klik pada link berikut

kaleidoskop

Penulis: Laksono Trisnantoro (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.)