November 2014

Januari / Februari / Maret / April / Mei / Juni / Juli / Agustus / September / Oktober / November / Desember / Kesimpulan

November 2014

Pada bulan ini, ada dua kegiatan internasional penting yang diselenggarakan. Kegiatan pertama adalah Pertemuan Pakar: Memperkuat kapasitas Peneliti dan PengambilKebijakan dalam Health Policy and System Research (HPSR) Geneva, Swiss3 - 14 November 2014. Prof. Laksono Trisnantoro dan tim reporter yang merupakan konsultan dan peneliti dari FK UGM mengikuti kegiatan ini.

kegiatan selengkapnya


Kegiatan kedua adalah NHCAA Annual Training Conference (ATC) 2014 (18 - 21 November 2014).
National Health Care Anti-Fraud Association (NHCAA) Annual Training Conference (ATC) adalah forum anti fraud layanan kesehatan skala nasional yang diselenggarakan tahunan. Kali ini acara berlokasi di Hyatt Regency Hotel, Dallas, Texas, Amerika Serikat. Konferensi ini menghadirkan pembicara-pembicara dari berbagai institusi yang berpengalaman dalam upaya pemberantasan fraud layanan kesehatan.

Pelatihan ini terbagi dalam empat acara besar yaitu pre-conference, concurrent workshop, networking events, dan anti-fraud expo. Dalam acara pre-conference kita akan mendapatkan informasi dan berdiskusi lebih dalam tentang strategi anti-fraud layanan kesehatan. Berikut ini laporan dari PKMK (Puti Aulia Rahma).

kegiatan selengkapnya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kesimpulan

Januari / Februari / Maret / April / Mei / Juni / Juli / Agustus / September / Oktober / November / Desember / Kesimpulan

Kesimpulan

Apa yang menonjol di tahun 2014?

  • Tahun 2014 banyak regulasi yang mengatur pelaksanaan JKN.
  • SDM menjadi masalah besar
  • Kesadaran akan pemerataan semakin besar di Indonesia. Ideologi pemerataan menjadi salahsatu dimensi NawaCita Presiden Jokowi
  • Penelitian Monitoring JKN oleh PKMK menjadi hal menarik karena memprediksi bulan Juni 2014 bahwa JKN dapat memperburuk ketidakadilan geografis.

Terkait kebijakan JKN tersebut, penting dicatat bahwa peran dan kewenangan dinas kesehatan baik provinsi maupun kabupaten/kota masih belum jelas. Hal ini berpotensi mendorong dinas kesehatan hanya jadi "penonton" dalam era JKN atau hanya menjadi "kontraktor" BPJS.

Hal kedua yang menonjol adalah upaya "kejar tayang" pemerintah masa periode 2009-2014 yang masa tugasnya berakhir di akhir Oktober 2014. Banyak produk Undang Undang terkait dengan kesehatan yang disahkan di masa "injury time" yang terkesan dipaksakan.

 

 

Desember 2014

Januari / Februari / Maret / April / Mei / Juni / Juli / Agustus / September / Oktober / November / Desember / Kesimpulan

Desember 2014

Pada PKMK menyelenggarakan seminar nasional terakhir di tahun 2014 dengan judul: Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional: Bagaimana Mengurangi Kesenjangan Geografis yang Semakin Besar? Yogyakarta, 13 Desember 2014. Seminar Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal ini menghasilkan beberapa kesimpulan untuk kebijakan pemerintah ke depan, diantaranya:

  1. Dalam era JKN, sistem pembayaran kapitasi dan klaim INA-CBG saat ini mempunyai risiko negatif dimana akan memperbesar kesenjangan geografis. Tanpa adanya kegiatan investasi yang signifikan untuk membangun fasilitas dan mengembangkan SDM kesehatan, daerah-daerah tertinggal kemungkinan besar akan semakin tertinggal dibanding daerah yang sudah maju;
  2. Program pengiriman tenaga kesehatan secara perorangan ke daerah-daerah tertinggal yang saat ini dilakukan, merupakan program yang sulit dipertanggung-jawabkan efektivitasnya. Program pengembangan tenaga kesehatan ke daerah tertinggal sebaiknya dilakukan secara kelompok (team) dengan susunan yang interprofesi. Sebagai catatan: di berbagai daerah tertinggal sulit mencari PNS karena memang tidak ada yang bersedia bertugas di tempat sulit sampai pensiun.
  3. Daerah tertinggal membutuhkan tidak hanya biaya operasional, namun juga biaya investasi untuk pembangunan fasilitas kesehatan dan penyediaan SDM. Di era JKN saat ini biaya investasi disediakan oleh pemerintah pusat, ataupun pemerintah daerah yang mampu sesuai dengan UU. BPJS tidak mempunyai tugas menyediakan dana investasi.
  4. Pengiriman SDM Kesehatan pelayanan primer yang dilakukan ke daerah tertinggal secara kelompok dapat terdiri dari dokter, perawat, bidan, sampai ke ahli manajemen pelayanan primer/obat.
  5. Pengiriman SDM Kesehatan pelayanan kesehatan rujukan ke daerah tertinggal secara kelompok dapat tersusun oleh berbagai spesialis sesuai kebutuhan, tenaga manajemen rumahsakit/pelayanan kesehatan, tenaga ahli rekam medik dan sebagainya.
  6. Hubungan kerja diharapkan menggunakan model kontrak, antara pemerintah daerah/pemerintah pusat dengan pihak ketiga (sebagai kontraktor) yang mampu menyediakan tenaga kesehatan.
  7. Sistem kontrak dilakukan dengan dasar tata hukum keuangan Negara. Dengan system kontrak ini diharapkan anggaran dapat digunakan secara efektif, efisien, dan mempunyai penyerapan tinggi.
  8. Sumber pendanaan: Dana investasi dan operasional untuk daerah tertinggal diharapkan berasal dari Pemerintah Pusat, dari Pemerintah daerah, dan dana operasional dari BPJS (dana kompensasi) untuk layanan primer. Dana kompensasi BPJS sudah diatur dengan UU dan regulasi di bawahnya, namun belum pernah dipergunakan pada tahun 2014. Saat ini dana kompensasi belum dipastikan dapat digunakan untuk pelayanan sekunder dan tersier. Akan dilakukan pertemuan di Jakarta dalam waktu dekat untuk membahas dana kompensasi BPJS bagi pelayanan sekunder dan tertier;
  9. Diperlukan kegiatan untuk pengembangan kemampuan pihak ketiga (kontraktor-kontraktor) penyedia tenaga kesehatan untuk ditempatkan di daerah terpencil. Pihak ketiga ini bekerja berdasarkan tata-aturan kontrak namun berdasarkan semangat kemitraan (partnership). Contoh model ini adalah Sister Hospital NTT.
  10. Kontraktor yang berasaskan kemitraan ini dapat berupa Yayasan (lembaga nonprofit) seperti Pencerah Nusantara, Perguruan Tinggi seperti FK UGM ataupun Konsorsium RS-RS besar (pengalaman Sister Hospital NTT) yang didukung oleh jaringan alumnusnya, dan lembaga-lembaga kontraktor tenaga berbentuk PT (for-profit). Preferensi kontrak harapannya diberikan ke lembaga non-profit.

 

 

 

Pertemuan Pakar: Memperkuat kapasitas Peneliti dan Pengambil Kebijakan dalam Health Policy and System Research (HPSR)

Reporter: Prof. Laksono Trisnantoro

Bagian 1: Laporan Kegiatan

Hari I

Sesi 1: Moderator Irene Agyepong

Pemetaan Pendidikan dan Pelatihan untuk HPSR.

Pembicara 1: Pengajaran dan pelatihan untuk HPSR. Presentasi Mapping Studies oleh Tara Tancred.
Pembicara 2: Pemetaan institusi-institusi dan jaringan kerja oleh Michelle Jiminez
Pembicara 3: Adnan Hyder, Pertemuan Baltimore dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health

Sesi 2: Round Table Discussion

Sesi ini membahas berbagai laporan dari negara-negara yang melakukan pengembangan Riset Kebijakan dan Sistem Kesehatan.

Sesi 3: Brainstorming Pengembangan Kapasitas

lucy

Setelah makan siang, dilakukan sesi 3 yaitu brainstorming mengenai arah pengembangan kapasitas HPSR dan peran Aliance. Brainstorming dipimpin oleh Prof Lucy Gilson dari University of Cape Town. Hasil brainstorming ada tiga yaitu:

A. Isu-isu pengembangan HPSR ke depan? Dalam brainstorming ini ada berbagai hal yanG masuk sebagai isu pengembangan untuk HPSR.

  • Apakah penting untuk membedakan fokus Health Policy and Health System? Hal ini menjadi kunci, karena metode penelitian berbeda. Dalam hal ini memang perlu dilihat ada riset kebijakan, ada riset sistem kesehatan, dan kombinasi keduanya.
  • Kelompok-kelompok mana yang perlu dilibatkan: dosen, peneliti, pengambil keputusan, civil society. Kemampuan perlu dikembangkan di dalam konteks perorangan, kelembagaan, serta jaringan.
  • Pengembangan harus dilakukan di level organisasi, National Level, Regional-Cross Regions.
  • Perlu perhatian mengenai politics and policy.
  • Apa gap dalam inisiasi saat ini?
  • Perlu Monitoring and Evaluation.
  • Perlu ada komunikasi yang lebih baik.
  • Tujuan HSPR bukan hanya untuk penelitian saja, melainkan juga untuk mengubah sistem.

Pihak yang terlibat antara lain perorangan, organisasi (PH, university, LSM, funders), kemudian two global bodies yaitu Alliance, dan Health System Global.

B. Beberapa pandangan ke depan:

  • Support the Young researchers
  • South-South partnership
  • Pub Health and Social-Scientist
  • Karir yang baik untuk mereka yang meneliti di kebijakan dan manajemen
  • Pengembangan Modul pendidikan dan pelatihan
  • Kemampuan mentoring perlu dikembangkan
  • Mutu Penelitian
  • Masalah kesulitan bahasa perlu diperhatikan termasuk bagaimana mind-set
  • Domestic Funding perlu dicari
  • Monev perlu diperhatikan termasuk efektifitas kebijakan
  • Perlunya pembahasan Value and Ethics dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan.

C. Peranan HPSR:

Dalam konteks global, Alliance mempunyai berbagai peran sebagai berikut:

  • Tenaga untuk mengumpulkan berbagai pihak (Convening Power) yang terkait.
  • Global Position for influencing many persons
  • Enabler what others are doing
  • Direct Support untuk pengembangan kapasitas.
  • Knowledge Management
  • Innovation
  • Act as a broker and entrepreneur.

Setelah brainstorming, kemudian dilakukan diskusi kelompok ke tiga unit

Bagian 2. Refleksi, Relevansi untuk Indonesia

 PENGANTAR

whobuildingPekerjaan sebagai tenaga ahli yang memberikan masukan-masukan bagi WHO tentunya tidak hanya terbatas memberikan. Selama pertemuan, sebagai tenaga ahli, dapat belajar dari berbagai negara dan juga dari pakar-pakar lainnya. Oleh karena itu, kesempatan selama dua hari di Geneva tidak hanya dalam konteks memberi masukan namun juga mengambil makna atau refleksi sebagai hasil observasi dan pembelajaran. Dalam hal ini, refleksi dilakukan dalam konteks Indonesia yang juga sedang mengembangkan kapasitas dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan.

Sebagaimana yang (sekarang ini) sedang dikembangkan dalam web www.kebijakankesehatanindonesia.net Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia aktif mengembangkan kemampuan para dosen dan peneliti untuk melakukan penelitian Kebijakan dan Sistem Kesehatan. Dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia, ada lebih dari 150 FKM, 70 FK, dan banyak Poltekkes yang membutuhkan kemampuan penelitian kebijakan dan sistem kesehatan. Setiap tahun, JKKI menyelenggarakan program pengembangan kapasitas penelitian.

Pertemuan di Geneva, ini menjadi sangat relevan dalam usaha ini. Ada berbagai pembelajaran yang dapat ditarik dari diskusi untuk keperluan Indonesia. Setelah mengikuti Workshop selama dua hari ini, di bawah ini refleksinya.

  Kebaruan isu dan masalah serta jenis penelitian

  • Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan merupakan hal yang baru di Indonesia. Dalam hal ini, ternyata di tingkat global juga masih dalam tahap pengembangan. Dengan demikian, pengembangan di Indonesia tidak terlalu tertinggal dibanding dengan pengembangan di global.
  • Salah satu isu yang menjadi perdebatan adalah: Apakah perlu memisahkan antara Health System dan Health Policy Research. Hal ini memang menarik, ada pragmatism dimana ada tiga kelompok yang tidak hitam putih.
    1. Kelompok Penelitian Kebijakan Kesehatan (Health Policy Research), yang muatannya banyak pada kebijakan.
    2. Kelompok Penelitian Sistem Kesehatan (Health System Research), yang banyak membahas sistem kesehatan, dan
    3. Kelompok Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan. Dalam hal ini, memang peneliti di Indonesia juga menggunakan pendekatan ketiga jenis ini yang tentunya saling terkait.

      gen18
  • Siapa yang perlu aktif? Dalam hal ini, tidak hanya dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat atau FK, namun juga dosen dari FISIPOL (Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik). Dalam konteks Riset Kebijakan, berbagai metode penelitian yang dipergunakan di FISIPOL perlu dipergunakan dalam konteks kebijakan kesehatan (Health Policy Research).


  Apa makna Alliance untuk Indonesia?

  • Apakah penguatan HPSR untuk tujuan internasional atau nasional? Jawabannya adalah penguatan ini untuk kebijakan internasional dan domestik dalam sektor kesehatan atau saling melengkapi.Dalam hal ini, peranan network domestik seperti Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) dapat saling menguntungkan dala hubungannya dengan AHSPR.
  • Tujuan JKKI bekerja adalah men-support penyusunan kebijakan, termasuk penelitian-penelitian kebijakan dan sistem kesehatan. JKKI telah ditetapkan untuk sementara menggunakan model dimana kegiatan-kegiatan Jaringan dilakukan oleh anggota. Untuk sementara ada sistem koordinasi dari UGM sampai ada kemampuan untuk berjalannya Yayasan.
  • Apa peranan JKKI? Apakah mirip dengan Alliance?
    1. Repository yang merupakan tempat untuk menyimpan dan menyebarkan berbagai materi pelatihan, produk riset, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Saat ini kegiatan semacam ini dilakukan oleh UGM dengan berbagai web kebijakan dan manajemen.
    2. Fungsi mengumpulkan orang-orang dan pihak terkait, dilakukan secara besar dalam Forum Tahunan yang dikerjakan secara bergantian. Pada tahun 2015, akan diselenggarakan di Padang dengan penyelenggara Universitas Andalas. Kegiatan-kegiatan pertemuan ilmiah lain dapat dilakukan oleh tiap-tiap anggota.
    3. Mengembangkan kapasitas Health System di daerah terpencil, misal Papua dan NTT.
    4. Mengembangkan sumber dana untuk Riset Kebijakan dan Sistem Kesehatan. Kegiatan ini akan dilakukan oleh cikal bakal Yayasan Kebijakan Kesehatan.
    5. Melakukan kerjasama dengan jaringan serupa di negara lain.


  Bagaimana masalah sumber dana untuk Penelitian Sistem Kesehatan dan Penelitian Kebijakan Kesehatan?

  • Sumber dana berasal dari mana? Di level internasional, memang tergantung dari donor. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.
  • Sebaiknya dari mana dana pengembangan dan pelaksanaan penelitian kebijakan? Dalam hal ini, perlu dipikirkan untuk mencari dana dalam negeri, yang diatur dengan peraturan. Misalnya untuk setiap program dan kebijakan kesehatan perlu ada anggaran 1% (sebagai gambaran) untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi kebijakan dan program-programnya. Dana ini bisa berasal dari pemerintah pusat ataupun daerah.

  Bagaimana Etika dalam Riset Kebijakan di Indonesia

Di Indonesia pasti akan mengalami berbagai masalah etika penelitian, misalnya:

  • Masalah Informed-consent
  • Melaporkan hasil buruk
  • Adanya sensor atau embargo hasil

  Bagaimana cara menyebarkan Metode Penelitian dan Modul?

Di Indonesia perlu dilakukan identifikasi lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian yang tertarik mengembangkan Riset Kebijakan dan Riset Sistem Keseahtan. Hal ini penting untuk mendukung kebijakan desentralisasi di sektor kesehatan, serta pelaksanaan kebijakan-kebijakan besar nasional seperti Jaminan Kesehatan Nasional, AIDS, TB, Malaria, KIA dan berbagai hal lainnya.

Perlu mengembangkan teknologi penyebaran dan diseminasi yang tepat guna dan efisien. Dalam hal ini pilihan Blended Learning merupakan hal yang penting. Ada beberapa program pengembangan di tahun 2015 dengan menggunakan Blended Learning.

  • Mengembangkan materi untuk policy influence ke Pemerintahan yang baru di setiap Kelompok Kerja. Kegiatan ini akan dilakukan dalam tahun 2015.
    1. Pelatihan mengenai Stakeholders analysis
    2. Pelatihan proses policy Influence
    3. Pelatihan mengenai bagaimana mengarahkan hasil ke pengambil keputusan.
    4. Pelatihan teknik berdebat dan argumentasi.
  • Mengembangkan Modul-modul pelatihan dalam tahun 2015.

Dimulai di bulan Desember 2014. Akan diluncurkan pada bulan April 2015
Sebagai follow-up partisipasi ini, akan diteruskan dengan rapat kerja JKKI dan rencana kegiatan di tahun 2015. Agenda yang akan dilakukan di tahun 2015 antara lain:

  • Penelitian-penelitian
  • Pelatihan dan Workshop
  • Penyebaran ilmu
  • Penulisan Policy Brief
  • Seminar-seminar
  • Forum Nasional

Demikian refleksi kegiatan di Geneva.

 

{jcomments on} 

Reportase Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era JKN

TOR Kegiatan & Materi Presentasi

SESI I

Sambutan dan Pembukaan

giriPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Komisariat Fakultas Kedokteran UGM, pada hari Sabtu, 13 Desember 2014 menyelenggarakan Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional. Seminar yang bertempat di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM tersebut mengangkat tema "Bagaimana Mengurangi Kesenjangan Geografis yang Semakin Besar?". Membuka acara seminar, Dekan Fakultas Kedokteran UGM Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, SpB (K)Onk memberikan apresiasi kepada tim PKMK FK UGM dengan salah satu program Sister Hospital-nya di beberapa daerah khususnya daerah tertinggal, terbukti mengangkat derajat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Sehingga harapannya program dan dukungan ini dapat diteruskan.

Sementara itu Penanggung Jawab kegiatan, dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD mengemukakan dalam sambutan pembukaannya, bahwa fakta menarik dan paling mencolok yang ada di Indonesia adalah masalah kesenjangan. Baik kesenjangan dari pembangunan infrastruktur, sosial, ekonomi, termasuk pembangunan sektor kesehatan. Dan yang paling memprihatinkan, fenomena yang terjadi adalah kecenderungan banyaknya warga negara Indonesia di perbatasan yang memilih pindah ke negara tetangga karena merasa kurang diperhatikan di Indonesia.Sulitnya berbagai akses menuju kesejahteraan, salah satunya pelayanan kesehatan menjadi alasan maraknya fenomena tersebut. Oleh karena itu seminar kali ini, diharapkan akanmenghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang dapat diaplikasikan ke tataran kebijakan, untuk kemudian dipraktekkan melalui aksi-aksi nyata jangan hanya sampai pada tataran teoritis saja.

Demikian pula disampaikan oleh Ketua Kagama, Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA bahwa memang ketersediaan SDM dan fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan utama sektor kesehatan di daerah tertinggal. Oleh karena itu UGM yang menjadi pioneer pembangunan daerah tertinggal, tidak pernah berhenti untuk membantu perjuangan masyarakat di daerah tertinggal guna mendapatkan keadilan pembangunan, termasuk di bidang kesehatan.

 

SESI 1: Situasi terkini pelayanan kesehatan di daerah tertinggal

  Kementerian Kesehatan

bambang sMengawali sesi pertama kegiatan seminar, Staf ahli Kementrian Kesehatan RI Bidang Peningkatan Kelembagaan dan Desentralisasi, dr. Bambang Sardjono, MPH menjelaskan bahwa sesuai 9 agenda prioritas (nawa cita) Pemerintahan Jokowi-JK salah satunya ialah pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa dalam NKRI. Namun fakta memprihatinkan yang terjadi di lapangan, masyarakat di perbatasan justru lebih senang mencari akses pelayanan kesehatan di negara tetangga karena dirasa lebih mudah. Bambang Sardjono juga membenarkan bahwa masalah kesenjangan masih merupakan persoalan utama yang terjadi antar daerah di Indonesia, termasuk dalam pelayanan kesehatan. Sehingga pendekatan yang perlu dibuat adalah, khusus untuk masyarakat di daerah tertinggal khususnya di pedalaman tidak hanya sekedar dibuatkan kartu sehat saja namun perlu ada sistem khusus yang diberlakukan untuk mereka.

Selain itu, kendala lain dalam upaya pembangunan di daerah tertinggal yakni masalah lokalitas. Banyaknya SDM yang kurang kompeten duduk di jajaran pembuat kebijakan daerah, lebih disebabkan oleh faktor lokalitas yang berkaitan dengan kondisi politik di daerah tersebut sehingga maksimalisasi program kebijakan sulit tercapai. Belum lagi masalah ketidaktersediaannya infrastruktur pendukung, seperti sumber daya listrik dan air menyebabkan sulitnya mencari tenaga kesehatan yang mau bertugas di daerah tertinggal.Sehingga perlunya menanamkan nilai pengabdian kepada calon-calon tenaga kesehatan Indonesia, untuk mau berkontribusi mendukung pemerataan pembangunan.

 

  Pembahasan materi (Kagama Kedokteran)

budiMenanggapi penjelasan dari Kementrian Kesehatan, dr. Budiono Santoso, PhD, SpF (K) dari Kagama mengemukakan agar pemerintah jangan hanya menggunakan parameter statistik dalam mengukur keberhasilan suatu program, karena banyak laporan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Budiono Santoso mencontohkan, seperti ketersediaan oksitosin di puskesmas di Indonesia, berdasarkan laporan statistiknya angkanya cukup merata antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, namun faktanya ada over stock di beberapa daerah, demikian pula ada under stock di beberapa daerah lain. Selain itu, dengan Rancangan Teknokratik yang masih sangat birokratis dan terpusat, menyulitkan bottom up planning dari daerah sebagai garis depan penerap kebijakan sehingga diperlukan desentralisasi perencanaan kebijakan, serta koordinasi vertikal dan horizontal antar lembaga. Budiono berpendapat, bila tidak kunjung diperbaiki, akan selalu ada kesenjangan antara outcome program dengan praktek di lapangan.

 

  SESI DISKUSI

Sementara itu dalam diskusi yang berlangsung cukup menarik, muncul beragam masukan, gambaran, serta pendapat dari para peserta seminar. Seperti dikemukakan oleh Sunarno selaku tenaga kesehatan yang pernah bekerja di Papua, tentang pentingnya pendekatan kultural untuk bisa menyentuh masyarakat di daerah tertinggal dalam penerapan program pemerintah, termasuk bidang kesehatan. Karena faktor budaya memainkan peran penting dalam keberhasilan program, bila mau memahami karakter dan kebiasaan masing-masing masyarakat di daerah tertinggal khususnya pedalaman.
Demikian pula disampaikan oleh salah satu peserta dr. Aisyah, bahwa perlunya membuat puskesmas percontohan di daerah tertinggal dan program residensi tenaga kesehatan, dimana tentunya hasil program tidak dapat diukur dalam waktu yang singkat, namun setidaknya membutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun atau 3 periode kementrian untuk melihat efektifitas program.

 

 

 

Pra Simposium 1, 29 September 2014

 

Satellite Session R.1.42

Transforming Health Workforce Education for Health Equity: Practical Tools and Approaches

30sept-1Kebutuhan tenaga kesehatan yang terlatih ternyata tidak hanya dialami oleh Indonesia. Hal ini juga dialami beberapa negara di dunia. Kekurangan tenaga kesehatan juga menyebabkan ketidakadilan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Sebagai contoh di Sub Sahara Africa, ketidakadilan pelayanan kesehatan disebabkan; 1) lebih dari 50% kasus kelahiran tidak ditangani tenaga kesehatan terlatih, 2) lebih dari 10 penduduk hidup dengan HIV yang tidak dapat mengakses ART, 3) dan perkiraaan kurang dari 25% yang mengakses KB. Sehingga hal ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan, dimana; 1) secara global masih kekurangan 7,2 juta dokter, perawat, dan bidan, 2) ketidak merataan distribusi tenaga kesehatan baik daerah pedesaan maupun perkotaan, 3) keahlian campuran antara jenis dan spesialisasi yang tidak dimiliki tenaga kesehatan yang dibutuhkan.

Hal-hal tersebut didukung oleh beberapa laporan yang menandai bukti-bukti dalam hal tantangan untuk tenaga kesehatan seperti; 1) laporan WHO dan rekomendasi (2006), rekomendasi peningkatan akses pendidikan bagi tenaga kesehatan didaerah pedesaan dan daerah terpencil (2010), transforming dan meningkatkan pendidikan profesional kesehatan dan pelatihan (2013), 2) Laporan di Jurnal Lancet (2010) mengenai komisi global untuk pendidikan profesional kesehatan, dimana merekomendasikan agar mereformasi instruksional dan institusional untuk menghasilkan tim tenaga kesehatan yang mampu menemukan kebutuhan kesehatan masyarakat dan merata dan efisien, 3) Konferensi Mahidol Awards di Thailand 2014, yang menjelaskan transformasi pembelajaran untuk pemerataan kesehatan, dan bagaimana reformasi bagi pendidikan pemimpin tenaga kesehatan.

Pengalaman di berbagai negara menunjukkan pendidikan tenaga kesehatan memiliki tantangan tersendiri. Kebutuhan di lapangan dan proses pendidikan di tingkatan lembaga pendidikan tidak sama. Bahkan lulusan yang sudah dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang banyak ditemui tidak dapat menyesuaikan kebutuhan daerah.

Untuk mengatasi hambatan pendidik tenaga kesehatan, muncul beberapa inovasi untuk membangun kapasitas institusi dalam sistem yang terhubung antara sistem kesehatan dan sistem pendidikan. Inovasi ini dijalankan dengan beberapa tools atau pendekatan yang telah dijalankan beberapa negara seperti di Kenya yaitu BBB (Bottleneck and Best Buys). BBB tools ini merupakan suatu alat untuk mengkaji atau menilai sekolah kedokteran pda sembilan bagian seperti yang telah diidentifikasi oelh WHO dan WFME. Pada bagian ini proses sistemtik menggunakan cross sectional survey untuk pengambilan datanya dan informasi yang didapatkan akan digunakan untuk menemukan bottleneck dan mengembangkan keputusan investasi berbasis bukti. BBB ini telah direview dari berbagai tingkatan dan cocok digunakan di Kenya dan inovasinya juga diadopsi atau dipergunakan.

Beberapa inovasi berhasil menemukan bottleneck gap yang berhubungan antara misi institusi dan perencanaan dan pengawasan untuk keuangannya. Kemudian menemukan gap pada penyusunan kebijakan yang dibutuhkan dan implementasinya seperti isu gender, isu tentang petunjuk teknis klinis. Ditemukan juga gap pada pengembangan fakultas, gap pada instruktur klinis, investasi pada infrastruktur dan peralatan, gap pada pendukung akademik, kemahasiswaan, dan keuangan.

Akhirnya aksi prioritas yang harus dijalankan untuk inovasi dalam mengatasi bottleneck adalah;

  1. Melakukan pengembangan kebijakan, mendiseminasikan kebijakan tersebut, dan melakukan advokasi,
  2. Pembangunan kapasitas manajemen dengan perencanaan stratejik, bisnis, dan investasi, serta juga memobilisasi sumber daya,
  3. Penguatan pada kurikulum pemerintah di tingkat nasional, sub nasional, dan institusi,
  4. Membangun kompetisi fakultas dan mengembangkannya, termasuk didalamnya yaitu instruksi klinis dan pengawasan khusus,
  5. Penguatan pendekatan OdeL,
  6. Pendekatan pada penguatan inovasi dan mobilisasi berbagai macam sumber daya dan manajemen yang ditransformasi ke sektor bisnis dan kerjasama
  7. Hubungan strategis dengan tingkat nasional dan sub-nasional.

Sebagai implementasi aksi untuk transformasi pendidikan kesehatan menuju keadilan kesehatan perlu dilakukan;

  1. mengaplikasikan pendekatan BBB,
  2. Meningkatkan program pendidikan bagi bidan,
  3. Mengadopsi pendidikan berbasis masyarakat,
  4. Melakukan penelusuran terhadap kelulusan mahasiswa atau alumni,
  5. Melakukan estimasi besarnya biaya untuk pendidikan kesehatan atau unit cost,
  6. Penguatan sekola melalui pembuatan keputusan berdasarkan data informasi.

Reporter: M. Faozi Kurniawan