JUDUL RISET
Kebijakan Pelaksanaan Deteksi Dini Defisiensi Enzim G6PD Sebelum Mendapatkan Terapi Malaria Dapat Menurunkan Kejadian Anemia, Keguguran, Kematian Ibu dan Anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
DATA PENELITI
Gelar: MPH
|
Nama: Jontari Hutagalung
|
Institusi: Program Doktor Fakultas Kedokteran UGM
|
Alamat institusi : Jl. Farmako Sekip Utara, Yogyakarta (55281) Alamat rumah : Jl. Kemuning. No.C.11, Sawit Sari, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta (55282)
|
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
|
Nomor telepon: 0274-545458
|
Fax: 0274-545458
|
Nomor HP: 08126704132
|
ABSTRAK
Latar belakang:
Belum adanya kebijakan dari pemerintah pusat maupun pemerintah (secara makro, meso ataupun mikro) berupa UU, PP, Permenkes maupun Perda terhadap deteksi dini penderita defisiensi enzim G6PD sebelum mendapatkan pengobatan anti malaria (primakuin) akan dapat meningkatkan beban yang dipikul oleh individu, keluarga maupun pemerintah sebagai dampak yang ditimbulkan belum adanya deteksi dini defisiensi enzim G6PD. Secara ekonomis penerapan deteksi dini defisiensi enzim G6PD sangat mungkin dilakukan karena alat uji yang digunakan relative terjangkau. Dampak pemberian obat antimalaria terbukti dapat menyebabkan anemia khususnya terhadap penderita defisiensi enzim Glukosa-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD) dapat mengakibatkan hemolisis pada eritrosit (anemia), gangguan perkembangan plasenta, kematian janin dalam kandungan, terjadinya abortus berulang dan kelahiran cacat. Dampak yang ditimbulkan akibat defisiensi enzim G6PD sangat luas (beban keluarga karena membutuhkan pengobatan yang panjang, pengeluaran dana yang besar dan pengobatan tidak efektif). Epidemiologi penderita defisiensi enzim G6PD meningkat pada daerah endemis malaria dibanding daerah non endemis. Estimasi 400 juta manusia di dunia menderita defisiensi enzim G6PD, dengan lebih dari 400 varian G6PD. Di Indonesia insidensi defisiensi enzim G6PD diperkirakan 3-18.4%. Dampak pengobatan malaria pada defisiensi enzim G6PD walau telah diketahui sangat fatal, namun hingga saat ini belum ada satu kebijakan baik pada level nasional (makro) maupun daerah (meso) untuk melaksanakan mendeteksi penderita defisiensi enzim G6PD sebelum mengkomsumsi obat antimalaria cendrung diabaikan. Saat ini penderita defisiensi enzim G6PD bukan saja akan berdampak terhadap anemia namum berakibat kepada hiperbilirubinemia, ikterus, sepsis dan penyebab keguguran pada ibu hamil. Kab. TTS luas wilayah 394700 km2, populasi 441.155 jiwa, merupakan salah satu daerah kasus malaria tertinggi di Prop. NTT dan Indonesia. Tahun 2010 sebanyak 8.225 positif malaria (insidensi 18.73 per 1.000 pddk, Annual Parasit Incidence (API) sebesar 20.8 per 1.000 pddk jauh diatas angka nasional 5 per 1.000 pddk) yang merupakan masuk dalam kategori high endemis. Hingga saat ini di Kab.TTS belum pernah dilakukan penelitian deteksi dini defisiensi enzim G6PD. Penelitian ini diharapkan sebagai dasar pembuatan rencana kebijakan pada level meso (analysis for policy). Jika kebijakan deteksi dini defisiensi enzim G6PD dilakukan maka akan dapat menghindari kejadian anemia, hiperbilirubin, ikterus pada bayi dan keguguran. Dari aspek ekonomi akan dapat menurunkan biaya pengobatan oleh pasien dan keluarga (cost efficiency), meningkatkan pemahaman petugas kesehatan dan meningkatkan efektifitas pengobatan malaria sehingga eliminasi malaria di Indonesia dapat semakin cepat tercapai.
Tujuan penelitian:
Mengetahui pentingnya kebijakan deteksi dini enzim G6PD sebelum mendapatkan obat antimalaria yang diukur dari pemahaman petugas kesehatan yang memberikan pengobatan malaria, pemegang program malaria di Dinas Kesehatan dan menganalisa kesiapan petugas kesehatan Kab. TTS untuk menyusun kebijakan deteksi dini enzin G6PD secara mikro maupun meso, dan menganalisis hambatan yang akan dihadapi pada penyusunan rancangan kebijakan deteksi dini pemeriksaan defisiensi enzim G6PD pada penderita malaria sebelum mengkomsumsi obat antimalaria.
Metode penelitian:
Menggunakan rancangan penelitian Mixed Methods dengan metode observasi dan interview. Penelitian dilakukan di Dinkes dan Puskesmas Kab. TTS. Populasi sampel pada unit analisis Dinkes (Kabid, Kasie dan staf di bidang P2M &PL, Kasie KIA, PJ. Program malaria, dan Kepala Dinas) sampel pada unit analisis Puskesmas (Ka. Puskesmas dan PJ. program malaria). Pengambilan sampel secara purposive sampling (dibagi berdasarkan puskesmas rawat inap dan non rawat inap). Pengumpulan data menggunakan kuisioner terstruktur. Variabel yang akan diukur pengetahuan, sikap, kendala yang dihadapi dan tempat bertugas.
Bulan
|
Progress status
|
Maret
|
Proses perijinan dari UGM, Pemprov DIY, dan Prov. NTT sudah selesai. Perhitungan sampel penelitian sudah selesai dilaksanakan.
Pengambilan data telah dilakukan terhadap staf Dinkes Kab. TTS (pemegang program malaria dan Kasie P2PL).
Berikutnya akan dilakukan pengambilan data di puskesmas. Sampel meliputi (Ka.Pusk, pemegang program malaria dan dokter puskesmas).
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|