RUU Kebidanan Diharapkan Menjadi Solusi Layanan Kesehatan

Komisi IX tengah membahas RUU Kebidanan. Banyak pihak berharap RUU Kebidanan dapat segera disahkan sebagai UU dan menjadi solusi bagi dunia kesehatan, khususnya para bidan di Indonesia.

Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago mengatakan, ada beberapa alasan yang membuat RUU Kebidanan sangat mendesak. Pertama yaitu jumlah tenaga medis, khususnya dokter spesialis anak di seluruh Indonesia.

"Dari 3 ribu sampai 4 ribu tenaga dokter kandungan, itu tidak mencukupi untuk melindungi persoalan kasus ibu dan anak," kata Irma, dalam acara forum legislasi di Gedung Nusantara III Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/6/201/).

Kedua, permasalahan infrastruktur kesehatan yang tidak baik. Hal itu dapat dilihat dari penyebaran tenaga dokter khusus ibu dan anak yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.

Bahkan, kata Irma, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Pulau Ambon hanya memiliki empat dokter spesialis anak. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan penanganan kesehatan terhadap ibu dan anak di sana.

Menurut pengakuan Kemenkes, penyebab tidak meratanya tenaga ahli medis karena doketr tidak berminat ditempatkan di daerah. Alasannya, rendahnya insentif dan infrastruktur penunjang yang diberikan kepada dokter yang bersangkutan.

"Dan Ibu Menkes bilang, dokternya tidak mau ke daerah, karena insentifnya kecil, tunjangan infrastruktur yang tidak terjamin," ucap Irma.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu cara yang bisa dilakukan saat ini yaitu memanfaatkan tenaga bidan yang ada. Tentunya bidan yang sudah memiliki sertifikasi.

"Sertifikasi ini nantinya enggak sekadar sertifikasi, tapi harus berdasarkan pengalaman sudah melayani kelahiran dengan zero accident, seperti itu. Itu yang dimaksud dengan bisa dikeluarkannya sertifikasi. Tidak hanya legalitas formal yang bisa diperjualbelikan. Hancur kita nanti," kata Irma menegaskan.

Oleh karena itu, melalui RUU Kebidanan ini diharapkan dapat mengakomodir harapan semua pihak, sehingga ke depannya tenaga bidan di seluruh Indonesia dapat memberikan manfaat dan pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat.

"Memang RUU Kebidanan ini harus ada. Harus diatur dalam RUU ini. Karena perlindungan pasien itu lebih penting daripada perlindungan bidannya sendiri," ucap Irma.

http://news.metrotvnews.com/

 

Komunitas Smoke Free Dukung Peringatan Kesehatan Bergambar Lebih Besar

Komunitas anak muda peduli pengendalian tembakau, Smoke Free Agents (SFA), menandai Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2016 dengan kampanye bertema Show the Bigger Truth (Tunjukkan Kenyataan Lebih Besar) untuk mendukung peringatan kesehatan bergambar yang lebih besar di bungkus rokok guna melindungi masyarakat dari racun rokok.

"Anak-anak, remaja, teman-teman kami harus diingatkan bagaimana efek buruk rokok terhadap kesehatan mereka, yang paling efektif salah satunya dengan peningkatan PHW (pictoral health warning)" kata Hasna Pradityas, Koordinator SFA, dalam siaran pers, Senin (6/6/2016).

Pemerintah tidak boleh ragu untuk melakukannya, karena sudah kewajiban mereka untuk melindungi rakyat. Kalau negara lain bisa, seharusnya Indonesia dengan pemerintahnya yang tegas juga bisa. Tunjukkan gambarnya lebih jelas, lebih besar, sebesar bahayanya kepada rakyat!

Di Indonesia, meningkatkan ukuran peringatan kesehatan bergambar dari 40% menjadi 75%, katanya, telah ditulis dalam Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan yang disusun oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka menuju bungkus rokok polos (plain packaging). Pemerintah perlu berkomitmen mengikuti peta yang telah ditetapkan tersebut.

Pada 2014, Indonesia memberlakukan peringatan kesehatan bergambar (PHW – pictoral health warning) pada bungkus rokok. Studi yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) dan beberapa universitas di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar responden (83,9%) menjadi peduli terhadap bahaya merokok karena peringatan kesehatan bergambar. Tiga gambar yang dianggap paling efektif adalah gambar kanker paru (92.8%), diikuti dengan gambar kanker tenggorokan (91.1%) dan gambar kanker mulut (89,8%).

Sebelumnya, pada 2013, Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan peta jalan pengendalian tembakau, yang salah satunya menuju pada penurunan prevalensi perokok sebesar 1% per tahun dan penurunan perokok pemula sebesar 1% hingga 2019.

Kemudian, penurunan prevalensi perokok mencapai 10% pada 2024 dibanding prevalensi perokok pada 2013 sebesar 36,3%. Salah satu instrumen pengendalian tembakau yang sangat penting adalah peringatan kesehatan bergambar.

Berdasarkan Studi TCSC IAKMI bahwa 78,8% responden mendukung peningkatan ukuran peringatan kesehatan bergambar dari 40% menjadi 75%. Artinya, masyarakat Indonesia telah siap dan mendukung peningkatan ukuran peringatan kesehatan bergambar. Karena itu, SFA sangat mendukung pemerintah untuk meningkatkan ukuran PHW pada bungkus rokok.

Dukungan SFA diwujudkan dalam bentuk aksi bersama para pemuda di area CFD (car free day) Jakarta, Minggu (5/6/2016). Aksi tersebut diikuti para pemuda dari berbagai komunitas dan organisasi yang mendukung penuh peningkatan ukuran peringatan kesehatan bergambar yang bertujuan untuk menurunkan prevalensi perokok demi masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini.

http://industri.bisnis.com/

 

BPJS Kesehatan Serahkan Data PBI Ke Komisi IX DPR RI

1junBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyerahkan secara simbolis data Peserta Bantuan Iuran (PBI) kepada Komisi IX DPR RI. Hal itu untuk mendorong kecukupan penganggaran terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di masa depan.

Penyerahan dilakukan Direktur Umum BPJS Kesehatan Fachmi Idris dan diterima Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (31/5).

Fachmi menjelaskan, data peserta PBI tersebut bukan hasil pendataan yang dilakukan BPJS Kesehatan, namun data itu diperoleh dari Kementerian Sosial. Sampai saat ini, Kartu Indonesia Sehat (KIS) telah diterima sekitar 87,5 juta peserta PBI yang tersebar di 34 provinsi, 504 kabupaten/kota dan 22.245 kecamatan.

"Diharapkan data tersebut, Komisi IX dapat melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan program JKN agar lebih tepat sasaran," ujar Fachmi.

Selain itu, lanjut Fachmi, pengawasan yang dilakukan DPR adalah kebutuhan. Para anggota DPR dapat meningkatkan efektivitas pelayanan kesehatan kepada konstituennya.

Dede Yusuf menyampaikan terima kasih kepada BPJS Kesehatan atas penyerahan data PBI. Pihaknya, akan melakukan validasi data sesuai daerah pemilihannya.

"Kalau perlu nanti kita hadirkan para peserta yang ditunjukkan oleh BPJS kesehatan," kata Dede menandaskan. (TW)

 

WHO Tetapkan Standar Kemasan Polos untuk Produk Rokok

31meiMenandai peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang jatuh pada 31 Mei, badan kesehatan dunia WHO menetapkan standar kemasan polos untuk produk rokok. Diharapkan kebijakan tersebut dapat menghambat para perokok pemula.

"Penelitian menunjukkan kemasan polos dapat menghambat perokok pemula serta mengurangi konsumsi diantara perokok," kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemkes), Mohamad Subuh dalam talkshow memperingati HTTS 2016 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (31/5).

Dijelaskan, kemasan polos atau standardized packaging adalah kotak atau paket rokok yang tak memiliki logo, warna, lambang merek ataupun informasi promosi lainnya. Namun, produk tersebut tetap menunjukkan peringatan kesehatan bergambar yang lebih besar.

"Upaya itu dilakukan karena sejak dilakukan pembatasan iklan rokok di seluruh dunia, industri tembakau menggunakan kemasan sebagai sarana untuk membuat produk mereka semakin menarik," ujar Subuh.

Dirjen P2P Kemkes itu menambahkan, kemasan polos mengurangi daya tarik produk tembakau, sehingga peringatan kesehatan bergambar atau tulisan semakin jelas. Selain mengurangi desain yang memberi kesan jauh dari kenyataan bahwa produk rokok berbahaya bagi kesehatan.

"Kemasan polos bagi produk tembakau adalah salah satu upaya melindungi kesehatan masyarakat yang sejalan dengan kesepakatan global," katanya.

Subuh mencontohkan, negara Australia menerapkan kebijakan kemasan polos secara efektif. Australia adalah pendahuku inisiatif kemasan polos sejak Desember 2012.

"Kemasan polos, bersama dengan inisiatif pengendali lain, berhasil menurunkan angka rokok warga Australia berusia 14 tahun keatas dari 15,1 persen pada 2010 menjadi 12,8 persen pada 2013," katanya.

Saat ini, lanjut Subuh, telah ada 3 negara menerapkan kebijakan serupa yaitu Perancis, Inggris, dan Irlandia. Bahkan, Inggris Raya dan Irlandia Utara telah memiliki perangkat hukum untuk kemasan polos.

Data WHO menyebutkan, Indonesia tergolong sebagai negara yang menghadapi dampak besar dari tingginya penggunaan tembakau. Dapat dikatakan 2 dari 3 orang dewasa merokok.

Indonesia juga termasuk negara dengan prevalensi tinggi untuk perokok usia 13-15 tahun, yaitu lebih dari 20 persen. (TW)

 

Pemerintah Seharusnya Terapkan Kuota Dokter per Faskes

30meiPemerintah seharusnya menerapkan sistem kuota dokter pada setiap fasilitas kesehatan (faskes) baik di rumah sakit maupun klinik. Karena antrian panjang di faskes belakangan ini jika tidak diantisipasi akan menimbulkan kerentanan dalam keselamatan pasien.

"Beban kerja dokter yang berlebihan, akibat banyaknya pasien bisa menimbulkan kerentanan dalam keselamatan pasien," kata Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Terpilih, Daeng Mohammad Faqih dalam acara "Dialog Konstruktif Pemangku Kepentingan untuk Peningkatan JKN" di Jakarta, Senin (30/5).

Penumpukan pasien di rumah sakit, lanjut Daeng M Faqih, karena ada kecenderungan akhir-akhir ini pasien yang berobat di fasilitas kesehatan tahap pertama (FKTP) seperti Puskesmas atau klinik minta surat rujukan ke rumah sakit. Padahal, rujukan seharusnya atas pertimbangan medis.

"Untuk itu, pemerintah harus memperbaiki sistem rujukan agar tidak terjadi lagi penumpukan pasien di rumah sakit. Sistem harus dibuat detail, sehingga pasien rujukan berdasarkan pertimbangan medis, tak sekadar memenuhi permintaan pasien," ucapnya.

Dan yang tak kalah penting dalam pelaksanaan program JKN, pemerintah harus bisa menyediakan dana yang cukup. Karena pengobatan tidak bisa dilakukan setengah tindakan, lantaran keterbatasan dana.

"Kalau makan bisa minta porsi setengah, tidak bisa dalam pengobatan. Operasi harus dilakukan penuh, termasuk obat-obatan," tutur Daeng.

Jika pemerintah tak punya biaya, menurut Daeng, harus dicarikan solusinya. Ia mengusulkan agar program JKN hanya untuk pasien kelas 3. Sedangkan pasien kelas 1 dan 2, tidak termasuk yang ditanggung pemerintah atau menggunakan asuransi swasta.

"Kondisi itu lebih adil, ketimbang pemerintah mencakup semua golongan namun pelayanannya tidak optimal, karena keterbatasan dana," ucap Daeng menegaskan.

Jika memungkinkan, lanjut Daeng, pemerintah menerapkan urun biaya untuk pasien kelas 1 san 2 untuk memenuhi kecukupan biaya. Karena seharusnya pelaksanaan program JKN memperhitungkan kecukupan dengan tata laksana klinis sesuai dengan standard operational procedure (SOP).

"Untuk itu perlu dilakukan revisi atas tarif dalam INA-CBGs dan besaran kapitasi. Karena yang ada saat ini tidak memperhitungkan profesionalisme dokter," tuturnya.

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek dalam sambutannya meminta pada para pihak dalam dialog kontrukstif dapat memberi masukan pada pemerintah terkait dengan program JKN. Agar pelaksanaan JKN di masa depan menjadi lebih baik lagi.

"Masukan dari para pihak akan kami tindaklanjuti untuk program JKN yang lebih baik. Karena dua tahun pelaksanaan JKN, program tersebut belum berjalan mulus," tutur Menkes menandaskan. (TW)

{jcomments on}

WHO: Afrika Barat Lebih Mampu Tanggulangi Wabah Masa Depan

Ebola telah membunuh lebih dari 11 ribu orang dalam 3 negara Afrika Barat yang paling berat dilanda wabah itu sebelum waktunya WHO menyatakan penularan virus Ebola sudah berakhir menjelang akhir tahun lalu.

Direktur kawasan Afrika WHO mengatakan Afrika Barat sudah lebih siap untuk menanggulangi wabah Ebola di masa depan. Dalam wawancara eksklusif dengan VOA, Matshidiso Moeti, mengatakan Liberia, Sierra Leone dan Guinea sekarang dapat menanggapi dengan lebih cepat keadaan darurat karena peningkatan pemantauan, laboratorium dan tata perawatan kesehatan mereka.

Moeti menjadi pimpinan kantor kawasan Afrika WHO bulan Februari tahun 2015, pada puncak wabah Ebola di Afrika Barat. Sebagai pemimpin penanggulangan masalah Organisasi Kesehatan Dunia di kawasan itu, dia mengatakan kepada VOA dia menyadari dia harus melakukan apapun yang perlu untuk menghentikan penyebaran penyakit maut itu.

Ebola telah membunuh lebih dari 11 ribu orang dalam 3 negara Afrika Barat yang paling berat dilanda wabah itu sebelum waktunya WHO menyatakan penularan virus Ebola sudah berakhir menjelang akhir tahun lalu.

Walaupun WHO menyadari bahwa wabah itu tidak lagi tak-terkendali, WHO memperingatkan negara-negara tersebut agar tetap waspada karena kebangkitan kembali penyakit itu kemungkinan akan tetap dapat terjadi sepanjang beberapa lama.

"Kita sudah lama berjalan menuju nol dalam wabah ini dan kita belum sampai kesana," kata Moeti. Tetapi, dia menambahkan Liberia, Sierra Leone, dan Guinea telah banyak meningkatkan kemampuan mereka menanggapi Ebola dan telah membuktikannya dalam ketrampilan mereka menanggulangi kekambuhan penyakit itu kadang-kadang. [gp]

http://www.voaindonesia.com/

 

Pemerintah Kembangkan Layanan Home Care bagi Lansia

Pemerintah kembangkan layanan home care, guna mengurangi penumpukan pasien lanjut usia (lansia) di rumah sakit. Dengan demikian, kamar yang tersedia di RS bisa dioptimalkan untuk kegawatdarutan.

"Perawatan lansia yang biasanya membutuhkan waktu lama, nantinya akan ditangani melalui layanan home care di rumah," kata Sekjen Kementerian Kesehatan (Kemkes), Untung Suseno Soetardjo di Jakarta, Kamis (26/5), terkait dengan rencana pelaksanaan Hari Usia Lanjut Nasional (HULN) pekan mendatang.

Pada kesempatan itu, Untung didampingi Siti Setiati, Ketua Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (Pergemi).

Untung Suseno menilai layanan home care sudah waktunya dikembangkan secara luas di Tanah Air. Mengingat, Indonesia masuk ke dalam lima besar negara dengan jumlah lansia terbanyak di dunia.

"Jika tidak diantisipasi dari sekarang, khawatir terjadi lonjakan pasien di rumah sakit. Sehingga pasien dengan kegawatdaruratan di rumah sakit tidak dapat dilayani secara optimal," ujar Untung Suseno.

Disebutkan, jumlah lansia Indonesia berdasar data Survei Kesehatan Nasional (Susenas) 2014 sebanyak 20,24 juta jiwa atau 8,03 persen dari populasi penduduk. Diperkirakan pada 2035 akan mengalami lonjakan jumlah lansia menjadi 41 juta jiwa dan sekitar 80 juta jiwa pada 2050.

Selain itu, lanjut Untung Suseno, pemerintah juga mengembangkan layanan kesehatan bagi lansia (geriatri) secara terpadu di 10 rumah sakit. Nantinya layanan tersebut akan dikembangkan secara nasional di seluruh rumah sakit di Indonesia.

Kesepuluh rumah sakit itu adalah RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, RSUP Karyadi Semarang, RSUP Sardjito Yogyakarta, RSUP Sanglah Bali, RS Hasan Sadikin Bandung, RSUP Wahidin Makassar, RSUD Soetomo Surabaya, RSUD Moewardi Solo, RSUP Adam Malik Medan, dan RSU Syaiful Anwar Malang.

Untuk layanan kesehatan bagi lansia, lanjut Untung Suseno, juga tersedia di 824 Puskesmas. Posyandu Lansia yang memberi layanan promotif dan preventif ada 86 ribu tempat yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Lewat berbagai layanan ini kami berharap lansia di Indonesia dapat menikmati masa tuanya dengan sehat. Jika sakit, dapat ditangani secara terpadu," kata Untung Suseno menandaskan. (TW)

 

PBB Deklarasikan Indonesia Berhasil Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal

20meiBadan kesehatan dunia WHO mendeklarasikan keberhasilan Indonesia dalam eliminasi tetanus maternal dan neonatal. Keberhasilan itu, menurut badan dunia terkait lainnya seperti UNICEF dan UNFPA, akan memperkecil kesenjangan cakupan imunisasi di Indonesia yang memiliki tantangan geografis dengan ribuan pulaunya.

"Keadaan geografis Indonesia sangat sulit. Kami senang karena Indonesia tahun ini mendapat penghargaan dari WHO untuk eliminasi tetanus pada ibu hamil (maternal) dan bayi baru lahir (neonatal)," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek saat menerima Wakil WHO untuk Indonesia, Jihane Tawilah, di Jakarta, Kamis (19/5) petang.

Untuk itu, Menkes menambahkan, pihaknya akan terus mempertahankan kondisi itu dengan tetap melakukan program imunisasi anti tetanus terutama pada ibu hamil. Hal itu bisa tercapai bila layanan kesehatan tersedia dengan baik di seluruh wilayah Indonesia.

Dijelaskan, program eliminasi tetanus pada ibu dan bayi dibawah usia 28 hari (atau biasa disebut maternal and neonatal tetanus/MNT) dibagi dalam 4 region. Tiga region telah dianggap berhasil mencapai eliminasi pada 2010 dan 2011, sedangkan satu region yang mencakup Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara berhasil mencapai status eliminasi pada 2016 ini.

"Dengan demikian, tuntas sudah program eliminasi MNT dengan cakupan di seluruh Indonesia. Dengan status ini, maka kawasan Asia Tenggara telah menjadi kawasan kedua di dunia yang mana MNT telah sepenuhnya dieliminasi," ujar Nila Moeloek.

Tetanus neonatal kerap disebut 'silent killer' karena penyakit itu menyebabkan banyak bayi baru lahir meninggal secara cepat baik di rumah maupun di rumah sakit. Padahal penyakit itu dapat dicegah dengan vaksinasi tetanus-toxoid (TT).

"Pada 1988, tercatat 780 ribu kematian di seluruh dunia karena tetanus neonatal. Dengan berbagai kemajuan di dunia kedokteran maka pada 2000, Indonesia berhasil menurun risiko itu. Meski angkanya masih terbilang tinggi. Indonesia menjadi satu dari 59 negara berisiko tinggi," kata Menkes.

Menurut Jihane Tawilah, MNT terjadi karena adanya kesenjangan kesehatan masyarakat dan imunisasi. MNT umumnya terjadi pada kelompok masyarakat dengan pendidikan dan kemampuan ekonomi terendah.

"Lewat eliminasi MNT berarti Indonesia berhasil menyediakan akses imunisasi lebih baik kepada populasinya," kata Jihane.

Ditambahkan, WHO telah berkomitmen memberi dukungan terhadap program imunisasi di Indonesia sejak tahun 1950-an. Bahkan pada dekade terakhir telah menyediakan dukungan teknis secara khusus di daerah-daerah berisiko tinggi, guna memastikan layanan imunisasi telah dilakukan secara efisien.

"Sejak 1977, Pemerintah Indonesia terus berupaya memberi imunisasi tetanus kepada seluruh bayi di Indonesia, yang pada akhirnya memungkinkan tercapainya status eliminasi MNT ini," tutur Jihane.

Sejak 2006, lanjut Jihane, UNICEF mendukung kampanye vaksinasi di 70 kabupaten berisiko tinggi di Indonesia, yang menyasar perempuan usia reproduktif untuk meningkatkan kekebalannya terhadap tetanus pada perempuan di usia melahirkan.

"UNICEF juga menyediakan layanan lain dengan melatih bidan agar bayi dilahirkan dengan prosedur yang higienis dan mencegah terjadinya tetanus neonatal," ucap Jihane.

Menurut Gunilla Olsson, Wakil UNICEF untuk Indonesia, saat tetanus neonatal mencapai status eliminasi, berarti tetanus pada ibu juga tereliminasi.

"Selama kita memastikan perempuan di usia produktif mendapat imunisasi TT dan melahirkan dengan cara higienis, maka tetanus neonatal tak lagi terjadi," katanya menegaskan.

Bayi baru lahir dapat terinfeksi tetanus karena pertolongan atau layanan kelahiran yang tidak higienis, misalnya saat memotong tali pusar dengan alat potong yang tidak steril atau membalut lukanya dengan bahan-bahan yang terkontaminasi.

Jika spora masuk ke dalam tubuh bayi, infeksi menyebar, menyebabkan komplikasi yang berujung pada kematian dini yang menyakitkan bagi bayi. Ibu juga dapat terkena infeksi tetanus saat menjalani proses kelahiran yang tak aman, atau layanan kelahiran tak higienis yang memungkinakan spora tetanus masuk ke dalam tubuhnya. (TW)