Kendalikan Hepatitis, Kemkes Siap Gelar Deteksi Dini di Puskesmas

26aprKementerian Kesehatan (Kemkes) akan menggelar kegiatan deteksi dini untuk pengendalian virus hepatitis di Indonesia. Pada tahap awal, deteksi dini dilakukan di Puskesmas di wilayah yang tergolong rawan terhadap penyebaran virus hepatitis.

Hal itu dikemukakan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemkes, Mohamad Subuh usai membuka acara bertajuk "Workshop on Developing The Regional Action Plan For Hepatitis" di Jakarta, Selasa (26/4).

Acara yang diselenggarakan badan kesehatan dunia, WHO itu dihadiri 11 negara yang tergabung dalam South East Asia Region (SEAR), antara lain Bangladesh, Bhutan, Korea, India, Thailand, Nepal, Srilanka, Myanmar, Timor Leste, dan Indonesia.

Pertemuan itu membahas upaya pengendalian virus hepatitis di negara masing-masing. Mengingat hepatitis masuk dalam salah satu indikator Suistainable Development Goals (SDGs), pada goal yang ketiga.

"Badan kesehatan dunia WHO menilai penyakit hepatitis akan menjadi beban di masa depan, jika tidak dikendalikan. Karena itu upaya pengendalian hepatitis yang sebelumnya tak masuk dalam indikator MDGs, saat ini sudah dimasukkan dalam SDGs," tutur Subuh.

Dijelaskan, hepatitis adalah penyakit peradangan pada organ hati yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti obat-obatan, perlemakan, alkohol, serta infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit.

"Sebagian besar kecacatan dan kematian yang disebabkan oleh hepatitis jenis B dan C yang kronis," ucapnya.

Di Asia Tenggara diperkirakan 100 juta orang hidup dengan hepatitis B kronis dan sekitar 30 juta orang lainnya hidup dengan hepatitis C kronis. Setiap tahunnya, terjadi sekitar 1,4 juta kasus baru hepatitis B dan 300 ribu kematian.

"Untuk hepatitis C, setiap tahunnya ada 500 ribu kasus baru dan 160 ribu kematian," ujar Subuh.

Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas) 2013 menemukan ada sekitar 18 juta penduduk Indonesia menderita hepatitis B dan 3 juta orang terkena hepatitis C.

"Dari mereka, sekitar 50 persen akan mengalami penyakit hati kronis dan 10 persennya berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat menyebabkan kanker hati," kata Subuh.

Untuk itu, lanjut Subuh, upaya deteksi dini menjadi penting guna mencegah penyakit hepatitis menjadi berat. Sehingga biaya pengobatan jadi lebih murah.

Ditanyakan jumlah deteksi yang hanya untuk 100 ribu orang, Subuh mengatakan, hal itu merupakan langkah awal sekaligus melihat kesiapan tenaga kesehatan di Puskesmas. Jika siap, jumlah sasaran deteksi dini akan ditingkatkan.

"Kita lihat kemampuan petugas di lapangan. Pemerintah sanggup membeli bahan deteksi dini untuk 10 juta orang, tetapi karena petugas di lapangan terbatas, maka prosesnya akan dilakukan secara bertahan," kata Subuh menandaskan. (TW)

 

Kasus Malaria di Indonesia Turun Dalam 5 Tahun Terakhir

21apr-2Jumlah kasus malaria di Indonesia dalam 5 tahun terakhir ini terus menurun. Dari 422.447 kasus pada 2011 menjadi berjumlah 217.025 pada 2015.

"Penurunan kasus malaria bisa terjadi, karena upaya pengendalian yang kita lakukan lewat program bernama Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak Malaria)," kata Mohammad Subuh, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, di Jakarta, Rabu (20/4).

Hadir dalam kesempatan itu, Kepala Dinas Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, dr Andreas Ciokan. Kabupaten Teluk Bintuni mencatat prestasi dalam pengendalian malaria, dari 112 kasus per 1000 penduduk pada 2009 turun menjadi 2,4 kasus per 1000 penduduk pada akhir 2015.

Subuh mengemukakan, upaya pengendalian malaria yang dilakukan, antara lain, pemberian kelambu anti nyamuk pada seluruh rumah tangga di daerah endemis malaria. Yaitu, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku dan Maluku Utara.

"Percepatan mencapai sertifikat Bebas Malaria terus dilakukan di 5 provinsi tersebut. Namun, yang terpenting adalah komitmen dari pemerintah daerah," ujarnya.

Menurut Subuh, sebagian besar wilayah Indonesia sebenarnya telah mencapai tingkat endemis rendah atau menengah, bahkan bebas malaria. Disebutkan, ada 232 dari 514 kabupaten/kota (45,4 persen) dengan jumlah penduduk mencapai 189 juta orang mencapai eliminasi malaria.

Untuk daerah endemis rendah, ditambahkan, ada 147 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sebanyak 39 juta orang (15,3 persen) dan daerah endemis menengah sebanyak 90 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 21 juta orang (17 persen).

"Itu artinya 74 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah bebas malaria," ujar seraya menambahkan daerah itu meliputi Pulau Jawa, Bali dan Sumatera Barat.

Subuh menjelaskan, satu daerah disebut daerah bebas malaria karena angka kejadian malaria (API) dibawah 1 per 1000 penduduk. Selain itu, jumlah kasus positif yang tidak ditemukan dengan pemeriksaan laboratorium tidak lebih dari 5 persen.

"Syarat lainnya adalah tidak ditemukan lagi kasus penularan setempat selama 3 tahun berturut-turut," tutur Subuh.

Penilaian atas perolehan sertifikat eliminasi malaria itu dilakukan oleh Komisi Penilaian Eliminasi Malaria yang beranggotakan pakar, pengambil kebijakan dan pengelola malaria di pusat dan provinsi.

Ditambahkan, upaya percepatan pengendalian malaria diperkuat dengan penambahan 2.440 Pos Malaria Desa yang dilayani oleh 3.769 kader. Selain penambahan 20 Malaria Center di 8 provinsi untuk memperkuat koordinasi di lapangan.

"Penyediaan dana bersumber APBN dan bantuan luar negeri untuk pengendalian malaria rata-rata Rp 250 miliar per tahun, belum termasuk APBD," ujarnya.

Upaya lainnya adalah penguatan koordinasi lintas sektor dan masyarakat melalui Forum Nasional Gebrak Malaria di seluruh Indonesia. Serta penguatan dukungan manajemen dan regulasi daerah tentang percepatan pencapaian eliminasi malaria.

"Surveilans juga terus dilakukan guna menemukan kasus malaria secara dini. Mereka yang terdiagnosis pun diberi pengobatan yang benar," kata Subuh menegaskan.

Kepala Dinas Kesehatan Teluk Bintuni, Andreas Ciokan menuturkan, program pengendalian malaria dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain, pembentukan juru malaria kampung (JMK) dan juru malaria perusahaan (JMP) di tempat terpencil yang tidak ada layanan kesehatan.

Selain itu, dilakukan pengepakan obat malaria yang dikemas berdasarkan kategori berat badan. Setiap Puskesmas mendapat distribusi malaria kit, sehingga obat malaria selalu tersedia di setiap daerah. (TW)

 

Kinerja Pemerintah Kini Bisa Diakses Lewat Portal Data Indonesia

21aprMencari data seputar kinerja pemerintah nantinya akan lebih mudah, lewat situs bernama Portal Data Indonesia. Portal tersebut dibangun One Data Indonesia, lembaga dibawah Kantor Sekretariat Presiden.

"Begitu klik website data.go.id, maka semua data yang ada di kementerian, lembaga negara hingga pemerintah daerah bisa diakses dengan mudah," kata Robertus Theodore, Technical Director One Data Indonesia di kantor Kementerian Kesehatan Jakarta, Rabu (20/4).

Robertus menjelaskan, pihaknya menargetkan selama 1 tahun ini akan ada 5 kementerian dan lembaga negara yang datanya sudah terkoneksi dalam portal data Indonesia. Selain portal juga memuat data dari pemerintah daerah.

Kelima kementerian dan lembaga negara yang sudah menyatakan komitmennya adalah Kementerian Kesehatan (Kemkes), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dan Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas).

"Setiap tahun, jumlah kementerian dan lembaga negara lainnya akan kami tambah," ujar Robertus yang pada kesempatan itu didampingi Didik Budijanto, Kabid Pengelola Data dan Informasi, Kemkes.

Robertus menjelaskan, pembuatan "mall" data menjadi penting, karena pengelolaan data yang tersebar menyulitkan penggunanya. Kebijakan pemerintah pun bisa diputuskan lewat data yang tersedia dengan cepat.

"Sekarang ini kan data ada dimana-mana, karena setiap kementerian dan lembaga negara memiliki website masing-masing. Masalahnya, begitu kita butuh data, kita harus telusuri satu per satu dari websitenya. Sehingga butuh waktu lama," tuturnya.

Lewat "mall" data itu, Robertus menyakinkan bahwa data bisa diakses dengan cepat. Karena setiap jaringan yang ada dari kementerian dan lembaga negara sudah saling terkoneksi.

Ditanya kemungkinan terjadi tumpang tindih data, Robertus menegaskan, hal itu tidak akan terjadi. Karena "mall" data yang dikembangkannya tidak membuat data baru, tetapi membuat koneksi yang sudah ada.

Ditambahkan, upaya ini sekaligus untuk perbaikan tata kelola data internal pemerintah. Data itu nantinya bisa dimanfaatkan lintas sektor, termasuk masyarakat. "Tak akan ada data yang ditutup-tutupi," ucap Robertus menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Menkes Berangkatkan Tim Nusantara Sehat Gelombang I

18apr-3Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek akan memberangkatkan 45 Tim Nusantara Sehat (NS) Gelombang I, dari total 130 Tim NS selama kurun 2016. Mereka akan bertugas di 45 Puskesmas di 29 kabupaten yang tersebar di 15 provinsi.

Sebelum keberangkatan, Tim NS menerima pembekalan yang diharapkan mampu bekerja dengan baik di wilayah tugasnya, di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).

" Pembekalan yang diberikan terdiri dari bela negara, penguatan program, pengembangan diri serta pelayanan medis dan komunitas," kata Menkes Nila FA Moeloek di depan 225 orang anggota Tim NS Gelombang I, di Pusdikkes Kodiklat TNI AD, Jakarta, Senin (18/4).

Dijelaskan, program NS merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dicanangkan pemerintah untuk mewujudkan cita-cita perbaikan kesehatan. Program itu dirancang guna mendukung pelaksanaan program kesehatan, yang dimulai dengan "membangun" daerah pinggiran guna memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Program NS didasari atas kajian Kemenkes tentang distribusi tenaga kesehatan 2012 yang merekomendasikan penempatan tenaga kesehatan untuk daerah tertentu akan lebih baik jika dilakukan berbasis tim.

"Program NS diharapkan dapat menjadi mekanisme efektif untuk memperkuat pelayanan primer, terutama di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK) serta daerah bermasalah kesehatan (DBK)," ujar Nila.

Disebutkan, rencana jangka menengah Kementerian Kesehatan salah satunya adalah Penguatan Pelayanan Kesehatan (Yankes) primer. Kebijakan itu didasari permasalahan kesehatan yang mendesak seperti angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi, angka gizi buruk, serta angka harapan hidup yang sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan primer.

"Penguatan Yankes Primer adalah garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat, yang berfungsi selain memberi layanan kesehatan juga melakukan tindakan preventif atau pencegahan penyakit secara luas,"tuturnya.

Ditambahkan, penguatan Yankes Primer mencakup tiga hal yaitu fisik (pembenahan infrastruktur), sarana (pembenahan fasilitas), dan sumber daya manusia (penguatan tenaga kesehatan selain dokter). Penguatan dilakukan antara lain melalui penempatan tenaga kesehatan berdasarkan tim.

"Tim Nusantara Sehat diharapkan mampu menjadi ujung tombak layanan kesehatan di perbatasan NKRI dengan berbekal disiplin, loyalitas, dedikasi dan jiwa korsa," ucap Nila menegaskan.

Selain itu, Menkes menambahkan, Tim NS juga harus memiliki semangat pantang menyerah di tempat tugasnya, guna memberi layanan kesehatan paripurna. (TW)

 

BPOM-IPB Kerja Sama Keamanan Pangan

18apr-2Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) guna meningkatkan keamanan pangan masyarakat, lewat program pengembangan Pusat Kajian Kebijakan Keamanan Pangan (PK3P).

"Perlu terobosan untuk perlindungan kesehatan masyarakat yang lebih baik, meningkatkan daya saing produk pangan dan menaikkan kapasitas sumber daya manusia (SDM)," kata Kepala BPOM Roy Sparringa di Jakarta, Jumat (15/4).

Menurut Roy, dilibatkannya perguruan tinggi dalam sosialisasi keamanan pangan masyarakat karena IPB merupakan sumber daya ilmiah. Sehingga masyarakat mendapat informasi yang solid karena berdasarkan hasil penelitian.

Karena itu, Roy berharap, PK3P dapat menjadi pusat unggulan bagi Indonesia dalam meningkatkan keamanan pangan. Karena melakukan pendekatan kemitraan lintas sektor, terutama dari perguruan tinggi.

"Inisiasi pengembangan PK3P ini adalah rintisan awal untuk meningkatkan keamanan pangan dengan memperkuat implementasi kebijakan dan regulasi menggunakan pendekatan ilmiah dan obyektif," ujar Roy.

Ke depannya, Roy berharap kerja sama serupa dengan perguruan tinggi lainnya dapat semakin luas dan berkembang. Perguruan tinggi memiliki
spesialisasi dan potensinya masing-masing untuk memperkuat keamanan pangan di industri, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan penanganan kejadian luar biasa keracunan pangan.

"Kerja sama ini semoga menjadi penguat komitmen kita untuk bersama-sama memajukan keamanan pangan nasional. Selain memperkuat posisi BPOM di kancah regional maupun internasional," tuturnya.

Ditambahkan, PK3P juga diharapkan dapat menjadi motor penggerak dalam
pelaksanaan kajian kebijakan keamanan pangan melalui riset, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat yang inovatif dan mutakhir. (TW)

{jcomments on}

Menteri Kesehatan Asia Bahas Resistensi Antimikroba

18apr-1Menteri kesehatan dari 12 negara di Asia Pasifik bertemu di Tokyo, Jepang untuk membahas masalah resistensi antimikroba (AMR) yang makin berkembang di Asia.

enteri-Menteri Kesehatan Bahas Resistensi Antimikroba (AMR) di Asia

Pertemuan yang digelar Kementerian Kesehatan,Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang bersama badan kesehatan dunia WHO Regional Asia Tenggara (SEARO) dan Regional Pasifik Barat (WPRO) pada 16 April lalu itu saling berbagi pengalaman mengenai situasi dan program pengendalian AMR di negara masing-masing.

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek dalam pertemuan itu menegaskan komitmen Indonesia dalam pengendalian AMR, antara lain lewat Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang dibentuk pada 2014.

Pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba dilakukan di144 rumah sakit rujukan serta Puskesmas di 5 provinsi pilot project.

"Pada April ini Indonesia akan melakukan review program AMR dan menyempurnakan Rencana Aksi Nasional, dengan asistensi WHO SEARO. Proses ini akan melibatkan berbagai sektor," kata Menkes dalam siaran pers yang diterima Senin (18/4).

Ditambahkan, pakar AMR dari WHO, badan pangan dunia FAO, dan organisasi kesehatan hewan dunia OIE serta akademisi dan praktisi yang hadir pada pertemuan itu, mengingatkan ancaman kesehatan global yang serius bila AMR tidak segera ditangani secara terpadu dan multisektoral.

"Karena resistensi antimikroba tidak hanya terjadi pada manusia, namun juga pada hewan dan tanaman," ujarnya.

Karena itu, negara-negara yang hadir dalam pertemuan menyepakati penggunaan pendekatan One Health, yang melibatkan sektor kesehatan, pertanian (termasuk peternakan dan kesehatan hewan) dan lingkungan untuk penanganan masalah AMR.

"Sebab kegagalan atau keterlambatan dalam menangani AMR akan berdampak negatif yang masif terhadap kesehatan, ekonomi, ketahanan pangan dan tujuan pembanguan berkelanjutan," kata Nila Moeloek.

Pada akhir pertemuan bertajuk "Tokyo Meeting of Health Ministers on Antimicrobial Resistance in Asia" itu disepakati pula Komunike Bersama yanh berisi komitmen untuk pengendalian AMR secara terpadu dan kolaboratif. Selain penguatan program melalui Rencana Aksi Nasional yang sejalan dengan Rencana Aksi Global.

Hasil Pertemuan Tokyo itu akan dibawa dan ditindak-lanjuti pada pertemuan G7 di Jepang pada Mei 2016 dan UN General Assembly pada September 2016. (TW)

{jcomments on}

Pakar kesehatan AS benarkan keterkaitan Zika dan kelainan bayi saat lahir

Pusat Pengendalian dan Pencegah Penyakit AS, CDC, sudah membenarkan bahwa virus Zika menyebabkan beberapa kelainan pada bayi yang baru lahir, termasuk microcephaly.

Tahun lalu, ratusan bayi di Brasil lahir dengan microcephaly, sindrom yang menyebabkan anak-anak terlahir dengan kepala yang sangat kecil.

Kelainan tersebut bertepatan dengan kenaikan jumlah infeksi Zika, sehingga pakar mencurigai keterkaitannya dengan virus yang disebarkan oleh nyamuk tersebut.

Penelitian kini sudah membenarkan kekhawatiran para pakar tersebut, kata CDC.

"Penelitian ini menandai titik balik dalam penyebaran Zika. Kini jelas bahwa virus tersebut menyebabkan microcephaly," kata Dr Tom Frieden, kepala CDC.

Pada Senin, pejabat kesehatan AS mengingatkan bahwa dampak penyebaran Zika bisa lebih parah dan mereka meminta dana tambahan untuk melawan virus tersebut.

"Semua yang kita ketahui tentang virus ini tampaknya lebih menakutkan dari yang kita pikirkan sebelumnya," kata Dr Anne Schuchat dari CDC.

Virus Zika pertama didiagnosis pada 1947 di Uganda, tapi gejalanya cenderung tidak berbahaya, seperti gatal-gatal, sakit pada persendian dan demam.

Penyebaran Zika terbaru pada 2015 di Brasil dan gejalanya kini semakin parah. Hampir 200 bayi meninggal karena virus ini.
Peneliti kini mempelajari kenapa dalam beberapa kasus virus tersebut menyebabkan kelainan pada beberapa kelahiran tapi tidak berdampak pada kelahiran lainnya.

Beberapa perempuan yang terinfeksi Zika saat hamil melahirkan bayi-bayi yang sehat.
Kini ada 346 kasus Zika yang terkonfirmasi di AS, menurut CDC, dan semuanya terkait dengan perjalanan.

http://www.bbc.com/

 

Peserta Mandiri Tak Mampu Bayar Iuran Diusulkan Masuk Skema Jamkesda

Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris menyatakan, peserta mandiri yang tak mampu lagi membayar iuran bulanan, diusulkan untuk masuk skema Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah).

"Diharapkan tidak ada lagi peserta mandiri yang kesulitan saat berobat, karena iurannya sudah ditangani pemerintah daerah lewat Jamkesda," kata Fachmi dalam acara "Public Expose" 2016 di Jakarta, Rabu (13/4).

Fachmi menjelaskan, peserta mandiri yang bisa masuk dalam skema Jamkesda adalah mereka yang tidak masuk kelompok PPU (pekerja penerima upah). Kondisi ekonomi keluarga saat itu sedang memburuk, sehingga perlu dibantu sementara.

"Tapi ada konsekuensinya, jika kondisi keuangan membaik harus segera lapor. Mereka juga akan pengawasan dalam pengurusan pasport, surat izin mengemudi atau kartu tanda penduduk jika ternyata tidak memberi data yang benar," tutur Fachmi.

Dalam kesempatan itu, Fachmi Idris yang didampingi seluruh jajarannya membantah BPJS Kesehatan kesulitan uang dalam membayar klaim. Karena hingga akhir tahun lalu memiliki aset lancar berupa uang kas sebesar Rp 1,94 triliun.

Selama ini, BPJS Kesehatan memang mencatatkan angka missmacth. Missmatch di sini timbul akibat tingginya pembayaran klaim, sementara tidak diimbangi dengan iuran yang masuk.

Proyeksi dari RKAP (Rancangan Kerja Anggaran Perusahaan) 2016, BPJS Kesehatan masih defisit sebesar Rp 9,25 triliun. BPJS Kesehatan akan menaikkan iuran sehingga ada potensi tambahan Rp 2,19 triliun. Sehingga masih ada potensi defisit sekitar Rp 7,06 triliun di tahun ini.

"Jadi tidak benar kami BPJS Kesehatan nggak punya uang buat bayar klaim dari rumah sakit. Buktinya kita punya kas tahun lalu setelah audit sebesar Rp 1,94 triliun," katanya.

Fahmi menjelaskan, dana kas sebesar itu berasal dari sisa penerimaan setelah dipotong manfaat atau klaim sebesar Rp57,80 triliun.

Sementara penerimaan berasal iuran premi sebesar Rp52,78 triliun, penerimaan dari suntikan negara lewat Penanaman Modal Negara (PMN) yang cair pada September 2015 sebesar Rp 5 triliun, serta hasil dana kelola investasi BPJS Kesehatan sebesar Rp 1,67 triliun.

"Kita kerja keras dan berhasil mengumpulkan yield dari investasi di beberapa instrumen sebesar Rp 1,67 triliun. Memang BPJS Kesehatan akan selalu missmatch klaim dengan iuran, tapi kita kurangi dengan imbal dari hasil investasi kami," ucapnya.

Kalaupun banyak kasus rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain yang sulit mencairkan klaim, ujar Fahmi, hal itu terjadi karena dokumen yang disertakan belum lengkap, atau harus diverifikasi kembali.

"Kita ada uang. Pembayaran klaim pada prinsipnya kalau berkas lengkap pasti cepat. Kan harus confirm, clarified, and qualified. Kalau nggak hati-hati nanti bisa jadi temuan, soalnya ini negara, harus hati-hati keluarkan," ungkapnya.

Ia menuturkan, klaim berasal dari jumlah kunjungan atau pemanfaatan fasilitas kesehatan peserta BPJS Kesehatan sebanyak 100,62 juta kunjungan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Kemudian ada 39,81 juta rawat jalan, dan 6,31 juta kunjungan rawat inap di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL) di rumah sakit atau poliklinik.

"Selama 2015, program jaminan kesehatan nasional yang dikelola BPJS Kesehatan telah bekerjasama dengan 19.969 FKTP, 1.847 rumah sakit, dan 2.813 fasilitas kesehatan penunjang seperti apotek, optik, dan lainnya," kata Fahmi.

Fachmi mengemukakan, tahun ini BPJS Kesehatan kembali mendapat opini Wajar Tanpa pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) dan BPJS Kesehatan untuk periode yang berakhir pada 31 Desember 2015.

Untuk Laporan Tahun 2015, audit dilakukan KAP Mulyamin Sensi Suryanto & Lianny (MSSL) yang berafiliasi dengan Moore Stephens International Limited. (TW)

{jcomments on}