Sejumlah penjaga apotek rakyat di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, memasang wajah datar saat saya menanyakan beragam vaksin dasar untuk bayi.
"Lagi nggak ada," ujar seorang pria di balik meja etalase sambil menggeleng pelan.
"Vaksin?" tanya pemuda bertubuh mungil di toko lain. Tangannya menepuk rekan di sebelahnya. Yang ditepuk duduk menunduk dan melambaikan tangan, mengisyaratkan tidak punya.
Namun, ada pula yang meladeni. Darinya saya mengetahui bahwa vaksin untuk bayi dapat diperoleh tanpa resep dokter dengan harga yang jauh lebih murah, walau tiada jaminan bahwa vaksin tersebut adalah produk asli.
- Peneliti Indonesia 'punya konstruksi' vaksin untuk virus Zika
- Perlu 'kesigapan' menjelaskan Zika pada masyarakat
- Filipina mulai program vaksinasi demam berdarah pertama dunia
Praktik penjualan vaksin tanpa resep dokter di apotek rakyat seharusnya mendapat sorotan dari Kementerian Kesehatan, menurut Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta kepada BBC Indonesia.
Sebab, mengacu pada Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No.35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
"Memang pembinaan dan pengawasannya masih sangat lemah. Obat daftar G, yang seharusnya memakai resep dokter, hanya boleh di apotek. Tapi kita lihat toko obat juga banyak yang menjual (obat daftar G)," kata Marius dengan nada tinggi.
Marius mengutarakan argumentasinya ketika ditanya mengenai pengawasan terhadap peredaran vaksin dan obat sehubungan dengan ditemukannya vaksin palsu di sebuah apotek rakyat di Jakarta Timur oleh kepolisian, pekan lalu.
Penemuan itu kemudian dikembangkan aparat sehingga sebanyak 10 orang ditangkap di Jabodetabek atas dugaan terlibat jaringan pemalsu beragam vaksin dasar untuk bayi, termasuk campak, polio, hepatitis B, tetanus, dan BCG (Bacille Calmette-Guerin).
Penjualan di apotek
Menurut Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta, ada dua institusi yang berwenang mengawasi peredaran obat dan vaksin, yaitu Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Akan tetapi, lantaran terdapat PMK No.35 tahun 2014, wewenang BPOM untuk mengawasi peredaran obat di apotek beralih ke Kementerian Kesehatan.
"Apotek ada dua, apotek biasa dan apotek rakyat, toko obat yang telah dinaikkan statusnya menjadi apotek karena menjual obat resep dokter. Nah, sudah menjadi tugas Kementerian Kesehatan untuk mengawasi apotek-apotek tersebut," kata Marius.
Kementerian Kesehatan tidak membantah bahwa vaksin bisa dibeli di apotek rakyat.
"Karena tersedia barangnya, ada yang dipasarkan (apotek rakyat)," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Oscar Primadi seraya menghela napas panjang.
Untuk kontrol dan pengawasan, Oscar merujuk Badan Pengawas Obat dan Makanan.
"Fungsi pengawasan ada di BPOM. Kalau untuk pengadaan vaksin, terus terang sudah sesuai dengan rantai distribusinya, sudah terstruktur. Malah catatan pelaporannya sudah kita bakukan," kata Oscar.
Penelusuran
Badan Pengawas Obat dan Makanan sendiri mengaku telah menelusuri pemalsuan vaksin, namun jumlahnya tidak sebesar yang ditemukan kepolisian.
"Sudah lama vaksin palsu kita deteksi ada, 2014 sudah kita telusuri. Tetapi waktu itu sporadis sekali, ada yang di Aceh. Kita ketemu juga di Kramat Jati. Tapi waktu itu jumlahnya kecil, yang ditangkap Bareskrim ini jumlahnya besar," kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Tengku Bahdar Johan Hamid.
Berdasarkan keterangan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar, dari 10 orang yang ditahan, lima orang di antara mereka diduga sebagai produsen, dua orang kurir, 2 orang penjual atau distributor, dan seorang pencetak label.
Pemalsuan ini sudah berlangsung sejak 2003 dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Keuntungan yang didapat dari praktik itu mencapai Rp25 juta setiap minggu.
Polisi, kata Boy, masih mengembangkan penyelidikan kasus ini terkait dugaan keterlibatan aparat negara.
"Karena vaksin ini kan obat yang distribusinya khusus ya, tidak bisa melalui jalur bebas. Biasanya (distribusi) dilakukan dinas-dinas kesehatan yang berada di daerah," ujar Boy.
Melalui Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 42 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, pengadaan vaksin hingga distribusi menjadi tanggung jawab pemerintah.
Dengan demikian, pemerintah (pusat dan daerah) bertanggung jawab terhadap pengadaan yaitu membeli dari perusahaan farmasi, lalu pemerintah pula yang mendistribusikannya.
http://www.bbc.com/