Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti meminta Fakultas Kedokteran se-Indonesia mendukung peningkatan kualitas calon dokter dengan memahami filosofi pengobatan tradisional asli Indonesia. Mendukung penyelenggaraan penelitian kearifan lokal dan metode pengobatannya, untuk dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai pengayaan dalam kurikulum pendidikan dokter.
Hal itu disampaikan Ali Ghufron Mukti dalam Lokakarya Penerapan Model Kurikulum Kesehatan Tradisional pada Pendidikan Dokter di Universitas Andalas, Sabtu (5/10). Lokakarya diselenggarakan untuk merumuskan bagaimana melakukan pelayanan kesehatan tradisional terpadu dengan medis, dan memiliki standar sehingga bisa diterapkan di rumah sakit dan puskesmas.
Ali Ghufron Mukti memaparkan, dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pelayanan kesehatan tradisional termasuk salah satu dari 17 jenis upaya kesehatan yang harus terselenggara secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Dalam PP 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional juga diatur pelayanan kesehatan tradisional alternatif dan komplementer dilaksanakan secara sinergi dan integrasi dengan pelayanan kesehatan. Diarahkan untuk pengembangan lingkup keilmuannya supaya sejajar dengan pelayanan kesehatan.
Sesuai Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014, pelayanan kesehatan tradisional akan diterapkan secara bertahap di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia.
Menurut Ali, untuk mengembangkan program kesehatan tradisional sebagaimana yang diharapkan tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak tantangan yang harus dihadapi, di antaranya terkait regulasi, ketersediaan tenaga dan kompetensi kesehatan tradisional, dan ketersediaan bahan/ramuan obat tradisional. Itu semua membutuhkan tekad dan upaya yang keras serta koordinasi yang baik dengan unsur-unsur terkait.
Dia berharap, Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam hal pengobatan tradisional dan ramuan pengobatan. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi obyek pemasaran produk-produk impor, baik bahan ramuan maupun cara atau metode kesehatan tradisional yang banyak masuk ke tanah air. "Hal ini semakin relevan saat kita masih mengimpor bahan baku obat lebih dari 96 persen," jelas pria kelahiran Blitar 17 Mei 1962 ini.
Ali menilai, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah penerapan integrasi pelayanan kesehatan tradisional pada fasilitas kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit. Sebab, integrasi pelayanan kesehatan tradisional ke sistem pelayanan kesehatan nasional merupakan kesepakatan negara-negara di bawah naungan WHO,dan komunitas ASEAN juga sepakat untuk menerapkannya. ASEAN bahkan sudah memiliki Roadmap Traditional Medicine 2012-2025, yang setiap tahunnya bertemu dan mengevaluasi progres masing-masing negara dan progres kerjasama antar negara, serta membuat rekomendasi atau kesepakatan tahunan yang intinya merupakan tekad operasional ASEAN membangun pelayanan kesehatan tradisional.
Dalam penerapannya, pengobatan tradisional harus diatur agar pengintegrasian pelayanan kesehatan tradisional berjalan sinergi dengan pelayanan kesehatan konvensional. Pengobatan tradisional yang terbukti secara ilmiah aman dan bermanfaat dapat dikombinasikan dengan pengobatan konvensional sebagai pelengkap (komplementer), atau sebagai pengganti (alternatif) bila terapi konvensional tidak bisa diberikan.
"Saat ini kita (Indonesia, red) telah memiliki 73 Rumah Sakit Pemerintah yang menyediakan layanan kesehatan tradisional sebagai alternatif komplementer (dari target Renstra 2014 sebanyak 70 Rumah Sakit) dan sudah melaksanakan pelayanan kesehatan tradisional pada 573 Puskesmas pada pertengahan tahun 2013 dari target Renstra pada tahun 2014 sebanyak 502 Puskesmas atau sudah melampaui target karena permintaan yang tinggi untuk melakukan pelayanan kesehatan tradisional, berupa pelayanan herbal, akupressur atau akupunktur," jelasnya.
Pencetus Jamkesmas yang juga Dekan Fakultas Kedokteran UGM termuda itu menyebutkan, alasan mengangkat kesehatan tradisional sebagai bagian penting dalam upaya meningkatkan kesehatan di tanah air punya banyak alasan.
Pertama, Indonesia dianugerahi kekayaan hayati tanaman obat yang sangat berlimpah, bahkan terbesar keempat di dunia. "Sekadar catatan, beberapa tahun lalu kita masih pada urutan kedua setelah Brazil. Namun jika dilihat dalam kapasitas biodiversitas di darat dan di laut, Indonesia menjadi yang terbesar didunia," papar peraih doktor bidang kesehatan masyarakat di Universitas Newcastle, Australia ini.
Kedua, Ali Ghufron Mukti melihat ada pergeseran pola hidup masyarakat dunia termasuk Indonesia yang berkembang menuju paradigma back to nature, dengan menggunakan cara-cara tradisional untuk kesehatan. Dia mencontohkan, Republik Federal Jerman sudah mencapai 78 persen masyarakatnya back to nature dan mereka menetapkan umur harapan hidup menjadi 90 tahun.
Ketiga, pemanfaatan bahan tanaman obat (jamu) secara empiris telah menjadi bagian tradisi budaya masyarakat sejak dulu dan sampai saat ini masih terus berkembang. Sekaitan dengan itu, presiden telah mendeklarasikan jamu sebagai Brand of Indonesia dan diamanatkan untuk diterapkan di fasilitas kesehatan.
Keempat, menurutnya pengelolaan kesehatan tradisional yang baik mempunyai potensi cukup besar dalam menyejahterakan rakyat. Tentu saja ini perlu dilakukan melalui kemitraan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.
Kelima, menurut dia, kewajiban negara untuk memenuhi mandat pasal 28 huruf H Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan setiap warga negara mempunyai hak sama memperoleh pelayanan kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
"Artinya upaya kesehatan tidak saja mengobati yang sakit menjadi sehat tapi diamanatkan mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya," jelas peraih penghargaan Research Fellow di Brown University, USA ini.
Saat ini Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional Alternatif dan Komplementer telah memfasilitasi terbentuknya Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T) di 30 Provinsi. Tugas utama Sentra P3T adalah melakukan penapisan terhadap pelayanan kesehatan tradisional yang berkembang di masyarakat dan menggali local wisdom di tiap Provinsi. "Sentra P3T ini ditetapkan pengorganisasiannya dengan Surat Keputusan Gubernur dan pelaksanaannya dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi," jelasnya.
Dia minta Fakultas Kedokteran di Indonesia mengambil peran dengan memasukkan mata kuliah pengobatan tradisional dalam kurikulum pendidikan dokter. Dengan begitu, sekurang-kurangnya lulusannya memahami landasan filosofis, khususnya pada mata kuliah ilmu biomedis dan prinsip konsep pengobatan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer, jenis metoda pengobatan, obat tradisional, tata cara pengobatan, keamanan dan manfaatnya dan sebagainya.
Kemudian, dia berharap FK memfasilitasi pendidikan tinggi pengobat kesehatan, tradisional, alternatif dan komplementer. kemudian, memfasilitasi penelitian pengobatan kesehatan alternatif dan komplementer di Perguruan Tinggi. (adi)
sumber: padangekspres.co.id