KTM OKI, RI Tekankan Pentingnya Kerjasama Bidang Kesehatan

Indonesia Menekankan Pentingnya Kerjasama Bidang Kesehatan antar negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Hal ini disampaikan oleh Wakil Presiden RI, Prof Dr Boediono, saat dilaksanakannya Inaugural Session Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Kesehatan ke-4 Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Istana Wakil Presiden, baru-baru ini.

"Kerjasama antar negara anggota OKI di bidang kesehatan tidak saja akan memperkuat OKI secara organisasi, tetapi juga akan menempatkan OKI sebagai organisasi internasional yang semakin kokoh". Sebelum acara Inaugural Session tersebut, telah dimulai sesi KTM Kesehatan ke-4 OKI (22/10).

KTM Kesehatan OKI merupakan bentuk kerjasama kesehatan di antara negara-negara dalam kerangka OKI yang dilaksanakan setiap 2 (dua) tahun sekali. Tema yang diangkat dalam pertemuan KTM Kesehatan ke-4 ini adalah Better Nutrition, Better Health, Better Ummah.

KTM Kesehatan ke-4 ini dihadiri 40 delegasi negara-negara anggota, dari 57 negara anggota, 11 diantaranya dipimpin oleh Menteri Kesehatan, yaitu dari Uganda, Arab Saudi, Suriname, Gabon, Gambia, Palestina, Mesir, Mauritania, Mozambique, Niger, dan Indonesia.

Pada KTM Kesehatan ke-4 ini, Menteri Kesehatan RI, dr Nafsiah Mboi SpA MPH, telah terpilih sebagai Ketua menggantikan Mr. Eric Abenovich Bayzhunusov, Menteri Kesehatan Republik Kazakhstan, selaku Ketua KTM Kesehatan ke-3 OKI. Keketuaan Indonesia dalam KTM Kesehatan OKI akan diemban selama 2 (dua) tahun hingga tahun 2015, sesuai dengan Resolusi No. 1/3 ICHM on Strengthening Health Cooperation pada KTM Kesehatan ke-3 OKI di Astana, Kazakhstan tahun 2011.

KTM Kesehatan OKI ke-4 ini telah membahas berbagai tema diskusi, dalam 8 (delapan) working session, yaitu: Pengendalian Tuberkulosis; Eradikasi malaria; Eradikasi Polio; Menurunkan kasus kematian ibu dan anak yang dapat dicegah; Kemandirian dalam ketersediaan dan produksi farmasi, termasuk vaksin; Gizi dan stunting; Gaya hidup sehat dan pengendalian penyakit tidak menular; dan Kontribusi OKI dalam agenda pembangunan global pasca 2015.

sumber: www.suaramerdeka.com

 

130 Juta Dolar untuk Indonesia Atasi AIDS, TB dan Malaria

Kementerian Kesehatan menerima bantuan sebesar total 130 juta dolar AS untuk digunakan memerangi tiga penyakit yaitu AIDS, tuberkulosis dan malaria serta 20 juta dolar AS untuk mendukung akses keluarga berencana (KB).

"Kami berharap dalam 5-10 tahun ke depan, tiga penyakit ini dapat dikendalikan. Mungkin tidak bisa eliminasi tapi paling tidak bisa dikontrol," ujar Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam jumpa pers di Jakarta, Senin.

Bantuan tersebut berasal dari Tahir Foundation dan Gates Foundation yang masing-masing menyumbangkan 65 juta dolar AS bagi penanggulangan AIDS, Tuberkulosis dan malaria serta 10 juta dolar untuk peningkatan akses KB.

"Dengan tambahan dana yang sedemikian banyak berarti semakin banyak orang yang bisa dijangkau untuk deteksi dan juga pengobatan," kata Menkes.

Saat ini jumlah penderita TB dan malaria menurutt Menkes telah menurun dan malaria di Indonesia hanya tersisa di enam provinsi yaitu Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT dan Bangka Belitung.

"Oleh karena itu kami akan konsentrasikan dana kesitu (enam provinsi), baik dana dari pemerintah maupun NGO (lembaga swadaya masyarakat)," kata Menkes.

Dana 130 juta dolar AS itu dikatakan Menkes merupakan bantuan dalam jangka waktu lima tahun ke depan dan Menkes berharap semakin banyak bantuan yang datang kedepannya.

"Sebenarnya kami tahu caranya (menanggulangi) sehingga jika sumber daya (finansial) mencukupi, semakin banyak daerah yang dicapai sehingga suatu saat ketiga penyakit ini akan dapat dikontrol," papar Menkes.

sumber: health.liputan6.com

 

Pesan Menkes untuk Petugas Medis: Berlakulah Ramah dan Santun pada Pasien

Guna mencapai pemenuhan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tak hanya fasilitas memadai saja yang harus dipenuhi oleh penyedia layanan kesehatan seperti klinik, puskesmas, atau rumah sakit. Sumber daya manusianya yang berkualitas juga memegang peranan penting.

"Untuk mendukung layanan kesehatan yang optimal, diperlukan sumber daya manusia yang baik, ramah dan bersikap empati serta perhatian pada pasien dan juga santun. Berlaku untuk semua pegawai terutama dokter dan perawat," kata Menteri Kesehatan Dr Nafsiah Mboi, SpA, MBA dalam Grand Opening Mayapada Hospital di Mayapada Hospital, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Kamis (24/10/2013).

Selain itu, menurut Nafsiah, paramedis juga harus mau berkomunikasi pada pasien dan berkenan menjawab pertanyaan pasien maupun keluarga pasien dengan jujur, sabar, dan arif. Dalam sambutannya, Nafsiah juga menginginkan pelayanan rumah sakit di Indonesia, termasuk rumah sakit yang baru beroperasi bisa dinikmati masyarakat dari seluruh tingkat ekonomi. Sebab, salah satu pembangunan upaya kesehatan di Indonesia yakni dengan meningkatkan akses kesehatan masyarakat.

Selain itu, Nafsiah juga berharap rumah sakit yang baru beroperasi seperti Mayapada Hospital bisa menjadi rumah sakit rujukan dari rumah sakit lain sebagai wujud nyata dukungan swasta dalam memberi layanan kesehatan yang optimal terhadap masyarakat. "Dengan diresmikannya rumah sakit ini jadi ada 143 rumah sakit di Jakarta. Saat ini, jumlah tempat tidur rumah sakit saat ini asa 20.261 itu dua kali lipat dari kebutuhan. Kalau ada rumah sakit yang membeludak jangan salahkan rumah sakit atau Pak Gubernur ya, mungkin banyak yang sakit karena merokok," kata Nafsiah sembari tertawa.

Sementara itu Menkokesra Agung Laksono mengatakan baru 57,6 persen rumah sakit di Indonesia yang diakreditasi. Meskipun masih banyak tantangan pembangunan kesehatan di Indonesia, Agung menyatakan pemerintah tetap ingin membenahi infrastruktur rumah sakit yang sangat dibutuhkan terutama oleh masyarakat menengah ke bawah.

"Kami ingin mempunyai rumah sakit yang berkualitas baik dan kedepannya (rumah sakit) yang ada di Indoenesia tidak akan kalah dengan yang diluar negeri, seperti di Malaysia, Singapura," kata Agung.

sumber: health.detik.com

 

 

 

Belum Ratifikasi FCTC, Menkes Malu di Konferensi OKI

Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, mengaku sangat malu di Konferensi Tingkat Menteri Kesehatan Organisasi Kerja Sama Islam atau Organization Islamic Cooperation (OIC), lantaran Indonesia satu-satunya negara yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Masalah dampak rokok terhadap kesehatan menjadi salah satu poin utama yang dibicarakan dalam konferensi ke-4 OKI.

Dari sekitar 57 negara anggota OKI dari kawasan Asia, Arab, dan Afrika, hanya Indonesia dan Somalia yang belum meratifikasi FCTC. Namun Somalia tidak hadir dalam pertemuan OKI kali ini.

"Somalia belum ratifikasi karena tidak ada pemerintahannya, sedangkan Indonesia saya tidak tahu. Jadi, saya tidak menanggapi apa pun soal masalah rokok, tapi saya malu sekali," kata Nafsiah seusai membuka konferensi tersebut, di Jakarta, Selasa (22/10).

Penyakit tidak menular akibat dipicu konsumsi rokok, seperi kanker, stroke, dan serangan jantung, juga menjadi pembahasan sekitar 37 negara anggota OKI yang hadir. Sebab, sejumlah negara anggota OKI, termasuk Indonesia kini menghadapi masalah kesehatan ganda, yaitu penyakit menular yang belum tertangani ditambah penyakit tidak menular dengan kasusnya terus meningkat.

"Di semua negara masalahnya sama, yaitu karena adanya perubahan gaya hidup, perubahan gizi, dan lingkungan seperti polusi baik udara, darat, maupun air yang banyak menyebabkan kanker, kerusakan janin, dan penyakit tidak menular lainnya," kata menkes.

Rokok menyebabkan penyakit-penyakit berbiaya mahal dan membebani penderitanya secara ekonomi atau dalam istilah WHO, burden of diseases. Di antara penyakit-penyakit dalam kategori ini, penyakit karena rokok menjadi penyumbang terbesar, termasuk di Indonesia.

Secara terpisah, Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, tidak hanya di antara negara anggota OKI, di dunia internasional pun Indonesia sudah malu. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sangat memalukan karena Indonesia adalah konsumen rokok terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan India. Di antara negara OKI, hanya Indonesia yang memiliki perokok aktif terbanyak, yakni sekitar 72 juta orang.

Juga memalukan karena Indonesia telah melanggar kesepakatan OKI untuk meratifikasi FCTC pada konferensi beberapa tahun lalu di Kuala Lumpur, Malaysia. Padahal Menteri Kesehatan Siti Fadillah kala itu ikut menandatangani kesepakatan tersebut. Sedangkan semua negara OKI, kecuali Somalia, sudah mengharamkan rokok, dan mengimplementasikannya dengan meratifikasi instrumen internasional itu.

"Sebagai negara OKI dengan penduduk muslim terbanyak Indonesia tidak konsisten, dan melanggar asas kepatuhan di OKI," kata Tulus kepada Beritasatu.com, di Jakarta, Rabu (23/10).

Oleh karena itu, YLKI mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung komitmen Nafsiah Mboi untuk mempercepat ratifikasi FCTC. Jika regulasi yang ditetapkan sejak tahun 2003 itu tidak diratifikasi, Indonesia selalu menjadi pasar potensial rokok.

Target MDGs

Nafsiah Mboi menambahkan, untuk pertama kalinya dalam konferensi kali ini, negara OKI sepakat untuk membuat program kerja dan implementasi jangka panjang yakni 2014-2022. Program kerja ini, antara lain untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) 2015 dan program pasca-MDGs.

Sebab, kata menkes, ada sekitar 14 negara anggota OKI belum mencapai target MDGs terkait masalah kesehatan, termasuk Indonesia yang masih tertinggal dalam hal menekan angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan kasus HIV/AIDS. Namun, menkes tidak secara detail menyebutkan negara mana saja yang belum berhasil.

Terkait HIV/AIDS, kata menkes, anggota OKI pun tidak menyangka kasusnya masih tinggi di negara-negara Muslim, termasuk Malaysia. Pasalnya, penyakit ini erat kaitannya dengan perilaku seks berisiko, dan di negara yang berpenduduk Muslim terbanyak masalah ini mestinya tidak perlu dikhawatirkan.

Menurut menkes, negara yang belum mencapai MDGs dikarenakan banyak faktor, di antaranya berpenduduk banyak dan terlambat melaksanakan MDGs. Sedangkan yang sudah berhasil mencapai MDGs terkait kesehatan, kata menkes, justru negara kecil yang berpenduduk sedikit namun kaya, seperti Brunei Darussalam dan Kazakhstan.

Adapun konferensi yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali ini membahas masalah prioritas kesehatan masyarakat Muslim dan meninjau berbagai aspek status kesehatan di negara-negara anggota OKI, termasuk perkembangan dan situasi, kekhawatiran, kebutuhan serta prioritas dalam bidang kesehatan. Di antaranya rencana persiapan pandemi gizi dan kerjasama konkrit negara OKI di bidang kesehatan. Juga membahas mengenai penyakit dan masalah kesehatan yang masih dihadapi negara OKI seperti penyakit TB, malaria, polio, kemandirian farmasi termasuk vaksin, gizi dan stunting (pendek), gaya hidup sehat dan penyakit tidak menular serta kontibusi negara OKI dalam dokumen MDGs tahun 2015.

sumber: www.beritasatu.com

 

Indonesia Merdeka, Dunia Kesehatan Terjajah

Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kesehatan merupakan hak dasar setiap individu dan warga Negara. Maka Pemerintah wajib untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman,bermutu dan terjangkau sesuai dengan amanah UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan sumber daya dibidang kesehatan yang ada pemerintah coba untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa.

Timbul pertanyaan apakah rakyat Indonesia sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman,bermutu dan terjangkau? Jika telinga kita tuli, mata kita buta dan hati penuh kemunafikan kita akan menjawab "Ya" karena di luar sana kesehatan bukan lagi menjadi tanggung jawab kita sebagai penikmat kemerdekaan namun bentuk penjajahan terhadap sebagian besar saudara sebangsa dan se Tanah Air. Kita tidak bisa diam diarus masyarakat yang kacau dan Tenaga kesehatan dalam hal ini dokter, perawat, bidan, analis, farmasis dan semua tenaga kesehatan lainnya memiliki andil yang besar untuk bisa mewujudkan ini semua.

Antara profesi kesehatan yang satu dan lainnya memiliki keterkaitan, olehnya harus ada kesatuan aksi dari seluruh tenaga kesehatan. Walau dalam kenyataan dilapangan hari ini terjadi kesenjangan di antara profesi kesehatan yang dilatar belakangi oleh tidak meratanya Sumber daya manusia di setiap profesi kesehatan, arogansi pada setiap profesi kesehatan yang terkadang merasa hebat dari lainnya, tingkat kesejahteraan, regulasi pemerintah yang terkadang tidak adil serta kurangnya azas pemerataan.

Salah satu Pemicu yang semakin memperparah dunia kesehatan di Tanah air adalah sikap dari Industri farmasi dan alat kesehatan yang coba menggeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan memanfaatkan beberapa profesi kesehatan. Terciptalah simbiosis mutualisme diantara mereka-mereka yang melunturkan sifat kemanusiaannya dan sumpah profesi yang telah di IKRAR kan dalam setiap hembus nafasnya.

Salah satu contoh dalam penetapan Harga Jual Pabrik (HJP) atau Cost of Goods Sales (COGS) untuk suatu produk. HJP = HPP + Biaya Pemasaran + Biaya Administrasi + Biaya Manajemen + Pajak + Keuntungan + Lisensi. Pemerintah bisa menjalankan fungsi regulasi dan pengawasan dengan menekan Biaya Administrasi + Biaya Manajemen + Pajak Agar harga obat dan alkes bisa terjangkau oleh seluruh masyarakat. Namun lucunya Pemerintah malah sibuk mengurusi pengurangan pajak barang mewah untuk elektronik tanpa pernah sadar impor bahan baku obat yang begitu besarnya berdampak pada semakin mahalnya harga obat dan alat kesehatan.

Dari sisi Biaya Pemasaran Industri farmasi khusus untuk produk ethical/resep bisa mencapai 35 persen dari Harga Jual Pabrik. Timbul pertanyaan mengapa begitu tingginya biaya pemasaran? Biaya pemasaran tersebut dikucurkan oleh industri farmasi melalui pasukan-pasukan detailer (Medical representative) untuk mempengaruhi dokter menuliskan resep obat yang diproduksinya dan Apoteker meyiapkan Obat tersebut di apotek. Sebuah Konspirasi yang nyata dari tenaga kesehatan. Tidak semua begitu tapi kebanyakan.

Strategi Pemasaran yang dilakukan oleh Industri farmasi dan alkes telah berhasil mengadu-domba profesi kesehatan. Karena terbukti mampu untuk memperkaya segelintir dokter, apoteker, perawat, analis, dan lain-lain. Bagaimana dengan tenaga kesehatan yang coba menjaga idealisme mereka? Mereka terpojokkan, mereka menjadi termaginalkan baik dari sisi kesejahteraan, jabatan dan profesi. Yang benar disalahkan, yang salah coba untuk tampil menjadi ratu keadilan. Gratifikasi yang dilakukan oleh Industri Farmasi seharusnya ditindak oleh lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Industri Farmasi, detailer dan tenaga-tenaga kesehatan yang merugikan hajat hidup orang banyak harus ditangkap dan dipenjarakan.

Menjadi tugas kita semua untuk merubah citra dunia kesehatan di Indonesia tanpa harus saling menyalahkan dan membenarkan apa yang kita lakukan. Kita sebagai tenaga kesehatan harus mahfum bahwa dalam menjalankan profesi kita bukan hanya untuk mencari penghasilan yang sebesar-besarnya tetapi ada tanggung jawab sosial didalamnya sebagai putra(i) bangsa ini.

Yang diperlukan di negeri ini adalah tenaga-tenaga kesehatan yang berkerja dengan kerja-kerja kepahlawanan. Harumnya sekuntum bunga ada batasnya Harumnya jasa seorang pahlawan tiada batasnya. M e r d e k a ...(*)

sumber: makassar.tribunnews.com

 

Bantuan 130 Juta Dolar untuk Tanggulangi AIDS, Malaria dan TB

Indonesia kembali menerima dana bantuan dari Global Fund untuk penanggulangan AIDS, malaria, dan tuberkulosis. Dana sebesar 130 juta dollar AS tersebut akan diberikan mulai 2014 hingga 2019.

Dana ini akan digunakan untuk upaya pencegahan maupun pengobatan 3 penyakit dengan angka infeksi tertinggi di Indonesia tersebut . Sebelumnya pada 2003, Indonesia telah bekerja sama dengan Global Fund menangani penyakit yang sama.

Pada 2003 sejumlah provinsi menerima bantuan dari Global Founds. Untuk pengobatan TB, semua propinsi di Indonesia memberoleh bantuan obat. Bantuan diberikan sampai proses pengobatan selesai, selama kurang lebih 6 bulan.

Sementara untuk penanggulangan AIDS, pasien yang terinfeksi virus HIV mendapat terapi obat antiretroviral. Sedangkan untuk malaria, bantuan diberikan sebagai upaya pencegahan dalam bentuk kelambu berinsektisida.

Sejak 2003 hingga Oktober 2013 tercatat 1,3 juta kasus baru TBC telah dideteksi dan diobati. Sebanyak 8,8 juta orang menerima bantuan kelambu berinsektisida. Selain itu, sejumlah 29 ribu orang mendapat terapi antiretroviral.

Pemberian bantuan dinilai efektif mengendalikan 3 penyakit tersebut. "Angka penularan AIDS, malaria, dan TBC berhasil ditekan, sehingga kerjasama ini dilanjutkan," kata Menteri Kesehatan RI yang juga Ketua Dewan Global Found, Nafsiah Mboi, pada konferensi pers di Jakarta, Senin (21/10/2013).

Penurunan paling besar terjadi pada angka infeksi penyakit TBC. Setelah sebelumnya penyakit ini memiliki sebaran 450 per 100 ribu penduduk, pada 2012 jumlah ini menjadi 285 per 100 ribu penduduk. Sementara untuk malaria rata-rata angka sebaran adalah 1,75 per 100 ribu penduduk. Untuk AIDS jumlah penderita yang terdata sejak 2003-2012 adalah 43.600 jiwa.

Untuk bantuan Global Fund yang akan dikucurkan pada 2014, belum ditentukan program ataupun pencanangan targetnya. "Penanganan AIDS, malaria, dan TBC untuk dana 2014 belum dibahas. Perencanaan ini akan disesuaikan dengan perencanaan strategis nasional yang kita miliki. Namun mungkin ada beberapa yang tetap," kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Kementrian Kesehatan RI, Untung Suseno Sutarjo.

Rencana yang kemungkinan tetap adalah penanggulangan malaria di 6 provinsi di Indonesia. Propinsi tersebut adalah Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Bangka Belitung. Hal ini dikarenakan angka sebaran malaria yang masih tinggi yaitu 40-80 per 1.000 penduduk.

Selain untuk penanggulangan AIDS, malaria, dan TB, Global Fund juga mengucurkan 20 juta dolar Amerika untuk peningkatan akses keluarga berencana. Program komprehensif meliputi pelayanan informasi, penyediaan alat kontrasepsi, dan pelayanan KB. Program ini direncanakan bisa diakses 120 juta perempuan dari kalangan ekonomi lemah hingga 2020.

Adapun dana Global Fund untuk Indonesia berasal dari Tahir Foundation dan Gates Foundation. Tahir Foundation berada dibawah naungan grup Mayapada, yang diketuai Dato Sri Dr. Tahir. Sedangkan Gates Foundation dimiliki konglomerat Bill Gates

sumber: health.kompas.com

 

Menkes: Lima Tahun ke Depan Kita Bisa Mengontrol Malaria

SOKONGAN sumbangan dari Tahir Foundation sekaligus mitranya Bill & Melinda Gates sangat besar bagi upaya penuntasan AIDS, tuberculosis dan malaria di Indonesia. Dengan upaya ini, minimal kita bisa mengontrol tiga penyakit epidemi penyebab kematian masyarakat Indonesia.

Hal itu seperti yang disampaikan oleh Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH selaku Menteri Kesehatan Republik Indonesia sekaligus Ketua Dewan Global Fund untuk penanggulangan AIDS, tuberculosis & malaria.

Dia menjelaskan bahwa lima tahun ke depan kita bisa mengontrol tiga penyakit epidemi penyebab kematian dan kecacatan terkemuka di masyarakat Indonesia. Apalagi ditambah dukungan Tahir Foundation sekaligus mitranya Bill Melinda Gates yang memberikan sumbangan sebesar USD130 juta melalui Global Fund untuk pengobatan dan peningkatan akses kesehatan masyarakat Indonesia. Menurutnya, minimal pencapaian dari dukungan itu akan membuahkan hasil bahwa tiga penyakit itu kita bisa diredam atau dikontrol.

Dia menambahkan bahwa capaian dukungan Global Fund dari 2003 sampai sekarang sudah membantu penuntasan penyakit AIDS, tuberculosis dan malaria di Indonesia. Dimana sebanyak 1,3 juta kasus baru tuberculosis sudah dideteksi dan diobati, dan sebanayak 8,8 juta kelambu berinteksida sudah didistribusikan ke daerah-daerah Indonesia, terutama daerah endemi malaria, terakhir sebanyak 29 ribu orang saat ini sudah menerima terapi antiretroviral (ART).

"Untuk penyakit malaria, meski tak bisa benar-benar dituntaskan penyakitnya, saya yakin lima tahun ke depan setidaknya kita bisa mengontrol malaria di enam provinsi epideminya. Di daerah Maluku, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur dan lain-lain,"katanya dalam acara bertema Lounching Donasi dari Tahir Foundation dan Bill & Melinda Gates Foundation untuk Peningkatan Kesehatan Indonesia di R. Leimina Lantai 2, Jakarta, Senin, 21 Oktober 2013.

Hal senada juga disampaikan Dato Sri Dr. Tahir, Ketua Umum Tahir Foundation. Dia menjelaskan bahwa diharapkan lima tahun ke depan sumbangan ini bisa membantu capaian target kementerian kesehatan dan bisa membantu peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia.

"Sumbangan ini kan diberikan bertahap selama lima tahun, saya berharap dana ini bisa membantu kesehatan masyarakat Indonesia dan bisa mencegah tiga penyakit berbahaya AIDS, tuberculosis, dan malaria,"jelasnya. (ind)

sumber: health.okezone.com

 

SBY: Jangan Sedikit-Sedikit Berobat ke Luar Negeri

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, pembangunan sektor kesehatan merupakan salah satu prioritas penting dalam agenda pembangunan nasional. Pemerintah ingin masyarakat di Tanah Air dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang layak.

"Pemerintah terus memperbaiki dan menyempurnakan pengelolaan jaminan kesehatan untuk memberikan kemudakan akses bagi masyarakat dalam memperoleh manfaat dari jaminan pemeliharaan dan perlindungan kesehatan," ujar SBY dilansir dari laman Setkab, Senin (21/10/2013).

Perbaikan dan layanan kesehatan, lanjut Presiden, disinergikan dengan perkembangan kependudukan, kemajuan Iptek, kelestarian lingkungan hingga pembinaan budaya dan paradigma hidup sehat di kalangan masyarakat.

"Melalui reformasi kesehatan, kita ingin membangun rakyat Indonesia yang bukan hanya sehat fisik tapi juga sehat jiwanya agar dapat menjadi bangsa yang kuat, tangguh dan cerdas," tegas SBY.

Adapun kemitraan dengan BUMN dan kalangan dunia usaha, menurut Presiden SBY, akan diperluas kerjasamanya dalam penyediaan sarana dan fasilitas, serta jaminan kesehatan dalam jumlah yang mencukupi.

Ditegaskan Presiden, melalui kemitraan pemerintah dengan BUMN dan kalangan dunia usaha, pemerintah akan memperbanyak pembangunan mulai Puskaesmas, Posyandu, dan sarana kesehatan lainnya, terutama di daerah rawan bencana, terpencil dan pulau terdepan, hingga pembangunan rumah sakit bertaraf internasional di kota-kota besar.

"Saya menyeru kepada rakyat yang tergolong mampu dan kaya, ketika di negeri sendiri sudah bisa dibangun rumah sakit bertaraf internasional, jangan sedikit-sedikit berobat ke luar negeri," seru SBY.

sumber: economy.okezone.com