Standarisasi Obat Herbal Jadi Tantangan Baru Dunia Kesehatan
OBAT herbal sudah diketahui dan digunakan meluas di Indonesia. Namun, rata-rata obat herbal di Indonesia belum terstandarisasi dengan baik.
Menurut data dari Riset kesehatan Dasar (RisKesDas) 2010, sebanyak 55, 3 persen masyarakat Indonesia menggunakan jamu untuk menjaga kesehatan. Pada mulanya, eksistensi obat herbal berasal dari testimoni orang yang sudah sembuh dari suatu penyakit, tapi saat obat herbal yang dikonsumsi belum teruji klinis pada akhirnya akan sulit menggeneralisir khasiat dari obat herbal tersebut.
Di Indonesia obat herbal terbagi menjadi tiga jenis, yakni jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Di mana pada jamu belum dilakukan uji klinis apa pun dan khasiatnya untuk menyembuhkan penyakit hanya berdasarkan informasi yang diwariskan turun menurun. Sedangkan untuk OHT, sudah dilakukan standarisasi bahan baku produk seperti dari ekstrak tumbuhan serta telah dilakukan uji praklinik dengan hewan dan terbuki berkhasiat dan aman diuji pada hewan. Terakhir pada fitofarmaka, sudah dilakukan standarisasi bahan produk serta telah dilakukan uji klinis (uji pada manusia, setelah pada uji hewan berkhasiat dan aman), yang membuktikan keamanan dan khasiatnya.
Menanggapi hal itu, Dr. Arijanto Jonosewojo, Sp. PD selaku Kepala Poliklinik Komplementer Alternatif RSU Dr. Soetomo-Surabaya menjelaskan bahwa dengan banyak obat herbal yang belum terstandarisasi, nantinya obat herbal menjadi tantangan tersendiri di dunia kesehatan.
"Obat herbal pada akhirnya akan menjadi kendala ketika masuk ke dalam layanan kesehatan formal. Pasalnya, dokter dituntut untuk menerapkan Evidance Based Medicine (EBM) pada setiap obat yang diresepkan. Tetapi, sayangnya kebanyakan obat herbal yang beredar di Indonesia berada pada kategori jamu dan OHT,"katanya dalam acara yang bertema Peluncuran Seed to Patient, di Le Meridien, ruang Puri Asri 1, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2013).
Tak hanya itu, tambah dia, banyak masyarakat yang menganggap bahwa obat herbal itu aman 100 persen, padahal obat herbal tertentu itu harus dievaluasi dengan baik atau diobservasi secara mendalam. Menurutnya, opini yang menyatakan bahwa obat herbal lebih aman dari obat kimiawi mungkin benar, tapi mereka tak bisa mengobati secara optimal suatu penyakit karena belum terstandarisasi.
Melihat fakta tersebut, Soho Group yang merupakan perusahaan farmasi menawarkan produk herbal Ginsana & Prospan yang sudah teruji klinis dan mungkin bisa dijadikan referensi pengobatan untuk masyarakat, serta dokter guna meresepkan obat herbal kepada pasien.
"Ginsana mengandung ekstrak panax ginseng G115 (100 mg) yang berguna untuk meningkatkan performa fisik dan waktu pemulihan, menigkatkan fungsi paru-paru dan aktivitas pada pasien dengan penyakit paru obstruktif (COPD). Ginsana menggunakan bahan dasar ginseng yang diperoleh dari Korea dan cina dan diproduksi di Swiss. Hinggi kini, Ginsana sudah ada 40 negara di dunia. Sedangkan untuk Prospan, merupakan obat batuk yang berbahan dasar ekstrak daun ivy kering yang berasal dari Jerman. Prospan memiliki tiga aksi dalam mengatasi batuk, yaitu mengencerkan dahak ( sekretolitik), melegakan saluran pernafasan ( bronkospasmolitik) dan meredakan batuk itu sendiri (cough-relieving). Menurut data dari IMS tahun 2011, Prospan adalah obat yang nomor satu di dunia,"kata Nick Burgess, selaku Profressional Liaisom and Education Manager SOHO Flordis Internasional.
Ditambahkannya bahwa pembuatan dari kedua obat itu sudah melalui serangkaian uji klinis, dimulai dari proses penanaman benih hingga produk di tangan konsumen. (ind)
sumber: health.okezone.com