75 Persen Jemaah Haji Rentan Terpapar Virus Corona

Sebanyak 75 persen calon jemaah haji yang akan berangkat ke Arab Saudi pada Oktober mendatang rentan terpapar virus Corona Mers. "Mereka yang rentan adalah jemaah haji usia lanjut dan menderita penyakit kronis," ujar Fidiansjah, Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan, di kantornya, Jumat, 16 Agustus 2013.

Menurut Fidiansjah, saat ini hampir 50 persen jemaah haji Indonesia berada pada usia lanjut, yakni di atas 60 tahun. Sedangkan 25 persen lainnya ditengarai menderita penyakit kronis, seperti lemah jantung, diabetes, dan hipertensi.

Fidiansjah mengakui, sebelumnya sudah ada imbauan dari Kementerian Kesehatan Arab Saudi agar calon jemaah haji usia tua, wanita hamil, dan anak-anak tak ikut pada musim haji kali ini. Namun, menurut Fidiansjah, imbauan ini sulit dilakukan karena mayoritas jemaah haji Indonesia memang berusia lanjut.

Hal ini sebagai imbas adanya masa tunggu keberangkatan haji yang berkisar 15 tahun. "Dalam kenyataannya, di Indonesia tak bisa karena yang mengantre rata-rata di atas 50 tahun." Pemerintah, kata Fidiansjah, pun akhirnya sulit mengikuti anjuran dari Kemenkes Arab Saudi. "Kami akan siapkan dan maksimalkan upaya preventif."

Upaya preventif yang dimaksud Fidiansjah adalah membekali para calon jemaah haji dengan pengetahuan tentang bahaya dan penyebaran virus Corona. Karena saat ini belum ditemukan vaksin yang bisa menangkal Corona, Kementerian meminta calon jemaah haji lebih meningkatkan kesehatan dan menjaga perilaku hidup bersih sejak sebelum berangkat hingga selama musim haji berlangsung.

Sebelum berangkat, para calon jemaah akan diminta makan makanan dengan gizi seimbang. Sedangkan selama di Arab Saudi mereka diminta untuk memenuhi asupan cairan tubuh. Pemerintah telah menyiapkan oralit untuk menambah cairan tubuh yang akan dibagikan kepada seluruh jemaah haji.

Para calon jemaah haji lansia dan yang berpenyakit kronis juga dianjurkan untuk mendapatkan vaksin influenza dan pneumonia sebelum berangkat. Vaksin ini, kata Fidiansjah, memang tak secara langsung berdampak pada Corona. "Vaksin ini paling tidak bisa mencegah calon jemaah haji dari influenza yang membuat mereka tercegah dari bahaya Corona."

Untuk memudahkan pemantauan kesehatan para jemaah haji, Kementerian Kesehatan telah memberikan pembekalan khusus kepada 1.556 tenaga kesehatan yang akan mendampingi jemaah selama musim haji. Mereka dibekali pengetahuan dan tindakan preventif bila mendapati adanya jemaah yang terindikasi terpapar virus Corona. Selain itu, petugas pendamping ibadah juga diberi arahan agar menganjurkan jemaah haji yang lansia dan menderita penyakit kronis untuk tak banyak melakukan ibadah sunah.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bachrul Hayat mengatakan, ancaman penyebaran virus Corona pada musim haji mendatang sejauh ini belum mempengaruhi keberangkatan jemaah haji. "Tapi kami akan terus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk memastikan jemaah kita selamat."

Saat ini jumlah jemaah haji yang akan berangkat tercatat 168.800 orang, yang terdiri dari kuota haji reguler sebanyak 155.200 orang dan kuota haji khusus sebanyak 13.600 orang. Mereka akan diberangkatkan dalam 382 kloter. Jumlah ini merupakan jumlah setelah terjadi pemotongan kuota haji sebanyak 20 persen karena adanya perbaikan di Masjidil Haram.

Menurut Bachrul, sejauh ini Kementerian Agama sudah mensosialisasikan kepada calon jemaah agar mempersiapkan diri supaya tetap prima pada saat pelaksanaan haji. Menurut dia, saat ini ada sekitar 3 persen jemaah haji yang berada di atas usia 65 tahun. Sedangkan jemaah haji anak-anak tidak ada karena pemerintah membatasi usia haji minimal 15 tahun. "Kalau jemaah hamil biasanya tak ada karena mereka sudah lebih dulu melakukan preventif. Kalau ada yang hamil biasanya mereka mengundurkan keberangkatan."

Saat ini Arab Saudi masih menjadi daerah endemi virus Corona. Sejak ditemukan di Arab Saudi pada September 2012 lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengkonfirmasi terdapat 24 kasus penderita Novel Corona Virus dengan kasus meninggal sebanyak 16. Angka ini termasuk berbahaya karena risiko kematiannya di atas 50 persen. "Makanya kami terus antisipasi supaya jemaah kita tak terpapar virus ini."

sumber: www.tempo.co

 

Menkes Sudah Minta Izin SBY untuk Ratifikasi FCTC

Pemerintah Indonesia dikabarkan segera mengaksesi atau meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau dan Rokok. Penandatanganan ini baru bisa dilakukan setelah tertunda hampir satu dekade.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan bahwa proses penandatanganan konvensi yang diinisiasi oleh Badan Kesehatan Dunia itu sudah mulai dilakukan. "Kami sudah meminta izin ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk aksesi FCTC melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa," kata Nafsiah di kantornya, Kamis, 15 Agustus 2013.

Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah berulang kali berupaya meratifikasi konvensi ini, tetapi selalu gagal. Padahal, delegasi Indonesia sejak 1998 adalah partisipan aktif untuk membahas pentingnya konvensi ini bersama 191 negara anggota WHO. Sejak ditetapkan pada 2003, konvensi itu sudah diratifikasi 177 negara. Di kawasan Asia, hanya Indonesia yang belum mengadopsi FCTC. "Ikut menyusun, masak tidak meratifikasi," kata Nafsiah.

Upaya yang baru dilakukan Indonesia belakangan ini adalah memasukkan rokok sebagai zat adiktif dalam Undang-Undang Kesehatan. Desember 2012 lalu, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan ini tidak melarang total iklan rokok.

Nafsiah sudah mengkonsultasikan aksesi ini ke kementerian dan lembaga terkait. Senin depan, 19 Agustus 2013, Kementerian mengundang pelaku industri rokok guna menjelaskan alasan aksesi FCTC. Isi FCTC itu sendiri, menurut Nafsiah, pemerintah harus melindungi rakyat dari bahaya rokok dengan mengatur beberapa hal seperti pelarangan iklan rokok, melarang generasi muda merokok, dan melindungi para perokok pasif dari bahaya asap rokok. Dengan adanya aksesi ini, kata Menteri, "Pelaku industri rokok tidak perlu takut."

sumber: www.tempo.co

 

Menkes Apresiasi 129 Tenaga Kesehatan Teladan

IBARAT berburu binatang dengan tombak, tenaga kesehatan (Nakes) itu ujung tombak keberhasilan pembangunan pelayanan kesehatan. Apa pasal?

Hal ini karena tenaga kesehatan orang yang bersentuhan langsung dalam melayani kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat, terkait segala tantangan di Puskesmas mereka masing-masing mengabdi. Sehingga tak ada salahnya untuk memberikan penghargaan bagi mereka yang sudah lama berjuang memajukan pelayanan kesehatan, yakni melalui penghargaan pemilihan tenaga kerja teladan di Puskesmas.

Tenaga kerja teladan di Puskesmas diadakan untuk menghargai jasa mereka yang sudah bertanggung jawab dan mengeluarkan cinta kasihnya pada dunia kesehatan. Menteri Kesehatan, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH mengucapkan terima kasih kepada segenap tenaga kesehatan di Indonesia yang sudah berjuang untuk meningkatkan

pelayanan kesehatan di setiap daerah di Indonesia.

"Tenaga kesehatan layak disebut sebagai pahlawan bangsa, pahlawan kemanusiaan, dan pahlawan kesehatan karena telah bersungguh-sungguh mengangkat derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dan mewujudkan kualitas hidup rakyat Indonesia yang sebaik-baiknya. Di mana mereka telah berkerja dengan memberikan pelayanan kesehatan terbaik, memberikan pelayanan kesehatan promotif-preventif, dan kuratif-rehabilitatif. Terpenting ialah tulus ikhlas dan penuh pengabdian kepada masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air," kata Menkes RI, dalam acara bertema Pemberian Penghargaan 129 Nakes Teladan di Puskesmas Tingkat Nasional 2013, Kantor Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, Kamis (15/8/2013)

Ditambahkannya bahwa pemilihan Nakes Teladan di Puskesmas bukanlah penghargaan biasa. Pasalnya, mereka yang menjadi Nakes dipilih dengan cermat, objektif, transparan, adil, dan dinilai dengan oleh atasan, lingkungan masyarakat di wilayah tempat Nakes teladan tinggal. Sehingga proses inilah yang menentukan tenaga kesehatan dan 129 Nakes teladan yang ada di sini berhak dan layak masuk Tenaga Kesehatan Teladan di Puskesmas Tingkat Nasional tahun 2013.

"Tahun ini ada 129 Nakes Teladan dari Puskesmas Tingkat Nasional. Di mana mereka berasal dari 33 provinsi di Indonesia, dengan dibedakan dengan tiga kategori. Pertama ialah kategori dokter dan dokter gigi, kategori dua adalah tenaga keperawatan, yaitu bidan dan perawat, kemudian kategori ketiga ialah tenaga kesehatan masyarakat yang mencakup penyuluh kesehatan, asisten apoteker, analisis laboratorium, dan lain lain," imbuh dr. Nafsiah

Sementara itu, Menkes tak lupa menyampaikan selamat atas prestasi para Nakes yang hadir atau yang berhalangan karena suatu hal. Di mana yang berhalangan hadir ialah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk kategori tenaga dokter dan tenaga gizi, kemudian Provinsi Maluku juga tak mengirimkan Nakes teladannya dengan kategori tenaga gizi. Meski begitu, halangan itu tak membuat apresiasi Menkes kepada Nakes berkurang.

"Saya yakin dan percaya, prestasi Nakes Teladan 2013 ini dicapai dengan kerja keras, kerja cerdas, komitmen, dan dedikasi pada pelayanan kesehatan masyarakat dengan melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, bagi Nakes teladan yang ada di sini dan berhalangan, saya ucapkan terima kasih atas pelayanan kesehatan yang telah Anda berikan selama ini untuk masyarakat di semua pelosok Indonesia," pungkasnya.

sumber: health.okezone.com

 

Social Media Kesehatan yang Cukup Populer

Jakarta, PKMK. Di Indonesia saat ini, popularitas social media industri kesehatan sama dengan di industri lain. Dengan kata lain, industri kesehatan sama gesit dengan industri lain dalam memanfaatkan social media seperti Twitter, Facebook, dan lain-lain. Kini, produsen obat ataupun penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit dan dokter, gencar memanfaatkan social media. Hal tersebut disampaikan Dr. Erik Tapan, pengamat informatika kedokteran dari Perhimpunan Informatika Kedokteran Indonesia (PIKI) di Jakarta (14/8/2013).

Erik menambahkan mau atau tidak, pelaku industri kesehatan dari Indonesia harus cepat memanfaatkan social media untuk ekspansi bisnis. Selain untuk edukasi kesehatan, social media bisa digunakan juga untuk customer service, pembentukan komunitas, public relation, dan lain-lain.

Di Indonesia, social media bisa digunakan untuk memobilisasi dukungan politik. Di industri kesehatan, hal serupa bisa terjadi. Misalnya, saat serangan ke dokter ataupun tenaga kesehatan banyak muncul di social media, muncul pula satu video tentang kehidupan calon dokter ataupun dokter muda. "Video itu muncul di YouTube. Dengan video itu, masyarakat diharapkan mendapat informasi seimbang tentang keuletan para dokter dalam mencapai cita-cita," kata Erik.

Saat ini, kata direktur Klinik L' Melia itu, ada beberapa kelompok pelaku utama social media kesehatan di Indonesia. Pertama, produsen produk kesehatan seperti suplemen, obat yang dijual bebas, dan obat resep dokter. Untuk obat resep dokter, produsen umumnya membentuk komunitas-komunitas karena obat itu tidak bisa dijual langsung.

Kedua, para dokter umum dan dokter spesialis. Mereka mulai membuka alamat Twitter, FaceBook, dan blog. Hal tersebut dilakukan untuk menjangkau pasien ataupun calon pasien.

Ketiga, institusi pendidikan kesehatan/kedokteran. Dalam social media institusi tersebut, aktivitas mahasiswa banyak yang secara tidak langsung mempublikasikan almamaternya.

Efek viral social media kesehatan di Indonesia belum sedahsyat negara maju. Di negara yang berbahasa Inggris, efek viral tersebut tentu lebih bersifat lintas-negara.

 

60 Persen Rumah Sakit Siap Jalankan Sistem JKN

Meski pemerintah terus menggenjot persiapan pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan dimulai Januari 2014, tetapi masih ada beberapa permasalahan yang menghadang. Terutama mengenai kesiapan rumah sakit.

Menurut Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSSI), Sutoto Cokro, permasalahan terutama terjadi pada rumah sakit yang belum mampu melaksanakan kendali mutu dan biaya dengan baik.

"Apalagi awalnya kita berharap premi bisa Rp. 22.300. Rumah sakit yang tidak mampu melakukan kendali mutu dan biaya tentu akan rugi. Hal ini sepenuhnya permasalahan internal rumah sakit," kata Sutoto ketika dihubungi Kompas.com pada Senin (12/8) di Jakarta.

Kendati begitu, Sutoto optimis pelaksananaan JKN bisa berlangsung dengan baik. Ia mengatakan permasalahan demikian biasa terjadi di negara yang baru melaksanakan jaminan sosial.

Sampai saat ini menurut Sutoto, sekitar 1.100 rumah sakit seluruh Indonesia siap melaksanakan JKN 2014. Angka tersebut sama dengan jumlah rumah sakit yang mengikuti program Jamkesmas. "Angka tersebut setara 60 persen jumlah rumah sakit seluruh Indonesia. Angka tersebut tentu sudah bagus, apalagi mungkin baru 60-70 persen warga Indonesia yang menjadi peserta JKN pada Januari 2014," kata Sutoto.

Kendati begitu, Sutoto tak menampik ada dua permasalahan yang harus cepat diselesaikan. Masalah tersebut mencakup distribusi tempat tidur dan dokter spesialis. Dari dua masalah tersebut, Sutoto menilai, ketersediaan dokter spesialis menjadi poin utama.

Dokter spesialis berada di tingkat pelayanan sekunder, yakni rumah sakit daerah dan tersier atau rumah sakit provinsi dan nasional. Dalam JKN 2014 pasien akan mendapatkan pelayanan sekunder atau tertier, bila pelayanan di tingkat primer tidak mampu melakukannya.

Tanpa menyebut jumlah, Sutoto menilai jumlah dokter spesialis yang terdapat di Indonesia masih sangat kecil. "Untuk rumah sakit tipe D minimal ada 4 spesialis, yaitu penyakit dalam, anak, bedah, dan kebidanan. Pos-pos inilah yang rentan diduduki tenaga kerja asing. Padahal kualitas dokter asing tersebut belum tentu lebih baik dibanding dalam negeri," kata Sutoto.

Sutoto berharap, pemerintah bisa membuka peluang lebih lebar untuk produksi dokter spesialis. Salah satunya dengan membuka kesempatan perguruan tinggi swasta ikut 'memproduksi' dokter spesialis. Menurut Sutoto, asal aturan dan kurikulum jelas hal tersebut bukan masalah.

Sedangkan terkait distribusi tempat tidur, Sutoto berharap, pemerintah bisa membuka kesempatan bagi swasta. "Terutama untuk daerah terpencil dan padat penduduk. Apalagi bila kita akan menggunakan aturan WHO, satu tempat tidur untuk 1.000 populasi," ujarnya.

Hal senada dikatakan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher. Saat ini dibutuhkan sekitar 170 ribu tempat tidur, dengan kelas tiga sebanyak 65 ribu.

"Sekarang kita tunggu dulu hasil pendataan puskesmas untuk jumlah tempat tidur. Sedangkan untuk dokter spesialis, kita konsentrasi dulu pada dokter umum untuk layanan primer," kata Akmal.

sumber: health.kompas.com

 

Ratifikasi FCTC Ancam Industri Rokok Lokal

Jakarta - Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang akan diberlakukan pada tahun 2014 mendatang bakal membuat produk tembakau lokal tersisih. Padahal, produk tembakau dari Indonesia sudah memiliki ciri khas sendiri.

Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mengatakan apabila pemerintah tetap memberlakukan FCTC maka akan ada pengurangan pekerja di sektor industri rokok, bahkan juga merugikan para petani tembakau. "Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi PHK besar-besaran hingga pabrik gulung tikar," ujarnya di Jakarta, Senin.

Padahal, lanjut dia, secara keseluruhan pekerja di sektor industri tembakau menyerap tenaga kerja sekitar 4,1 juta tenaga kerja. Dari jumlah itu 93,77 % diserap kegiatan usaha pengolahan tembakau, seperti pabrik rokok. Sedangkan, penyerapan di sektor pertanian tembakau menyerap sekitar 6,23%.

"Lebih rincinya 1,25 juta orang telah menggantungkan hidupnya bekerja di ladang cengkeh dan tembakau, 10 juta orang terlibat langsung dalam industri rokok, dan 24,4 juta orang terlibat secara tidak langsung dalam industri rokok," lanjut dia.

Poempida menegaskan visi misi Presiden SBY adalah ingin menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif. Salah satu definisi dari pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan akselerasi maupun peningkatan bagaimana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi itu mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 450.000 orang.

"Dalam konteks rencana Menkes meratifikasi FCTC, sama halnya Menkes mengingkari visi misi Presiden SBY," tegas dia.

Berlakukan Standarisasi

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nurtantio Wisnu Brata mengatakan jika diberlakukan standarisasi, sementara perlindungan pemerintah tak ada, maka produk tembakau lokal makin tersisih.

Nurtianto menjelaskan, apabila produk yang dihasilkan harus sama dengan di luar negeri, berarti tembakau-tembakau lokal tidak bisa dijadikan bahan baku rokok dan produk turunan lain. "Dalam FCTC akan diciptakan suatu standarisasi produk tembakau dengan yang ada di luar negeri padahal tembakau kita berbeda. Itu kita belum bicara pengaturan iklan, promosi, CSR dan lain-lain," kata dia.

Menurut dia, seharusnya pemerintah membuat aturan rokok yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia ketimbang memberlakukan FCTC tersebut. "FCTC bisa saja sesuai dengan kondisi di luar negeri belum tentu akan cocok di Indonesia," tegas dia.

Sebelumnya diberitakan, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi secara terbuka menyampaikan keinginannya di hadapan para perwakilan industri rokok dalam acara sharing informasi PP No 109 Tahun 2012. Dalam PP ini telah mengadopsi FCTC tersebut.

Bendahara Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budiman menilai, petani tembakau Indonesia akan menderita kerugian hingga mencapai Rp 10 triliun. Jika pemerintah meratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Jika memang peraturan ini benar-benar diresmikan pemerintah maka akan ada 100.000 ton cengkeh atau tembakau yang bakal terlantar atau senilai hampir Rp 10 triliun yang akan terbuang," katanya.

Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau alias Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada 2014, bakal membuat produk tembakau lokal tersisih. Padahal, produk tembakau dari Indonesia sudah memiliki ciri khas."Jika ada standarisasi, sementara perlindungan pemerintah tak ada, maka produk tembakau lokal makin tersisih," ujarnya.

Dia menjelaskan, bila produk yang dihasilkan harus sama dengan di luar negeri, berarti tembakau-tembakau lokal tidak bisa dijadikan bahan baku rokok dan produk turunan lain. "Dalam FCTC akan diciptakan suatu standarisasi produk tembakau dengan di luar negeri, padahal tembakau kita berbeda. Itu kita belum bicara pengaturan iklan, promosi, CSR dan lain-lain," tuturnya.

Menurut I Ketut, seharusnya pemerintah membuat aturan rokok sesuai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia, ketimbang memberlakukan FCTC. "FCTC bisa saja sesuai kondisi di luar negeri, tapi belum tentu cocok di Indonesia," ucapnya.

Secara keseluruhan, pekerja di sektor industri tembakau menyerap tenaga kerja sekitar 4,1 juta tenaga kerja. Dari jumlah itu, 93,77% diserap kegiatan usaha pengolahan tembakau seperti pabrik rokok. Sedangkan penyerapan di sektor pertanian tembakau, menyerap sekitar 6,23 persen tenaga kerja.

sumber: www.neraca.co.id

 

Wamenkeu: Sektor Kesehatan Sudah Siap Sambut AEC?

JAKARTA - Indonesia akan bergabung dalam ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015 nanti. Namun, sudah siapkah Indonesia untuk menuju pasar bebas ini ?

Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati mengungkapkan, sejauh ini dari segi kios, Indonesia sudah siap masuk dalam AEC. Meski demikian, dia menilai ada beberapa sektor yang masih harus dibenahi Indonesia, seperti sektor kesehatan.

"Ketika dokter-dokter dari negara lain masuk ke Indonesia, siapkan dokter kita berkompetisi? Siapkah kita menerima?," kata dia di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta.

Menurutnya, Malaysia yang tengah mengembangkan bisnis kesehatan, dan Singapura memiliki kualifikasi lebih baik. "Dokter kita kualifikasinya enggak lebih baik," tambahnya.

Oleh karena itu, sektor kesehatan di Indonesia harus dikemas dengan kemudahan, fasilitas dan perawatan yang lebih baik sehingga lebih kuat. "Konsumen seperti kita juga harus utamakan produk yang kita miliki sendiri. Cintailah produk dalam negeri," tutup dia.

sumber: economy.okezone.com

 

Badan Pengawas Rumah Sakit Perlu Rambu Operasional

Jakarta, PKMK. Badan Pengawas Rumah Sakit yang belum lama ini ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2013, sebaiknya mendapatkan sebuah Standar Pelayanan Medik. Dengan demikian, pengawasan yang dilakukan Badan Pengawas Rumah Sakit bisa lebih operasional karena ada rambu ataupun standar tertentu yang baku. Dr. Marius Widjajarta, pengamat kebijakan kesehatan dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, mengatakan hal tersebut di Jakarta (13/8/2013).

Marius menambahkan, keberadaan Badan Pengawas Rumah Sakit tentu harus disambut baik. Tapi, acuan apa yang akan digunakan badan tersebut untuk mengawasi banyak rumah sakit kalau Standar Pelayanan Medik tidak ada? "Kalau Standar Operasional Prosedur (SOP), itu dimiliki tiap rumah sakit. Dan berbeda antara satu dengan yang lain. Nah, kalau Standar Pelayanan Medik, itu berlaku nasional dan sama," kata Marius.

Lebih lanjut Marius berkata, "Tanpa Standar Pelayanan Medik, ini yang dibentuk 'badan-badanan' atau badan beneran? Rambunya kan tidak ada. Bagaimana mungkin rumah sakit dinyatakan melakukan malpraktek bila standar penilaiannya tidak ada?"

Standar Pelayanan Medik memang sebaiknya dibuat oleh Kementerian Kesehatan RI. Apalagi menjelang keberlangsungan Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) di tahun 2014. Perdebatan nilai premi untuk warga miskin peserta BPJS, juga diakibatkan ketiadaan sebuah standar baku yang jelas. "Kini PBI ditetapkan 19 ribu rupiah. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan ingin 22 ribu rupiah sedangkan Dewan Jaminan Sosial Nasional berpatokan pada 27 tibu rupiah. Kesannya, penentuan PBI itu kan harga tebak manggis," kata Marius sambil tertawa ringan.

Saat ini, ia menambahkan, Standar Pelayanan Medik baru akan diujicobakan di Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di tiga kota. Hal ini merupakan uji coba untuk pelayanan primer. Untuk pelayanan sekunder, tentu perlu standar yang sama."Prinsipnya, Standar Pelayanan Medik itu sangat kita perlukan. Bukankah kita perlu membuat pondasi sebelum membangun rumah?" ucap Marius.

 

  • angka jitu
  • togel 4d
  • agen togel
  • slot 4d
  • bandar toto 4d
  • togel 4d
  • togel online
  • rajabandot
  • slot gacor
  • toto macau
  • toto macau
  • situs toto
  • situs slot
  • rtp live slot
  • toto slot
  • bandar slot
  • toto macau
  • bandar togel online
  • togel online
  • togel sdy
  • togel online
  • toto macau
  • hongkong lotto
  • hongkong lotto
  • situs slot
  • slot gacor
  • bandar slot 4d
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • bandar slot gacor
  • bandar togel 4d
  • wengtoto
  • toto hk
  • slot dana
  • hk lotto
  • toto sdy
  • slot gacor
  • slot 5000
  • toto slot
  • toto macau
  • slot thailand
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • Bandar Slot
  • bandar slot gacor
  • togel macau
  • toto slot
  • slot qris
  • slot toto 4d
  • Toto Togel 4D
  • sdy lotto
  • bola gacor
  • toto hongkong
  • toto slot
  • slot 5000
  • slot 5000
  • toto togel
  • slot 5000
  • slot 5000
  • slot 5000
  • situs toto
  • toto macau
  • slot 5000
  • toto slot
  • bandar togel
  • slot 5000
  • BATASRAJABANDOT
  • slot 777
  • slot gacor
  • slot gacor
  • Bandar Slot
  • Situs Slot
  • Bandar Slot
  • Slot Gacor
  • situs slot
  • situs slot
  • Situs Slot Gacor
  • Bandar Situs Slot Gacor
  • bokep
  • Slot Demo
  • situs togel
  • permainan slot
  • dewa slot
  • agent slot
  • slot toto
  • slot gacor
  • toto slot
  • toto slot
  • slot gacor
  • slot gacor
  • https://heylink.me/iblbettotoslot
  • slot88
  • situs toto
  • polototo
  • togel online
  • slot 5000
  • scatter hitam
  • slot online
  • slot online
  • slot gacor