Pelemahan rupiah terhadap dolar bisa menjadikan biaya kesehatan semakin mahal. Pasalnya, industri farmasi harus bergerak sendiri tanpa adanya dukungan dari pemerintah dalam bentuk insentif ataupun keringanan pajak. Maka dari itu, jangan heran apabila biaya untuk bisa sehat menjadi lebih mahal. Hal tersebut seperti diungkapkan Direktur Eksekutif GP Farmasi Darojatun Sanusi saat ditemui di Jakarta, Rabu (28/8).
"Industri farmasi dibebankan dari berbagai macam sisi. Seperti dari pajak PPN maupun pajak alat kesehatan yang masuk dalam pajak penjualan barang mewah (PpnBM), perizinan yang rumit serta yang terakhir adalah nilai kurs rupiah yang melemah sehingga bisa membuat harga obat yang lebih banyak impor bisa mengalami kenaikan," ujar Darojatun.
Ia menyebutkan bahwa hampir sebagian besar bahan baku obat adalah produk impor. Seperti untuk obat tanpa nama dagang maka kandungan impornya mencapai 70-75% sementara obat dengan nama dagang maka kandungan impornya bisa mencapai 30%. "Saat inikan rupiah melemah hampir melesat 20%, maka dari itu kenaikan harga obat bisa mencapai 6-12%. Akan tetapi, saat ini industri farmasi masih menunggu nilai rupiah. Kalau memang terjadi berkepanjangan maka harga obat bisa akan naik," ucapnya.
Namun demikian, Darojatun memastikan dalam 2-3 bulan terakhir tidak akan ada kenaikan harga obat lantaran stok impor obat yang dilakukan oleh pengusaha farmasi masih ada sehingga tidak akan mempengaruhi harga obat. "Komponen kenaikan harga obat kan bukan hanya dari nilai tukar rupiah saja, akan tetapi bisa dari biaya transportasi, kenaikan UMP yang diisukan hampir 50%, serta listrik," jawabnya.
Sebenarnya, lanjut dia, pengusaha masih bisa menahan tidak akan menaikkan harga tatkala nilai tukar rupiah terhadap dolar plus minus 5-7% dari yang ditetapkan dalam APBN. Namun situasi sekarang berbeda, karena rupiah melemah mencapai 20%. Tidak hanya rupiah saja yang membuat sektor farmasi beserta turunannya jadi mahal. Jika terus seperti ini, maka bisa jadi penyelenggaraan ASEAN Economic Community (AEC) di 2015 membuat industri farmasi Indonesia akan kalah bersaing dengan negara ASEAN lainnya. "Jika daya saing industri farmasi Indonesia kalah bersaing, maka bisa jadi nanti penyelenggaraan BPJS justru dinikmati oleh industri farmasi dari negara ASEAN lainnya," katanya.
Agar bisa meningkatkan daya saing, kata dia, maka dibutuhkan insentif kepada industri farmasi. "Semua bahan baku obat di negara-negara ASEAN rata-rata impor akan tetapi yang membedakannya adalah insentif. Insentif di negara-negara ASEAN jauh lebih besar dari pada di Indonesia. Sementara kita dibebankan dengan berbagai macam masalah seperti permintaan kenaikan UMP hampir 50%," imbuhnya.
Padahal, jika Pemerintah bisa memberi perhatian dan mempermudah perizinan terhadap industri farmasi maka akan banyak manfaatnya. Misalnya akan banyak menyerap sektor tenaga kerja, penyerapan pajak. "Tetapi, Pemerintah susah banget. Seperti contoh ada perusahaan farmasi yang ingin pindah dari kawasan Puncak, Bogor ke kawasan industrial estate. Tetapi baru dapat izin 4-5 tahun kedepan, padahal perusahaan tersebut mempunyai alat-alat yang canggih," tegasnya.
Saat ini, kata Darojatun, yang dibutuhkan adalah insentif baik dari sisi penelitian riset and development, pengurangan pajak. "Kan mungkin saja segala sesuatunya dipermudah dan dipercepat karena hal itu diberikan Pemerintah tanpa mengurangi kewenangannya. Kalau ingin mengurangi beban pasien, ya mesti memberikan insentif baik dari sisi pajak. Karena kalau dikenakan pajak, maka akan menjadi beban dari pasien juga," jelasnya.
Picu Angka Kemiskinan
Direktur Program Pascasarjana Universitas Paramadina, Dinna Wisnu PhD mengatakan, saat ini hanya sekitar 3% rakyat Indonesia yang memiliki jaminan kesehatan. Mereka pada umumnya adalah karyawan atau pegawai di instansi pemerintahan dan swasta lainnya. Selebihnya, terutama rakyat miskin tidak memiliki jaminan kesehatan ataupun jaminan sosial lainnya seperti jaminan di hari tua.
Oleh karena itu, Dinna mengkritik keras program-program bantuan sosial yang diberikan pemerintah berupa uang tunai sesaat kepada rakyat miskin. Yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah jaminan sosial yang merata. "Pendekatan saat ini (bantuan sosial) hanya pura-pura peduli saja pada orang miskin," ujarnya.
Dinna membeberkan standar kemiskinan di Indonesia yang sangat rendah dan tidak memperhitungkan variabel biaya kesehatan. Pemerintah menggunakan patokan garis kemiskinan menggunakan standar hidup Rp212.000 per bulan. Dengan standar tersebut, pemerintah mencatat ada sekitar 31 juta orang miskin. Padahal, ada sekitar 147 jutaan orang lain yang hidup mendekati garis kemiskinan, pendapatan mereka tak lebih dari Rp313.000 per bulan. "Sementara, harga pelayanan kesehatan di Indonesia sama mahalnya dengan di negara semaju Malaysia. Di negara lain, upah minimum adalah standar kemiskinan. Di sini justru tidak," tuturnya.
sumber: www.neraca.co.id