Sertijab Menkes Baru: Penurunan AKI Jadi Prioritas

sertijabProgram kerja pertama Menteri Kesehatan Kabinet Kerja, Prof dr Nila F Moeloek SpM adalah menekan angka kematian ibu (AKI) yang hingga kini masih tinggi. Padahal, AKI dipergunakan sebagai salah satu faktoryang diperhitungkan dalam pencapaian target target kesehatan Millenium Development Goals (MDGs) 2015.

"Menurunkan AKI memang bukan pekerjaan ringan, karena itu saya butuh dukungan bersama agar capaian target MDGs 2015 bisa tercapai," kata Menkes Kabinet Kerja, Nila F Moeloek dalam pidato perdananya saat serah terima jabatan dengan Menkes Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Nafsiah Mboi, di Jakarta, Selasa (28/10).

Mengutip data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 disebutkan, angka kematian ibu saat melahirkan mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Jumlah itu meningkat tajam dibandingkan data SDKI 2007 yang mana AKI melahirkan sebanyak 228 per 100 ribu kelahiran hidup.

"Ini tantangan yang harus kita hadapi bagaimana menurunkan AKI melahirkan kita yang tinggi itu hingga mencapai 70 per 100 ribu kelahiran hidup. Karena untuk mencapai target MDGs besaran AKI-nya harus dibawah 100 per 100 ribu kelahiran hidup," dokter spesialis mata tersebut.

Tingkat kematian ibu melahirkan meningkat tahun 2012, mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Tahun 2007, angka kematian ibu melahirkan tercatat sekitar 228 per 100 ribu kelahiran hidup.

Istri dari Menkes periode 1997-1999, Farid Anfasa Moeloek itu menjelaskan, persoalan lain yang tak kalah penting untuk pencapaian MDGs kesehatan, karena menyangkut berbagai komponen. Disebutkan, selain kematian ibu melahirkan juga ada masalah angka kematian bayi, lingkungan, sanitasi, pengadaan air bersih hingga persoalan jamban.

"Kita masih pada garis merah dalam pencapaian MDGs kesehatan," ucapnya.

Pada kesempatan itu, ia meminta pada kaum perempuan untuk lebih mandiri, tidak hanya dari sisi finansial tetapi juga kuasa atas tubuhnya. Sedari dini perempuan mengenal program keluarga berencana dan mengatur kehamilan.

"Istri itu bukan mesin anak yang setiap tahun harus melahirkan. Ini harus disadari banyak perempuan, agar tidak terus menerus melahirkan. Ia harus memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri, ingin seperti apa," ucapnya.

Terkait capaian pembangunan kesehatan pada kepemimpinan Menkes Nafsiah Mboi, Nila mengakui bahwa banyak program yang memberikan hasil luar biasa dan bermaanfaat bagi masyarakat Indonesia. Satu diantaranya adalah program Jaminan Kesehatan Nasional. (JKN).

"Program yang baik tentu akan kita lanjutkan. Program yang belum berhasil akan kita sempurnakan," katanya menegaskan.

Nila FA Moeloek mengakui, pihaknya diuntungkan dengan keberadaan program JKN yang memberi jaminan kesehatan pada orang-orang miskin. Program tersebut sangat baik untuk pemerataan akses bagi masyarakat memperoleh layanan kesehatan yang berkeadilan.

"Program JKN ini sudah tepat untuk jaminan kesehatan seluruh penduduk Indonesia, hanya perlu dilakukan perbaikan sana-sini. Programnya sudah sangat bagus sekali. Ini akan membentu langkah dalam menekan AKI melahirkan," kata perempuan yang aktif sebagai Ketua Umum Dharma Wanita Pusat itu.

Ditanyakan soal program Kartu Indonesia Sehat (KIS), Nila menegaskan, KIS nantinya sama dengan program JKN. "Untuk penamaan KIS ini belum ada arahan lagi dari Presiden Joko Widodo. Bentuknya akan seperti apa. Tetapi KIS tidak akan membubarkan program JKN," tutur Nila FA Moeloek. (TW)

{jcomments on}

IDI: Menkes Harus Sentuh Fasilitas Kesehatan di Pulau Terpencil

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) minta Menteri Kesehatan (Menkes) Prof Nila Djuwita F Moeloek melanjutkan program Pencerah Nusantara untuk meningkatkan kesehatan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau.

"Di dunia kesehatan program yang diciptakan Prof Nila cukup populis, membantu masyarakat di pulau-pulau yang sulit terjangkau," kata Ketua IDI Zaenal Arifin di Jakarta, Senin (27/10).

Program itu dilahirkan saat Prof Nila menjadi Utusan Khusus Presiden RI untuk Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2009-2014.

Menurut Zaenal, program Pencerah Nusantara merupakan gebrakan terarah di dunia kesehatan Indonesia yang memiliki ribuan pulau berpenghuni yaitu untuk mengirim dokter bertugas di pulau-pulau kecil tersebut.

Masyarakat di daerah kepulauan yang biasanya kesulitan mendapatkan pengobatan murah merasa terbantu dengan hadirnya dokter-dokter tersebut. "Penugasan dokter-dokter di pulau berpenghuni itu ibarat memberi air bersih kepada masyarakat yang dahaga," ujar Zaenal dilansir Antara.

Sebelum dikirim, dokter-dokter mendapatkan pelatihan mental dan fisik di Magelang yang juga merupakan tempat pelatihan TNI sebelum ditugaskan di pulau-pulau.

Para dokter tersebut akan diseleksi secara ketat karena akan ditempatkan di pulau-pulau yang jauh dari perkotaan. "Mereka adalah dokter baru, yang memiliki semangat pengabdian yang tinggi," ujar Zaenal.

Program itu disebut Zaenal tidak harus menyediakan dokter dalam jumlah banyak karena tidak perlu satu pulau satu dokter.

Kemenkes dapat bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan untuk mengadakan alat transportasi kesehatan terapung sehingga satu dokter dapat melayani beberapa pulau sekaligus. "Satu dokter itu dapat keliling dengan menggunakan kapal atau perahu dalam melayani pasien," ucapnya.

IDI akan menyampaikan dukungan kepada Menkes terkait kelanjutan program Pencerah Nusantara dan meminta untuk dapat lebih dimaksimalkan sehingga masyarakat yang tinggal di pulau-pulau mudah mendapat pengobatan murah. "Ini adalah pekerjaan yang mulia. Saya yakin dia (Prof Nila) semakin mengembangkannya," katanya.

sumber: http://www.harianterbit.com

90 Persen Alat Diimpor, Biaya Kesehatan Mahal

Ketua panitia Seminar Internasional Technomed 2014, Trisasi Lestari, mengatakan lebih dari 90 persen alat kesehatan di Indonesia masih impor atau teknologinya dipegang oleh perusahaan asal luar negeri. Makanya, menurut akademikus Fakultas Kedokteran UGM tersebut, biaya perawatan kesehatan di Indonesia mahal. "Jarum suntik saja masih impor," kata dia di sela konferensi pers mengenai Seminar Internasional Technomed 2014 di kampus Fakultas Kedokteran UGM, pada Selasa, 21 Oktober 2014.

Trisasi menambah deretan contohnya, yakni alat bantu medis sepele seperti stetoskop atau pengukur tensi darah, sudah diproduksi di dalam negeri, tapi paten teknologinya masih dipegang oleh perusahaan luar negeri. Alat untuk deteksi kadar gula pada penderita diabetes hingga perangkat laboratorium untuk pemeriksaan darah di banyak rumah sakit juga masih impor. "Perangkat radiologi yang dibutuhkan di semua rumah sakit, hampir 100 persen impor," kata Trisasi.

Karena itu, Trisasi menambahkan, Seminar Technomed, yang berlangsung pada 21 dan 22 Oktober 2014, sengaja digelar untuk mempertemukan peneliti di bidang kesehatan dengan pelaku industri farmasi dan alat bantu medis. Tujuannya untuk menunjukkan besarnya potensi penemuan teknologi bidang medis di Indonesia. "Kami juga datangkan praktisi dari India dan Cina," katanya.

Trisasi mencontohkan ada pakar kesehatan dari India yang menyebutkan biaya operasi jantung di negaranya jauh lebih murah dari Indonesia karena semua alat bantu medis bukan barang impor. Perbandingannya, harga operasi jantung di India bisa seperlima lebih murah dari Indonesia. "Di Cina juga jauh lebih murah karena alat kesehatannya mayoritas buatan dalam negeri," kata dia.

Padahal, menurut Trisasi, prosedur penciptaan teknologi alat bantu medis di Indonesia tidak terlalu sulit. Hanya saja, menurut dia, belum banyak akademikus bidang kedokteran menaruh perhatian besar untuk penemuan teknologi baru di bidang kesehatan. "Prosedur pemberlakuan Standard Nasional Indonesia, bukti keamanan dan paten juga tidak susah," ujarnya.

Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Kerja Sama, Fakultas Kedokteran, UGM, Adi Utarini menambahkan banyak di antara alat kesehatan impor sebenarnya tidak rumit teknologinya. Karena itu, dia optimistis, apabila ada perhatian serius dari para peneliti bidang kesehatan untuk meriset teknologinya, produksi di dalam negeri bisa didorong berkembang. "Universitas harus jadi pusat inovasi," kata dia.

Utarini mengatakan FK UGM sudah merintis riset untuk penciptaan teknologi sebagian kecil alat-alat bantu medis. Sebagiannya, yang sudah dikembangkan, ialah Rhinomery digital, Pengukur Jari Tabuh, Stress Meter, Vital Sign Simulator, Manekin Resusitasi Jantung Paru, Alat Deteksi Kanker Nasofaring, dan Intrauterine Device (IUD) untuk program keluarga berencana. "Sebagian masih proses pengajuan paten dan ada yang sudah diproduksi," kata Utarini.

Menurut Utarini, kampusnya mengundang sejumlah perusahaan farmasi di forum Technomed 2014. Di antaranya PT Roche Indonesia, Novartis Institute for Tropical Disease, PT Teguhsindo Lestaritama, dan sebagainya. "Agar periset dari kampus tahu prosedur produksi alat kesehatan dan termotivasi. Peluangnya luas," katanya.

 

Sdm Kesehatan: Waspadai Keberadaan Dokter Asing Ilegal

24okt

Pemerintah hingga kini belum pernah mengeluarkan surat tanda registrasi (STR) bagi dokter asing agar bisa praktik di Indonesia. Karena itu, keberadaan dokter asing di rumah sakit non pendidikan adalah ilegal.

"Karena itu, kami minta masyarakat untuk lapor ke kementerian kesehatan atau dinas kesehatan setempat jika melihat ada dokter asing praktik di klinik atau rumah sakit swasta," kata Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Medikolegal, drg Tritarayati SH, MH Kes dalam keterangan pers, di Jakarta, Jumat (24/10).

Hadir dalam kesempatan itu Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan, Kemenkes, dr Achmad Soebagio MARS, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dr Dien Emawati M Kes, Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan, Yudi Kurniadi SH MH, dan Kepala Unit Kriminal Khusus Polresta Jakarta Barat, AKBP Viktor DH Inkiriwang.

Jumpa pers tersebut digelar atas kasus 3 klinik kecantikan dan klinik kesehatan di wilayah Jakarta atas dugaan praktik dokter palsu. Klinik tersebut juga tak berisin dan penyalahgunaan izin tinggal oleh tenaga asing bidang medis.

Tritarayati menjelaskan, setiap dokter yang akan praktik di Indonesia harus memiliki surat tanda registrasi (STR) yang dikeluarkan Majelis Konsil Kedokteran Indonesia bersama organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kedua organisasi tersebut menyatakan hingga saat ini belum satupun STR dikeluarkan untuk dokter asing.

"Dokter asing hanya boleh transfer ilmu pengetahuan di rumah sakit pendidikan seperti RS Cipto Mangunkusumo atau Harapan Kita. Dokter asing itu praktik di depan ratusan dokter kita, bukan praktik perorangan," ucapnya.

Karena itu, Tritarayati kembali mengingatkan masyarakat agar melaporkan jika melihat dokter asing praktik di rumah sakit, terutama banyak beredar di RS swasta. Karena keberadaan mereka ilegal. "Laporkan jika melihat dokter asing disana," katanya menegaskan.

Ditanya berapa dokter asing yang sudah dideportasi, Tritarayati menyebutkan belum ada satupun. Dokter asing itu biasanya praktik dengan perjanjian. Keberadaan jadi sulit dilacak, karena sering keluar masuk Indonesia.

"Pengaduan dari masyarakat menjadi penting guna melindungi masyarakat dari praktik kedokteran yang tidak memenuhi standar," ujarnya.

Terkait rencana penerapan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Tritarayati mengatakan, dokter asing yang akan masuk ke Indonesia harus disesuaikan dengan kebutuhan dokter di dalam negeri. Terutara untuk kompetensi yang belum ada di Indonesia.

Dokter asing itu harus memiliki sertifikat kompetensi dan pengalaman mengajar minimal 5 tahun. Sejumlah persyaratan harus dipenuhi guna mendapatkan STR.

Setelah memperoleh STR, dokter asing bakan mendapatkan surat izin praktek (SIP) sementara yang hanya berlaku selama 1 tahun. SIP hanya bisa diperpanjang 1 kali.

"Tujuannya hanya untuk transfer ilmu pengetahuan dalam kurun waktu 2 tahun. Setelah itu, kita tak membutuhkan dokter asing tersebut. Dalam prakteknya, dokter asing itu harus didampingi dokter Indonesia yang kompetensinya setara," kata Tritarayati. (TW)

{jcomments on}

Fujitsu Punya Solusi untuk Masalah Kesehatan Indonesia

Mengenai kualitas layanan kesehatan, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingan negara lain yang sudah menerapkan e-hospital. Solusi e-hospital dapat menjadi jawaban kesenjangan layanan kesehatan di berbagai daerah.

Maka dari itu, perusahaan asal Jepang, Fujitsu, memperkenalkan sistem dan teknologi layanan kesehatan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang kian disempurnakan untuk pasar Indonesia, yakni Fujitsu Healthcare Solutions.

Achmad S. Sofyan, Managing Director Fujitsu Indonesia, mengatakan, melalui penerapan pelayanan kesehatan yang memanfaatkan inovasi teknologi mutakhir dari Fujitsu itu, bisa mengatasi problematika kesehatan di negeri ini.

"Semua orang di setiap wilayah negara ini akan memiliki akses yang sama kepada layanan kesehatan berkualitas, aman, dan profesional," ujarnya di Jakarta, Kamis 23 Oktober 2014.

Rasa optimistis itu, lanjut Achmad, dikarenakan Fujitsu telah menyediakan teknologi layanan kesehatan di bidang kesehatan dalam kawasan Asia selama lebih dari 38 tahun.

Layanan kesehatan yang ditawarkan Fujitsu mencakup sebuah Sistem Informasi Rumah Sakit, Telemedicine (Pertukaran Informasi Kesehatan), Aplikasi Perangkat Bergerak untuk Optimalisasi Layanan, Virtualisasi Klien dan Server, Bio-simulasi, serta Catatan Medis Elektronik (EMR) berbasis cloud.

Daerah Terpencil

Dikatakannya, solusi tersebut dapat mengantisipasi permasalahan yang mempengaruhi layanan kesehatan akibat letak geografis, seperti di daerah terpencil, jauh dari perkotaan.

"Kini dokter yang berada di pusat bisa membantu dengan berkomunikasi dengan yang di daerah, sehingga dapat memperoleh layanan kesehatan langsung dari tenaga medis profesional yang berada jauh di lain pulau, tanpa harus melakukan perjalanan jarak jauh," papar Made Suhdarma, Head of Application Services, Fujitsu Indonesia.

Sistem EMR dan Pertukaran Informasi Kesehatan yang ditawarkan Fujitsu ini seperti data riwayat kesehatan dari tiap-tiap pasien akan disimpan dalam sebuah database terpusat yang terhubung, serta dapat diakses oleh penyedia layanan kesehatan yang berbeda.

Achmad menambahkan, solusi ini menjamin kesehatan pasien, karena data medis yang sama dapat diakses oleh tenaga medis profesional, sebagai dasar dalam memberikan layanan kesehatan yang diperlukan pasien tersebut.

"Solusi ini membantu bagi pasien dengan mobilitas tinggi, sehingga mereka dapat memperoleh layanan kesehatan yang memadai di berbagai rumah sakit yang berbeda tanpa ada khawatir akan memperoleh diagnosa yang keliru," ungkap dia. (art)

sumber: http://teknologi.news.viva.co.id

 

PB IDI minta pemerintah naikkan insentif dokter

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dr Zainal Abidin meminta agar pemerintah menaikkan insentif dokter untuk menarik minat tenaga kesehatan itu mengabdi di daerah.

"Sebab, jika tidak ada perubahan, maka akan sulit melihat ada pemerataan dokter di Indonesia," kata Zainal Abidin di Mataram, Rabu.

Menurut dia, sebenarnya IDI telah meminta agar pemerintah menaikkan iuran pelayanan kesehatan di semua rumah sakit, termasuk puskesmas. "Ini sebagai konsekuensi agar para dokter bisa turun ke daerah," katanya.

Ia mengatakan dalam memberikan pelayanan primer kepada masyarakat, seorang dokter ataupun rumah sakit termasuk puskemas mampu membiayai seluruh operasional pelayanan rumah sakit.

Belum lagi, kata dia, persoalan tersebut ditambah dengan masih kurangnya puskemas yang ada di seluruh daerah di Indonesia. "Saat ini saja puskemas kita masih dibawah 10 ribu unit. Itu pun masih kurang, karena jika melihat rasio semestinya puskemas kita 40 ribu unit baru bisa melayani kesehatan masyarakat," katanya.

Selain itu, menurut dia, dalam membantu pemerintah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, pemerintah tentunya tidak mungkin hanya akan melibatkan dokter pemerintah, kalau tidak dibantu oleh dokter praktek yang melakukan pelayanan kesehatan di klinik.

"Itu pun kalau semua pelayanan dokter itu dapat ditanggung pemerintah, tetapi tidak semua dokter yang ada berstatus pegawai negeri," ujarnya.

Ia menambahkan, jika saat ini iuran pelayanan kesehatan di rumah sakit masih berkisar Rp17 ribu, akan sulit para dokter untuk mengabdi di daerah. Karena idealnya kata Zainal Abidin iuran pelayana kesehatan berada di kisaran Rp20-30 ribu.

"Tidak mungkin dokter datang ke daerah kalau dia tidak bisa hidup di tempatnya bertugas," ujarnya.

Ia menambahkan, dalam hitung-hitungan IDI, penghasilan dokter Rp12-15 juta

Lain lagi jika persoalan dokter ini diangkat menjadi pegawai pemerintah tetapi itupun pemerintah bisa menjanjikan semua dokter diangkat menjadi pegawai negeri.

Namun, kalaupun, pemerataan dokter didaerah belum bisa dilakukan. IDI menjamin akan para dokter di seluruh Indonesia akan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara baik.

sumber: http://www.antaranews.com/

 

Tiap Tahun, 600 Ribu Orang Indonesia Berobat ke Luar Negeri

Kongres para dokter bedah dunia yang saat ini berlangsung di Nusa Dua Bali, Selasa (21/10), membawa dampak positif bagi pembenahan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

Minimnya peralatan medis di Indonesia dan sebaran tenaga medis yang tidak merata menyebabkan banyak pelayanan kesehatan masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak mendapatkan pelayanan secara adil merata.

Pada kesempatan yang sama, masyarakat kelas menengah ke atas memilih berobat ke luar negeri. Padahal, para dokter di Indonesia secara kapasitas dan kredibilitas serta keahlian tidak jauh berbeda dengan dokter-dokter yang ada di rumah sakit kelas tinggi di luar negeri.

Ketua Kongres Dokter Bedah Paul Tahalele saat ditemui di Nusa Dua Bali, Selasa (21/10) menjelaskan, data terakhir tahun 2013 menunjukkan, ada sekitar 600 ribu Indonesia dari kelompok kelas menengah ke atas yang berobat ke luar negeri. Jumlah ini akan terus bertambah setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya orang kaya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

"Jumlah ini sejauh yang terdata dalam survei kami, masih ada banyak data yang tidak terekam. Hampir dipastikan jumlahnya melebihi atau meningkat di tahun 2014 ini," ujarnya.

Negara yang menjadi target pasien asal Indonesia adalah Singapura, Malaysia, China dan beberapa negara di Eropa dan Amerika.

Menurutnya, ada dua penyebab mengapa orang Indonesia banyak yang berobat ke luar negeri. Pertama, faktor gengsi dan secara finansial mereka memang mampu untuk melakukan hal tersebut.

"Bagi orang kaya, berobat ke Singapura atau Jerman bukan masalah bagi mereka. Padahal mereka juga tahu bahwa dokter di Indonesia mampu melakukan hal tersebut. Kedua, faktor peralatan dan teknologi. Memang harus diakui, banyak sekali peralatan medis yang belum memadai sekalipun para dokter dan pakar di Indonesia mampu melakukannya," ujarnya.

Banyaknya pasien di Indonesia yang berobat ke luar negeri menyebabkan terjadi kerugian devisa bagi Indonesia. Data yang diterima dari Kementerian Kesehatan, potensi kerugian devisa negara akibat banyaknya pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri sebanyak Rp100 triliun per tahun.

Sementara data dari BUMN menjelaskan total kerugian negara akibat banyaknya pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri sebanyak Rp60 triliun per tahun.

"Kedua lembaga pemerintah ini memang memiliki data yang berbeda. Namun kalau kita ambil yang tengah-tengahnya, total kerugian itu mencapai Rp80 sampai Rp90 triliun per tahun. Ini angka yang cukup besar bagi Indonesia. Artinya, dalam setahun, jumlah ini sia-sia dibawa keluar negeri. Padahal kalau mau dibenahi pelayanan medis di Indonesia, jumlah ini tidak terbuang sia-sia ke luar negeri," ujarnya.

Sementara pakar bedah syarat Indonesia Prof Sri Muliawan menjelaskan, saat ini Indonesia hanya memiliki 4 ribu tenaga dokter bedah di tahun 2014. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1800 orang berasal dari dokter bedah umum. Dari jumlah dokter umum sebanyak 1800 orang, ada 1250 orang yang tinggal di kota besar di Jawa dan Bali. Jadi sampai saat ini, di rumah sakit tipe C dan D yang membutuhkana dokter bedah umum ternyata tidak bisa terpenuhi karena masih banyak dokter yang tinggal di daerah perkotaan. (Arnoldus Dhae)

sumber: http://rona.metrotvnews.com

 

Kemenkes dan Bio Farma Bahas Cakupan Imunisasi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan PT Bio Farma (Persero) menggelar Pertemuan Nasional Koordinasi Pelaksanaan Intensifikasi Imunisasi Rutin, bertempat di Discovery Kartika Plaza, Bali, akhir pekan lalu.

Acara yang bertujuan untuk meningkatkan cakupan imunisasi atau Universal Child Immunization (UCI) dihadiri oleh 144 peserta terdiri dari perwakilan Dinas Kesehatan (Dinkes) dari 33 provinsi.

Dalam sambutan Dirjen PPPL yang disampaikan oleh Kasie Bimbingan dan Evaluasi, Subdit Imunisasi dr.Sulistya Widada, berharap peserta yang hadir pada pertemuan ini, dapat mengimplementasikan upaya yang inovatif dan strategis untuk perluasan dan pemerataan jangkauan pelayanan imunisasi.

"Dengan adanya upaya yang inovatif, kami berharap jangkauan dan pelayanan imunisasi bisa merata hingga 100% di seluruh desa di Indonesia, khususnya imunisasi untuk bayi usia 0 – 11 bulan, setidaknya bisa mencapai 90%", kata dr Sulis dalam rilis yang diterima Tribun, Senin (20/10).

Pda kesempatan tersebut hadir pula, Ditjen Binfar Alkes, Ditjen PPPL, Subdit Imunisasi, Komisi Daerah KIPI, perwakilan Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI), Indonesian Technical Advisory Group Immunization (ITAGI) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO)

sumber: http://www.tribunnews.com