Pembentukan KTKI Bikin Boros Anggaran Negara
Pembentukan Komite Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Nakes) hanya akan menimbulkan pemborosan anggaran negara.
Karena nantinya setiap tenaga kesehatan memiliki konsil sesuai dengan bidang kerjanya. "Padahal, selama ini profesi dokter selalu menjadi tim leader dalam layanan kesehatan," kata Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zaenal Abidin kepada wartawan, di Jakarta, Senin (7/9).
Turut mendampingi Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Prof dr Bambang Supriyanto, mantan Ketua KKI, Prof dr Menaldi Rasmin dan pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indah Suksmaningsih.
Pemborosan anggaran negara bisa terjadi, menurut Zaenal Abidin, karena nantinya setiap tenaga kesehatan memiliki kantor sekretariatnya masing-masing. Mereka juga akan membuat aturan-aturan lain sesuai dengan kode etiknta yang sebenarnya tidak diperlukan.
"Berapa banyak anggaran negara negara terbuang percuma untuk kegiatan yang tidak diperlukan," ucapnya.
Zaenal berpendapat tak adanya fungsi Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) setelah nanti dibentuk KTKI, akan menimbulkan ketidakpercayaan publik atas pelayanan yang diberikan tenaga medis.
"MKDKI itu semacam tempat pengaduan masyarakat atas pelanggaran disiplin dokter. Lembaga ini yang mengawal norma disiplin tenaga medis. Nanti masyarakat akan mengadu ke siapa, sementara KTKI meniadakan fungsi MKDKI," katanya.
Zaenal menegaskan, pihaknya tidak melarang pemerintah membuat undang-undang untuk tenaga kesehatan lainnya. Namun, untuk profesi kedokteran sudah banyak diatur oleh undang-undang. Di antaranya, UU Kesehatan, UU Praktik kedokteran, dan UU Pendidikan Kedokteran.
"Pemerintah boleh saja mengatur dokter sebagai tenaga kesehatan, mengatur penempatannya atai mengatur jabatannya. Tetapi untuk mengatur dokter sebagai profesi, ya dokter itu sendiri yang mengatur kompetensinya," katanya.
Zaenal menambahkan, di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini, mutu layanan kesehatan menjadi prioritas dalam perbaikan sistem kesehatan di Indonesia. Dalam proses perbaikan ini, keterlibatan dari organisasi profesi dan KKI sangat besar untuk menjami mutu layanan berdasarkan standar profesi.
"Gambaran dari peran besar organisasi profesi, KKI dan bahkan unsur masyrakat untuk bersama menghadirkan pelayanan kedokteran yang bermutu tercantum di dalam UU No 29 tahun 2001 tentang Praktik Kedokteran," ucapnya.
Hal senada juga dikemukakan Ketua KKI, Prof Bambang Supriyanto. Jika terlalu banyak aturan yang dikeluarkan masing-masing tenaga kesehatan, hal itu bisa menjadi bencana pelayanan kesehatan di masyarakat.
"Dokter adalah profesi paling berani membawa publik untuk mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap tindakan dokter. Jangan sampai undang-undang tersebut menghapuskan peran publik dalam mengawasi profesi dokter," ucap Prof Bambang.
Ditambahkan, dengan adanya KTKI, maka peran publik ditiadakan. Yang mengawasi justru perwakilan dari para konsil, misalnya Konsil Kedokteran, Konsil Kedokteran Gigi, Konsil Kebidanan, Konsil Keperawatan, Konsil Kefarmasian, dan Konsil Pengobatan Non Medis.
"Ini kan sama saja jeruk makan jeruk. Ya apa yang mau diawasi. Masing-masing tenaga kesehatan mengawasi konsilnya masing-masing. Apakah ini tidak akan menimbulkan konflik kepentingan, " tuturnya.
Karena itu, Prof Bambang menegaskan kembali, penghapusan KKI jelas sangat merugikan karena fungsi menjaga kompetensi tenaga medis hilang.
"Hanya KKI yang diakui sebagai lembaga negara dan memiliki wewenang sebagai badan legulator (regulatory authority). Sementara KTKI hanya sebagai koordinasi,"ucapnya menegaskan.
Tentang sidang judicial review UU Nakes pada 5 September 2015 lalu, Prof Bambang menjelaskan, prosesnya berlangsung alot. Pasalnya, pemerintah dan DPR berkeyakinan bahwa tidak terjadi over mandatory dari UU Tenaga Kesehatan.
Karena itu, pemerintah bersama DPR meminta majelis hakim konstitusi untuk menolak permohonan dari pemohon, yakni PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), PB Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Permintaan itu tidak membuat tiga organisasi kedokteran tersebut patah semangat. Mereka tetap akan mengajukan permohonan uji materi UU Nakes pada 15 September 2015, dengan menghadirkan tiga saksi ahli yang diharapkan dapat menjelaskan profesi dokter dengan tenaga kesehatan lainnya.
"Kami sudah mempersiapkan saksi ahli, yaitu Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebelumnya, Prof dr Menaldi Rasmin, Sp P(K), Prof Leica Marzuki seorang ahli tata negara dari Universitas Makassar, dan Prof Satrio Soemantri Brojonegoro, mantan Dirjen Pendidikan Tinggi," kata Prof Bambang.
Ia menegaskan, pengajuan uji materi UU Nakes tidak dimaksudkan untuk 'melawan hukum' , tetapi sebuah upaya untuk melindungi masyarakat dari pelayanan kesehatan yang tidak sesuai. (TW)
{jcomments on}