Fraud Rongrong Mutu Layanan Kesehatan
Kesehatan Indonesia digemparkan lagi dengan usul naiknya premi untuk penerima bantuan iuran (PBI), dari sebelumnya Rp 19.250 menjadi Rp 23 ribu. Direktur Keuangan dan Investasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Riduan, mengatakan kenaikan premi diharapkan dapat menutupi defisit anggaran BPJS pada 2014, yang mencapai Rp 6 triliun. Defisit anggaran terjadi akibat banyaknya orang yang berobat di rumah sakit.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berkembang amat pesat sejak diluncurkan awal tahun lalu. Saat ini, peserta program itu sudah mencapai 150 juta jiwa dari sekitar 256 juta penduduk Indonesia. Diharapkan pada 2019, seluruh penduduk Indonesia akan tercakup oleh skema ini.
JKN merupakan ikhtiar pemerintah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan masyarakat. Melalui program ini, pemerintah berniat memberi kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia agar hidup sehat, produktif, dan sejahtera. JKN sejauh ini berhasil meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pada dimensi aksesibilitas, meski menghadapi persoalan pada dimensi efektif dan efisien.
Belajar dari pengalaman di berbagai negara, memenuhi standar mutu dimensi efektif dan efisien memang merupakan bagian tersulit dari asuransi universal. Soalnya, tingkat efektivitas dan efisiensi sangat erat berkaitan dengan pembiayaan dan standardisasi prosedur layanan kesehatan, dua aspek dalam pelayanan kesehatan ini yang paling sering dimanipulasi oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab yang terlibat dalam sistem pelayanan, dari petugas administrasi hingga dokter. Demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, mereka mengabaikan mutu dan memberikan layanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis yang baik.
Ulah tak bertanggung jawab yang dikenal luas sebagai fraud ini di Indonesia bisa terjadi dalam bentuk pemberian obat-obatan atas indikasi yang tidak jelas manfaatnya, pemeriksaan laboratorium, diagnosis atas indikasi yang tidak tepat, hingga pembengkakan biaya pengobatan akibat diagnosis palsu.
Akibatnya, selain tidak dilayani sesuai dengan standar mutu yang ada, pasien sering menderita kerugian fisik. Misalnya, karena ingin mendapat pembayaran lebih, rumah sakit atau kalangan profesional di bidang kesehatan memberikan prosedur pelayanan yang tidak diperlukan atau melakukan tindakan medis terpisah yang sebenarnya bisa dilakukan secara bersamaan. Ada banyak contoh ketika fraud dalam pelayanan masyarakat berakibat buruk bagi pasien. Di Chicago, ada dokter spesialis yang melakukan 750 katerisasi jantung yang tidak diperlukan.
Dalam program JKN, biaya dan standar pelayanan dikendalikan melalui sistem pembayaran kapitasi dan INA CBG's. Kapitasi diberlakukan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, sedangkan INA CBG's untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjut. INA CBG's memudahkan pengguna layanan kesehatan karena mereka hanya membayar sesuai dengan kode diagnosis penyakit, bukan layanan yang diberikan. Adapun pembayaran sistem kapitasi dibayar dimuka oleh BPJS kepada puskesmas per bulan tanpa menghitung jenis dan jumlah pelayanan yang diberikan. Jadi setiap masyarakat yang telah menjadi peserta BPJS kesehatan mempunyai hak berobat ke puskesmas dan rumah sakit tanpa harus membayar.
Masalahnya, kedua sistem ini belum sempurna benar. Di sana-sini masih ada celah yang bisa dipakai untuk berbuat curang (fraud) dalam pembiayaan dan prosedur layanan, dari Dinas Kesehatan yang memotong besaran kapitasi puskesmas sampai dokter yang melayani pasien tanpa mengikuti indikasi medis. Jika kita asumsikan potensi fraud sekitar 5 persen, tahun lalu saja ada uang sekitar Rp 1,8 triliun dari prediksi premi BPJS pada 2014 (sekitar Rp 38,5 triliun) yang masuk kantong oknum tak bertanggung jawab.
Amerika Serikat, yang setiap tahun tercatat 3-10 persen anggaran kesehatannya hilang digerogoti fraud, menggunakan pendekatan retrospektif untuk mengatasi ulah kriminal ini. Pendekatan retrospektif merupakan metode deteksi dini percobaan fraud. Caranya adalah menelusuri electronic health record (EHR) atau rekam medis pasien. Dengan cara ini, mereka berhasil mencegah hingga 80 persen upaya penipuan dan penyalahgunaan skema jaminan.
Di Indonesia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kesehatan Universitas Gadjah Mada juga melakukan pendekatan retrospektif untuk mendeteksi fraud. PKMK melakukan audit klinis menggunakan rekam medis. Rekam medis yang diaudit adalah penyakit dan tindakan yang high cost, high volume, ataupun problem prone yang terjadi di rumah sakit.
Hasil self assessment pada tujuh rumah sakit pemerintah di pulau Jawa menunjukkan memang ada potensi fraud dalam layanan kesehatan di Indonesia. Modus yang potensi penggunaannya hingga 100 persen adalah upcoding, yakni diagnosis atau prosedur pelayanan yang diklaim dibuat lebih kompleks dan lebih mahal daripada yang sebenarnya, sehingga nilai klaim menjadi lebih tinggi ketimbang yang seharusnya. Laporan self assessment ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengembangkan sistem anti-fraud yang lebih baik.
Baru-baru ini, telah keluar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2015 tentang pencegahan kecurangan alias fraud dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Peraturan ini telah memuat unsur pelaku fraud dan jenis-jenis potensi fraud yang terjadi pada layanan kesehatan primer serta kesehatan rujukan. Namun masih diperlukan peraturan yang dapat memberi efek jera bagi pelaku fraud, misalnya dengan mencabut izin profesi.
Setelah aturan yang komprehensif dan sanksi tegas diterapkan, pada sisi pelaksana, para petugas BPJS dan penyelenggara fasiltas layanan kesehatan seharusnya memahami secara baik modus-modus fraud dan cara pencegahannya. Dengan demikian, mereka secara aktif bisa mencegah upaya manipulasi jaminan kesehatan.
Di luar itu, pemerintah perlu mengembangkan dan terus mengkampanyekan budaya anti fraud. Kemudian, demi mendukung upaya-upaya penindakan, sebaiknya Kementerian Kesehatan membuat saluran untuk melaporkan fraud, memanfaatkan electronic medical record rumah sakit untuk mendeteksi fraud yang terjadi pada fasilitas layanan kesehatan, serta menjalin kemitraan dengan penegak hukum untuk menindak pelaku fraud. *
Eva Tirtabayu Hasri, periset Fakultas Kedokteran-Universitas Gadjah Mada
sumber: http://www.tempo.co/