Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) saat ini sudah memiliki payung hukum yang jelas dengan adanya Undang-Undang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Namun terdapat kerancuan dalam UU tersebut terutama masalah pemberian sanksi pidana terhadap pelaku pemasungan yang mayoritas pelakunya adalah keluarganya sendiri.
Atas hal itu, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan membuat aturan-aturan pelaksanaan untuk menjerat para pelaku pemasungan dikarenakan dalam UU Keswa tidak diatur secara detail sanksi pidana untuk pelaku pemasungan yang dinilai telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Pengamat Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir mengatakan pihak setuju dengan aturan bahwa pelaku pemasungan itu diberikan sanksi pidana seperti yang diatur dalam UU KUHP yang menjelaskan bahwa pemasungan dapat diartikan sebagai suatu perampasan kemerdekaan seseorang.
Disatu sisi, lanjutnya, pemasungan adalah cara tradisional dalam mengatasi ODGJ yang keberadaannya sudah mengancam lingkungan sekitarnya. Hal ini tentunya menimbulkan persepsi yang berbeda di masyarakat bahwa ODGJ itu harus di pasung. Padahal, hal itu kesalahan tidak sepenuhnya berada pada pelaku, tetapi dari pemerintah.
Sehingga, tegasnya, para pelaku pemasungan tersebut jangan langsung diberikan hukuman pidana. Melainkan, harus diberikan pemahaman, pembinaan terkait ODGJ, pemberian fasilitas-fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di setiap wilayah dan tidak dipungut biaya dan lainnya.
"Jangan dipidana dahulu, itu perlu sosialisasi UU Keswa. Kalau sudah dijelaskan dan perawatan ODGJ seperti apa, tapi tidak mengerti juga atau tetap diulangi melakukan pemasungan, baru kemudian dipidana," kata Mudzakkir saat dihubungi Harian Terbit, Kamis (10/7).
Menurutnya, sanksi pidana terhadap pelaku pemasungan tidak akan menyelesaikan masalah ODGJ di Indonesia. Diketahui saat ini terdapat 56.000 pemasungan di Indonesia. Solusi untuk mengatasi ODGJ, ungkapnya, adalah pemerintah benar-benar bertanggungjawab terhadap masalah ini yang lebih menekankan atau memberikan perlindungan kepada ODGJ.
"Kalau fasilitasnya tidak ada dan atau sulit dijangkau oleh masyarakat, maka pidana itu tidak bermanfaat dan pemerintah tidak tanggungjawab terhadap penderitanya," jelasnya.
Dia menuturkan, pemasungan yang berkembang di masyarakat, masih diartikan sebagai metode penyembuhan ODGJ. Padahal, perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran, ODGJ ini bisa disembuhkan melalui medis, tidak perlu melalui cara-cara lain. "Maka dari itu, apabila ODGJ mau berobat ke RSJ atau fasilitas kesehatan lainnya, itu tidak dipungut biaya," ujarnya.
Tak Perlu Diperdebatkan
Dihubungi terpisah, Direktur Bina Upaya Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Eka Viora, SpKJ meminta masalah sanksi pidana terhadap pelaku pemasungan tidak perlu diperdebatkan. Sebab, katanya, di dalam UU Keswa sudah dijelaskan bahwa pelaku pemasungan di pidana sesuai dengan ketentuan UU yang sudah ada dalam hal ini adalah UU KUHP. "Itu (UU KUHP) sudah puluhan tahun di buat oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Jadi ini terjadi penelantaran hukum pidananya," kata dr. Eka.
Seharusnya, lanjutnya, ODGJ ini memerlukan fasilitas kesehatan berupa RSJ, Puskesmas, Klinik di setiap wilayah sampai pelosok-pelosok agar mudah dijangkau oleh ODGJ. Sebab, tambahnya, hak dan kewajiban setiap manusia itu sama dan tidak boleh dibeda-bedakan. "Kami sedang mempersiapkan semua layanan itu. Karena UU ini utamanya adalah memberikan perlindungan kepada ODGJ," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes), dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH berharap UU Keswa ini bisa memberikan perlindungan bagi orang-orang dengan masalah kejiwaan yang selama ini mendapat perlakuan diskriminatif. Salah satunya, dipasung. "Itu nanti akan ditangani, pemerintah akan membuat aturan-aturan untuk para pelaku pemasung. Jadi nanti mereka akan kena sanksi pidana," kata Menkes.
Menkes mengatakan, di Indonesia diperkirakan masih ada 56.000 kasus pemasungan yang dinilai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia, sekaligus bentuk diskriminasi bagi orang-orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Selama ini, masalah kejiwaan cenderung terabaikan dan bahkan dianggap sebagai aib keluarga. Alih-alih mendapat penanganan di fasilitas kesehatan, pada pengidapnya cenderung dikucilkan, dan pada banyak kasus pasien tersebut mengalami pemasungan.
Diperkirakan hanya 10 persen pasien yang dilaporkan oleh keluarganya. Masih menurut perkiraan Menkes, sedikitnya ada 16 juta kasus gangguan jiwa ringan dan 400 ribu kasus gangguan jiwa berat. Tidak adanya aturan yang tegas membuat para pasien cenderung terabaikan selama ini.
sumber: www.harianterbit.com