WHO: Dua puluh ribu orang akan terinfeksi Ebola

Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan wabah mematikan Ebola di Afrika Barat dapat menginfeksi lebih 20.000 orang sebelum dapat dikendalikan.
Badan PBB tersebut mengatakan jumlah kasus kemungkinan sudah lebih tinggi empat kalinya dibandingkan 3.000 orang yang tercatat saat ini.

WHO juga meminta maskapai penerbangan untuk melanjutkan penerbangan "penting" di kawasan, dengan mengatakan pelarangan penerbangan mengancam usaha mengatasi epidemi.

Sampai sejauh ini 1.552 orang tewas di Liberia, Sierra Leone, Guinea dan Klik Nigeria.
Saat mengumumkan rencana aksi WHO dalam mengatasi wabah ini, Asisten Direktur Jenderal WHO Bruce Aylward mengatakan "jumlah kasus sebenarnya kemungkinan dua hingga empat kali lebih tinggi dibandingkan yang saat ini dilaporkan" pada sejumlah daerah.

Pejabat WHO tersebut mengatakan kemungkinan adanya 20.000 kasus "adalah sebuah skala yang saya pikir tidak pernah terpikirkan sebelumnya terkait dengan wabah Ebola".
Rencana aksi WHO memerlukan dana sebesar US$489 juta dalam sembilan bulan ini, di samping 750 pekerja internasional dan 12.000 pekerja nasional di Afrika Barat.

source http://www.bbc.co.uk/

 

Kebijakan Pemerataan Tenaga Dokter di Indonesia

menkes-lokakarya

Dokter yang biaya pendidikannya ditanggung pemerintah daerah wajib mengabdikan diri di kampung halaman, minimal selama 5 tahun. Jika menolak, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) akan menahan surat tanda registrasi (STR) sehingga para dokter tidak bisa praktik diluar wilayahnya.

"Saya akan usulkan ke KKI kalau dokter yang mbalelo itu ditahan saja STR-nya, biar mereka tidak bisa praktik di luar daerahnya," kata Nafsiah Mboi saat membuka Lokakarya Nasional Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan 2014, di Jakarta, Kamis (28/8).

Menkes menjelaskan, usulan tersebut akan disampaikan ke KKI dalam waktu dekat. Sehingga masalah pemerataan dokter bisa terjadi di Indonesia, bahkan hingga ke pelosok negeri.

"Selama ini kan para dokter masih menumpuk di kota-kota besar. Apalagi rumah sakit swasta saat ini makin bertumbuh," ujarnya.

Menurut Nafsiah, penahanan STR merupakan satu-satunya cara guna mendorong para dokter mengabdi di daerahnya masing-masing. Mengingat, sanksi berupa denda uang sebanyak 3 kali lipat dari biaya pendidikannya, ternyata tidak membuat gentar para dokter.

"Apalagi mereka yang sudah bekerja di rumah sakit swasta besar. Sanksi denda uang, meski dinaikkan jadi 10 kali lipat pun tampaknya tak masalah. Mereka bisa bayar," ucap Nafsiah menandaskan. (TW)

 

 

 

Belum Aksesi FCTC, Pemerintah Indonesia Dianggap Abai pada Anak

Meningkatnya jumlah perokok pada anak dalam sepuluh tahun terakhir menandakan kegagalan pemerintah dalam melindungi anak. Karena itu, Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia Hery Chariansyah, SH menegaskan, pemerintah harus segera menandatangani perjanjian internasional Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).

"Prevalensi perokok anak usia 10-14 tahun meningkat dari 9,5 persen pada tahun 2001 menjadi 17,5 persen pada tahun 2010. Sementara itu usia 14-19 tahun meningkat dari 12,7 persen tahun 2001 menjadi 20,3 persen pada tahun 2010," kata Heri saat temu media di Gran Sahid Jaya Hotel, Jakarta, ditulis Rabu (27/8/2014).

Hery menerangkan, data tersebut menunjukkan bahwa anak adalah target pasar dan satu-satunya sumber perokok pengganti (substitusi) yang menjamin keberlangsungan dan perkembangan industri rokok. Oleh sebab itu, dia mendesak Presiden SBY karena di akhir masa pemerintahannya belum ada tanda-tanda Indonesia akan aksesi FCTC.

"Sudah saatnya Indonesia menunjukkan keberpihakannya untuk melindungi anak dari zat adiktif rokok dengan melakukan upaya kebijakan yang dapat mencegah anak menjadi perokok pemula. Ini juga dilakukan agar hak konstitusional anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal dapat diwujudkan seperti dalam undang-undang dasar 1945 pasal 28B ayat (2)," jelasnya.

FCTC, lanjut Hery, sama sekali tidak akan mematikan industri rokok atau petani tembakau. Justru FCTC akan melindungi generasi muda dari dampak buruk rokok terhadap kesehatan.

"Absennya Indonesia dari 177 negara yang telah meratifikasi FCTC akan mengakibatkan Indonesia menjadi target pasar dan merusak kesehatan generasi bangsa. Sementara rokok rentan di usia anak-anak, perempuan dan penduduk miskin," katanya.

Hery menambahkan, regulasi yang ada saat ini tidak mampu membendung upaya sistematis dan masif industri rokok yang memengaruhi anak-anak. Sebab rokok mengandung 7.000 bahan kimia, 70 diantaranya menyebabkan kanker.

"Jika sampai batas akhir kekuasaan Presiden SBY tidak melakukan aksesi FCTC, maka patut disebut Pemerintah tidak berpihak terhadap perlindungan anak dan gagal melindungi anak dari zat adiktif rokok," ungkapnya.

sumber http://health.liputan6.com

 

Guru Besar UI Ingatkan Legalitas Kartu Indonesia Sehat

Salah satu program yang sudah disebut presiden terpilih, Joko Widodo adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS). Kini muncul pandangan yang mengingatkan agar KIS disinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Terutama dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengingatkan bahwa sejak 1 Januari 2014 lalu pemerintah sudah mentransformasi PT Askes dan Jamsostek menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sistem jaminan kesehatan ini merupakan amanat Undang-Undang.

Karena itu, sistem kesehatan yang hendak diperkenalkan pemerintahan baru, termasuk KIS, seharusnya mengikuti aturan yang sudah ada. Untuk mengatasi itu sebenarnya pemerintah dan DPR bisa saja menyusun Undang-Undang baru. Tetapi opsi ini membutuhkan waktu lama. Penataan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan juga sudah menghabiskan sumber daya dan dana yang besar. Perjuangan masyarakat mendorong BPJS sudah sangat panjang.

"Kalau KIS mau diterbitkan menggunakan UU baru, bakal makan waktu lama dan bertentangan dengan peraturan yang ada (UU SJSN dan BPJS,-red)," kata Hasbullah dalam acara diskusi dan peluncuran buku di Jakarta, Selasa (26/8).

Tim pemenangan Jokowi-JK, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan KIS tidak bertentangan dengan UU SJSN dan BPJS. KIS hanya nama kartu yang akan digunakan untuk pelaksanaan program jaminan sosial sebagaimana amanat UU SJSN yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Sedangkan badan penyelenggara KIS tetap BPJS.

Menurut Rieke, KIS bertujuan mengoreksi pelaksanaan jaminan sosial yang digelar pemerintahan saat ini. "KIS tidak hanya berfungsi untuk mengakses program Jaminan Kesehatan, tapi program jaminan sosial lainnya sebagaimana amanat UU SJSN. KIS mengoreksi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan pemerintahan saat ini," ujar anggota Komisi IX itu.

Rieke menyebut pemerintahan Jokowi-JK akan segera menuntaskan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan yang harus beroperasi pada 1 Juli 2015. BPJS Ketenagakerjaan akan menggelar program Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan kerja dan Jaminan Kematian. Targetnya, peraturan itu selesai Desember 2014, setelah itu enam bulan selanjutnya akan dilakukan sosialisasi masif. "Peraturan turunan BPJS Ketenagakerjaan harus bisa diselesaikan pemerintahan Jokowi-JK," tegasnya.

Praktisi Jaminan Sosial dan Asuransi Jiwa, Odang Muchtar, berharap KIS dapat menambah fasilitas kesehatan tingkat pertama secara meluas dan berkualitas. Untuk mewujudkannya diharapkan pemerintahan Jokowi-JK meningkatkan anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN. "Kami harap Presiden bisa meningkatkan anggaran kesehatan," tukasnya.

Direktur Kepesertaan BPJS Kesehatan, Sri Endang Tidarwati, mengingatkan ada 7 juta masyarakat di luar Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang berasal dari 12 Provinsi dan 139 Kabupaten/Kota. Saat ini mereka ditanggung lewat APBD. Endang mengusulkan agar kelompok masyarakat itu dimasukkan ke dalam KIS. Sehingga Pemda didorong untuk fokus pada penyediaan pelayanan kesehatan peserta agar lebih baik.

Selain itu ada sekitar 2 juta masyarakat penyandang masalah sosial yang belum tercakup Jaminan Kesehatan. Sehingga mereka kerap mengalami kesulitan ketika sakit. Sri Endang mencatat per 22 Agustus 2014 jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai lebih dari 126 juta orang. Padahal, peta jalan menargetkan jumlah peserta sampai Desember tahun ini 121,6 juta orang.Walau melampaui taget capaian kepesertaan, Endang mengatakan kondisi itu belum menjamin kestabilan BPJS Kesehatan.

Dari jumlah itu sebanyak 6 juta orang merupakan peserta bukan penerima upah atau mandiri. Biasanya, mereka mendaftar ketika sakit dan dirawat di Rumah Sakit (RS). Kemudian membayar iuran awal untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Oleh karenanya untuk menjaga kestabilan BPJS Kesehatan, Endang berharap agar peserta yang bertambah berasal dari kelompok pekerja penerima upah. "Itu masalah yang kami hadapi. Buntutnya keuangan BPJS, pembiayaan kapitasi dan INA-CBGs," ucapnya.

Presidium Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI), Indra Munaswar, menekankan agar KIS tidak keluar dari ketentuan UU SJSN dan BPJS. "Kalau tidak patuhi peraturan itu maka Presiden yang baru nanti akan kami desak untuk turun," paparnya.

Indra mengusulkan agar Permenkes No. 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan segera direvisi. Sebab, regulasi itu berdampak pada banyak pihak. Salah satunya, peserta tidak mendapat pelayanan yang baik.

Mantan Dirut PT Askes, Gede Subawa, mencatat ada benturan antara tenaga kesehatan dan pasien karena sistem INA-CBGs. Penyebabnya, komponen ongkos tenaga medis di RS tidak jelas. Sebab di setiap RS menerapkan standar yang berbeda.

Gede mengusulkan agar INA-CBGs dievaluasi karena sistem ini masih membuka peluang bagi RS tipe tertentu mengeruk keuntungan besar. Mereka tidak melayani peserta sebagaimana mestinya tapi malah merujuk ke RS yang tipenya lebih tinggi. "Usulan saya, harus ada satu tim khusus mengkaji INA-CBGs, karena itu akar masalah juga," pungkasnya.

sumber: http://www.hukumonline.com/

 

DPR: Menteri Kesehatan Harus Dokter

Wakil Ketua Komisi IX DPR, Irgan Chairul Mahfiz mendukung pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi bahwa Menkes periode mendatang harus berlatangbelakang medis atau dokter senior, karena yang ditangani adalah wilayah kesehatan yang domainnya adalah dokter.

"Cuma lagi tidak murni berprofesi dokter saja, tetapi lebih bagus juga yang telah memiliki kemampuan manajemen yang baik dan sudah teruji kapasitas menangani hal-hal diluar medis," kata Irgan kepada Harian Terbit, kemarin.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini melanjutkan, pernyataannya bukan bermaksud meremehkan profesi lain seperti yang dinyatakan Menkes. Sebab, jelasnya, kalangan profesi lain jelas tidak memahami hulu hilir teknis masalah medis. "Saya kira prioritas pertama sependapat dengan Menkes (harus dari kalangan medis). Setelah itu baru kalangan profesi lain," ujarnya.

Anggota Komisi IX DPR lainnya, dr. Surya Chandra Surapaty, MPH, PhD, menegaskan, jabatan Menkes harus kompeten dalam bidang kesehatan. "Dokter kan paham akan tingkat-tingkat pemeliharaan kesehatan, yakni preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Kalau tidak dokter, ya paling tidak dia ahli kesehatan masyarakat. Kalau sarjana lain tidak pas jadi Menkes," kata dr. Surya Chandra.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menjelaskan, setiap profesi sudah memiliki keahliannya masing-masing. Sehingga, katanya, Menkes harus dari kalangan dokter bukan melecehkan profesi lain tidak layak menjabat sebagai Menkes. "Katanya perlu syarat kompeten dan profesional? Bagi-bagi dong bidangnya," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes), dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, menyatakan masalah kesehatan di Indonesia sulit teratasi apabila Menkes periode 2014-2019 tidak berasal dari kalangan medis atau dokter. Sebab, katanya, sistem maupun kebijakan yang ada di Indonesia adalah menteri masih harus berhubungan langsung dengan berbagai kalangan termasuk masyarakat.

"Pengalaman saya sendiri ya, sulit kalau tidak dari kalangan medis atau kalangan dokter. Struktur kita beda, kalau di Indonesia menteri itu mempunyai hubungan langsung dengan organisasi profesi, RS, kebijakan-kebijakan di daerah, itu masih menterinya terlibat langsung," kata Menkes.

Dia melanjutkan, Indonesia berbeda dengan negara-negara lain seperti Inggris ketika masih zaman negara persemakmuran bahwa menteri itu jabatan politik saja. Dimana, ketika partainya kalah dalam pemilu maupun pemerintahan, jabatan menteri diganti. "Mungkin seperti di negara-negara lain, disitu menteri itu kedudukan politik, maka siapa saja bisa," ujarnya.

Selain itu, Menkes juga mengusulakan Menkes periode mendatang harus dokter senior karena kemampuan berkomunikasi baik dan memiliki kemampuan yang lebih. Namun, tambahnya, bukan tidak berarti yang bukan dari kalangan dokter tidak bisa berkomunikasi, tetapi membutuhkan waktu dan sebagainya. "Yang penting dia (Menkes) punya pejabat-pejabat dibawahnya (PNS) ini paling kuat. Jadi menterinya siapa saja bisa," pungkasnya.

sumber: http://www.harianterbit.com

 

Tiga Masalah Kesehatan yang Dihadapi Indonesia

Hasil riset yang dilakukan lembaga riset "The Indonesian Institute" mencatat, ada tiga hal besar yang masih menjadi persoalan dalam bidang kesehatan di Indonesia.

Yang pertama adalah masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Karena dari sekitar 9.599 puskesmas dan 2.184 rumah sakit yang ada di Indonesia, sebagian besarnya masih berpusat di kota-kota besar.

"Masih banyak masyarakat di daerah yang tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan karena tidak adanya fasilitas kesehatan yang disediakan. Alasan lainnya juga karena letak geografis yang sulit dijangkau," papar Direktur Riset dari "The Indonesian Institute" Lola Amelia, dalam acara talkshow Beritasatu.com Festival, di Jakarta, Sabtu (23/8).

Persoalan kedua juga menyangkut masalah distribusi yang belum merata, khususnya tenaga kesehatan. "Beberapa daerah masih banyak yang kekurangan tenaga kesehatan, terutama untuk dokter spesialis. Memang sudah ada program 'bidan masuk desa', tapi kan mereka tidak menetap," ujar dia.

Data terakhir Kementerian Kesehatan RI memang mencatat, sebanyak 52,8 persen dokter spesialis berada di Jakarta, sementara di NTT dan provinsi di bagian Timur Indonesia lainnya hanya sekitar 1-3 persen saja.

Persoalan terakhir yang menjadi catatan "The Indonesian Institute" adalah soal pendanaan. Karena untuk tahun 2014, pemerintah hanya mengalokasikan 2,4 persen dana APBN untuk bidang kesehatan. Padahal Undang-undang Kesehatan Nomor 36/2009 mengamanatkan dana kesehatan sebesar 5 persen dari APBN.

"Ini sebetulnya masalah kemauan pemerintah saja. Tapi kalau melihat visi dan misi Jokowi sebagai Presiden RI, dia setuju akan menaikkan anggaran kesehatan menjadi 5 persen. Mudah-mudahan di pemerintahannya nanti, hal itu bisa direalisasikan," harap Lola.

sumber: http://www.beritasatu.com

 

 

Konsumsi Susu Indonesia Masih 32 Gelas Per Tahun

Konsumsi susu di Indonesia diprediksi yang terendah di antara negara Asia lainnya. Masyarakat Indonesia rata-rata hanya mengonsumsi 32 gelas susu per tahun. Padahal idealnya, seseorang membutuhkan 100 liter susu per tahun.

Ketua Panitia Festival Dessert "Mooseum,", Danniswara menjelaskan, ‎hingga kini isu konsumsi susu yang rendah kerap menjadi penyebab utama naik turunnya kualitas gizi masyarkat Indonesia.

"Oleh karena itu dibutuhkan sarana edukasi masyarakat Indonesia mengenai pentingnya mengonsumsi susu bagi kesehatan," kata Danniswara, dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Minggu (13/7).

Itulah mengapa pihaknya menggelar ‎kegiatan seputar dunia susu‎, seperti "MooSharing", yang merupakan kegiatan talkshow yang membahas transformasi susu menjadi produk susu dan membudayakan konsumsi susu.

Festival Dessert "Mooseum," di Skygarden, Living World, Alam Sutera, Serpong juga menyajikan "Mooms & Kids Cupcake Decorating", yang merupakan lomba bagi ibu dan anak untuk mendekorasi cupcake bersama.‎

Kegiatan yang diinisiasi oleh para mahasiswa S1 Marketing Prasetya Mulya tersebut juga dimeriahkan kegiatan 'Moonster', yakni hidangan penutup berukuran besar yang akan dibagi-bagikan kepada pengunjung sebagai menu berbuka puasa.

Mooseum tidak memungut biaya masuk bagi pengunjung dan akan berlangsung selama dua hari, yaitu 12-13 Juli 2014.

Selain itu digelar juga bazar hidangan penutup berbahan dasar susu dan mini museum interaktif, yang berisi berbagai macam pengetahuan proses pengolahan susu dengan berbagai teknologi. ‎Dengan rangkaian kegiatan tersebut diharapkan dapat mengurangi tingkat keengganan masyarakat mengonsumsi susu.

"Kami bertujuan dapat mencanangkan gerakan cinta susu. Sebagai langkah awal, kami mengundang anak-anak panti asuhan untuk datang ke 'Mooseum' untuk memperoleh susu gratis dan mengedukasi mereka mengenai budaya minum susu," kata Danniswara.

sumber: www.beritasatu.com

 

UU Keswa: Pelaku Pemasungan Jangan Dipidana

Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) saat ini sudah memiliki payung hukum yang jelas dengan adanya Undang-Undang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Namun terdapat kerancuan dalam UU tersebut terutama masalah pemberian sanksi pidana terhadap pelaku pemasungan yang mayoritas pelakunya adalah keluarganya sendiri.

Atas hal itu, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan membuat aturan-aturan pelaksanaan untuk menjerat para pelaku pemasungan dikarenakan dalam UU Keswa tidak diatur secara detail sanksi pidana untuk pelaku pemasungan yang dinilai telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Pengamat Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir mengatakan pihak setuju dengan aturan bahwa pelaku pemasungan itu diberikan sanksi pidana seperti yang diatur dalam UU KUHP yang menjelaskan bahwa pemasungan dapat diartikan sebagai suatu perampasan kemerdekaan seseorang.

Disatu sisi, lanjutnya, pemasungan adalah cara tradisional dalam mengatasi ODGJ yang keberadaannya sudah mengancam lingkungan sekitarnya. Hal ini tentunya menimbulkan persepsi yang berbeda di masyarakat bahwa ODGJ itu harus di pasung. Padahal, hal itu kesalahan tidak sepenuhnya berada pada pelaku, tetapi dari pemerintah.

Sehingga, tegasnya, para pelaku pemasungan tersebut jangan langsung diberikan hukuman pidana. Melainkan, harus diberikan pemahaman, pembinaan terkait ODGJ, pemberian fasilitas-fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di setiap wilayah dan tidak dipungut biaya dan lainnya.

"Jangan dipidana dahulu, itu perlu sosialisasi UU Keswa. Kalau sudah dijelaskan dan perawatan ODGJ seperti apa, tapi tidak mengerti juga atau tetap diulangi melakukan pemasungan, baru kemudian dipidana," kata Mudzakkir saat dihubungi Harian Terbit, Kamis (10/7).

Menurutnya, sanksi pidana terhadap pelaku pemasungan tidak akan menyelesaikan masalah ODGJ di Indonesia. Diketahui saat ini terdapat 56.000 pemasungan di Indonesia. Solusi untuk mengatasi ODGJ, ungkapnya, adalah pemerintah benar-benar bertanggungjawab terhadap masalah ini yang lebih menekankan atau memberikan perlindungan kepada ODGJ.

"Kalau fasilitasnya tidak ada dan atau sulit dijangkau oleh masyarakat, maka pidana itu tidak bermanfaat dan pemerintah tidak tanggungjawab terhadap penderitanya," jelasnya.

Dia menuturkan, pemasungan yang berkembang di masyarakat, masih diartikan sebagai metode penyembuhan ODGJ. Padahal, perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran, ODGJ ini bisa disembuhkan melalui medis, tidak perlu melalui cara-cara lain. "Maka dari itu, apabila ODGJ mau berobat ke RSJ atau fasilitas kesehatan lainnya, itu tidak dipungut biaya," ujarnya.

Tak Perlu Diperdebatkan

Dihubungi terpisah, Direktur Bina Upaya Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Eka Viora, SpKJ meminta masalah sanksi pidana terhadap pelaku pemasungan tidak perlu diperdebatkan. Sebab, katanya, di dalam UU Keswa sudah dijelaskan bahwa pelaku pemasungan di pidana sesuai dengan ketentuan UU yang sudah ada dalam hal ini adalah UU KUHP. "Itu (UU KUHP) sudah puluhan tahun di buat oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Jadi ini terjadi penelantaran hukum pidananya," kata dr. Eka.

Seharusnya, lanjutnya, ODGJ ini memerlukan fasilitas kesehatan berupa RSJ, Puskesmas, Klinik di setiap wilayah sampai pelosok-pelosok agar mudah dijangkau oleh ODGJ. Sebab, tambahnya, hak dan kewajiban setiap manusia itu sama dan tidak boleh dibeda-bedakan. "Kami sedang mempersiapkan semua layanan itu. Karena UU ini utamanya adalah memberikan perlindungan kepada ODGJ," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes), dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH berharap UU Keswa ini bisa memberikan perlindungan bagi orang-orang dengan masalah kejiwaan yang selama ini mendapat perlakuan diskriminatif. Salah satunya, dipasung. "Itu nanti akan ditangani, pemerintah akan membuat aturan-aturan untuk para pelaku pemasung. Jadi nanti mereka akan kena sanksi pidana," kata Menkes.

Menkes mengatakan, di Indonesia diperkirakan masih ada 56.000 kasus pemasungan yang dinilai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia, sekaligus bentuk diskriminasi bagi orang-orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Selama ini, masalah kejiwaan cenderung terabaikan dan bahkan dianggap sebagai aib keluarga. Alih-alih mendapat penanganan di fasilitas kesehatan, pada pengidapnya cenderung dikucilkan, dan pada banyak kasus pasien tersebut mengalami pemasungan.

Diperkirakan hanya 10 persen pasien yang dilaporkan oleh keluarganya. Masih menurut perkiraan Menkes, sedikitnya ada 16 juta kasus gangguan jiwa ringan dan 400 ribu kasus gangguan jiwa berat. Tidak adanya aturan yang tegas membuat para pasien cenderung terabaikan selama ini.

sumber: www.harianterbit.com